Jumat, 30 November 2018

Menilik CAPRES dan Cawapres 2019

Jokowi jelek ....
Iya ... wajahnya memang nggak seganteng Prabowo Subianto ataupun Sandiaga Uno. Wajah Jokowi memang wajah khas lelaki pedesaan ... Wajah rakyat jelata yang mudah ditemukan di sembarang tempat ... Berkulit hitam mengkilat, gurat2 otot muka yang begitu jelas tergambar, menyiratkan kehidupan keras masyarakat Indonesia. 

Didampingi oleh KH. Ma'ruf Amin yang berpenampilan a la kiai pesantren. Bersarung, dan baju koko atau kemeja bersanding dengan jas, lengkap dengan sorban tersampir di bahu dan kopiah hitam. Penampilan pasangan capres-cawapres ini memang sering di olok-olok pendukung pesaingnya.

Sesungguhnya .... penampilan lelaki bersarung dan kemeja+jas dengan kopiah, bagi saya yang keturunan Betawi, bukanlah hal yang mengejutkan. Almarhum ayah saya selalu menggunakan sarung dengan kemeja dan jas pada waktu-waktu yang dianggapnya istimewa, seperti kalau mau shalat Ied, kesempatan lebaran dan saat anak-anaknya melaksanakan akad nikah. Memang bukan pakaian setiap hari, namun beliau justru memakainya pada kesempatan yang dianggapnya istimewa.

Penampilan kedua pasangan capres dan cawapres ini memang tidak bisa diperbandingkan karena lingkungan dimana mereka tumbuh memang berbeda. 

Jokowi krempeng .......
Hehe .... bisa dimaklumi ... Jokowi tidak lahir dari dari pasangan suami Istri yang kaya raya. Dia lahir dari pasangan suami istri yang hidup sangat sederhana, di pedesaan. Makan seadanya sepeti layaknya kebanyakan masyarakat kelas sederhana di Indonesia. Begitu juga dengan sang kiai.

Tentu berbeda dengan Prabowo Subianto lahir dari bapak yang keturunan ningrat. Kakeknya RM. Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia, salah satu bank pelat merah alias BUMN. Walau pernah hidup dalam pengasingan karena sang ayah dianggap sebagai salah satu pemberontak PRRI/Permesta, oleh Soekarno, ayah dari Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke 4, tentu Prabowo tidak hidup dalam kemiskinan absolut. Prabowo masih bisa bersekolah dengan baik. Begitu juga Sandiaga yang bapaknya adalah professional perminyakan. Tahu dong ... bagaimana kehidupan karyawan perusahaan minyak asing ... Walau berada di "field", namun segala kebutuhan hidupnya sangat terjamin.

Jokowi Ndeso ...
Nggak salah lagi .... sesuai dengan wajahnya yang sangat menggambarkan asal muasal kehidupannya. Wajah Jokowi betul-betul tipikal lelaki yang hidup di pedesaan Jawa. Guratan wajahnya menyiratkan kerasnya kehidupan. Masa lalunya memang tidak jauh dari kerasnya perjuangan hidup. Konon pernah harus berdagang untuk sekedar memiliki uang jajan dan tempat tinggalnya sering kali berpindah karena tergusur. Lagi-lagi, jangan bandingkan dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang semiskin-miskinnya orangtua mereka, tentu tidak sampai menyebabkan mereka anak beranak hidup kekurangan.

Akan halnya KH Ma'ruf Amin, tentu sudah sangat terbiasa dengan kehidupan sederhana a la pesantren, apalagi pesantren tahun 50an. 
Menyesal punya pasangan capres - cawapres dari kalangan rakyat jelata ...?

Jokowi nggak bisa Bahasa Inggris .....
Ah ... yang ini mungkin terlalu berlebihan... masa iya, sarjana kehutanan Universitas Gajah Mada, salah satu universitas papan atas di Indonesia, tidak bisa berbahasa Inggris? Selama ini, generasi seumur Jokowi, minimal belajar bahasa Inggris sejak masuk SMP hingga SMA, Jokowi sudah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun, arena saat kuliah sudah tidak ada lagi mata kuliah Bahasa Inggris. Kalaupun tidak sefasih Prabowo Subianto atau Sandiaga Uno ... harap maklum saja. Mereka berdua kan pernah bersekolah di luar negeri. Nanti kita bilang ke Menteri Pendidikan Nasional agar kurikulum dan pengajaran Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya diperbaiki sehingga siswa dan mahasiswa jadi fasih berbahasa asing. Sepertinya memang ada penurunan kualitas pengajaran bahasa. Saya ingat dulu, ayah saya, walau hanya berpendidikan setingkat akademi, cukup fasih berbahasa Inggris dan Belanda, yang diperolehnya selama sekolah di HIS dan AMS ... Jangan tanya singkatan apa ya...

Tapi ... ngomong-ngomong, Bahasa nasional kita kan masih Bahasa Indonesia, kan? Jadi svarat fasih berbahasa Indonesia mungkin yang harus dipenuhi oleh siapapun yang mengaku warga negara Indonesia. Bukan kefasihan cas cis cus berbahasa asing yang diperlukan sebagai pemimpin pemerintahan walau kita hidup di jaman abad ke 21 yang konon katanya masuk era globalisasi dan penguasaan bahasa asing minimal satu bahasa asing juga sangat diperlukan. Toh masih ada profesi penterjemah .... bagi-bagi rejeki dan kesempatan kerja dong ...  

