Jumat, 15 Desember 2006

Semua gara-gara Aa Gym … (cari kambing hitam hehehe…)

Pernikahan Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal sebagai Aa Gym dengan janda cantik beranak 3, yang konon keponakan mantan Presiden RI ke 3 BJ Habibie, beberapa waktu lalu memang sangat menghebohkan. Semua orang tiba-tiba angkat bicara. Isu poligami jadi menghangat kembali. Milis, koran, majalah, radio apalagi infotainment di tv, ramai memberitakan cerita seputar pernikahan ke 2 si Aa. Bahkan presiden RI lantas ikut sibuk memanggil Menteri Pemberdayaan Wanita DR Meutia Hatta untuk mengkaji kembali dan berniat memperluas cakupan penerapan PP no 10.

Yang tidak kalah menghebohkan juga, pada saat yang hampir bersamaan beredar video hubungan intim di luar nikah antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat Yahya Zaini dan Maria Eva yang sebenarnya telah berlangsung beberapa tahun yang lalu.. Terungkapnya hubungan gelap tersebut ini makin meramaikan pro dan kontra hubungan antara lelaki menikah dengan the other woman. Betul-betul  langsung menohok ....  Dua ekstrimitas. Legal versus ilegal. Dari sudut pandang saya, keduanya berawal dari “Perselingkuhan”. Yang satu berakhir secara legal melalui lembaga poligami, satunya lagi tetap illegal dan berakhir dengan membawa ”gunung es” dendam yang kemudian meledak melalui video intim tersebut.

Yang pro poligami, tentu mengeluarkan ”berbagai” jurus berupa ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadit pendukung. Begitu juga yang kontra. Tapi, karena sebagian besar para penafsir al Qur’an adalah dari jenis kelamin lelaki, maka ayat-ayat dan hadist yang beredar tentu nuansanya sangat maskulin à pro poligami. Tidak ada satupun yang sifatnya feminin alias menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dari sudut pandang ”kepentingan” perempuan.

Sebagai perempuan, rasanya sebel banget atas ke dua peristiwa ini dan pro – kontra yang menyertainya. Menurut saya ... semuanya berujung pada masalah sekwilda – sekitar wilayah dada dan ketidakmampuan lelaki menahan nafsu syahwatnya. Padahal .... masih menurut saya lho ... Manusia (jaman sekarang) yang mulia dan layak dihormati adalah Manusia yang mampu menahan nafsu syahwatnya (dalam bidang apapun juga), pada saat dia mampu melakukan apapun juga.

Misalnya saja ... lelaki yang kukuh mempertahankan monogami saat keadaan memungkinkannya untuk melakukan poligami (dia kaya raya sementara istri mandul atau sakit). Atau orang yang kaya raya, tetapi dia mampu hidup bersahaja, secukupnya seraya mendedikasikan seluruh harta dan karyanya semata-mata untuk kegiatan di jalan Allah SWT. Berharap ridho Allah SWT semata.

Nah rasa prihatin itu, agak terobati saat saya membaca artikel BENARKAH POLIGAMI ITU SUNNAH, yang ditulis oleh Faqihuddin (kalau tidak salah) di suatu blog di multiply. Jadi artikel itu saya forward ke salah satu milis perempuan yang saya ikuti. Maksud kerennya sih .... mengajak anggota milis untuk memandang tafsir ayat/hadis tentang Poligami dari sudut lain yang lebih kritis. Awalnya, saya memang nggak tahu dan nggak menyelidiki siapa Faqihuddin itu. Cuma tahu (dari artikel itu) bahwa dia adalah dosen IAIN dan lulusan Damaskus – Syiria. Sayang ... rupanya members milis itu kurang berkenan dengan tulisan tersebut. Alih-alih berdikusi dengan sehat, saya jadi merasa dihujat dan prihatin karena ada salah satu anggota yang melihat saya sebagai orang yang ”salah jalan”. Padahal ... sungguh mati, saya nggak ngomong apa-apa kecuali mem forward tulisan itu. Padahal ... pada prinsipnya, saya mengerti dan bisa menerima konsep POLIGAMI menurut Islam dalam konteks untuk perlindungan perempuan. Tetapi ini tidak berarti saya setuju dengan penerapannya di masa sekarang yang terlihat lebih mengutamakan "pemuasan syahwat" lelaki.

