Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, menurut saya, disebabkan karena sejak awal (akhir tahun 60an), pemerintah lebih menekankan pada pertumbuhan industri (semu) antara lain industri otomotif sehingga segala daya upaya diarahkan untuk meningkatkan produksi. Akibatnya, konsep dan strategi transportasi masa (mass transportation - railways) tidak berkembang atau memang sengaja tidak dikembangkan. Lama kelamaan, terjadilah peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang luar biasa dan mengakibatkan kemacetan juga yang luar biasa yang kita alami saat ini.
Bayangkan... dalam kondisi seperti inipun, transportasi masa tetap dianaktirikan. Pertumbuhan/penambahan panjang jalur KA relatif tidak ada. Kalaupun ada hanya menambah jalur dari single track menjadi double track pada jalur-jalur yang sudah ada sejak jaman kumpeni dulu. Bahkan beberapa track yang berada Sumatera dan jalur menuju kota2 kecil di Jawa dan Sumaterapun banyak yang "dimatikan" dan jangan lagi berpikir untuk menghidupkan track di dalam kota Jakarta yang pada akhir tahun 50an s/d awal 60an masih dilalui trem. Itu sama saja dengan bermimpi di siang bolong. Padahal .... di banyak kota Eropa, trem, bus, taxi kendaraan pribadidan bahkan dengan sepeda berjalan berdampingan digunakan masyarakat.
Masyarakat kebanyakan di Indonesia memang harus banyak mengalah pada segelintir orang berpunya yang memiliki kemampuan membeli mobil. Pemilik mobillah yang mendapat benefit terbanyak di jalan raya. Bayangkan saja.... kalau macet, jalan diperlebar, dibuatkan under pass, jalan layang dan bahkan jalan bebas hambatan. Pembenaranpun dicari.... karena mereka sudah membayar pajak kendaraan yang mahal sehingga layak mendapat pelayanan yang prima.
Rakyat biasa yang bosan dengan kemacetan dan terlalu lelah karena lamanya waktu tempuh dari rumah ke tempat kerja dan mahalnya biaya transportasi "dipaksa" berjejalan di dalam kereta api, bahkan hingga ke atap gerbong. Kalau punya modal sedikit berlebih, silakan beralih menggunakan motor.
Maka.... lihatlah suasana jalan raya pada jam sibuk! Motor berebut jalan, saling salip, saling sikut... Siapa berani, dia menang... Keselamatan menjadi nomor sekian... Tak heran kalau angka kecelakaan motor bertambah banyak.
Lalu selesaikah problem transportasi dan kemacetan? Jauh panggang dari api....!!! Selama orientasi pemerintah masih kepada peningkatan sektor industri terutama peningkatan produksi otomotif, tanpa adanya "pengereman" jumlah pemakai kendaraan pribadi baik kendaraan beroda empat maupun beroda dua, maka problematika kemacetan tidak akan terselesaikan.
Industri memang harus tetap berkembang agar tenaga kerja tetap terserap. Tapi alangkah baiknya bila peningkatan produksi kendaraan jangan sampai menambah jumlah kendaraan di jalan. Seperti di negara-negara maju, usia kendaraan memang harus dibatasi dan kendaraan yang sudah tidak layak jalan "harus dimusnahkan". Salah satu cara adalah produsen otomotif "membeli kendaraan tua" yang jumlahnya sesuai dengan jumlah produksinya.
Di samping itu, konsep transportasi publik harus diarahkan pada transportasi masa dengan membangun/menghidupkan kembali jalur/rail track di tengah kota yaitu trem atau membangun subway/metro atau monorail. Rasanya, membangun jalan tol layang seperti jalan tol dalam kota Jakarta, membuat under pass atau jalan layang termasuk juga membebaskan lahannya, sama mahalnya dengan membangun transportasi massa tersebut. Yang penting, adakah keberanian para pembuat kebijakan di negeri ini untuk mengambil keputusan ekstrim --> berpihak kepada kebutuhan rakyat banyak dan mengurangi tekanan produsen otomotif.
Kebijakan industri otomotif ini sebetulnya hanya memperkaya Jepang saja. Coba tengok! Hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang di seluruh pelosok negeri ini adalah merek Jepang. Belum lagi pemborosan energi akibat BBM yang terbuang percuma karena kemacetan. Andai kita mau berhitung cermat dan mau melepaskan diri dari "jeratan" para industrialis otomotif ... niscaya akan selalu ada jalan untuk mendapatkan investor serius untuk membangun jaringan subway, trem atau monorail. Syarat lainnya, tentu saja ada kepastian hukum, keamanan berinvestasi and last but not the least .... Jangan ada John toel dan mark up biaya.
