Senin, 19 November 2012

CATATAN KECIL PERJALANAN WISATA



bordir karya murid Hj Rosma
Perjalanan wisata keluarga ini sudah direncanakan sejak bulan Mei 2012 yang lalu, saat kami berenam pergi mengunjungi maktuo, kakak perempuan (tertua) almarhumah ibu kami yang tinggal di Lirik - Riau.

Anak dan keponakan kami memang jarang melewati liburan bersama. Selalu ada alasan yang dibuat ... Apalagi jarak usia memang relatif jauh. Dari yang tertua berumur hampir 30 tahun hingga yang terkecil berumur hanya 8 tahun. Selera pasti sangat berbeda, jadi memang akan sukar menyatukannya. Sayangnya ... atau malah beruntung, yang tertua dan sudah menikah tidak tinggal di Jakarta, sehingga tinggal mengatur jadwal libur 11 anak & keponakan lainnya yang tinggal di Bandung dan Jakarta.


Adikku sudah menjadwalkan long week end 1 Muharam 1434H yang jatuh hari Kamis 15 November 2012 dengan perkiraan hari Jum'at 16 November 2012 akan menjadi libur bersama yang resmi ditentukan pemerintah. Jadi kami akan melewati libur bersama sejak hari Kamis hingga Minggu pagi.

Anak-anak yang bersekolah pada hari Sabtu 17 November 2012 akan dimintakan ijin berlibur. Anakku yang tinggal di asrama dan bersekolah di tempat yg punya aturan ketat tentu tidak bisa sembarangan bolos sekolah. Maka .... kepastian berangkatpun baru bisa diperoleh sekitar 6 minggu sebelumnya, setelah ada pengumuman resmi jadwal liburan. Sebetulnya menjadi agak terlambat untuk merancang sebuah perjalanan wisata pada waktu yg dapat dianggap peak season.

Begitulah ...... 17 orang dipastikan berangkat ke Sumatera Barat, untuk melewati libur panjang akhir minggu, Kamis tanggal 15 November dan kembali ke Jakarta Minggu 18 November 2012. 6 orang berangkat langsung dari Bandung, 5 jam sebelum pesawat take off, yaitu jam 08.15. Jadi mereka sudah keluar rumah jam 02.30 dini hari .... 1 orang berangkat dari stasiun Gambir menuju Cengkareng dengan menggunakan bus Damri. Lainnya, yaitu 11 orang berangkat dari wilayah Jakarta Selatan. Beruntung, sudah dibantu city check in oleh Vivi sang pemilik biro perjalanan yg mengurus semuanya. Kepada anak-keponakan sudah dipesankan untuk tidak membawa baju terlalu banyak; hanya menggunakan backpack saja, supaya tidak membuang waktu untuk menunggu bagasi di airport kedatangan.
air tern lumbar anai

Setelah sempat terlambat 30 menit ... dan ini kecurangan Lion Air ..., supaya nggak kena peraturan menyediakan snack karena keterlambatan, maka tepat di menit ke 25, penumpang diminta segera boarding. Dengan demikian, penumpang menunggu cukup lama dalam pesawat.

Karena semua sudah "terpaksa" bangun dan menyiapkan diri lebih pagi, maka saat pesawat mengudara, semua jatuh tertidur. Ternyata ini merupakan blessing in disguise ......... Penerbangan Lion Air tenyata tidak menyediakan makanan dan minuman buat penumpang ... (hihihi ... norak banget nih gue ... nggak tahu kalo Lion Air jualan makanan/minuman). Kalau mata anak-keponakan itu semua melek, nggak terbayang gaduhnya mereka karena lapar dan haus. Nggak perduli bahwa sebelum berangkat, perut sudah di "tangsel" dengan roti yang cukup enak dan besar + fruit tea. 


Mendarat di Minangkabau International Airport, kami sedikit mencari-cari Aan, tour guide selama perjalanan kami di Sumatera Barat. Lelah menunggu karena keterlambatan pesawat, mungkin dia mencari tempat yang lebih nyaman untuk beristirahat.