Jaman diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an dan masa kehidupan Rasulullah SAW itu sangat berbeda dengan sekarang. Keimanan dan ketakwaan manusianya juga berbeda. Mana mungkin manusia sekarang mampu punya kualitas ketakwaan yang sama dengan Rasul sehingga mereka merasa mampu menjalankan poligami sebagaimana Rasul. Atau mungkin para pelaku poligami itu sudah merasa kualitasnya sebagai manusia sudah setara dengan Rasul, sehingga mereka merasa punya hak melakukan apa-apa yang dilakukan Rasul (sunnah Rasul) secara serampangan. Pernahkah mereka mengkaji asal-usul setiap pernikahan Rasul dengan para istri-istrinya .....? Apakah mereka pernah pula mengkaji, bagaimana Rasulpun pernah kerepotan dengan ”persaingan” antara istri-istrinya?

Kalaupun mau mengikuti sunnah/perilaku Rasul, kenapa tidak mengikuti perilaku dan keshalehan Rasul sampai beliau berumur 55 tahun, yaitu semasa hidup membujang sampai dengan meninggalnya Khadijah binti Khuwailid untuk kemudian beliau menikah lagi 3 tahun setelah meninggalnya Khadijah? Mengikuti segala ibadahnya, kejujuran, konsistensi, keteguhan dalam memegang amanah, integritas, kesabaran dan banyak lagi perilaku Rasul yang patut menjadi tauladan bagi umat manusia. Kalau semuanya sudah diikuti ....baru kemudian mengikuti sunnah/perilaku Rasul berpoligami. Kenapa justru hanya kehidupan rumah tangga (poligamis) Rasul semasa 8 tahun sebelum beliau meninggal dunia dalam usia 63 tahun saja, yang menjadi obyek untuk diteladani?

Kok enak banget ya...., Apakah perilaku Rasulullah selama 28 tahun mengarungi kehidupan monogami bersama Khadijah binti Khuwailid tidak patut diteladani?  Padahal .... disitulah beratnya kehidupan dan perjuangan Rasul dalam menyebarkan mengembangkan agama Islam. Setelah Khadijah meninggalpun, Rasul masih menduda hingga + 2 tahun sebelum para sahabat ”memaksa” beliau menikah kembali agar anak-anak[1] beliau ada yang mengurus dan beliaupun memiliki pendamping. Demikianlah Rasul akhirnya menikah dengan Saudah binti Zam'ah[2] .

Baru setelah itulah selama 8 tahun sampai dengan wafatnya Rasul SAW menikahi beberapa perempuan. Masing-masing dengan berbagai pertimbangan khusus yang beberapa di antaranya berkaitan dengan penerapan kandungan al Qur’an. Tentu sah-sah saja bila sementara orang menafsirkan bahwa pada dasarnya Rasul berperilaku monogami (di tengah masyarakat Arab yang poligamis) dan hanya karena ”kewajiban” beliau dalam memberi contoh kepada umat dalam berperilaku sesuai dengan ”arahan” Allah SWT, di dunia inilah maka beliau melakukan poligami.

Berkaitan dengan ”teladan” Rasul mengenai poligami ini, adakah para pelaku poligami sudah betul-betul mengikuti teladan Rasul yang lainnya, yaitu .... segala perilaku Rasul selama berumah tangga dengan Siti Khadijah.  Apakah dalam memilih istri ke dua – ketiga dan seterusnya, para pelaku poligami itu juga sudah mengikuti teladan Rasul .....  Istri kedua Rasul, Saudah binti Zam'ah adalah janda tua yang sama sekali tidak cantik. Begitu pula dengan istri-istri beliau lainnya,  kesemuanya janda, kecuali Aisyah RA.

Kebanyakan pelaku poligami saat ini lebih memilih perempuan muda atau janda cantik untuk disunting sebagai istri ke dua. Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada yang memilih janda tua miskin, dan banyak anak sebagai istri kedua. Padahal ... justru merekalah yang perlu dibantu, dilindungi dan dinikahi ..... Ada banyak janda miskin, banyak anak yang lebih butuh perlindungan. Itu kalau kita, secara konsekuen, mau mengikuti sunnah/perilaku Rasul lho! Jadi .... dimana letak alasan “mengikuti sunnah Rasul” yang sering digembargemborkan oleh para pelaku poligami. Itu betul-betul tafsir Al Qur’an dan Hadist yang bias gender ... yang terlalu maskulin. .. Sak’ enak’e dewe...!!! Sorry to say ..... bagi saya pribadi ... poligami masa kini lebih banyak pertimbangan “syahwat” daripada mengikuti sunnah Rasul. Konyol betul ..... teladan baik yang diperlihatkan Rasul ditafsirkan serendah itu.