Kasihan para pejuang kemerdekaan yang sudah berpayah-payah menyelenggarakan kongres Pemuda 28 Oktober 1928, kalau sekarang, masyarakat "mewajibkan" calon presiden fasih berbahasa Inggris .....? Sekarang aja, anak2 remaja golongan atas di kota2 besar Indonesia sudah banyak yang tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik ... Miris kan...? Memang kita hidup dimana dan menjadi pemimpin bangsa apa?

Berkaitan dengan soal bahasa, orang Jawa dengan logatnya yang medok, agak lucu kalau berbahasa asing ... Namun soal aksen dan lafas Bahasa asing yang ajaib sih biasa aja tuh. Coba dengar bagaimana orang Cina, Jepang dan lain-lain berbahasa Inggris. Pasti sukar dimengerti seperti juga kalau orang asing berbicara bahasa Indonesia.... Jadi bukan suatu hal yang aneh dan harus ditertawakan

Justru ... kalau Prabowo dan Sandi yang lama tinggal di luar negeri namun tidak fasih berbahasa Inggris atau mengucapkannya dengan logat medok kedaerahan ... Nah ... boleh dipertanyakan tuh .... kemana aja dan ngapain aja lo di sono ...?

Jadi ....
Sebetulnya apa sih yang mau kita pilih?
Ini bukan kontes olympiade Bahasa, kan?

Apakah memang sebegitu buruknya pasangan nomor 1 dan sebegitu baiknya pasangan nomor 2? Ah ... itu sih tergantung dari sudut mana penilaiannya.

Kalau minimal kriteria yang sudah ditulis di atas menjadi dasar penilaian untuk memilih presiden dan wakilnya, pasangan nomor 1 pasti kalah jauh deh .... dan pilihan kepada pasangan nomor 2 hanya akan menyiratkan bahwa masyarakat masih memandang faktor penampilan dan asal usul sangat berpengaruh. ini bentik feodalisme yang terpengaruh budaya hinduisme yang melihat dan menilai manusia berdasarkan kasta. Jadi tidak mungkin seorang sudra menjadi raja/presiden. Jabatan tersebut hanya bisa di"pegang" boleh golongan/kasta ksatria. 

Ksatria juga dibayangkan "harus" gagah perkasa, kaya raya, punya istri cantik jelita dan sudah tentu ada garis dari keturunan "darah biru", walau mungkin sang ibunda hanya rakyat jelata. (Jadi ingat bahwa RA Kartini, tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau, pun termasuk wanita yang "kecipratan darah biru" dari ayahnya yang menikahi ibundanya - Ngasirah, perempuan dari kalangan rakyat jelata).

Jelas bahwa pasangan capres dan cawapres nomor 1 sangat jauh dari kriteria tersebut. Tapi ..... tunggu dulu.... Apakah kita masih hidup pada alam penjajahan, dimana golongan berpendidikan memang didominasi oleh kalangan ningrat dan pamongpraja saja? Jadi apa gunanya masyarakat diajarkan untuk mengejar ilmu sebanyak-banyaknya bila kesempatan-kesempatan tertentu masih juga dibatasi oleh alasan-alasan yang sangat tidak masuk akal?

Tentu bukan salah kita, bila kita tidak dilahirkan oleh orangtua yang kaya raya atar ber"darah biru" Juga bukan salah kita bila karenanya wajah kita tidak menjelma jadi ganteng atau cantik. Dan ..... jangan paksa seseorang untuk melakukan operasi plastik hanya karena ingin disebut ganteng atau cantik walau praktek semacam ini sekarang sudah sangat biasa dilakukan orang-orang berpunya.

Bukankah "kekerasan dan kepahitan" hidup bisa menjadi bekal untuk memupuk empati terhadap realitas kehidupan masyarakat yang bila dilengkapi dengan pendidikan yang memadai bisa menjadi dasar keinginan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat sekitar? Perbaikan yang dimulai dari lingkungan sekitar rumah ... kemudian melebar ke lingkungan yang lebih luas hingga bahkan menjadi pemimpin baik di perusahaan milik sendiri atau tempat kerja dan bahkan menjadi pemimpin pemerintahan.

Lihatlah bagaimana perjuangan Jack Ma hingga dia berhasil menjadi billioner tingkat dunia. Mungkin juga kita belum lupa, lelaki kurus berambut keriting dari Belitong Timur yang kemudian lewat karyanya yang fenomenal "Laskar Pelangi", Andrea Hirata bercerita tentang betapa keras dan gigihnya dia meraih mimpi hingga dia berhasil kuliah di Universitas Indonesia dan kemudian meraih beasiswa ke Perancis. Novel-novel karya Andrea Hirata kemudian dikenal orang bahkan hingga mancanegara. Bukan itu saja, lewat Laskar Pelangi, Andrea Hirata membawa tanah kelahirannya Belitong ke ranah pariwisata sehingga kini menjadi salah satu tujuan wisatawan domestik. Jangan lupakan bahwa dia juga berasal dari kalangan sederhana yang ayahnya hanya buruh tambang?

Jadi jangan berhenti bermimpi dan juga jangan matikan keinginan tulus dari orang-orang yang ingin membangun negeri ini agar menjadi lebih baik lagi.



BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...