Jumat, 16 Januari 2015

Good Luck Gadis .....

6 Desember 2014 - Mulia Hotel
Kamis 16 Januari 2015 siang, Gadis ... staff HRD yang mengundurkan diri menjelang libur akhir tahun 2014 datang ke kantor. Dia memang janji akan mampir ke kantor menjelang keberangkatannya ke Groeningen - Belanda. Semula, saya pikir dia akan menghabiskan waktu seharian di kantor untuk makan siang sama-sama. Tapi rupanya, dia hanya mampir khusus untuk pamit, menjelang keberangkatannya di malam hari.

Gadis kelahiran pulau Bangka yang lulusan fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, menerima beasiswa LPDP dari pemerintah Indonesia untuk meneruskan pendidikannya di Groeningen - Belanda. Sebetulnya, beasiswa yang diterimanya hanya untuk meneruskan jenjang S2 di dalam negeri. Namun entah mengapa, LPDP menyarankannya untuk mengambil gelar tersebut di luar negeri. Bisa jadi karena prestasi akademis sejak sekolah di Bangka dulu hingga di FPsy UI yang sangat baik, sehingga tawaran itu datang. Baguslah .... kenapa tidak...? Walau keberangkatannya sedikit terlambat dari rekan seangkatannya, namun sekarang dia sudah terbang ... dan saat saya menulis cerita ini, mungkin masih melayang-layang di atas daratan Eropa. Semoga selamat .... tidak menemukan nasib naas seperti alm Munir beberapa tahun lalu yang menemui ajalnya dalam penerbangan dengan Garuda. Pesawat yang sama yang membawanya untuk meraih angan-angannya.

Entah apa yang membuat saya ingin menulis tentang gadis ini ....., gadis yang seringkali sering kami ganggu saat makan siang di kantor. Ada banyak hal, memang yang menjadikannya sasaran gangguan kami. Yang pertama saya ingat adalah gaya salah tingkahnya saat ada "cowo baru" di kantor .... kemudian, saat dia merasa sedikit putus asa kala nilai ujian, entah TOEFL atau IELTS nya tak kunjung membaik sehingga entah main-main atau serius, dia sempat melontarkan ucapan...


Behavioural & Social Science - Univ of Groeningen
"Duh ... susahnya mau sekolah, kalau gini terus, mending kawin aja deh ....!", kira2 begitu keluhannya yang kemudian disambut ramai dengan upaya perjodohan untuknya.
"Ada keponakan suamiku, yang kerja di Sydney, minta dicariin jodoh nih ... mau gak...?, COO kami melontarkan idea....
"Boleh .....!!!"
Ramai kami melihat spontanitasnya tentang perjodohan itu walau dilontarkan agak malu-malu...
"Iya tuh ..... kan lumayan, sekali dayung dua pulau terlewati .... Kalau jadi, menikah kemudian tinggal di Sydney... terus sekolah lagi deh di UNSW.... Wuih .... gaya banget deh...!"

Sayangnya.... upaya inipun kandas, mungkin karena sang calon sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga upaya menghubunginya selalu terkendala. Dari calon dalam negeripun, ada juga .... sayangnya, sang lelaki mensyaratkan "hijab" untuk perempuan yang ingin dinikahinya. Ya sudahlah .... belum jodoh ....

Hingga akhirnya ..... pertengahan November atau awal Desember 2014 yang lalu, saya mendapat kabar, akhirnya si Gadis memperoleh nilai bahasa Inggris yang memadai untuk meneruskan kuliahnya di Groeningen.
***

Setelah Andrea Hirata yang fenomenal itu, entah sudah berapa banyak anak muda dari kepulauan Bangka-Belitung yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi baik di dalam negeri, khususnya di PTN terkenal Indonesia, maupun di luar negeri. Yang patut dicermati, seberapa banyak dari mereka yang kemudian kembali ke daerahnya untuk membangun dan memajukan provinsi tanah kelahirannya. Entahlah .....