Sangat disayangkan, intelektual perempuan muda jaman sekarang ikut terjebak dan terbelenggu dalam penafsiran bias gender tersebut. Belum ada intelektual muslimah yang berani memulai membuka wacana penafsiran baru. Kelihatannya ada ”ketakutan” untuk menfsirkan sesuatu yang ”berbeda” dengan yang sudah ada. Takut di cap sesat, takut dihujat dan lain-lain. Padahal .... bukankah Islam adalah agama  yang relevan untuk segala jaman ... rahmatan lil alamin ... dan yang terpenting adalah .. Agama bagi orang-orang yang berpikir.

Pemikiran seperti ini bukan dengan maksud sok pintar ... Saya Cuma sebutir pasir tak berguna, bila dibandingkan dengan dai/daiyah, alim ulama. Apalagi bila dibandingkan dengan ahli tafsir dari belahan dunia manapun juga. Saya hanya berpikir .... bukankah para dai/daiyah, alim ulama, ahli-ahli tafsir itu juga manusia biasa ... yang punya nafsu, ambisi, khilaf dan silap. Bukan tidak mungkin kekurangan ini terjadi saat mereka menafsirkan kandungan Al Qur’an dan Hadist.

Jadi ... kalau kita meyakini bahwa kandungan Al Qur’an bisa menjawab persoalan manusia hingga akhir jaman, maka tafsir Al Qur’an secara periodik harus dikaji kembali dan disempurnakan. Jangan lupa .... yang sempurna itu adalah Al Qur’an yang merupakan firman/wahyu dari Allah SWT. Sementara tafsir adalah buah pikiran manusia yang ”mungkin” sarat dengan kesalahan.

Wallahu’ alam.
Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan saya (bila ada) dalam menafsirkan poligami.
Diedit kembali pada tanggal 9 desember 2006 jam 14.30 di Lebak bulus
[1] Dalam pernikahannya, Rasul SAW hanya memiliki 6 (enam) orang anak dari siti Khadijah yaitu Qasim, Abdullah, Zainab,Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra dan 1 orang anak dari istrinya yang berasal dari Mesir, bernama Mariyah al Qibtiyah yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim kemudian meninggal dunia dalam usia 1 tahun. 
[2] Di dalam sebuah referensi dikatakan bahwa pernikahan beliau dengan Saudah binti Zammah terjadi lebih dahulu, baru kemudian Rasul menikahi  Aisyah binti Abu Bakr. Namun karena Aisyah masih di bawah umur, maka Aisyah baru bergabung di rumah Rasul 3 tahun kemudian. Selama masa tersebut, Rasul hidup monogami dengan Saudah binti Zammah. Dalam Referensi lain, dikatakan bahwa Aisyah dinikahi lebih dahulu daripada Saudah tetapi bergabung/serumah dengan Rasul 3 tahun kemudian.

Rabu, 13 Desember 2006

Kita dan ritual agama.

Bahasa agama adalah bahasa nurani dan spriritual. Perintah Allah SWT selain harus dilakukan dalam bahasa ragawi, tetapi yang lebih penting adalah niat dan keikhlasan. Inilah bagian yang tidak bisa kita sembunyikan dari Allah SWT.

Selama ini, kita seringkali terjebak pada simbologi dan ritual di permukaan saja, namun hal yang terpenting, yaitu esensi perintahNya seringkali terabaikan. Ini ilustrasi yang seringkali saya temui dalam kehidupan sehari-hari ;

Anda yang pernah melaksanakan ibadah umroh/haji, mungkin pernah berpapasan, beriringan dan kemudian memperhatikan “bacaan-bacaan” doa saat melaksanakan thawaf dan sai dengan berbagai bangsa dan logat bahasa. Pernahkah memperhatikan bagaimana orang-orang yang berasal dari Turki mengucapkan Allahu Akbar? Ternyata ... mereka mengucapkannya “ Allahu Ac-bar” dengan lafadz “c” alias bukan ”akbar”. Padahal di Indonesia, ustadz/ustadzah mati-matian mengajarkan kita untuk tidak boleh salah melafadzkan huruf-huruf arab apalagi kala membaca al Qur’an. Tidak perlu jauh-jauh ke Turki, bagaimana dengan saudara kita yang berasal dari ranah Sunda. Bukankah mereka juga merasa kesulitan untuk melafadzkan “fa”? Bagi mereka, fa, pa dan va, semuanya sama saja dan dilafadzkan sebagai “pa”. Salahkan mereka? Apakah Allah SWT hanya mengerti bahasa Al Qur’an yang dilafadzkan sebagaimana orang Arab asli melafadzkannya? Kalau begitu, kasihan sekali orang Cina yang tidak mampu melafadzkan ”ra”. Bagaimana pula dengan Turkish yang melafadzkan Allahu Acbar dan bukan Allahu Akbar? Bukankah orang Indonesiapun masih memiliki ”logat” asli dan tidak akan mampu membaca al Qur’an dengan lafadz seperti Arab asli?

