Jumat, 29 Juni 2012

RUANG LUAR YOGYAKARTA


..... Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu ......
Penggalan lagu Yogyakarta dari KLA Project yang mendayu-dayu ini memang fenomenal dan sekarang seakan menjadi lagu wajib dan ikon kebanggaan penduduk Yogyakarta.
Yogyakarta ... dalam bahasa pariwisatanya lazim disebut Jogjakarta. Ini kata Andy Andong, begitu dia memperkenalkan dirinya sebagai pemandu wisata, yang mendampingi kami dalam salah satu dari 3 bus yang membawa rombongan, saat DTM-FTUI melaksanakan family gathering 21-24 Juni 2012 yang baru lalu. 

Sebutan Jogja konon digunakan sebagai pengganti sebutan Yogya, digunakan untuk mempermudah penyebutan di lidah kalangan orang non Jawa terutama turis asing. Sementara dalam penulisan resmi, tetap menggunakan Yogyakarta atau kadangkala juga disebut/ditulis Ngayogyakarta Hadiningrat atau Ngayogyakarta Hayuningrat. Sebutan Hadiningrat tentu memiliki arti berbeda dengan Hayuningrat .... cuma karena usia sudah uzur, maka penjelasan tentang perbedaan di antara keduanya nggak nyantol di otakku. Pokoknya, payah deh....

Yogyakarta ...., begitu mestinya kota ini disebut, di dalam negeri, merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang diberikan hak-hak istimewa untuk mengelola wilayahnya sendiri. Keistimewaannya ini diberikan sebagai penghargaan kepada wilayah Yogyakarta Hadiningrat saat kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen - Daerah Swapraja dan terdiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. 

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. 

Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. 

Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya. Namun atas kebesaran jiwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, setelah proklamasi kemerdekaan, mereka menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. 

DIY mempunyai peranan yang penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI antara lain menjadi ibukota NKRI pada tanggal 4 Januari1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.

Begitulah sekelumit tentang Yogyakarta,
***

Nah berkaitan dengan ruang luar, walau kerap dijuluki sebagai kota budaya, kebudayaan di Yogyakarta rasanya sudah mulai luntur. Tentu bukan kebudayaan dalam arti sempit yang merujuk kepada keberadaan keraton lengkap dengan pernak-perniknya. Pemangku jabatan kasultanan dan kadipaten, tentu berupaya mati-matian untuk melestarikan kebudayaan "luhur" mereka ditengah arus globalisasi.

Yogya sebagaimana kota-kota Indonesia lainnya tidak bisa menahan serbuan upaya perusahaan lokal maupun multinasional untuk melakukan promosi melalui media ruang luar. Semuanya berusaha menjajakan barang dagangannya. Dagangannyapun beragam ...., mulai dagangan rumah, sampai rokok. Pementasan acara kesenian tradisional sampai dengan promosi kesenian abad 21 hingga memancing perang ancaman dari salah satu ormas. Dari iklan melangsingkan tubuh, sampai dengan penawaran obat kuat.  Kesemuanya ini belum termasuk spanduk maupun papan nama toko/bengkel, praktek dokter/notaris/lembaga bantuan hukum maupun papan nama instansi lainnya yang dipasang berjejeran di halaman muka masing-masing bangunan. Terkadang memenuhi seluruh pandangan mata ke arah bangunan dimaksud.

Mungkin, cuma narkoba aja yang nggak ditawarkan secara terang-terangan. Kalaupun ada bill board yang berisi kata-kata narkoba, itu lebih kepada kampanye pemberantasan dan ancaman2nya. Cara promosinyapun tak kalah seru...., dari mulai menyebarkan di jalan-jalan, menyisipkan di kaca mobil, menempelkan di pohon/dinding .... memasang spanduk, membangun bill board dan baliho super besar yang kadang membawa bencana saat diterjang angin puting beliung, bahkan hingga menayangkan video melalui LED screen. Semuanya tumpang tindih berebut tempat, terutama di tempat-tempat strategis

Pernahkan si pengiklan atau media planner berpikir bahwa mempromosikan barang dagangan juga harus beretika. Etika untuk menghormati pandangan mata penduduk kota. Harus ada keseimbangan dalam menempatkan bill board/baliho/spanduk dengan upaya memperindah ruang luar di sebuah kota dengan berbagai elemennya berupa tanaman bebungaan/pohon keras peneduh jalan maupun bangunan di sepanjang jalan. Jangan sampai keindahan kota, apalagi keindahan bangunan terutama bangunan kuno yang masih terpelihara baik, tertutupi oleh tebaran spanduk, bill board dan baliho. Atau yang paling parah adalah kalau pagarnyapun menjadi tempat tempelan brosur/spanduk melengkapi papan nama sbg indikator keberadaan instansi dimaksud. Sepertinya.... tidak ada cara lain yang lebih estetik dalam memberi nama gedung/instansi kecuali menancapkan papan nama berderetan sepanjang halaman muka.

Sungguh .... itulah kekecewaan terbesar saat mengunjungi Yogyakarta kali ini. Keinginan untuk mengabadikan gedung-gedung kuno yang terawat baik seperti gedung Kantor Pos, gereja, sekolah dan bahkan pemandangan ke arah keraton Kidul, Taman Sari dan Mesjid Gedhe, pupus seketika. Entah harus mengambil dari sudut manalagi untuk mendapatkan foto utuh yang bisa menampakkan keindahan bangunan-bangunan tersebut secara keseluruhan. Hampir semua bidang luarnya tertutup ..., kalau tidak tertutup oleh jejeran pedagang kaki lima, maka spanduk dan brosur menutupi pagar bangunan. Belum lagi deretan papan namanya ..... hadooooohhhhh......

Sungguh ........ Membandingkan kondisi bangunan kuno (keraton, mesjid, gereja, candi dll) di Indonesia dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa memang sudah tidak pada tempatnya. Perhatian yang luar biasa dan didukung dengan kemampuan keuangannya memang tidak bisa diperbandingkan. Tetapi tata cara mereka dalam mengatur ruang luar, yaitu cara penempatan papan nama, sign board, bill board dan lainnya sebagai media promosi, tentu perlu dipertimbangkan.