Nggak apa ......, first impression ... orangnya OK punya ..., bus nya bersih dan nyaman. Ini jauh lebih penting daripada 5 menit menunggu.


Perjalanan hari 1 - 15 November 2012.

Dimulai dari Bandara Internasional Minangkabau, kami langsung menuju Bukittinggi dengan stop di beberapa tempat yaitu di Lembah Anai. Air terjun yang terletak di tepi jalan raya antara Padang - Bukittinggi lalu ke desa Minangkabau, atau lebih tepatnya adalah Pusat Dokumentasi dan Kebudayaan Minangkabau yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Lembah Anai, di wilayah Padang Panjang.
Pusat Dokumentasi & Kebudayaan Minangkabau
di Padang Panjang

Selepas dari kedua tempat, anak-keponakan yang sejak awal sudah menunggu acara makan di sate Mak Syukur, segera ribut menagih janji. Untung Aan cukup cekatan mengubah acara, mengingat perjalanan dan kelaparan berat yang sudah melanda, maka kami "digiring" menuju rumah makan pak Datuk di Padang Panjang, dengan janji acara makan sate diganti pada saat perjalanan menuju Padang, yaitu pada hari Sabtu.


Makan siang pertama di ranah Minang, sebagai mana setiap kali makan di RM Padang, selalu menggoda selera. Beruntung, walau ada di ranah Minang, sajian masakannya tidak terlalu pedas. Restoran di Minang rupanya sekarang sudah menyesuaikan dengan selera wisatawan. Apalagi sekarang sudah ada penerbangan langsung dari dan ke Malaysia.

Kenyang makan, shalat dan istirahat sejenak, kami dibawa ke toko Putri Minang .... untuk belanja bordir/sulam Minang. Rupanya ini kekhasan perjalanan wisata orang Melayu (Indonesia, Malaysia, Brunei) kemana saja mereka berwisata..... Acara belanja menjadi keutamaan, padahal .... sungguh mati, aku nggak menjadwalkan belanja, kecuali sekedarnya. Adikku, yang sedang mempersiapkan pernikahan anak sulungnya, memanfaatkan perjalanan ini untuk membeli persiapan pernikahan tersebut.
Jam Gadang Bukittinggi di pagi hari

Kalau tidak salah ada 2 tempat sulam/bordir yang kami singgahi sampai akhirnya kami tiba di Bukittinggi untuk check ini di hotel kecil di tengah kota. Grand Kartini namanya ... kecil, cuma 20 kamar namun cukup nyaman dan bersih. Ini yang penting....!! Perjalanan wisata itu dilakukan sepanjang hari dan sangat melelahkan, jadi kita akan lebih banyak di luar kamar. Hotel ini terlihat masih baru.

Setelah istirahat sejenak, malam hari kami dijemput untuk makan malam. Sajiannya martabak Mesir dan nasi goreng/mie goreng a la Kubang - Bukittinggi. Sayang, sudah banyak menu yang habis .... Usai makan dan lelah, kami kembali ke hotel untuk istirahat..........


Hari ke 2 - 16 November 2012

Bangun pagi sekitar jam 05.00, usai shalat subuh, sambil menunggu waktu makan pagi di hotel, aku jalan ke Jam Gadang Bukittinggi.

Bukittinggi sudah tidak terlalu dingin lagi .... Jadi prediksi orang yang bilang kamar sudah nggak perlu AC lagi, nggak bener.... Lha sepanjang malam jendela kamarku nggak tertutup, aku juga tidur nggak pake selimut, tetap nggak berasa dingin.

Kawasan Jam Gadang di pagi hari Jum'at sekitar jam 06.30 belum terlalu ramai. Lalu lintas di kota juga masih relatif sepi. Tentu dibandingkan dengan Jakarta yang serba semrawut sepanjang hari sejak pagi buta hingga sangat larut malam.


Ada sekitar 20 orang dewasa sedang senam pagi... Selebihnya beberapa orang saja lalu lalang. Belum terlihat lagi anak-anak pergi sekolah ... Ah... tentu sangat berbeda dengan kesibukan kota besar.