Di berbagai tausyiah, kita seringkali mendengar ucapan .... ”bacalah Al Qur’an, walaupun hanya satu huruf ata membaca Al Qur’an memberikan pahala yang berlipat ganda. Kalau kita tidak mampu membaca dengan lancar, mulailah walaupun tersendat-sendat karena setiap huruf yang dibaca memberikan pahala bagi yang membacanya”. Ini anjuran yang sangat baik. Tidak ada yang mengingkari. Di Indonesia, banyak orang yang mampu membaca al Qur’an dengan sangat baik tetapi sayangnya kurang mampu mengamalkan esensi al Qur’an dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Majlis Taklim bertaburan dan selalu penuh tetapi kehidupan umat Islam tidak pernah beranjak dari itu ke itu saja. Masih bergelut pada hitung-hitungan pahala dan keindahan ritual. Maksiat tetap berjalan dengan aman ...., perselingkuhan, ghibah, korupsi makin marak.

Pada suatu saat, saya ditanya oleh seorang teman .... :
”mbak, tahun ini mau menyalurkan zakat dimana, ramadhan ini? Sudah dihitung sesuai dengan nishab dan haulnya? Ingat lho ... bulan berkah bertabur pahala nih”.

Saat itu saya hanya tertawa saja seraya menjawab ...
“Kamu ini mau menjalankan ibadah/zakat dalam pengertian Lillahi Ta’ala atau karena embel-embel pahala, sih? Sama Allah SWT kok berhitung untung rugi?”.
Ada perbedaan penafsiran tentang zakat, infaq dan sadaqah, antara saya dan teman tersebut.

Seingat saya, dalam al Qur’an tidak pernah dicantumkan bahwa kewajiban yang bernama zakat/infaq/sadaqah terkait dengan waktu (haul) dan nishab. Umumnya, kesemuanya merujuk kepada perintah untuk ”Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Perhitungan (nishab) dan jangka waktu (haul) lebih merujuk kepada hadist untuk mengatur pelaksanaan. Nishab memang diperlukan agar tidak ada keragu-raguan umat mengenai besaran kewajiban zakat. Sedangkan haul, berkaitan dengan keengganan umat Islam berbagi hartanya dengan kaum dhuafa. Jadi penundaan karena rasa enggan tersebut perlu diberikan batas waktu, karena walau bagaimanapun, zakat adalah perintah Allah SWT yang perlu dijalankan dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Nah ... sebagai ”iming-iming” untuk mendorong umat Islam menunaikan zakat, maka dikatakanlah bahwa apabila zakat ditunaikan pada bulan Ramadhan agar memperoleh pahala berlimpah.

Atas hal ini, saya ingin mengajak kita semua mengkaji kembali .... Apakah zakat yang ditunaikan pada bulan Ramadhan itu benar-benar karena menjalankan perintah Allah SWT atau karena berpamrih untuk memperoleh pahala berlimpah? Dimana keikhlasannya kalau begitu? Mengapa kita tidak meyakinkan diri, bahwa zakat bisa dtunaikan kapan saja dengan pahala yang sama besar dengan pahala yang ditunaikan pada bulan Ramadhan dari Allah SWT, manakala kita melaksanakannya dengan penuh keikhlasan. Dibandingkan dengan niat menunaikan zakat di bulan Ramadhan karena berharap pahala yang lebih besar.

Masalah pahala Allah SWT, tidak bisa disandarkan pada ”apa yang dikatakan ustadz” tetapi semata-mata rahasia Allah SWT. Kita perlu menyadarkan diri sendiri, bahwa kaum dhuafa membutuhkan uluran tangan setiap waktu. Kebutuhan hidup untuk makan, menyekolahkan anak dan lain-lain berlangsung sepanjang waktu. Uang (yang berasal dari zakat/infaq/sadaqah) yang diterima secara berlebihan pada bulan Ramadhan cenderung dimanfaat secara serampangan, kurang optimal tidak membawa manfaat untuk melepaskan kaum dhuafa dari jerat kemiskinan.