Keindahan kota patut dipertimbangkan, karena hal itu juga merupakan cermin dari budaya masyarakat untuk menghargai keindahan dan keseimbangan. Ada baiknya Pemerintah kota mempertimbangkan keindahan ruang luar dan membebaskannya dari polusi media promosi... Jangan hanya memikirkan lembaran dan deretan angka yang akan menambah tebal kocek PAD atau segelintir oknum pemberi ijin... tetapi perhatikan juga keindahan kota yang bisa terekam melalui pandangan mata dan menjadi etalase bagi pengunjung. Tempat kita "memamerkan" keelokan negeri ini.

Ah... Polusi juga sudah meracuni pemandangan sehari-hari ... Jadi, bukan saja udara tercemari CO2, tetapi mata kitapun tercemari oleh carut marut iklan


Jumat, 08 Juni 2012

Musim Menikah

Nggak tahu mesti nulis apa, kali ini. Mau nulis komentar tentang carut marut hukum di Indonesia, sudah terlalu banyak yang ngomong. Sampai bosan dengar di TV, radio dan dimana saja kita ketemu teman. 

Masyarakat sebetulnya sudah muak dengan “kebebalan” para aparat penegak hukum yang sudah terbutakan mata hati nuraninya. Bagaimana tidak, kalau orang yang mencuri 3 buah coklat, makan 1 buah semangka dan hal-hal yang remeh temeh saja sudah kena bui 1–3 bulan. Sementara yang ngemplang duit negara milyaran bahkan trilyunan malah merasa aman melanglang buana di luar negeri dari hotel ke hotel atau bahkan bisa jadi sedang menikmati rumah dan apartemen mewah nya di daerah elite manca negara. Yang juga sangat menyebalkan adalah karena pelaku korupsi sekarang adalah "orang muda" yang umurnya belum lagi mencapat 35 tahun. 

Jadi… daripada stress dan sebal karena hal itu, sekarang lebih baik kita nggosip aja ya… Kan perempuan suka gossip. 

Kebetulan, bulan Juni/Juli ini rupanya jadi pilihan banyak orang untuk menikah. Bulan baik kalau buat muslim …., karena biasanya, menjelang Ramadhan memang banyak dimanfaatkan orang muda untuk menikah.  

Menikah sepertinya dan memang sudah seharusnya menjadi tujuan hubungan dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin …., gimana enggak, wong yang berjenis kelamin sama aja berniat mengikatkan hubungan sejenisnya melalui lembaga pernikahan kok! Jadi…, pantas saja kalau suatu hubungan kasih sayang yang serius di antara dua orang manusia akan bermuara dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang seringkali dilupakan adalah… bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dan tujuan dari sebuah hubungan kasih sayang tetapi justru awal dari kehidupan yang sebenarnya.

Sambil becanda di kantor, saya seringkali mengibaratkan bahwa menikah adalah mengikatkan diri untuk "terpenjara" bersama orang yang sama, seumur hidup oleh berbagai "aturan dan norma" baik yang "dibuat bersama", yang ada di masyarakat secara turun temurun maupun norma agama.
Kalau mau diibaratkan seperti sekolah/kuliah… katakanlah saat pernikahan itu seperti saat wisuda. Senang sekali karena tujuan/akhir perjuangan panjang selama sekolah sudah tercapai. Begitu juga dengan pernikahan…, perjalanan panjang selama “pacaran” sudah mencapai garis finish, dengan menikah. Kenyataannya, setelah wisuda dan pernikahan, kita malah menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Kalau selesai sekolah kita masuk ke dunia nyata untuk bekerja secara mandiri, menghidupi diri dari “kemampuan” diri sendiri, begitu juga dengan pernikahan. 

Kita “melepaskan diri” dari “lindungan kenyamanan sebuah sarang” bernama keluarga dan membentuk sarang baru dengan anggota yang baru, yaitu istri untuk kemudian berkembang biak dengan anak-anak yang akan lahir. 

Menurut saya, ada persamaan dengan bekerja dengan perjalanan pernikahan. Perusahaan tempat kita bekerja dan para pekerjanya selalu berharap berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga si pekerja bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau salah satunya tidak terpenuhi, maka keduanya bisa jadi akan “berpisah jalan”. 

Kalau jalannya perusahaan tidak baik, maka perusahaan mungkin akan mem PHK kan karyawannya. Begitu juga bila si karyawan lama-kelamaan merasa perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi memenuhi harapannya, maka dia akan mulai “berselingkuh”, melirik kesempatan kerja di tempat lain untuk kemudian meninggalkan perusahaan tersebut untuk pada waktunya, pindah ke perusahaan yang baru.

Ini untuk karyawan yang punya potensi baik dan “mampu” bersaing di dunia kerja. Kalau karyawan yang kemampuannya “terbatas” dengan lagak sebagai loyalis dia akan tetap bertahan. Tapi bukan tanpa protes. Protesnya justru lebih “berbahaya” karena makin membebani dan merugikan perusahaan. Dia tidak lagi bekerja dengan baik, malah mencuri-curi waktu untuk cari kerja sampingan dan lain-lain sementara perusahaan mungkin tidak sadar. Atau kalaupun sadar, tapi mungki perusahaan tidak “mampu” mem PHK karena kewajiban membayar pesangon yang cukup besar. 

Itu sebabnya perusahaan yang baik selalu me “refresh” karyawannya, memberi “makanan” rohani berupa fasilitas pelatihan, liburan, jabatan dan lain-lain, termasuk juga memberi makanan jasmani berupa fasilitas kendaraan, gaji besar, bonus dan lain sebagainya

Tidak berbeda dengan dunia kerja, sebetulnya kehidupan rumah tangga juga selalu dinamis. Kalau pada awal pernikahan, tinggal sekamar di rumah mertua sudah sangat indah, pulang kantor kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan sepiring berdua begitu indahnya. Namun keindahan itu juga terus berevolusi. 