Bendi alias delman,
masih jadi salah satu alat transportasi di Bukitinggi

Jam 07.15 setiba di hotel, kuambil lontong sayur khas Bukittinggi yang enak sekali, walau ada beberapa pilihan sarapan pagi lainnya. Saat wisata, tentu akan lebih baik kalau kita mencicipi masakan setempat dibandingkan dengan makanan standar seperti roti atau sereal.


Jam 08.15, kami berangkat menuju Payakumbuh dengan tujuan utamanya adalah Lembah Harau yang cantik. Namun sebelumnya kami mampir dulu di Pandei Sikek, pusat kerajinan songket yang sangat terkenal. Lagi-lagi kesempatan ini digunakan adikku untuk membeli songket sebagai salah satu bagian dari "seserahan"  si sulung kelak di hari pernikahannya kelak.

Selain kerajinan songket, Pandei Sikek juga terkenal dengan kerajinan kulit, yaitu sandal/selop. Persis seperti kerajinan kulit yang kita temukan di Yogyakarta, dan tentunya karupuk jangek alias kerupuk kulit.


Lembah Harau ....... the "Grand Canyon of Indonesia" .... Aku belum pernah lihat/mengunjungi Grand Canyon asli di Amerika, tapi ini adalah kunjunganku ke 2 kali di Lembah Harau.


Tak bosan rasanya mengagumi dinding batu (kapur?) tegak lurus yang diselang-seling dengan kehijauan daun. Rasanya memang tidak pernah akan bosan memandangnya ... Alamnya indah dan tenang. Udaranya tentu sejuk dan masih bersih .... airnya tentu saja sangat jernih.


Lembah Harau
 Mestinya kuhabiskan waktu 1 minggu untuk menginap di Harau, mendokumentasikan keindahan alamnya sejak terbit matahari hingga terbenamnya .... Tapi seperti biasa, angan-angan tetap jadi angan-angan dan karenanya akan selalu terasa indah dalam angan-angan. Aku yang penakut, pasti tidak akan berani tidur di tengah hutan atau di tempat yang sangat sepi.

Adikku yang penyuka dan mengkoleksi anggrek alam, segera menjelajahi penjual tanaman di sekitar air terjun utama di lembah Harau mencari jenis-jenis anggrek yang belum dimilikinya.


Dari Harau, sebelum makan siang, para lelaki diantar shalat Jum'at dulu, sementara para perempuan yang hanya 5 orang menunggu di Kiniko. Ini adalah salah satu sentra pengolahan pasca panen kopi. Disini kami mencoba teh daun kopi dan daun murbei sambil makan pisang goreng. Juga membeli kopi dan kripik kolang-kaling. Daun kopi kering kalau dibuat jadi infusion, yaitu daun kering yang diseduh air panas, rasanya seperti minum air cincau. Ditambah sedikit gula ... minum hangat ditemani pisang goreng .... Onde..... lamak bana....!!!
Menuju ke luar Lembah Harau

Usai para lelaki menunaikan shalat Jum'at, kami mencari tempat makan dulu di Batusangkar. Menunya tetap menu Minang yang mengundang selera tetapi sudah "disesuaikan" dengan lidah pendatang. Tidak terlalu pedas ... Jadi rombongan kecil yang terdiri dari berbagai daerah asal orangtuanya (Minang - Jawa - Sunda - Betawi) tetap bisa makan dengan nikmat.

Restoran Flora di Batusangkar menjadi tempat kami bersantap. Resto didirikan di atas "tabek" alias tebat ... Ini bahasa kunonya kolam ikan .... Tetap heboh mengikuti maunya para remaja yang sedang tumbuh. Menu tambahan ..... pasti ada macam-macam juice. Minimal akan ada pesanan Juice alpukat, es jeruk dan juice sirsak.

Usai makan siang dan shalat dhuhur, qasar/jama' perjalanan dilanjutkan untuk mengunjungi Istano Baso Pagarruyung, Sayang istananya masih dalam tahap renovasi sehingga kami hanya bisa mengambil foto dari luar saja. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke danau Singkarak.

Apa yang khas dari danau Singkarak selain luasnya?

