Rabu, 19 Desember 2007

Pendidikan untuk apa dan untuk siapa?

“Bu …. Kenapa saya nggak boleh ikut ibu? Saya kan punya hak untuk memilih! Apa hak ibu melarang saya?”

Saya merasa sangat kaget mendengar suara itu. Suara anak perempuan berusia sekitar 18 tahun yang sama sekali belum pernah saya kenal. Anak itu baru tamat sekolah Aliyah di kampungnya, Cihampelas – Cililin kabupaten Bandung. Saya hanya tahu namanya. Ende ... begitu nama panggilan di rumah. Dia keponakannya Dedeh, pembantu rumah tangga kami.

Bapaknya, kakak Dedeh. Lelaki tertua di keluarga yang berprofesi sebagai tukang dagang keliling. Dari mulai menjual kasur, telur bebek dan kerupuk, semua sudah dijalaninya. Meninggalkan kampungnya di Cililin selama satu atau dua minggu menyusuri berbagai kota kecamatan di sekitar Bandung bahkan hingga Karawang. Namun hasil perjalanan jauhnya tidak seberapa. Tidak cukup untuk menghidupi empat orang anaknya. Apalagi untuk menyekolahkannya. Ende mungkin akan jadi satu-satunya anak yang sempat mengenyam pendidikan hingga Aliyah – setara SMA. Beruntung karena ada yang membiayai sekolahnya.

Kehidupan rumah tangga orangtuanya, khas kehidupan keluarga petani atau pedagang kecil di pelosok Indonesia. Masyarakat sekitarnya, tidak memiliki buying power yang cukup kuat untuk menggerakkan roda ekonomi. Akhirnya masyarakat hanya dihadapkan pada kesukaran kehidupan yang mengakibatkan kemiskinan, tidak memiliki akses yang cukup kepada pendidikan dan kesehatan. Namun, mereka produktif menghasilkan anak.

Ibunya sudah seringkali mengancam meninggalkan si bapak untuk pergi mengais rejeki di negeri orang. Menjadi TKW di timur tengah sebagaimana sebagian penduduk kampungnya. Bahkan suatu saat si ibu berhasil memaksa si bapak meminjam uang kepada Dedeh sebanyak 2 juta rupiah untuk biaya ”calo TKW”. Namun begitu uang berada di tangan, si ibu merasa gamang dan membatalkan niatnya. Uang pinjaman tidak dikembalikan, malah raib digunakan membeli berbagai kebutuhan rumah tangga. Hingga kini, entah bagaimana nasib hutangnya tersebut. Saya sudah mengingatkan Dedeh sejak awal :
”Saat kamu ulurkan uang kepada keluargamu, ikhlaskan bahwa uang itu akan hilang. Kalau keluargamu sanggup melunasinya, maka itu adalah rejeki Allah SWT. Dengan demikian kamu tidak akan merasa sakit hati bila keluargamu tidak mengembalikan uang itu.”

Beberapa waktu yang lalu, Dedeh bicara bahwa entah apa penyebabnya, Ende ingin ke Jakarta, ikut di rumah kami. Kalau mungkin bekerja di rumah walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga. Kepada Dedeh, saya sampaikan keberatan. Ende sudah sekolah hingga di Aliyah, bukan untuk menjadi pembantu rumah tangga. Dia diharapkan menjadi kebanggaan keluarganya. Mungkin penolakan itu sudah disampaikan Dedeh kepadanya. Itu sebabnya dia meluapkan kemarahannya saat tahu saya sendiri yang mengangkat telponnya di suatu sore.

”Kamu memang punya hak memilih tapi pilihanmu tidak selamanya benar. Pilihan kamu untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta setelah menyelesaikan Aliyah, menurut saya bukan pilihan yang tepat.”
”Kenapa tidak? Apa ibu lupa kalau bi Dedeh juga tamatan SMA di Cililin? Tapi kenapa dia boleh kerja di tempat ibu sedangkan saya tidak boleh?”

Duh ... anak sekarang!!! Pinter ngomong... nggak ada basa-basinya sama orang tua. Apalagi pada saya, orang yang sebenarnya tidak dikenalnya kecuali status saya sebagai majikan bibinya.