Pasangan bisa jadi tidak lagi puas dengan kamar kecil di rumah orang tua dan ingin memiliki rumah, walau (relatif) kecil. Motor tidak lagi cukup bergengsi sebagai kendaraan sehari-hari dan mulai membutuhkan mobil. Mereka lalu membelinya walau mobil bekas. Makan tidak lagi cukup di warung, tetapi harus sudah mulai beralih ke café atau resto bergengsi, untuk menyesuaikan posisi di kantor yang mulai meningkat dengan alasan memperluas network. 

Itulah “tanda-tanda” perubahan dan peningkatan kebutuhan jiwa dan raga manusia yang kemudian salah kaprah menjadi life style pasangan muda terutama yang hidup di kota-kota besar dan berpendidikan tinggi lulusan luar negeri.

Sama seperti di perusahaan, pasangan mungkin perlu me “refresh” kembali perasaan, tujuan hidupnya. Kemudian bersama-sama mengevaluasi dan menyamakan kembali persepsi terhadap esensi ikatan perkawinannya. 

Seiring perjalanan waktu, “greget” perasaan terhadap pasangan hidup mungkin sudah berubah. Bukan karena tidak ada perasaan cinta/kasih sayang, tetapi bentuknya sudah sedikit berubah karena “sebuah kebiasaan merasa sudah memiliki, seatap dan seranjang” selama bertahun–tahun. Hal ini membuat pasangan suami istri seringkali “meremehkan” perasaan satu sama lainnya. 

Kita tidak tahu lagi kemana perasaan pasangan hidup kita mengembara. Karena memang perasaan dan pikiran bisa mengembara tanpa batas dan tanpa bisa dikekang oleh siapapun. Kecuali atas kesadaran dan kendali diri yang bersangkutan. 

Ketidaksamaan visi dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, perbedaan pola pengasuhan anak maupun hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar pasangan kerap kali memicu pertengkaran kecil yang bila tidak dikelola dan dikendalikan secara bijak akan menjadi gunung es yang mampu mengkaramkan bahtera rumah tangga setiap saat kita lengah.

Kalau ketidakpuasan dalam pekerjaan mudah diselesaikan dengan cara mencari tempat kerja baru, maka apakah akan kita perlakukan bahtera rumah tangga seperti kita meninggalkan perusahaan tempat kita bekerja, “berselingkuh” untuk kemudian melabuhkan bahtera di sandaran dermaga baru?Jawabnya seharusnya, tentu TIDAK. Namun konsisten dengan kata TIDAK itupun bukanlah hal yang mudah dijalankan.

Menyelesaikan masalah dalam sebuah ikatan pernikahan tentu tidak semudah seperti kita pindah kerja. Stake holder dalam sebuah pernikahan bukan hanya pasangan itu sendiri, tetapi juga ada anak–anak yang terlahir. Belum lagi kalau memperhitungkan keberadaan keluarga besar dari ke dua belah pihak. 

Anak merupakan tanggung jawab orangtua bukan hanya secara materi tetapi juga dalam hal pendidikan jasmani dan rohani. Orangtua bertanggung jawab untuk “mendidik” dan mempersiapkan diri mereka dalam menhadapi dan mencari solusi dari berbagai masalah sepanjang hidupnya. Anak juga merupakan “imitator” sempurna dari perilaku orangtua. Itu pula sebabnya sering kita dengan peribahasa like father like son atau like mother like daughter.

Orangtua yang “menggampangkan” segala sesuatu secara tidak sadar telah mengajarkan perilaku tersebut kepada anak–anaknya. Tetapi mempersulit hal yang mudah atau menunda–nunda penyelesaian masalah juga bukanlah contoh yang baik bagi anak.

Week end yang baru lalu, saya membaca artikel di suatu majalah bahwa anak–anak yang lahir dari keluarga kecil dan telah terbiasa hidup dalam kecukupan dan segala kemauannya terpenuhi dengan mudah, cenderung memutuskan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang dalam. Mereka terbiasa hidup senang, sehingga kadar tenggang rasa terhadap oranglain cenderung tipis. Ini berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga besar yang selalu berbagi dengan kakak atau adik. Mereka telah terlatih sejak dini untuk berbagi dan bertenggang rasa kepada siapapun. Tapi hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja. Komunikasi yang terus menerus harus tetap dijaga. 

Jadi tatkala kita dengan pasangan bercerai dengan alasan ketidak cocokan yang disebabkan timbulnya perbedaan visi dan misi dalam berumahtangga, itu sama saja mempertahankan kehidupan yang statis. Kehidupan selalu dinamis, bergerak sesuai dengan perkembangan jaman.  Seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan. Oleh karena itu, visi dan misipun perlu dievaluasi dan disamakan kembali. Hal lain yang penting untuk diingat setiap pasangan adalah … lihatlah kelebihan pasangan kita dan lupakan kekurangannya, karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan yang harus “ditelan dan diterima” oleh pasangan.

Kamis, 07 Juni 2012

Balada di suatu malam

Di suatu minggu, kebetulan long week end, pada Jum'at pagi sekitar jam 08.00, tanpa terduga, bel rumah berdenting. Keponakanku seperti biasa datang. Hal ini sudah menjadi rutinitas kegiatan liburannya bila kami tidak berkunjung ke Bandung, tempatnya tinggal. Tidak heran ... pada setiap kunjungannya ke Jakarta, saudara-saudara sepupunya selalu berkomentar :  "anak kost pulang kampung ...!" 

Padahal, dia tinggal dengan orangtuanya di Bandung dan ke Jakarta untuk menikmati liburan.