Wallahu’ alam
Wassalam
Lebak bulus 10 desember 2006 jam 16.30

Senin, 11 Desember 2006

Saya dan Jilbab.

Tahun 1990, perempuan berjilbab masih bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang langka ini, ada satu rekan kerja di bagian pemasaran. Anaknya hitam manis, lembut, santun dan cantik. Karenanya, kami tidak terlalu terkejut saat melihatnya memutuskan untuk menutup aurat, walaupun salah satu direksi perusahaan kemudian menegur keras. Untungnya, teguran keras itu tidak menyebabkan pemecatan dan rekan kerja tersebutpun tidak surut dengan niatnya menutup aurat.

Hari berjalan dan berganti minggu dan bulan. Bagai petir di siang bolong, ketika suatu hari kami mendengar kabar, rekan tersebut mengundurkan diri dari perusahaan karena hamil di luar nikah. Bayangkan ... perempuan berjilbab (pada saat jilbab belum umum digunakan muslimah), jatuh kepada perzinaan. Kami yang beragama Islam merasa terpojokkan karenanya. Direktur yang menegur rekan berjilbab tersebut, seringkali mengejek kami.

Tahun 1994, usai menunaikan ibadah haji dengan suami,  perempuan berjilbab sudah mulai banyak ditemui. Sebagian besar adalah mereka sontak menggunakan jilbab saat usai menunaikan ibadah haji. Coba deh perhatikan, kalau kita (berjilbab) berbelanja ke pasar tradisional, maka para pedagang sontak akan menyapa kita dengan panggilan bu hajjah... Padahal, belum tentu perempuan yang berjilbab itu, sudah melaksanakan ibadah haji, tetapi masyarakat selalu beranggapan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji ”pasti” berjilbab. Padahal .. hal ini belum tentu benar. Jadi saat usai menunaikan haji dan saya belum menggunakan jilbab, tentu ada beberapa orang yang menyindir, baik secara tersamar ataupun terang-terangan.

Saya sendiri, saat itu berpendapat bahwa menunaikan ibadah haji adalah starting point untuk menjadi lebih baik secara bertahap. Dan perjalanan menjadi lebih baik itu bukan dan tidak perlu dilakukan dengan simbol-simbol seperti jilbab, memelihara jenggot untuk lelaki tetapi melalui perilaku yang lebih terjaga dan terus menerus secara konsisten menjadi lebih baik. Memang, ada perintah untuk ”menjulurkan kerudung, menutupi dada/aurat”, tetapi perilaku yang terjaga, menurut pemahaman saya (sampai sekarang) jauh lebih baik daripada sekedar simbol-simbol saja. Apalagi, kecuali jilbab, saya sejak lama memang sudah selalu menggunakan celana panjang dengan blous lengan panjang. Jadi sudah cukup sopan dan tidak mengumbar aurat.

Tahun 2001, 7 tahun setelah menunaikan ibadah haji saya mendapat musibah dan hampir kehilangan nyawa. Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor saya mampir dulu di salah satu bank dekat rumah untuk mengambil uang dalam jumlah yang cukup banyak. Saat menunggu pencairan dana, seolah ada firasat buruk, saya menelpon kantor meminta agar supir menjemput saya di bank. Jadi kemudian saya berangkat ke kantor dengan supir sambil membawa uang yang jumlahnya lumayan besar. Setiba di halaman kantor, usai mengambil tas berisi uang dari bagasi mobil, seraya meminta bantuan satpam membantu membawa tas uang yang cukup berat untuk dibawa masuk kantor, saya dikejutkan oleh teriakan keras dan kilatan clurit yang hampir mengenai muka. Saya menjerit keras dan kehilangan kesadaran ... Entah apa yang terjadi kemudian ... saya hanya tersadar beberapa saat kemudian dan sudah berada di dalam kantor. Konon kata orang setelah menyerahkan atau melempar tas uang ke arah satpam, (saya sama sekali tidak mampu mengingatnya sampai sekarang), saya yang shock berat lari dengan linglung .... Hari itu dan esoknya, shock oleh kejadian tersebut, walaupun tidak ada luka sama sekali saya ”dipaksa” tinggal dirumah. Uang yang baru di ambil dari bank, seluruhnya raib.