Istano Baso Pagarruyung
Ikan Bilis .... entah ikan jenis apa yang dikenal sebagai ikan bilis ini. Buat orang awam, ikan bilis tidak berbeda dengan ikan balita atau anak ikan nila yang sering kubeli di Lotte Mart Ciputat. Tapi untuk penyuka ikan bilis, mereka tentu akan ngotot bahwa ikan bilis memiliki rasa yang khas.

Ikan bilispun ternyata ada 2 jenis... Bilis asli SIngkarak dan ikan bilis yang berasal dari  SIbolga. Mungkin diambil dari danau Toba. Ukuran ikan bilis asal Sibolga  sedikit lebih besar. Harganyapun berbeda sekitar 20%. Tentu bilis asli SIngkarak lebih mahal. Jadilah kami membeli bilis hampir 7kg untuk oleh-oleh keluarga. Kan peserta wisata ada 6 keluarga. Nah yang 1 kg lagi oleh2 adikku untuk kolega kantornya di Bandung.

Hari sudah menjelang sore saat kami meninggalkan danau Singkarak. Oleh-oleh sudah dibeli sebagian, maka saat lelah menjelang, maka restoran menjadi salah satu tujuan mengisi perut.

Tujuan kali ini adalah resto Kapau .... Makanan khas Bukittinggi yang warnanya merah dan puedeeeessss. Kali ini para remaja yang sok tahu ini "terkapar" disengat pedasnya masakan Kapau dan rame-rame minta ganti gulai ikan a la Kapau dengan ayam pop yang "nggak ada rasa". Rasain .............!!!

sudut lain danau Singkarak


Setelah perut kenyang, badan lelah ......... kami kembali ke hotel dengan "janji" bertemu di lobby hotel 1 jam kemudian untuk menikmati Jam Gadang di waktu Malam, lalu cari sate padang dan penasaran dengan yang namanya es tebak ... Melepas hasrat dan angan menikmati sate padang asli di tempatnya.

Hari ke 3 - 17 November 2012
Pagi ini, kami meninggalkan Bukittinggi untuk menuju Padang.

Hujan mengguyur Bukittinggi sejak dinihari. Rencana ke Benteng Fort de Kock, mencuri waktu sebelum naik bus, tetap dijalankan oleh beberapa orang, dengan menerobos gerimis.


Tujuan utama hari ini adalah danau Maninjau sambil "mencicipi" kelok 44 yang terkenal dan sudah tentu Sate Mak Syukur di Padang Panjang.


Sebelum meninggalkan Bukittinggi menuju Maninjau, kami berencana untuk photo stop dan menjelajah gua Jepang di tempat wisata (pemandangan) Ngarai Sianok. Namun hujan masih mengguyur kota sehingga saat kami lewat,  tempat wisata ini masih sepi sehingga bus langsung menuju Maninjau.


Pemandangan indah desa Matur langsung menyergap mata... Pemandangan sawah hijau dilatar belakangi oleh bukit hijau dengan beberapa spot rumah gadang, sangat indah. Tidak kalah indah dengan pemandangan di sepanjang sungai Rhein-Jerman dan desa-desa di Switzerland. Kalaupun ada perbedaannya, maka perbedaan kehidupan dan status sosial saja yang kental terasa.
Jam Gadang di waktu malam.

Indonesia masih termasuk negara berkembang sementara Switzerland dan Jerman sudah masuk negara maju dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang sangat tinggi. Kondisi ini tentu sangat mempengaruhi kondisi bangunan dan taraf hidup masyarakat negara-negara ini.

Hujan yang terus turun menyebabkan pandangan ke arah danau Maninjau tertutup kabut. Agak sia-sia juga kami menunggu kabut hilang. Setelah menikmati cappucino dan cendol labu, akhirnya diputuskan kembali ke Bukittinggi untuk melihat Ngarai Sianok dan menyusuri gua Jepang. Masih ada cukup waktu untuk jadwal melihat sunset di pantai Padang.

Aku agak malas turun ke gua Jepang ... suasana biasanya pengap dan lembab. Jadi kuputuskan menunggu di bus, sampai waktu menjemput mereka di mulut keluar gua.