Seperti biasa juga dia akan meminta kami mengajaknya jalan-jalan, walau tanpa tujuan. Jum'at malam, kami berempat menghabiskan waktu di Grand Indonesia. Ini kali pertama kali berkunjung ke Mall yang berlokasi di bunderan Hotel Indonesia. Mall besar super mewah yang lebih banyak dikunjungi golongan atas.Tentu bukan karena kami termasuk golongan atas, sehingga Mall tersebut menjadi tujuan tempat makan malam, tapi karena tempat itu memang belum pernah didatangi, sementara pilihan tempat lainnya selalu ditolak anak dan keponakanku. Mereka memang sudah lama ingin berkunjung ke Grand Indonesia. 

Maka.... makanlah keluarga kecil dengan dua anak ini, di... entah lantai berapa. Tapi food areanya memang sangat nyaman dengan suasana pedestrian. Pilihannya nggak jauh-jauh dari mie/pasta sesuai selera remaja masa kini. Kali ini pasta/mie campuran a la Jepun & Italiano. Nama restonya beraroma Jepun, namun sajian makanannya lebih mengarah ke selera Italiano. Jangan tanya berapa biayanya... tapi pasti lebih murah dari hidangan makan malam saat pernikahan Anang Hermansyah dan Ashanty yang digelar di Shangri - La Hotel, Jakarta. 

Usai makan, kami sempatkan diri mampir ke toko buku Gramedia baru pulang menjelang jam 22.00.Bukan anak remaja tentunya kalau sudah puas dengan terpenuhinya hajat selera makan malam. Hari Sabtu, setelah sepanjang hari mereka menghabiskan waktu di rumah, sibuk dengan facebook dan twitternya, belum lagi turun isi makanan ke lambung... usai makan malam, mereka sudah ribut mengajak jalan keliling kota.

Setelah istirahat beberapa saat dan meminta mereka shalat Isya terlebih dahulu, maka pergilah kami berempat keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.
"Sate Padang yang enak di mana ya?" tanya anak gadisku.
"Hmmm.... katanya sih, ada di Jalan Radio Dalam. Sate Mak Syukur. Konon sangat terkenal. Baru selesai makan malam kok sudah mau makan lagi?"
"Kan sudah disisakan ruang buat sate padang...!", begitu jawab mereka. 

Huh..... itu perut kok nggak meledak diisi terus ya? Ampun deh.... anak remaja jaman sekarang...!


"Ayolah....! Jadi kita belok ke Radio dalam?", tanyaku. 

Kebetulan posisi mobil masih di depan Blok M Plasa. Jadi masih bisa dibelokkan arah ke jalan Radio Dalam melalui jalan Kyai Maja.
"Nggak ah.... cari tempat yang lain...!"
"Wah .... dimana ada penjual sate padang lagi?"
"OK, kalau begitu kita jalan ke arah istana ... lalu masuk ke memutar arah ke patung pak tani. Nanti masuk ke jalan Kramat Raya. Nah di situ banyak warung masakan Padang a la Kapau. Semoga ada sate Padang. Kalau nggak ada, itu namanya bukan rejeki".

Maka ... ditemani dengan keributan-keributan kecil antara anak - keponakan dalam mencari pemancar radio, kami menyusuri jalan Sudirman -  MH Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - Juanda - Veteran - Merdeka Utara - Merdeka Timur - Patung pak tani - Kwitang..... 

Suami, entah karena menikmati perjalanan, sebal mendengar kemauan remaja yang seringkali berubah-ubah atau mungkin juga malah agak mengantuk, mengendarai mobil perlahan sekali hingga akhirnya kami tiba di  jalan Kramat Raya. 


Mobil dijalankan perlahan sambil melihat adakah penjual nasi Kapau yang sekaligus juga menjual sate. Oups...... untung ada satu warung ... dan ke sanalah kami turun dari kendaraan dan pergi memesan sate Padang dan juice alpukat. Seperti biasa.... kalau sudah memutuskan untuk makan di warung pinggir jalan, jangan berharap akan menemukan kebersihan dan kenyamanan. Pikirkan saja rasa makanannya. Dan yang satu ini, .... dijamin hampir selalu enak. Kenapa....?

Warung pinggir jalan dimasak oleh tangan-tangan trampil "asli dari sononye" kata orang Betawi. Takaran bumbu-bumbunya diracik sesuai petuah dan ajaran orang tua2. Kalau suatu masakan harus mempunyai rasa pedas .... maka begitulah dia dimasak dengan banyak bumbu dan cabai giling.Ini tentu berbeda dengan masakan tradisional a la resto terkenal, dimana bumbunya sudah dimodifikasi sesuai dengan "target market" nya. Maka masakan Padang bisa saja hanya "berani" warnanya ... tapi rasanya sudah "manis", supaya masyarakat non Sumatera Barat bisa turut menikmatinya. Persis seperti masakan di rumahku. 

Kalau adik ibuku yang seleranya sudah terbentuk sejak kecil terhadap masakan Minang yang diolah oleh "tangan asli" berkunjung dan makan di rumah, wajahnya selalu memberengut dan langsung pergi ke dapur mencari tambahan cabe sambil menggerutu....
"Masakan padang gaya mana lagi nih? Manis semua...". 
Begitu selalu komentarnya. Memang, cabe yang digunakan untuk masakan Padang di rumah kami sudah banyak dikurangi, supaya suamiku yang bukan berasal dari Sumbar bisa ikut menikmatinya. Berbeda dengan sate mak Syukur yang berwarna kuning kunyit dan pedas nylekit atau sate Sederhana Lintau di Cinere yang kuahnya juga berwarna kuning tapi ada cacahan kacang, sate padang a la Kapau ini kuahnya agak kemerahan dan so pasti ... lebih pedas. Apa boleh buatlah ..... Sudah kadung pesan...!


Ada persamaan makan di warung dengan resto/cafe modern yang ditujukan untuk golongan masyarakat kelas menengah dan atas yang nyaman. Di kedua tempat, kita bersantap dengan ditemani musik. Bedanya.... musik di cafe/resto bunyinya lembut dengan ketukan irama yang teratur .... Penyanyinya anggun dan wangi. Sementara di warung amigos, pemusik datang silih berganti. Bernyanyi dengan suara serak-serak tak sampai. Lebih sering fals dengan irama asal jadi yang keluar juga dari alat musik asal comot. Lagupun terkadang hanya satu atau dua bait. Tergantung kebaikan hati tamu yang sedang bersantap. Kalau si tamu bermurah hati mengulurkan selembar kertas, maka lagu bisa berhenti seketika atau bersambung.