Dua hari setelah peristiwa yang saya alami, korban lain jatuh di daerah Tebet .... Juga perempuan, dan mendapat luka bacok yang sangat parah. Seminggu  kemudian, istri dekan tempat suami saya bekerja, terluka bacok oleh clurit, usai berbelanja di bilangan Radio Dalam. Otot lengannya hampir putus dan 3 jarinya nyaris lumpuh. Untunglah dengan pengobatan yang telaten selama berbulan-bulan, akhirnya jari-jarinya bisa berfungsi kembali. Sejak itu, berbagai berita perampokan terhadap nasabah bank yang terjadi di Jakarta kerap menghiasi koran. Tidak ada korban yang selamat seperti saya. Semuanya terluka, kalau mau dibilang selamat, karena beberapa di antaranya malah tewas ditembak atau kena clurit perampok.

Saya merenung dan interospeksi. Inikah teguran Allah SWT atas kelalaian saya dalam menunaikan perintahNya, terutama dalam menutup aurat? Saya memang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, tetapi sebagai manusia, mana mungkin kita melakukannya dengan sempurna. Apalagi kalau itu berkaitan dengan perintah Allah SWT. Namun sebagaimana biasanya, saya selalu ”ingin jawaban” pasti dari berbagai peristiwa atau fenomena yang saya alami. Dalam hati saya berkata ... : ”Ya Allah, apabila peristiwa perampokan itu adalah peringatanMu agar saya menutup aurat, tentu Engkau dengan sangat mudah akan menjawabnya dengan cara ”menangkap” para perampok tersebut”.

Begitulah .. hari demi hari berlalu. Saya hampir melupakan ”permohonan jawaban dari Allah”, sampai saat suatu siang ada telpon yang disusul dengan facsimile berisi permintaan dari polres untuk membuat proses verbal tentang perampokan yang saya alami 6 bulan sebelumnya. Saya langsung tercekat ... teringat pada ”permohonan jawaban” untuk memakai jilbab. Inikah jawaban Allah?

Saya kemudian datang ke kantor polres dan bahkan sempat berpapasan dengan salah satu pelaku (ternyata komplotan perampok tersebut ada 8 orang). Uang yang dirampok berhasil terkumpul hampir seluruhnya. Hanya sebagian kecil sudah dalam bentuk barang. Keberhasilan polisi menangkap pelaku perampokan dan kesediaan pemilik uang untuk menyumbangkan pengembalian uang yang dirampok tersebut untuk kegiatan sosial, menguatkan hati saya, bahwa kesemuanya itu merupakan jawaban Allah SWT bahwa saya ”ditegurNya” untuk segera menutup aurat.

Orang boleh mengatakan bahwa itu suatu kebetulan yang terjadi berkat kerja keras polisi. Biarlah ... setiap orang boleh memiliki pendapat sendiri. Namun saya meyakini, bahwa itulah jawaban Allah bahwa peristiwa perampokan itu merupakan bentuk teguranNya atau kelalaian saya dalam menjalankan perintahNya.

Maka dua bulah kemudian, awal tahun 2002, saya mulai menutup aurat. Tentu masih belum sempurna. Masih ingin terlihat modis dan cantik. Tapi saya selalu bertekad agar setiap hari kemudian menjadi ”jihad” saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Insya Allah...

Minggu, 10 desember 2006 – jam 17.40 di lebak bulus

Jumat, 01 Desember 2006

Hamka dan Pluralisme Agama

Hamka dan Pluralisme Agama
Oleh :
Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia

Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan tersebut. Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Hamka.

Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.

Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.'

Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.

Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.

Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification , menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen."

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat- Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.

Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah keimanan Islam.
Ikhtisar
- Ayat 62 Surat Al Baqarah dan ayat 69 Surat Al Maidah kerap digunakan untuk menjustifikasi paham pluralisme agama.
- Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat Muslim, tapi juga di kalangan umat beragama lain.
- Tiap agama pun melawan paham tersebut.
- Sosok Hamka sangatlah jauh berbeda pandangannya dengan para pengusung paham pluralisme agama.

Bila lidah kelu, tulisan menjadi perlu
Pena lebih tajam dari pedang
Tinta seorang berilmu lebih mulia dari darah seorang syahid

pustaka tani
nuraulia

Di antara dua pilihan.

Krishna sudah meninggalkan Hastinapura. Demikian pula dengan para raja sekutu Kurawa. Mereka harus segera mempersiapkan para prajurit agar siap maju dalam Bharatayudha yang segera berlangsung, membantu sekutunya. Amanat yang dibebankan Pandawa kepada Krishna sebagai duta perdamaian yaitu melakukan perundingan agar Kurawa bersedia mengembalikan Indraprasta atau setidak-tidaknya lima desa saja kepada Pandawa, telah gagal total. Duryodana dan Kurawa sama sekali tidak akan mengembalikan sejengkal tanahpun kepada Pandawa. Demikianlah ....,  Bharatayudha, perang besar di antara keturunan Bharata, sudah dipastikan akan segera terjadi.