”Kondisinya beda! Bi Dedeh janda. Punya tanggungan anak yang harus dibiayai sekolah. Kalau dia kerja di pabrik, gajinya belum tentu cukup untuk biaya hidupnya. Coba hitung... berapa biaya kontrakan+listrik, biaya makannya, transport. Belum lagi biaya sekolah Ayuni. Gaji di pabrik nggak akan cukup. Biar saja dia kerja jadi pembantu. Paling tidak, dia nggak mesti keluar uang untuk tempat tinggal, makan, transport. Sekolah dan makanan Ayuni juga terjamin. Sebagian besar gajinya masih bisa ditabung. Hal yang tidak mungkin terjadi kalau dia kerja di pabrik. Sementara kamu masih muda ...., Belum apa – apa, kok sudah putus asa?!”
”Nggak ada kerja di kampung ... emak marah-marah terus setiap hari...”
”Coba kamu tulis surat ke kakak kamu yang baru nikah itu... Siapa tahu dia atau suaminya bisa nolong kamu cari kerja di Batam sana. Sekalian cari pengalaman.”
”Ya sudah.... kalau ibu nggak mau nolong saya....” sahutnya ketus. Jelas terdengar nada kesal dalam suaranya.
*****

Nasib Ende, mungkin sama dengan nasib beribu-ribu bahkan berjuta-juta generasi muda Indonesia yang berada di pedesaan. Usai menamatkan pendidikan apakah itu di tingkat SLTP ataupun SLTA, mereka tidak tahu lagi akan kemana nasib membawa. Pendidikan mereka yang relatif tinggi untuk ukuran desa dan kemampuan ekonomi orangtuanya menjadi beban tambahan bagi mereka.

Pendidikan di pelosok desa di Indonesia sekarang tidak ubahnya dengan pendidikan di kota besar. Hanya ada sekolah umum yang kurang membekali keterampilan kerja. Seolah mereka semua disiapkan untuk menjadi sarjana. Tidak ada lagi sekolah-sekolah keterampilan semacam SKKP/SKKA[1], ST/STM[2], SGO[3], SPG[4], PGA[5], SGTK[6], SPMA[7] dan lain-lain. Semua sudah seragam menjadi SMP/SMA atau SMK yang pamornya kurang menarik dibandingkan dulu. Padahal tidak semua anak memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Kalaupun ada, kondisi ekonomi orangtuanya tidak cukup mampu untuk mendukungnya masuk pendidikan di universitas yang relatif cukup panjang.

Di masa awal orde baru, menjadi siswa sekolah kejuruan sama gengsinya dengan menjadi siswa sekolah umum. Sekolah-sekolah kejuruan seperti yang disebutkan di atas banyak bertebaran. Di kota–kota kabupaten Tatar Parahyangan yang subur selalu ditemukan SPMA untuk menyiapkan anak-anak muda untuk terjun di dunia pertanian.

Namun jaman sudah berganti, sekarang anak muda ”dituntut” untuk menjadi sarjana. Seolah–olah hanya gelar sarjanalah yang mampu mengubah nasib menjadi lebih baik. Bukan spirit untuk belajar kepada kearifan alam dan pengembangan dirinya. Akibatnya, anak-anak lebih suka masuk ke sekolah umum SMP/SMA agar bisa meneruskan pendidikan ke jenjang universitas, karena lulusan sekolah kejuruan mempunyai kewajiban bekerja terlebih dulu selama minimal 2 tahun sebelum masuk universitas.

Kondisi ini diperparah dengan daya tampung universitas negeri/swasta yang berkualitas yang sangat terbatas dan mahal pula biaya pendidikannya. Akhirnya hanya Universitas - universitas ”cap dua kendi”[8] atau universitas ruko yang mampu dimasuki. Kualitas.... itu soal lain. Yang penting.... ada gelar sarjana di tangan.

Gelar sarjana dari Universitas cap dua kendi, Universitas Ruko ataupun hanya sekedar ijasah SMA nyatanya hanya menambah jumlah pengangguran berpendidikan. Anak-anak desa yang hanya mampu menamatkan SMA sangat merasa malu terjun ke sawah karena merasa sudah ”berpendidikan”. Apalagi yang sempat mengenyam jenjang pendidikan universitas. Bukan saja sekedar malu akan sindiran tetangga tetapi juga dibebani oleh ”kewajiban” dari orangtua untuk memperoleh kerja dan penghasilan yang mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga.