Dalam perjalan menuju Padang, kini tiba waktu makan siang yang ditunggu-tunggu .............. SATE MAK SYUKUR di Padang Panjang .... Restonya penuh orang silih berganti. Kerepotan melayani pengunjung menyebabkan kebersihan resto agak kurang terperhatikan. Meja terasa lengket, dan lantai terlihat kurang bersih,

Remaja kalap rata-rata menghabiskan 2 porsi sate. 1 porsi dengan katupek alias ketupat ditambah satu porsi sate tok, setelah sebelumnya menghabiskan 1 kaleng karupuk jangek alias kerupuk kulit yang lebarnya sekitar 15x15cm.

Dalam perjalanan menuju Padang, remaja-remaja inipun ribut mencari durian alias duren, Padahal Sumatera belum memasuki musim durian. Untung sempat juga bertemu dengan pedagang duren di LA .... alias Lubuk Alung ... Jadi bisa mencicipi 7 buah duren.

pandangan ke arah danau Maninjau

Padang ......... adalah nostalgia. Orangtuaku pernah bertugas dan karenanya tinggal di kota ini selama + 2 tahun yaitu 1976 - 1978. Mereka menempati rumah di jalan Veteran no 10. 2 orang adikku sempat bersekolah di SD St Agnes. Sayang rumah yang semula "diincar" untuk dijadikan latar foto bersama sudah hilang tak berbekas. Tertutup oleh bangunan milik BNI yang konon kabarnya digunakan selama kantor wilayah BNI direnovasi pasca gempa. Memang rumah yang kami tempati adalah rumah dinas BNI.


Sebelum menikmati sunset di pantai Purus dan makan malam, kami mampir di toko oleh-oleh Shirley. Bukan Christine Hakim yang biasa dikenal orang. Ragam kripik singkong Balado, kripik kentang dan lainnya yang menjadi oleh-oleh khas Padang mengisi dus untuk oleh-oleh keluarga dan teman serta T shirt untuk keponakan yang ikut serta dalam perjalanan wisata ini.

Jadi...... lengkaplah sudah oleh-oleh dibeli untuk keluarga di rumah. Sayang karena jumlah pesertanya cukup banyak, banyak pula yang harus dibeli sehingga aku agak panik, bagaimana menangani jumlah dus dan tas pakaian kotor yang harus masuk bagasi. Sementara keberadaan remaja-remaja konyol untuk ikut menangani barang bawaan betul-betul tidak bisa diharapkan.
Beruk di Ngarai Sianok

Pantai Purus ...... entah berada dibagian mana dari pusat kota Padang. Ramai dikunjungi orang saat rembang petang menjelang. Semua dengan satu tujuan ........ menikmati sunset. Padang terlihat sudah mulai pulih dari kerusakan saat terjadi gempa sekitar 3 tahun yang lalu walau disana-sini masih ada bangunan yang belum direnovasi.


Makan malam di Pantai Samudera dengan menu seafood a la masakan Padang yang rasa pedasnya cukup ringan, bisa disantap oleh seluruh peserta. Ikut bergabung di sini oomku yang memang tinggal di Padang sejak tahun 1976, yaitu berbarengan dengan kepindahan orangtuaku ke Padang.

Hujan mengguyur kota Padang saat kami kembali ke hotel. Sebetulnya ada banyak obyek fotografi yang menarik di kawasan Pecinan dan beberapa bangunan lama peninggalan Belanda. Namun hujan yang lumayan deras tidak memungkinkan untuk melakukan photo stop. Apa boleh buat.... Mungkin aku memang harus datang lagi ke Padang. Entah kapan.........

Hari ke 4 - 18 November 2012.

Makan pagi di hotel kecil yang lokasinya tidak jauh dari hotel Ambacang, sudah bisa dilayani sejak jam 05.00. Hotel di Padang rupanya sudah menyesuaikan dengan pola keberangkatan tamunya yang harus segera check ini di bandara di pagi hari. Menunya lumayan .... ada lonsay alias lontong sayur .... oups.... makasuiknyo katupek sayur ala Padang, mie goreng ... ketan kelapa, pisang goreng dan roti ......