Dewi Kunti sangat bersedih hati. Ngeri membayangkan peperangan yang akan segera terjadi. Apa yang akan tersisa dari perang besar ini, kelak? Bagaimana mungkin Pandawa Lima mampu melawan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona, guru yang sangat mereka hormati dan cintai? Dan Bhisma putra Gangga yang sangat masyhur, kakek yang disayangi dan sangat menyayangi Pandawa?. Mereka semua adalah senapati mumpuni yang tak pernah terkalahkan. Dan mereka berada di pihak Kurawa. Memang betul, Mahaguru Kripa, Mahaguru Drona dan Maharesi Bhisma tidak akan sampai hati melukai dan menewaskan Pandawa yang mereka cintai, Tetapi bagaimana dengan Karna? Anak kusir Adhirata yang telah bersumpah untuk membunuh Arjuna terkasih? Karna tentu akan berusaha menyenangkan hati dan membalas budi Duryodhana atas kemewahan, kehormatan dan kemuliaan yang dikecapnya selama ini. Apakah aku harus menumpahkan kepada Karna, segala kegalauan yang bersemayam dalam hati?. Haruskah kukatakan semua rahasia yang selama ini dipendamnya, kepada Pandawa ?: Atau ....
”Wahai putra-putraku, Terimalah segala penghinaan. Sebaiknya kita tidak usah meminta kembali Indraprasta demi menghindari peperangan....”
Namun.... bagaimana mungkin Pandawa bisa menerima usulan ini? Bukankah ini bertentangan dengan dharma para ksatria?

Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di benak Dewi Kunti. Kesedihannya semakin mendalam manakala teringat akan Karna. Haruskah mereka saling berbunuhan? Rasa cinta kepada anak-anaknya dan kegalauan menjelang Bharatayudha membuatnya tak dapat tidur...
”Aku harus menemui Karna ....”
Keesokan hari, sang Dewi keluar istana menuju tepi sungai Gangga, tempat biasa Karna melakukan pemujaan pada dewata. Dari kejauhan, tampaklah sosok gagah, khusu’ bersemadi sehingga tak disadarinya kehadiran Dewi Kunti. Dengan sabar, sang dewi menunggu Karna hingga selesai.

Matahari telah terik saat Karna selesai melakukan pemujaan dan menyadari kehadiran Dewi Kunti. Kaget dan bingung melanda pikirannya, Gerangan apa yang membawa permaisuri Pandhu merendahkan diri menemui anak kusir Adhirata?
”Anak Radha dan Adhirata, kusir kereta menghaturkan sembahnya padamu, wahai Ratu Kunti. Apa yang dapat hamba persembahkan kepada Paduka?”, sapa Karna penuh hormat.
”Wahai ksatria yang gagah perkasa ... janganlah engkau merendahkan dirimu seperti itu. Engkau bukanlah anak Radha dan kusir Adhirata. Sesungguhnya, engkau putra Batara Surya – dewa Matahari yang lahir dari rahim Pritha, putri bangsawan yang terhormat.”

Karna terkejut dan tak mampu berkata-kata mendengar berita tak terduga ini, Namun penderitaan yang dialami akibat penghinaan putra-putra Pandhu selama ini, telah membuatnya keras hati dan merasa curiga akan maksud Kunti menceritakan hal ini.
”Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas di telingamu akibat keteledoran Pritha muda menggunakan mantra pemanggil dewata.”
”Wahai dewi... apa yang sesungguhnya Paduka inginkan dariku dan siapa Pritha?”
”Aduhai anakku tercinta.... maafkanlah ibumu ini, Pritha yang malang... Kemarilah anakku... marilah bergabung dengan adik-adikmu untuk memerintah Hastinapura, melaksanakan dharma seorang ksatria. Aku yakin, adik-adikmu akan merelakan tahta kerajaan untukmu, manakala mereka mengetahui bahwa engkau adalah saudara tua Pandawa....”