Pendidikan tinggi mencerabut mereka dari akar lingkungannya. Sehingga mereka merasa tidak ada lagi tempat tinggal di desa. Mereka seolah-oleh diwajibkan merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan sesuai dengan ijasah yang dimilikinya. Sementara itu, kotapun bukanlah tempat yang ramah bagi orang–orang yang hanya memiliki kemampuan atau semangat pas–pasan. Ada anak–anak kota yang memiliki kemampuan jauh lebih baik dari kemampuan sebagian besar anak desa. Tentu tak mudah untuk dikalahkan dalam kancah persaingan mencari peluang kerja.

Tidak banyak anak desa yang serba kekurangan memiliki semangat juang yang tinggi seperti Andrea Hirata[9]. Juga tidak banyak guru yang mampu membina anak-anak yang serba kekurangan itu seperti ibu guru Muslimah, guru Andrea semasa duduk di bangku SD Muhammadiyah - Belitong. Karena mereka memang tidak dididik tentang spirit untuk mengenali kemampuan diri dan lingkungannya untuk kemudian mengembangkannya. Tetapi mereka hanya menerima pendidikan yang disamakan dengan kebutuhan pendidikan anak-anak kota.

Jadi... untuk siapa dan bagaimana pendidikan itu sebenarnya?




[1] Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Pertama/ Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Atas
[2] Sekolah Teknik/Sekolah Teknik Menengah
[3] Sekolah Guru Olahraga
[4] Sekolah Pendidikan Guru
[5] Pendidikan Guru Agama
[6] Sekolah Guru Taman Kanak-kanak
[7] Sekolah Pertanian Menengah Atas
[8] Ini istilah yang selalu digunakan Budi – guru bahasa Perancis di CCF untuk menyatakan sekolah yang tidak berkualitas.
[9] Baca buku Laskar Pelangi – Sang Pemimpi – Edensor.  

Senin, 17 Desember 2007

Melepaskan jabatan

“Kami bagai anak ayam kehilangan induk. Sejak pak Daniel keluar, tidak ada lagi yang mengayomi, mengarahkan pekerjaan dan terlebih lagi memecahkan masalah yang kami hadapi di lapangan. Proyek ini tidak dikelola dengan sungguh-sungguh. Setiap keputusan bisa berubah seketika, seenaknya. Tidak ada yang bisa djadikan pegangan”

Kalimat panjang itu begitu saja keluar dari mulutnya saat menemani saya makan siang yang sudah sangat terlambat, di kantor.

Ada ibu yang membantu. Tentu beliau bisa diajak diskusi mengenai berbagai masalah lapangan”
“Mestinya begitu. Tapi pada kenyataannya, beliau selalu berusaha menghindar dari tanggung jawab” sergahnya sinis.
“Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan selalu melihat dari sisi negatif terus. Kalau beliau kamu anggap selalu menghindar dari tanggung jawab. Kenapa tidak kamu ambil alih tanggung jawab itu? Bukankah jabatanmu memungkinkan untuk itu?”, balas saya.

“Bukankah, sudah saya katakan bahwa saya tidak sanggup? Kondisi lapangan sangat tidak kondusif. Mbak tentu ingat peristiwa pembebasan tanah itu”.
“Tidak sanggup, atau tidak mau? Jangan mencari kambing hitam. Pembebasan tanah itu bagi saya sudah selesai. Tanah itu bahkan sekarang sudah diolah dan akan segera masuk pasar”.
“Tapi, saya tidak bisa melupakannya”

“Kamu ini gimana sih? Wewenang ada pada kamu. Pemegang saham memuji kecerdasan kamu. Pemegang saham sudah memberikan kepercayaan untuk mengelola proyek, tapi kamu selalu berdalih macam-macam. Alih–alih memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu malah merusak dengan bayang-bayang masa lalu. Nggak salah kalau direksi menilai kamu seperti kanak-kanak!. Kamu sadar, nggak sih kalau kamu akan kehilangan banyak kesempatan karenanya!”
“Saya usul, gimana kalau mbak masuk ke perusahaan lagi”.
”Untuk apa...?”
”Supaya kami punya tempat untuk berbagi, bertukar pikiran dan banyak hal lagi...”