Paradigma keberhasilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, adalah apabila mampu "menaklukkan" belantara persaingan dunia kerja dan karir di ibukota. Itulah kebanggaan diri dan bahkan kebanggaan keluarga besar. Bahkan mereka yang menempuh pendidikan tinggi di daerah/provinsi kelahirannyapun berbondong-bondong mengadu nasib di ibukota. Karenanya, mereka yang hanya bekerja di daerah, seperti kalah pamor dengan rekan-rekannya yang bekerja di ibukota.  
***


Kemarin sore, saya sempat menceritakan perihal keberangkatan ini kepada suami,
"Alangkah baiknya, kalau setelah selesai S2 nya, dia kembali ke Bangka. Membangun tanah kelahirannya agar maju seperti provinsi lainnya di Jawa"
"Ah ..... mana mungkin ....? Semua orang ingin bekerja di ibukota. Mana ada yang mau kerja dan meraih karir di tanah kelahirannya? Yang sudah pensiun aja, jarang yang mau kembali ke tanah kelahirannya".
"Jangan yang pensiun dong .... anak-anak muda yang perlu membangun tanah kelahirannya!"
"Yah .... ibaratnya, yang sudah pensiun aja masih cari-cari kesempatan kerja di ibukota, enggan kembali ke tanah kelahiran, membina dan menularkan semangat juangnya kepada orang-orang desa, apalagi anak muda yang orientasinya hedonis...?"

Biasanya, cuma orang-orang yang kalah bersaing saja yang mau kembali ke tanah kelahiran. Kalau ada dari mereka yang dengan kesadaran tinggi kembali ke tanah kelahirannya, tentu patut kita hargai perjuangannya. Yang pertama, atas keberhasilannya "meyakinkan dan membuat orangtuanya menyerah" pada pilihannya bekerja di tanah kelahirannya. Hal ini saya pikir memang perjuangan berat, karena pada umumnya orang tua ingin anaknya berhasil meraih karir yang tinggi dan tentunya materi. Akan lebih bergengsi lagi kalau keberhasilan itu diraih dari ibukota. Kalau usai menempuh pendidikan tinggi lalu ada permintaan kembali ke tanah kelahiran dari orangtuanya .... maka orangtua ini perlu diacungi jempol. Bukan hanya satu .... tapi dua jempol...!!!
***


Nah balik ke Gadis yang mungkin dalam beberapa jam lagi akan menyapa udara dingin dan mungkin menikmati keindahan salju yang melayang-layang di udara untuk pertama kali, saya cuma bisa berdoa semoga semuanya berjalan lancar ....

Tinggal di Eropa, jauh dari keluarga apalagi kemudian sekolah dalam bahasa asing, past sangat tidak mudah untuk dilalui. Ada kebiasaan dan budaya yang sangat berbeda dengan kebiasaan kita di tanah air. Tapi .... Belanda bukanlah sesuatu yang sangat asing dengan Indonesia. Makanan khas Indonesia dengan sangat mudah ditemui di toko-toko makanan dan juga restaurant. Sebut saja petai, terasi, tempe, tahu, kangkung, toge dll .... Jadi, jangan sedih.... cuma tinggal kemauan untuk memasakknya.

Tetapi, bukankah akan lebih baik kalau selama tinggal disana, menikmati masakan lokal...? Cuma hati-hati .... akan kehalalannya..... Good Luck Gadis.......


Kamis, 08 Januari 2015

21st century's LIFE STYLE - Dilema orangtua

Hari pertama kerja di tahun 2015, Senin tanggal 5 Januari, hampir seluruh isi dan penghuni kantor kami sudah lengkap berada di tempat. Bahkan sang bigboss merangkap pemilik perusahaan sudah hadir beberapa puluh menit sebelum para karyawannya hadir lengkap.

Pagi itu, setelah saling mengucapkan  selamat tahun baru, kami memulai jam kerja dengan konsolidasi pekerjaan terutama dengan bigboss yang kelihatannya pada tahun 2015 akan lebih jarang hadir di kantor dan bahkan mungkin akan lebih konsentrasi pada peluang bisnis yang lebih besar dan lebih menantang. Lebih mendunia ....? Semoga .... dengan dukungan dana yang konon kabarnya hampir tak terbatas. Kita lihat saja sambil berdoa ....