Ada yang masih ingat hotel Ambacang...? itu lho... hotel yang rontok saat gempa besar 3 tahun lalu dan mengakibatkan banyak tamunya terkubur hidup-hidup.
sunset di pantai Purus - Padang

Kini di bekas lokasinya sudah berdiri megah hotel Axana. Semoga struktur bangunan Axana, tidak serapuh Ambacang, mengingat wilayah sepanjang pantai Sumatera bagian Barat adalah wilayah yang sangat rawan dengan gempa tektonik.

Perjalanan dari hotel ke airport tenyata memakan waktu hampir 1 jam. Beruntung Vivi sudah membantu melakukan Check ini dari Jakarta. Jadi hanya tinggal ambil boarding pass, check in barang dan bayar airport tax saja.  Nyaris ... karena begitu kami masuk ruang tunggu, separuh penumpang pesawat sudah boarding.

Akhirnya ............ alhamdulillah, kami tiba dengan selamat di rumah setelah 4 hari meliburkan diri dari hiruk pikuk Jakarta.

*****

Apa yang bisa disimpulkan dari perjalanan wisata ke wilayah Sumatera Barat, walau belum semua obyek wisatanya kami jelajahi dan kunjungan inipun hanya menyentuh "kulitnya" saja.


Alam Indonesia sangat indah, tidak kalah dengan obyek wisata di luar negeri ... Atau paling tidak, cukup bisa bersaing dengan keindahan alam di Switzerland, misalnya. Indonesia punya pantai yang indah dengan gelombang tinggi untuk surfing ... lalu keelokan laut untuk diving dan snorkeling ....Kita mesti percaya diri. Masing-masing punya kelebihannya. Budayanya tidak kalah menarik ... lagu/musik tradisional, tarian, pakaian adat, rumah tradisionalnya dan pasti banyak lagi kelebihan yang seharusnya bisa menjadi daya tarik wisatawan
jumping

Itu dari sisi kelebihannya, Tentu tidak adil kalau kita hanya melihat kelebihannya. Pasti ada kekurangannya. Nah kekurangannya ini lebih banyak pada KENYAMANAN bagi wisatawan
terutama dari sudut informasi wisata, transportasi, fasilitas pendukung dan kebersihan.

Kecuali di Bali, kita jarang atau bahkan hampir tidak pernah menemukan kios informasi wisata di suatu daerah. Di negara maju, informasi wisata yang berisi peta kota, peta tujuan wisata, daftar rumah makan, hotel,  transport kota (bus atau alat transportasi kota lainnya) akan dengan mudahnya ditemukan di bandara, stasiun KA/bus, di Mall dan sudah pasti di lobby hotel termasuk juga penawaran paket wisata lokal (city tour) dan berbagai kegiatan budaya (musik, tarian, theater, pameran dll).


Alat transportasi umum yang ada di seluruh kota di Indonesia sangat kurang memadai ... Sudah kurang layak beroperasi, berdesakan. Sama sekali tidak ada informasi mengenai rute, lokasi halte dan jalur yang dilayaninya. Ini tentu menyulitkan wisatawan.



Yang terpenting buatku (terutama) adalah fasilitas toilet. Fasilitas penting dalam kegiatan alamiah, biologias manusian ini sangat minim. Kalaupun ada, pada umumnya berbau, kotor alias jorok tak terawat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di lokasi wisata, tetapi juga ditempat-tempat yang banyak dikunjungi misalnya restoran, tempat belanja, stasiun, bandara .... Bahkan di bandarapun, belum tentu kita menemukan toilet yang terawat bersih.
fly with Lion Air

Hal ini mungkin menunjukkan tingkat kehidupan sosial masyarakat. Kita harus berbesar hati mengakui bahwa masih terdapat perbedaan tingkat kehidupan sosial masyarakat yang sangat lebar. Ada yang "menuntut" kebersihan dan kenyamanan yang prima, tetapi sebagian besar belum peduli ...