“Itu bisa dilakukan kapan saja. Tinggal telpon... Tidak harus dengan cara kembali masuk ke proyek. Balik lagi…..? Gila aja….! Itu namanya kemunduran buat perusahaan. Urusan saya sekarang sudah di luar property. Saya menangani hal yang baru. Saya berada di lingkungan baru, berinteraksi dengan orang-orang baru. Ini sangat menyenangkan walaupun pusing karena harus banyak belajar hal baru. Jadi tidak ada alasan yang valid untuk kembali lagi”
“Tapi, tenaga dan pikiran mbak masih banyak manfaatnya di proyek”.
“Sekarang, secara tidak langsung, saya masih terlibat, kok. Walau tidak seintens dulu”.
“Tapi, kami masih butuh orang lain di lapangan. Minimal bisa jadi penyeimbang”.
“Bisa orang lain …. Atau bagaimana dengan kamu sendiri? Kalau saya masuk lagi, itu namanya menutup kesempatan bagi yang lain untuk maju. Harusnya ada penyegaran. Setiap waktu, ada pelakunya sendiri. Jadi ada pergerakan sesuai dengan waktunya. Orang-orang muda sekarang jauh lebih pintar dan agresif. Mereka penuh dengan ide-ide segar dan kreatif. Itu yang harus dikembangkan. Bukan malah menempatkan orang-orang tua yang sudah bulukan dan karatan. Nggak akan maju, kita!”
“Tapi … pengalamannya belum cukup…!”

“Pengalaman tidak akan pernah kita peroleh kalau tidak ada orang yang mau memberikan kesempatan kepada kita. Nah, kamu punya kesempatan itu. Makanya, ambil dong kesempatan itu! Kamu masih muda … kalau tidak mengambil dan memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu akan rugi besar kelak! Nanti saat kamu sadar, sudah terlambat. Kamu nggak jadi apa-apa karena ada banyak kesempatan yang dibiarkan tersia-sia. Sementara untuk [pindah kerja di tempat lain, kamu akan kalah bersaing dengan orang muda, karena track record kamu tidak menunjukkan kemajuan. Sudahlah.... jangan sekali-kali meminta orang lain untuk memegang suatu jabatan. Raih kesempatan itu. Untuk kemajuan semua dan terutama untuk dirimu sendiri!”
*****

Dialog di atas cuma sekelumit obrolan di waktu makan siang. Obrolan omong kosong atau serius, tergantung dari sudut pandang setiap orang. Soal sumber daya manusia selalu asyik dibicarakan. Apalagi kalau sudah urusan untuk “menempatkan dan memberi kepercayaan” kepada seseorang pada suatu posisi.

Bagi saya, memanfaatkan kesempatan dan sekaligus memberikan kesempatan bagi orang lain untuk meraih posisi lebih tinggi agar mendapat pengalaman baru, merupakan dua hal yang saling terkait. Kita selalu “was-was” kala harus melepaskan jabatan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang lebih muda (atau subordinate) meraih posisi lebih tinggi. Apalagi kalau itu berarti mengambil alih jabatan kita. Alasannya klasik.… Belum berpengalaman.

Itu sebabnya, kalau kita melihat iklan lowongan kerja, biasanya ditulis persyaratan … Pengalaman sekian tahun, untuk jabatan yang sama dst … Jarang ada pemberi kerja yang membuka lowongan bagi orang yang tidak berpengalaman. Kalau begitu terus …. Bagaimana kita bisa memperoleh kesempatan untuk memiliki pengalaman?

Tidak itu saja … saat ada staff yang mengundurkan diri, selalu ada usaha untuk mempertahankannya terutama kalau staff tersebut adalah orang yang “pandai”. Padahal, itulah hukum alam. Orang yang pandai akan selalu mencari kesempatan untuk memperluas dan memperkaya kemampuannya. Dia tidak akan pernah merasa betah di suatu tempat, kalau keinginan untuk memperluas dan memperkaya kemampuan tidak terpenuhi.