Sanggupkah kita?
Bayangkan... dalam kondisi seperti inipun, transportasi masa tetap dianaktirikan. Pertumbuhan/penambahan panjang jalur KA relatif tidak ada. Kalaupun ada hanya menambah jalur dari single track menjadi double track pada jalur-jalur yang sudah ada sejak jaman kumpeni dulu. Bahkan beberapa track yang berada Sumatera dan jalur menuju kota2 kecil di Jawa dan Sumaterapun banyak yang "dimatikan" dan jangan lagi berpikir untuk menghidupkan track di dalam kota Jakarta yang pada akhir tahun 50an s/d awal 60an masih dilalui trem. Itu sama saja dengan bermimpi di siang bolong. Padahal .... di banyak kota Eropa, trem, bus, taxi kendaraan pribadidan bahkan dengan sepeda berjalan berdampingan digunakan masyarakat.
Masyarakat kebanyakan di Indonesia memang harus banyak mengalah pada segelintir orang berpunya yang memiliki kemampuan membeli mobil. Pemilik mobillah yang mendapat benefit terbanyak di jalan raya. Bayangkan saja.... kalau macet, jalan diperlebar, dibuatkan under pass, jalan layang dan bahkan jalan bebas hambatan. Pembenaranpun dicari.... karena mereka sudah membayar pajak kendaraan yang mahal sehingga layak mendapat pelayanan yang prima.
Rakyat biasa yang bosan dengan kemacetan dan terlalu lelah karena lamanya waktu tempuh dari rumah ke tempat kerja dan mahalnya biaya transportasi "dipaksa" berjejalan di dalam kereta api, bahkan hingga ke atap gerbong. Kalau punya modal sedikit berlebih, silakan beralih menggunakan motor.
Maka.... lihatlah suasana jalan raya pada jam sibuk! Motor berebut jalan, saling salip, saling sikut... Siapa berani, dia menang... Keselamatan menjadi nomor sekian... Tak heran kalau angka kecelakaan motor bertambah banyak.
Lalu selesaikah problem transportasi dan kemacetan? Jauh panggang dari api....!!! Selama orientasi pemerintah masih kepada peningkatan sektor industri terutama peningkatan produksi otomotif, tanpa adanya "pengereman" jumlah pemakai kendaraan pribadi baik kendaraan beroda empat maupun beroda dua, maka problematika kemacetan tidak akan terselesaikan.
Industri memang harus tetap berkembang agar tenaga kerja tetap terserap. Tapi alangkah baiknya bila peningkatan produksi kendaraan jangan sampai menambah jumlah kendaraan di jalan. Seperti di negara-negara maju, usia kendaraan memang harus dibatasi dan kendaraan yang sudah tidak layak jalan "harus dimusnahkan". Salah satu cara adalah produsen otomotif "membeli kendaraan tua" yang jumlahnya sesuai dengan jumlah produksinya.
Di samping itu, konsep transportasi publik harus diarahkan pada transportasi masa dengan membangun/menghidupkan kembali jalur/rail track di tengah kota yaitu trem atau membangun subway/metro atau monorail. Rasanya, membangun jalan tol layang seperti jalan tol dalam kota Jakarta, membuat under pass atau jalan layang termasuk juga membebaskan lahannya, sama mahalnya dengan membangun transportasi massa tersebut. Yang penting, adakah keberanian para pembuat kebijakan di negeri ini untuk mengambil keputusan ekstrim --> berpihak kepada kebutuhan rakyat banyak dan mengurangi tekanan produsen otomotif.
Kebijakan industri otomotif ini sebetulnya hanya memperkaya Jepang saja. Coba tengok! Hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang di seluruh pelosok negeri ini adalah merek Jepang. Belum lagi pemborosan energi akibat BBM yang terbuang percuma karena kemacetan. Andai kita mau berhitung cermat dan mau melepaskan diri dari "jeratan" para industrialis otomotif ... niscaya akan selalu ada jalan untuk mendapatkan investor serius untuk membangun jaringan subway, trem atau monorail. Syarat lainnya, tentu saja ada kepastian hukum, keamanan berinvestasi and last but not the least .... Jangan ada John toel dan mark up biaya.
Sanggupkah kita?