Soal apakah lagu berhenti seketika atau bersambung itupun tergantung baik dari si tamu atau penyanyi. Kalau penyanyi bersuara nyaring menyakitkan kuping apalagi nyanyiannya fals, maka si tamu cepat-cepat mengeluarkan uang agar penyanyi segera menyingkir. Dengan demikian, selera makan tak patah karenanya.Tetapi kalau suara penyanyinya bagus dan iramanyapun benar... bisa jadi, si penyanyi diminta menyanyikan lagu lainnya dengan bayaran tentunya bertambah. 


Seringkali karena tidak memiliki lembaran uang "kecil", kita mendiamkan si penyanyi. Kalau sudah begini, maka lirik lagu seketika akan berubah .... menyindir kita yang sedang makan... Hadoohhh ...... Dilematis deh! Sayang .... dari berbagai tempat warung amigos, belum pernah terlihat penyanyi yang cantik/ganteng, bersih dan wangi


Berapa sih mereka dibayar....? Jangan bandingkan dengan Siti Nurhaliza atau KD yang bintangnya mulai meredup. Tapi tentu jauh kalah dengan bayaran Aris. Masih ada yang ingat nggak ya...? Aris adalah pengamen yang menjadi salah satu pemenang kontes Indonesian's idol beberapa tahun yang lalu, yang keblinger usai dia memenangkan kontes penyanyi a ala Amrik itu.

Begitulah.... mungkin karena merasa suamiku memberi "di atas tarif normal" .... (tapi ngomong-ngomong berapa sih tarif normal untuk pengamen?), maka pengamen silih berganti mengunjungi warung tempat kami makan... Walhasil.... makan menjadi tidak nikmat lagi karena...... di samping para pengamen, muncullah bocah-bocah dekil berumur kita-kira antara 3 sampai 8 tahun mengerubungi meja makan kami meminta uang....Astaghfirullah ...... Bukan karena keengganan untuk bersedekah. 

Tapi kehadiran anak-anak itu memang mengganggu dan membuat kami kehilangan selera makan ... Bagaimana mungkin kami menikmati makan malam dengan nyaman di hadapan muka-muka dekil itu. Bukan hanya satu orang, tetapi lebih dari 5 orang sehingga pemilik warung yang merasa "tidak enak" terhadap tamunya, lalu mengusir mereka. Beruntung, sate di piring sudah tandas dan kami memang sudah bersiap untuk beranjak meninggalkan warung.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Anak-anak usia sekolah berumur 3 sampai 10 tahun masih saja terlihat berkeliaran di jalan raya hingga larut malam. Meminta-minta uang dari pengendara mobil/motor di perempatan jalan atau di warung-warung kaki lima.Anak-anak itu seharusnya sudah menikmati makan malamnya dan sedang lelap bermimpi. 

Sungguh terasa sangat tidak pantas melihat mereka masih saja berkeliaran di jalan. Entah mengapa orangtua mereka membiarkan anak-anak itu berada di jalanan terpapar oleh kekerasan kehidupan malam. Atau justru anak-anak itu menjadi "alat" bagi orangtuanya untuk memperoleh nafkah keluarga? Kemiskinan dan ketidakmampuan orangtua memang membuat anak-anak tidak mendapatkan haknya secara memadai. 

Hak mendapat perlindungan, sandang-pangan, pendidikan dan lain-lain. Sekolah gratis masih menjadi sebatas wacana, karena konon walaupun uang sekolah/SPP sudah dihapuskan, dan sekolah juga sudah menerima BOS yang bantuan operasional sekolah, pungutan-pungutan untuk kegiatan sekolah lainnya serta baju seragam masih saja enggan hilang dari daftar pengeluaran rutin orangtua. 

Betapa ironisnya... kala penyiar cantik di tv memberitakan kasus-kasus korupsi miliaran rupiah yang dilakukan oleh PNS - politisi - penguasa negara/daerah gede-termasuk juga para penegak hukum, hanya dalam radius 5km dari istana tempat presiden bermukim dan hanya sepelemparan batu dari komplek gedung megah Departemen Keuangan, belasan anak berumur 3 - 10 tahun mencari uang, menadahkan tangan-tangan lusuhnya pada pengunjung warung di sepanjang Kramat Raya.

Andai para pejabat tinggi itu suatu kali mau mengunjungi warung makan semacam ini secara incognito .... tanpa harus melakukan sterilisasi lokasi, tanpa pengawalan .... menjadi orang biasa ... Tentu para penguasa negeri serta para ahli yang jago analisa ekonomi tidak akan gegabah lagi menyatakan ...... Kemiskinan di Indonesia telah berkurang..... pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai sekian persen, di atas rata-rata pertumbuhan di negara Asean ....

reedited 7 Juni 2012

Rabu, 06 Juni 2012

MACET Euy....!!!

Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia sekarang dilanda kemacetan yang luar biasa. Bukan saja pada rush hour, saat penduduknya berangkat dan pulang kantor, tetapi sudah hampir sepanjang waktu. Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalan. Mobil, kendaraan umum yang sarat penumpumpang memenuhi jalan. Apalagi motor yang jumlahnya tak terhitung lagi memenuhi jalan.Hampir seluruhnya sama sekali tidak berniat mematuhi rambu lalu lintas. Saling serobot, dahulu mendahului tanpa etika sama sekali. 