Di sisi lain, keluarnya seorang staff mengharuskan perusahaan untuk mencari staff baru. Jadi akan ada orang baru yang lebih segar. Ada perputaran ada pergerakan dari kondisi yang statis. Diharapkan, orang baru yang lebih muda dan lebih pandai bisa membawa angin segar di perusahaan. Ada ide-ide dan kreatifitas baru dalam pekerjaan. Orang baru juga diharapkan memacu semangat staff lama yang sudah loyo karena rutinitas untuk bangkit kembali dan “bersaing” secara sehat untuk kembali meraih prestasi.

Sayangnya, jarang ada orang yang dengan senang hati “melepaskan” jabatan untuk memberikan kesempatan kepada anak muda. Kalaupun ada pergantian, maka para pengganti selalu diambil dari “kalangan sendiri” yang memenuhi kriteria “berpengalaman”. Bukan diambil dari kalangan orang-orang muda yang masih penuh vitalitas. Dua-duanya punya segudang alasan. Yang “tua” berkata ….”Reagan aja, jadi presiden pada umur 70an. Tua kan bukan berarti tidak mampu berprestasi”. Sementara yang muda merasa “tidak enak hati” karena “merasa belum berpengalaman”. Atau walaupun di dalam hati merasa mampu dan mau, tetapi malu-malu kucing, nggak enak hati kepada seniornya. Jadi mesti didorong-dorong. Jadi... yang senior harusnya sadar. Sudah waktunya memberi kesempatan pada orang muda agar kaderisasi berjalan baik.

Masalah pergantian orang pada suatu jabatan/posisi, bukan pada usia atau pengalaman. Tetapi yang terpenting adalah semangat untuk memberikan kesempatan kepada orang muda. Semangat untuk melakukan kaderisasi yang terarah. Jangan sampai seperti yang terjadi di Indonesia ini. Lihatlah …. Orde telah berubah. Dari Orde Baru menjadi Reformasi. Tapi tengoklah …. Sebagian besar politikus elite yang menguasai negara ini masih “muka lama”. Tidak banyak muka baru yang menonjol. Padahal hampir 10 tahun reformasi berjalan. Mahasiswa pelaku demonstrasi yang mampu menjatuhkan Suharto di tahun 1998 yang lalu, tentu sudah menjadi sarjana. Mereka sekarang, minimal, sudah bekerja selama lima hingga 9 tahun. Kalau di perusahaan, mereka sudah masuk pada golongan staff senior. Beberapa di antaranya malah sudah menjadi anggota DPR, tapi kiprah mereka tidaklah segarang saat tahun 1998. Entah karena memang tidak diberi kesempatan oleh senior ..., karena larut dengan ”permainan gaya lama”. Berbagai alasan bisa dikemukakan.

Entah salah siapa sehingga kondisi inilah yang sebenarnya terjadi di banyak perusahaan atau organisasi. Kaderisasi berjalan mandek. Entah karena orangtua enggan melepaskan kekuasaannya karena konon kekuasaan (power) itu bagi segelintir orang, sangat mengasyikkan. Atau karena anak muda “malu-malu” atau memang tidak diberi kesempatan karena angkatan tua enggan mundur.

Atau apakah generasi tua memang tidak mampu atau lebih tepat tidak mau melakukan kaderisasi. Atau … apa karena orang-orang muda tidak mampu meraih prestasi yang menjadikannya dipercaya orang tua. Padahal… sungguh mati, saya percaya sekali bahwa anak-anak muda Indonesia saat ini jauh lebih pandai dari generasi sebelumnya. Mungkin para senior yang harus mengubah paradigmanya. Mengantar dan memberikan kesempatan kepada para yunior untuk maju serta melihat mereka sukses adalah kesuksesan dari kita semua.

Lebak bulus 16 desember 2007 jam 20.45

Rabu, 05 Desember 2007

Berbagi Pengalaman


Ini sekedar berbagi pengalaman, semoga bermanfaat bagi ibu2 muda yang sedang hamil dan akan melahirkan. Semoga bermanfaat.


Tahun 1983 yang lalu, saat saya hamil pertama di suatu negara Eropa, tetangga saya, orang Indonesia juga, hamil anak yang ke 3 dan kami selalu berdiskusi tentang kehamilan.