Aku memang jarang menggunakan terminal 1 dalam berbagai penerbangan. Baru saat liburan inilah kuperhatikan betapa terminal 1 Bandara "Internasional" Cengkareng terasa kumuh dengan kusam, Berbeda dengan Terminal 2, yang suasananya lebih cerah dan "mewah". Ada toilet yang bersih, bernuansa lebih modern, maka di terminal 1 semua serba "seadanya". Karena terminal 1 hanya melayani penumpang penerbangan domestik? Bisa jadi .........


Inilah sedihnya jadi bangsa Indonesia, ternyata fasilitas kita sebagai "yang punya rumah" dibedakan dengan fasilitas untuk orang asing dan INI dilakukan oleh bangsanya sendiri





Kamis, 08 November 2012

BELAJAR MANDIRI

4 bulan ini anak gadisku tinggal di asrama sekolah dan karenanya di hari kerja, kami hanya tinggal berdua di induk rumah, di temani dengan tukang kebun dan assisten dapur serta anaknya yang masih bersekolah di kelas 2 SMK Grafika.

Sebetulnya, tidak ada perubahan berarti dalam kehidupan kami kecuali "hilangnya" anak kami selama hari kerja. Selain itu, tidak ada yang berubah karena masing-masing sibuk dengan kegiatan favoritnya yang pada umumnya berhubungan dengan gadget apakah itu laptop, android atau blackberry. Bahkan suara manusia "asli"pun jarang terdengar kecuali yang sudah tersaring melalui pengeras suara di televisi. Suara kucuran air di kolam ikan terdengar jauh lebih keras dibandingkan dengan suara kami. Seringkali hal ini dijadikan alasan untuk tidak saling berbicara karena suara kami sudah kalah bersaing.

Sebetulnya, tidak ada alasan khusus membiarkan anak kami masuk asrama. Kemanjaan yang bisa dianggap berlebihan masih dapat ditolerir. Anak kedua kami, seperti juga kakaknya, masing-masing hidup sebagai "anak tunggal" pada waktunya masing-masing.

Kalau mau jujur ... kami tentu lebih suka si anak tetap tinggal di rumah. Paling tidak, dia akan selalu menjadi daya tarik dan pengikat yang menyebabkan kami orangtuanya selalu ingin pulang lebih cepat dari kantor. Apalagi setelah si kakak meninggalkan rumah hampir 11 tahun yang lalu. Anak - anak adalah pengikat kehidupan rumah tangga orangtua. Mereka ada karena kehendak orangtuanya.

Tapi ... pada akhirnya kami harus menyerah... Mungkin lebih tepat dikatakan berkompromi.
Bukan .... bukan hanya orangtuanya saja, tetapi orangtua dan anak akhirnya harus berkompromi mengambil jalan tengah untuk sebuah pilihan bernama sekolah.
***

Begitu anak kami duduk di bangku kelas 9 alias kelas 3 SMP, perundingan mengenai SMA mana yang akan dimasukinya sudah dimulai. Sejak masuk taman bermain hingga SMP (saat itu) anak kami memang selalu bersekolah di sekolah swasta. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah karena sekolah swasta memulai pelajaran pada jam 07.30, sementara sekolah negeri pada jam 06.30. Jadi ada perbedaan 1 jam alias 60 menit yang lumayan panjang bagi anak kecil.

Selain itu, pada umumnya, sekolah swasta hanya belajar selama 5 hari dengan jam belajar yang lebih panjang dibandingkan sekolah negeri. 6 hari belajar, namun hanya sampai jam 13.00 saja. Jadi masih banyak waktu luang yang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar bisa menimbulkan ekses yang buruk.

Perubahan hari dan jam kerja di Jakarta menjadi 5 hari kerja hingga jam 17.00 tentunya sangat cocok bila si anak juga bersekolah yang menerapkan 5 hari belajar. Jadi anak dan orangtua bisa memanfaatkan 2 hari di akhir pekan bersama.