Kemacetan parah yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, menurut saya, disebabkan karena sejak awal (akhir tahun 60an), pemerintah lebih menekankan pada pertumbuhan industri semu antara lain industri otomotif sehingga segala daya upaya diarahkan untuk meningkatkan produksi. Padahal, industri kendaraan bermotor memerlukan infrastruktur yang mampu mengakomodasikan pertumbuhannya yaitu membangun dan terus membangun ruas jalan. Apalagi Indonesia sama sekali tidak menganut "pemusnahan" kendaraan bermotor yang sudah tua, kecuali si pemiliknya sendiri yang secara sukarela memusnahkannya. Dengan demikian, konsep dan strategi transportasi masa (mass transportation - railways) tidak berkembang atau memang sengaja tidak dikembangkan. Akibatnya, lama kelamaan terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang luar biasa dan hasilnya terasa saat ini. Kemacetan juga yang luar biasa yang kita alami saat ini.

Pada tahun 2000, 12 tahun yang silam saat kami memutuskan "hijrah" dari Bekasi ke kawasan Jakarta Selatan, waktu tempuh dari rumah ke kantor di bilangan Blok M yang hanya berjarak + 8km dapat ditempuh dalam waktu 15 menit saja. sehingga, saya masih bisa menikmati matahari sore, saat kebetulan bisa pulang tepat waktu. Malam hari, masih sempat jalan-jalan dengan anak karena masih cukup sisa tenaga untuk itu.

Sekarang, jarak 8 km itu harus ditempuh dalam waktu minimal 1 jam. Sudah 4 kali lipat dan ini terjadi bukan saja pada saat rush hour, tetapi hingga jam 22.00, apalagi Jum'at sore. Bukan sekali dua, jarak 8km tersebut harus ditempuh dalam waktu 2 jam, bahkan hingga 3 jam. Sama dengan waktu tempuh Jakarta - Bandung (gerbang toll Buah Batu) sejauh +140km via jalan bebas hambatan Jakarta - Cipularang - Cileunyi.

Bayangkan... dalam kondisi seperti inipun, transportasi masa tetap dianaktirikan. Pertumbuhan/penambahan panjang jalur KA relatif tidak ada. Kalaupun ada hanya menambah jalur dari single track menjadi double track pada jalur-jalur yang sudah ada sejak jaman kumpeni dulu. Bahkan beberapa track yang berada Sumatera dan jalur menuju kota2 kecil di Jawa dan Sumaterapun banyak yang "dimatikan" dan jangan lagi berpikir untuk menghidupkan track di dalam kota Jakarta yang pada akhir tahun 50an s/d awal 60an masih dilalui trem. Itu sama saja dengan bermimpi di siang bolong. Padahal .... di banyak kota Eropa, trem, bus, taxi kendaraan pribadi dan bahkan dengan sepeda berjalan berdampingan digunakan masyarakat.

Masyarakat kebanyakan di Indonesia memang harus banyak mengalah pada segelintir orang berpunya yang memiliki kemampuan membeli mobil. Pemilik kendaraan pribadilah, terutama mobil, yang mendapat benefit terbanyak di jalan raya. Sudah mendapat subsidi BBM, ditambah lagi menjadi raja di jalan raya. Bayangkan saja.... kalau macet, jalan diperlebar, dibuatkan under pass, jalan layang dan bahkan jalan bebas hambatan. Pembenaranpun dicari.... karena mereka sudah membayar pajak kendaraan yang mahal sehingga layak mendapat pelayanan yang prima.

Rakyat biasa yang bosan dengan kemacetan dan terlalu lelah karena lamanya waktu tempuh dari rumah ke tempat kerja dan mahalnya biaya transportasi "dipaksa" berjejalan di dalam kereta api, bahkan hingga ke atap gerbong. Kalau punya modal sedikit berlebih, silakan beralih menggunakan motor. Apalagi kepemilikan motor begitu mudahnya. Cukup dengan uang muka 500 ribu saja, motor kredit sudah bisa dimiliki.

Maka.... lihatlah suasana jalan raya pada jam sibuk! Motor berebut jalan, saling salip, saling sikut... Siapa berani, dia menang... Keselamatan menjadi nomor sekian... Tak heran kalau angka kecelakaan motor bertambah banyak.

Lalu selesaikah problem transportasi dan kemacetan? Jauh panggang dari api....!!! Selama orientasi pemerintah masih kepada peningkatan sektor industri terutama peningkatan produksi otomotif, tanpa adanya "pengereman" jumlah pemakai kendaraan pribadi baik kendaraan beroda empat maupun beroda dua, maka problematika kemacetan tidak akan terselesaikan.

Industri memang harus tetap berkembang agar tenaga kerja tetap terserap. Tapi alangkah baiknya bila peningkatan produksi kendaraan jangan sampai menambah jumlah kendaraan di jalan. Seperti di negara-negara maju, usia kendaraan memang harus dibatasi dan kendaraan yang sudah tidak layak jalan "harus dimusnahkan". Salah satu cara adalah produsen otomotif "membeli kendaraan tua" yang jumlahnya sesuai dengan jumlah produksinya. 

Di samping itu, konsep transportasi publik harus diarahkan pada transportasi masa dengan membangun/menghidupkan kembali jalur/rail track di tengah kota yaitu trem atau membangun subway/metro atau monorail. Masyarakat harus didorong menggunakan kendaraan umum yang nyaman, aman dan murah. bukan didorong memiliki motor.

Rasanya, membangun jalan tol layang seperti jalan tol dalam kota Jakarta, membuat under pass atau jalan layang termasuk juga membebaskan lahannya, sama mahalnya dengan membangun transportasi massa tersebut. Jadi kalau dana pembangunannya sama mahal maka pembangunan sarana transportasi publik harus menjadi prioritas dan para pembuat kebijakan di negeri ini harus memiliki mengambil keputusan ekstrim --> berpihak kepada kebutuhan rakyat banyak dan mengurangi tekanan produsen otomotif. Jangan takut berbenturan dengan kepentingan para industrialis mobil. 

Rasanya ironis sekali .... Negara yang masih masuk dalam kategori negara berkembang ini malah menjadi incaran produsen mobil untuk memasarkan produknya. bukan sekedar kendaraan tingkat menengah, tapi bahkan hingga kendaraan mewah berharga milyaran rupiah.