Teman saya itu selalu menggerutu, bahwa dokter di Eropa sama sekali tidak memberi perhatian yang baik atas kehamilannya. Alasannya karena dokter tidak memberikan vitamin untuk menambah kesehatan ibu dan jabang bayinya. Sementara di Indonesia, setiap pulang dari pemeriksaan kehamilan, dia akan membawa sekantung besar vitamin yang harus dikonsumsi setiap hari. Kala pemeriksaan berikutnya, saya menanyakan hal yang sama pada dokter (perempuan), dengan bijak dia mengatakan... bahwa vitamin banyak terdapat pada apa yang kita makan... Jadi jangan membuang uang untuk suatu hal yang tidak pada tempatnya.

Sayur, buah2an, daging, ikan dan lain2. Kalau kita bisa memperoleh yang alamiah, mengapa harus yang buatan. Kita harus percaya, yang alamiah, bila dikonsumsi cukup dan dengan cara pengolahan yang benar, akan jauh lebih baik dari bahan-bahan sintetis/kimiawi. Lalu beliau menjelaskan tips/tricks mengatur menu dan cara pengolahan makanan yang baik.

Tiba saat melahirkan, dengan sabar para perawat melayani kebutuhan saya dan menanyakan apakah saya ingin memberikan ASI exclussive atau memerlukan susu formula untuk bayi. Pagi hari setelah melahirkan (saya melahirkan jam 23.45), perawat yang bertugas memberikan satu butir tablet khusus untuk memperlancar ASI, dan sejak saat itu saya dimintakan untuk menyusui anak (kamar bayi selalu terletak di antara 2 kamar rawat yang dibatasi kaca, sehingga ibu bisa langsung melihat dan merawat bayinya) setiap bayi membutuhkan. Perawat sama sekali tidak memberikan susu formula kepada bayi saya. Seperti biasanya ibu baru melahirkan (secara normal), saya mengalami kesulitan untuk menyusui bayi, apalagi selama 2 hari buah dada membengkak (karena produksi ASI berlebih, tapi tidak keluar dengan sempurna). Dengan penuh kesabaran, perawat mengkompres, memijat dan banyak hal lain untuk membantu agar bayi dapat menyusui langsung dari ibunya. Kadang perawat memijat buah dada saat saya menyusui. Begitu telatennya mereka.

Ini berbeda sekali saat saya melahirkan anak ke dua di Indonesia.
Begitu saya melahirkan (caesar), saya sudah wanti2 bilang sama perawat dan dokter anak, bahwa saya ingin menyusui bayi secara eksklusif. Dengan harapan, tentunya, mereka akan memberikan catatan permintaan tersebut pada kartu ibu/anak. Yang terjadi adalah, bayi saya menolak disusui, karena sudah kenyang oleh susu formula. Saat saya protes, perawat dan dokter hanya menyatakan bahwa saya perlu banyak istrirahat dan bayi saya perlu tambahan susu formula karena produksi ASI saya belum keluar secara maksimal.

Alih-alih membantu agar produksi ASI meningkat, mereka malah berupaya keras agar bayi saya mengkonsumsi susu formula. Akhirnya, setelah berdebat keras, dokter anak dengan muka masam mengijinkan saya membawa bayi ke kamar selama masa rawat di RS. Dan setelah kejadian tersebut dokter anak tidak lagi menjenguk bayi saya.

Saya sungguh tidak perduli, bahwa dokter anak tersebut tidak lagi menengok anak. Hanya saja, saya tidak habis pikir, bagaimana etika sebagai dokter. Seharusnya dia tahu bahwa ASI adalah hak bayi dan dia bertugas untuk membantu sekuat tenaga agar bayi mendapat yang terbaik (ASI) terutama di awal kehidupannya. Alih2 melakukan hal tersebut, dokter anak malah bertindak (maaf) seolah-olah sebagai supplier makanan (dalam hal ini susu formula) bayi. Tindakan ini sungguh membodohi masyarakat dan menurut saya sangat merugikan kita semua. terutama merugikan hak anak2 (bayi) Indonesia.

Rupanya, para ibu harus bersikap kritis dan tahu apa yang menjadi hak-hak baik bagi si ibu maupun bayi yang baru dilahirknannya. Kalau tidak, secara tidak disadari kita akan masuk kepada jeratan industri makanan bayi.

Semoga pengalaman ini, bisa menjadi masukan bagi ibu-ibu muda yang berniat memberikan ASI exclussive bagi bayinya nanti.

salam.


BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...