Karna tercekat ... tak pernah disangkanya bahwa ia adalah anak sulung permaisuri Pandhu Dewanata. Apalagi mata batinnya menerima firasat bahwa Batara Surya membenarkan pengakuan Kunti. Batin Karna bergolak, kerinduan pada kasih ibu berbenturan dengan sakit hati dan kesedihan atas nasib malang yang dialaminya selama ini.
”Ibuku... engkaukah ibuku..., Engkaukah perempuan yang sanggup membuang aku... anakmu.... bayi tak berdaya ke sungai... ? Mengapa baru sekarang kau ungkapkan rahasia ini? Tahukah ibu, engkau telah merampas dan menghilangkan hak kelahiranku sebagai ksatria. Membuatku hidup menderita dengan penuh kehinaan. Mengapa sekarang engkau mengingatkanku akan tugas-tugasku sebagai ksatria ?”.
”Maafkan aku, anakku ........ Mari kita lupakan masa silam!”.

Karna tercenung..... berbagai perasaan berkecamuk dalam hati. Keinginan membalas cinta ibu kandung yang baru diketahuinya berbenturan dengan kewajiban diri untuk melaksanakan dharma seorang ksatria ... membalas budi Duryodana yang selama ini telah memuliakannya. Kegembiraan mengetahui kebenaran atas asal usulnya terpaksa ditelannya manakala teringat betapa seringnya ia menerima hinaan para ksatria semasa hidupnya. Sebelum ia memperoleh kemuliaan dari Duryodana,
”Ibu, maafkanlah anakmu! Engkau sesungguhnya tidak mencintaiku... Kehadiranmu di sini lebih dikarenakan rasa sayangmu kepada Arjuna dan jangan kau ingkari itu!. Selama ini, aku hidup dalam naungan Duryodana dan Kurawa... Aku diangkat dan dimuliakan saat anak-anakmu menghina dan menghardikku. Dimanakah engkau saat itu...? Mengapa tak kau katakan rahasiamu pada kesempatan itu? Selama ini aku dihidupi anak-anak Dristarata. Aku dipercaya mereka sebagai sekutu yang setia. Kemuliaan dan harta yang kumiliki berasal dari mereka. Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka dan berkhianat saat perang pecah? Bagaimana engkau mampu menyuruhku mengkhianati dharmaku...?”
Dewi Kunti terdiam... tak mampu berkata-kata. Penyesalan selalu datang terlambat.

Karna masih menumpahkan segala perasaan yang selama ini mengcengkeram hatinya.
”Katakan ibu... apakah ada yang lebih hina daripada orang yang mengkhianati orang yang telah menolong kita? Katakan... adakah yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas budi? Ibuku tercinta... aku harus membalas budi... membayar hutangku... Bila perlu, semua kubayar dengan nyawaku... Karenanya, tentu aku akan melawan anak-anakmu dalam Bharatayudha, dengan segala kekuatanku. Kalau tidak, maka aku bagaikan perampok.. yang bertahun-tahun menikmati harta kerajaan Hastinapura.”
”Aku tidak akan mengkhianati siapapun.. Aku tidak akan menipu siapapun... tidak pula menipumu, ibu.. apalagi menipu diriku sendiri. Maafkanlah anakmu ini...!”
”Oh... Karna anakku ......”
”Biarpun begitu... aku tidak akan menyia-nyiakan permintaanmu, ibu. Aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu yang lain dalam peperangan kelak..., apapun yang mereka perbuat kepadaku. Namun ibu.... ini soal aku dan Arjuna... Aku atau Arjuna.... salah satu pasti akan mati dalam peperangan besar ini.”
”Wahai ibu para ksatria.... Aku berjanji, anakmu tak akan berkurang satupun juga, saat Bharatayudha usai nanti. Salah satu dari kami, Arjuna atau aku akan tetap hidup usai perang kelak dan anakmu akan tetap berjumlah lima orang. Tidak berkurang satupun juga. Percayalah...!”

Mendengar ketegasan Karna, hati Dewi Kunti semakin sedih. Ia tak kuasa berkata-kata lagi. Dipeluknya Karna dengan penuh kasih seolah melunasi seluruh hak Karna sebagai anak, yang belum pernah dicicipinya. Hatinya semakin sedih membayangkan kedua anaknya yang gagah perkasa, Karna dan Arjuna bertempur, mempertahankan dharma mereka sebagai ksatria dan saling berbunuhan. Namun diapun terharu akan keteguhan hati Karna menjalan takdir kehidupannya. Akhirnya, diapun meninggalkan sang putra Matahari yang teguh. Dengan langkah gontai Kunti kembali ke istana.
”Siapakah yang sanggup menentang suratan nasibnya? Semoga Dewata melindungimu, anakku sayang!”, doanya tulus bagi putra dewa matahari.

Lebak bulus 30 november 2006 – 23.20
Diceritakan kembali berdasarkan Mahabharata – Nyoman S Pendit dan film Mahabharata versi India.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...