Kebijakan industri otomotif ini sebetulnya hanya memperkaya Jepang saja. Coba tengok! Hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang di seluruh pelosok negeri ini adalah merek Jepang. Belum lagi pemborosan energi akibat BBM yang terbuang percuma karena kemacetan. Andai kita mau berhitung cermat dan mau melepaskan diri dari "jeratan" para industrialis otomotif ... niscaya akan selalu ada jalan untuk mendapatkan investor serius untuk membangun jaringan subway, trem atau monorail. Syarat lainnya, tentu saja ada kepastian hukum, keamanan berinvestasi and last but not the least .... Jangan ada John toel dan mark up biaya.

Sanggupkah kita?
reedit 6 Juni 2012

Sabtu, 02 Juni 2012

Duka di Hari Pengumuman Hasil UN SMP

Hari ini, Sabtu 2 Juni 2012 adalah hari pengumuman hasil Ujian Nasional tingkat SMP se Indonesia. Hasilnya tidak lagi mengejutkan karena sejak tanggal 1, resume hasil ujian tersebut sudah tersebar di dunia maya. Terlebih lagi untuk DKI Jakarta yang hanya menyisakan 1 siswa yang gagal dalam UN. Itupun konon kabarnya karena yang bersangkutan tidak mengikuti ujian akhir. Jadi.... kalaupun anak-anak berdatangan ke sekolah dan konon pula diwajibkan hadir mendengarkan pengumuman hasil ujian, tentu hanya merupakan seremoni saja.

Begitulah keadaannya, maka Jum'at sore, anakku memberikan surat pemberitahuan dari sekolah bahwa siswa wajib hadir mendengarkan pengumuman hasil ujian dengan disertai imbauan, sekiranya orangtua berkenan hadir.

Sayangnya, kami tidak dapat hadir. Suamiku sudah lama berniat hadir dalam acara pernikahan kolega mudanya (lebih tepat "anak", karena aku yakin, usianya seumur anak pertama kami) yang lokasinya nun "di ujung" utara Jakarta, alias Jakarta Utara. Di salah satu wilayah yang bernama Semper. Biasanya orang akan senang hadir bila acara resepsi pernikahan diselenggarakan di gedung pertemuan kelas atas yang mewah dan ber AC, namun jarang yang berkenan hadir bila diselenggarakan di perumahan apalagi perumahan yang letaknya di pelosok kota.

Aku sendiri, seperti biasa, "merasa wajib" hadir di IF, yang dulu dikenal sebagai CCF, untuk meluruskan otak yang sudah keriting sepanjang hari kerja. Apalagi karena Jum'at tanggal 1 Juni itu, lalu lintas di Jakarta Selatan, sejak pagi saat berangkat kantor hingga sore selewat maghrib saat pulang kantor, sedang kacau balau, bikin stress berkepanjangan. Jadi bertambahlah alasan untuk merasa wajib hadir di IF. Maka... dengan sangat menyesal, aku membalas SMS dari guru bantu di kelas anakku, bahwa kami tidak hadir pada acara pengumuman tersebut.

Tadi pagi, dalam perjalanan ke IF, anakku kirim pesan melalui BB, yang berisi adalah nilai ujiannya. Padahal .... waktu pada saat itu belum lagi lewat dari jam 09.00. Jadi, aku yakin, dia masih berada di rumah dan nilai ujian tersebut sudah diperolehnya dari web site Depdiknas. Tapi biarlah ... anak2 pasti ingin melampiaskan kegembiraannya bersama teman sekelas. Maka, berangkatlah si anak, diantar bapaknya, dalam perjalanan menuju Semper dengan kesepakatan, aku wajib menjemputnya di sekolah setelah selesai acara di IF sekitar jam 13.00.

Tepat jam 12.45, aku sudah berada di pelataran sekolah, Sudah agak sepi dan satpam sekolah menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak sudah pulang. Namun karena sudah janji, maka kutelpon anakku, memberitahu bahwa aku sudah menunggunya di tempat parkir.

Sekitar 10 menit kemudian, anakku masuk mobil dengan raut muka yang agak kurang menyenangkan.
" Ada apa non....? Lulus, kok malah murung...?"
"Itu ma... Audi"
"Ya .... kenapa..? Kan semua anak lulus... apalagi yang perlu dibuat sedih?"
"Nah, itulah..! Kami juga nggak ngerti... Tadi dia datang sama bapaknya. Wajahnya murung ... trus waktu kami tanya kenapa, eh dia malah nangis...!"
"Mungkin ada musibah di keluarganya?"
"Musibah sangat besar.....!!!"
"Ada apa..?
" Ibunya marah besar karena hasil UN-nya cuma 34. Padahal mau ibunya, dia harus dapat minimal 36 supaya bisa masuk SMAN yang diinginkan ibunya, dan SMAN itu mematok nilai UN segitu untuk dapat diterima di situ."
"Ah.... masih ada SMAN lain .... memang apa istimewanya SMAN itu?"
"SMAN favoritlah.... apalagi, kalau bukan itu?"
"Masuk SMAN favorit bukan jaminan masa depan yang cerah. Setiap anak bisa punya masa depan yang sama cerahnya, dimanapun dia sekolah. Lebih tergantung pada kualitas anak dan kehidupan/kecakapan sosialnya. Tidak semata-mata dari kemampuan akademis. Percaya deh..."
"Tapi ibunya marah-marah, malah dia dibilang anak yang nggak ada gunanya..."
"Astaghfirullah ......."

Aku tercenung... sedih, prihatin mendengar cerita anakku.... Di hari yang sebetulnya sangat membahagiakan ini ada seorang anak yang menangis karena ibunya mengatakan dia sebagai anak yang tidak ada gunanya. Hanya karena si anak memperoleh nilai ujian 34 koma. Si anak tidak berhasil mencapai nilai UN 36 yang berarti rata-rata 9 sebagaimana keinginan si ibu. Ibu yang konon merasa sudah mengorbankan banyak uang untuk membiayai pelajaran tambahan berupa les-les dan bimbingan belajar di luar sekolah. Padahal... dengan pencapaian 34 koma itu, si anak sudah memperoleh nilai ujian rata-rata di atas 8,5. Jauh di atas batas kelulusan siswa. Apalagi yang kurang....?