Maka, pada saat kami menawarkannya untuk masuk SMA negeri sebagaimana pilihan beberapa temannya sebagai persiapan ikut ujian masuk PTN, anakku menolak dengan tegas. Rumor perilaku bullying dari senior kepada yunior di sekolah negeri rupanya sudah menjadi rahasia umum. Namun bukan berarti dia juga mau menerima usulan kami untuk masuk SMA swasta baik yang beraffiliasi keagamaan maupun yang sekuler yang lokasinya masih dalam jangkauan kendaraan umum dan mudah dicapai. Rupanya, pilihannya sudah mantap ... yaitu sekolah yang sekarang dimasukinya.

Yang jadi persoalan.... jarak SMA favoritnya lumayan jauh dari rumah kami. Jarak 16km di Jabodetabek akan relatif menyiksa dan melelahkan apalagi bila ditempuh pada peak hour pagi dan sore hari. Bayangkan saja ... kantorku yang hanya berjarak 8km saja dari rumah harus kutempuh dalam waktu 1 jam. Dengan demikian minimal 2 jam harus kuhabiskan di jalan setiap hari. Itupun kalau lalu lintas dianggap normal ... Kalau musim hujan, waktu tempuh akan lebih panjang lagi.

Terbayang, minimal 1,5 jam harus disediakan untuk sekali jalan atau 3 jam setiap hari untuk perjalanan mencapai sekolah dan ini pasti sangat melelahkan untuk si anak. Apalagi tidak ada angkutan/jemputan dari sekolah. Anak SMA dianggap sudah mampu berangkat dengan angkutan umum. Tetapi andaikan ada layanan tersebut, maka waktu yang harus disediakan tentu akan lebih panjang lagi.

Begitulah ... ketika si anak tidak mau berpaling dari sekolah tujuannya itu, maka solusinya adalah dia harus mau tinggal di asrama agar jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sekolah setiap hari yang sangat melelahkan tidak lagi menjadi beban. Dengan demikian dia punya waktu yang cukup untuk istirahat .... walau ternyata kemudian kami ketahui, kehidupan asrama yang ketat dan "heboh"pun membuat si anak kelelahan. Tapi biarlah.... sejauh kegiatannya positif .... kenapa enggak? Toh di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk chatting atau browsing.

Walau aktifitas chat & browse tidak pula bisa dibilang "berbahaya", tetapi aktifitas itu menyebabkan anak tidak lagi memiliki kontak fisik dengan sesama manusia. Kalau kegiatan chatting menjadi gaya hidup dan kebiasaan manusia, jangan-jangan dalam 10 - 20 tahun lagi bahasa lisan menjadi hilang karena manusia tidak lagi bercakap dengan mengeluarkan suara. Bahkan bahasa tulisanpun menjadi rusak karena begitu banyaknya singkatan dan emoticon yang kita gunakan selama chatting.

Maka kehidupan asrama yang heboh akan menjadi ajang bersosialisasi bagi anak-anak kota yang biasanya terbelenggu oleh jeratan gadget. Tinggal bagaimana proses sosialisasi tersebut diarahkan untuk kegiatan yang positif. Dengan demikian fitrah manusia sebagai mahluk sosial tetap terpelihara. Terbina pula kemandirian, rasa tanggungjawab, tenggang rasa, empati dan lainnya. Toh sekolah tetap mewajibkan anak yang tinggal di Jabodetabek untuk pulang ke rumah setiap Jum'at sore untuk kembali ke asrama Minggu sore.

Ternyata perpisahanpun menjadi ajang belajar "mandiri" kembali buat orangtua, yaitu tidak mengandalkan bantuan si anak, dalam mengerjakan atau melaksanakan kegiatan di rumah. Juga menjadi ajang untuk tidak selalu "nggendoli" si anak, mengatur kehidupan si anak dengan dalih demi kebahagiaan anak. Orangtua ternyata juga perlu belajar "melepaskan" si anak ke dalam kehidupan riel di masyarakat.

Bukankah kewajiban orangtua hanya mengantarkan si anak agar dia bisa hidup secara mandiri kelak...? Bukan mengungkung si anak .... demi sebuah alasan... karena kasih sayang orangtua yang selalu ingin si anak berbahagia





BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...