Masih banyak cerita anakku tentang temannya tersebut terutama tentang kehidupan keluarganya sebagaimana yang seringkali dikeluhkannya. Cerita yang rupanya sudah menjadi rahasia umum.
***

Penerimaan siswa baru tingkat SMP Negeri dan SMA Negeri selalu mensyaratkan nilai ujian tertentu sebagai passing grade. Itu bisa diartikan bahwa secara tidak langsung "anak-anak kurang pintar" tidak berhak mendapat sekolah yang "baik dan berkualitas". Mereka sudah divonis sejak awal oleh segolongan orang yang kepadanya selalu ingin disebut sebagai "pendidik". Lagipula, apa definisi serta kriteria "sekolah yang baik dan berkualitas" di negeri yang segalanya ingin hasil yang serba instant ini?

Itukah arti pendidik? Yang sejak awal sudah memilah-milah murid berdasarkan "otak"nya, sementara secara bisik-bisik, hasil kerja otak pada saat Ujian Nasional itupun sudah disusupi oleh kunci-kunci jawaban yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Aku bersyukur bahwa sekolah anakku dipujikan sebagai sekolah yang bersih dari praktek sejenis itu. Maka ....pendidikkah namanya yang "mengajarkan" anak muridnya "mensiasati" ujian nasional dengan cara memberikan kunci jawaban hanya untuk alasan agar sekolahnya "dipandang" sebagai sekolah dengan hasil ujian yang tinggi. Padahal ... praktek seperti itu sama juga dengan mengajarkan anak perilaku yang sangat tidak terpuji .... Perilaku yang akan membekas di dalam sanubari si anak. Kelak di kemudian hari, saat terjun di masyarakat, bukan tidak mungkin "bekas" itu akan tercermin dalam perilaku umum sebuah generasi. Sebuah generasi yang kehilangan orientasi akan nilai kebenaran dan kejujuran.

Padahal.... coba lihat dan baca buku-buku biografi orang-orang ternama .....!!! Mereka
umumnya adalah orang-orang yang seringkali meninggalkan bangku sekolah/kuliah entah karena memang tidak mampu bersekolah karena kemiskinan atau karena mereka malah menganggap bahwa sekolah/kuliah membelenggu jiwa/kebebasan berekspresi dan mengungkung imajinasi. Namun yang pasti, mereka yang berhasil adalah orang-orang yang memiliki semangat pantang menyerah  dan visi yang jauh melampaui batas dinding sekolah. Kesemuanya ini belum tentu bisa diperoleh dari sekolah. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya selain sekolah .....

Ah, ya.... ada juga tuh .... Visi dan semangat pantang menyerah yang diperoleh dari sekolah....! Dari seorang guru sederhana di SD Muhammadiyah yang hampir roboh di Belitong. Dan itupun, hanya berdampak kepada Andrea Hirata semata .... Jadi, masa depan dan keberhasilan anak tidaklah semata ditentukan oleh "otak"nya...

Orang tua, sistem pendidikan, sistem penerimaan siswa di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Masih segar dalam ingatan... peristiwa 1 tahun yang lalu di Surabaya. Seorang anak SD dan orangtuanya dihujat, dikucilkan dan kemudian diusir dari lingkungan hanya karena mereka melaporkan kecurangan yang dilakukan sekolah saat ujian nasional. Sekolah dan orangtua murid berang karena "kebenaran" yang diungkapkan keluarga tersebut. Itulah potret sebagian pendidikan di Indonesia, kala nilai ujian menjadi berhala baru ....
***

Teman anakku mungkin sudah menerima kenyataan dan sadar bahwa kemarahan ibunya disebabkan karena "pengorbanan materi" yang sudah dilakukannya tidak sepadan dengan hasil yang diberikannya. Tapi, dia juga sama tidak mengertinya, mengapa hasil 8,5 yang diperolehnya tidak memuaskan ibunya, sementara sebagian besar teman lainnya hanya mendapat nilai di bawah 34. Dan mereka masih bisa bergembira dan merayakan kelulusannya di tengah ke dua orangtua mereka.

Remaja itu mungkin belum sepenuhnya mengerti bahwa masa depan dan karirnya nanti tidak semata-mata ditentukan oleh hasil ujian SMPnya hari ini. Ini baru sebagian kecil dari perjalanan hidupnya dan proses yang harus dilaluinya menuju masa depan. Jalan menuju masa depan yang masih sangat panjang....., dan yang pasti dia masih butuh uluran kasih sayang, dukungan, dorongan orangtua terutama ibunya dan tentu saja bantuan biaya sekolah.

Anak adalah titipan yang dipercayakan Allah SWT kepada sepasang manusia yang berlabel orangtua. Mereka tidak pernah minta dilahirkan, sebaliknya orangtualah yang menginginkan kehadirannya. Maka ... menjadi kewajiban orangtualah untuk "mengurusnya" dengan baik dan penuh kasih sayang. Bukan dengan perhitungan untung rugi atau berdasarkan azas manfaat.

Kalau hanya karena nilai UN SMP setinggi 34 saja dia sudah dimaki (ah... kok bahasanya kasar sekali...?) sebagai anak tak berguna ...., maka maro kita doakan semoga Allah SWT tidak mendengar ucapan ibunya itu .... Semoga malaikat-malaikat lupa mencatat ucapan sang ibu .... Jangan sampai ucapan ibu yang seringkali dianalogikan sebagai "doa" buat anak, terjadi.....! Agar anak itu tidak patah semangat. Agar dia tetap mendapat kesempatan membuktikan diri sebagai anak yang berguna dan mampu memberikan kebanggaan bagi orangtuanya. Karena, aku tahu ... anak itu sungguh manis budi dan pandai ....

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...