Sore hari, menjelang jam kantor usai, kami bertiga meluangkan sedikit waktu ngobrol disela-sela obrolan mengenai peluang bisnis yang bisa dimasuki perusahaan maupun evaluasi kinerja dan pending matters. Topiknya apalagi kalau bukan ....."kemana saja libur akhir tahun"

"Aku sakit .... batuk pilek, jadi gak bisa kemana-mana", begitu celoteh sang Chief Operating Officer tempat kami bekerja.
"Rumahmu sudah selesai...?"
"Nah itulah .... Kerjaan kontraktor belum selesai dan mungkin karena banyak debulah yang bikin gue pilek...!". 
"Sama .... aku juga bersin2 nih ... sampe sekarang badan masih nggak enak banget. Nggak lucu kalau hari pertama kantor, masih bolos juga"
"Kemana aja liburan ...?", tanyanya
"Minggu pertama, di rumah saja judulnya. Pembokat pulang kampung karena ada saudaranya datang dari Pontianak. Aku berangkat ke Palembang Minggu 28 Desember. Sekali-sekali nebeng suami yang dapat undangan untuk menghadiri pengukuhan professor di Universitas Sriwijaya"
"Wah ... asyik dong, makan pempek .....!!!", timpal yang yang lain ...
"Yah begitulah ... tapi pake degdegan .... Bayangin aja, lagi nunggu di waiting room tau-tau liat berita di TV, Air Asia lost contact di wilayah Bangka Belitung. Bayangin aja, arah penerbangan ke Palembang kan gak jauh2 dari Ba-bel ....! Gila lo ..... degdegan abis..... tiap ada guncangan di pesawat, langsung mantra2 keluar deh ......"


"Elo mas ..... kemana aja...?" tanya sang COO kepada rekan lelaki kami di ruang itu...
"Ke Bali, ...."
"Wah .... asyik ... pasti rame banget Bali ya .... Asyik bila liburan akhir tahun sama keluarga ke Bali....!"
"Wah ... enggak .... Cuma berdua sama anak gadis gue aja .... Gue malah disangka oom yang lagi antar ponakan berlibur..."
"Lho .... emak dan abangnya kenapa gak ikut ....?"
"Si abang sibuk ngamen di cafe .... si emak gak mau ikut karena si anak gadis ini sukanya berangkat dadakan gitu... Untung masih dapet tiket"
"Lho ..... kok? Emangnya bukan acara liburan keluarga?
"Nggaklah .... si gadis diajak libur akhir tahun sama keluarga pacarnya... Daripada dia berangkat sendiri, ya gue temenin lah...!"
"Hah ....... emang kelas berapa dia sekarang?", teriak dua emak yang kebingungan dan kaget dengar cerita itu.
"Kelas dua sma ..."
"Gila lo mas ..... anak masih sma kayak gitu pacaran serius-serius banget ...? Gue aja yang anak sudah hampir selesai kuliah, masih gue wanti-wanti, jangan terlalu serius dulu ... umur masih muda, baru sekitar 21tahun .... jangan sampe nyesel kalo keburu nikah... Makanya, gue jaga jarak banget sama cowonya...", sahut temanku yang anaknya memang masih kuliah di Australia untuk mengambil double degree dari salah satu PTN di Indonesia.

Teman lelaki kami itu dengan raut muka polos atau bangga lalu bercerita tentang perjalanan liburannya dengan keluarga pacar anaknya (yang notabene sesama anak SMA), Dia juga bercerita dengan sangat bangganya tentang betapa anak gadisnya sangat "gaul". Sering keluar-masuk cafe atau main game hingga pagi hari dengan ditemani oleh teman-teman kakak lelakinya. Entah dimana ... bisa main game jadi di rumah atau mungkin juga di luar rumah. Setahu saya ... kedua anaknya memang masing-masing dibelikan mobil oleh si bapak, Bukan main ......

Terbayang penampilan anak gadisnya itu pada beberapa kali kami bertemu baik di Pondok Indah Mall maupun yang terakhir pada saat resepsi pernikahan di salah satu hotel mewah di Jakarta. Khas anak gadis metropolitan abad ke 21. Make up lengkap, baju sexy dengan sepatu berhak tinggi lancip .....

Saya juga membayangkan wajah anak gadis sang COO yang mahasiswa itu .... Penampilan khas mahasiswa dengan sneakers dan tshirt dengan wajah polos alamiah. Sangat berbeda jauh dengan anak gadis teman kantor lelaki itu. Bahkan bagai langit dan bumi. Aku juga teringat dengan penampilan anak gadisku sendiri yang relatif cenderung sangat puritan. Dengan jilbab sederhananya, wajah polos yang bahkan pelembab mukapun enggan dipakai.....

"Hati-hatilah mas ..... anak lo kan perempuan .... masih SMA lagi, masa iya elo ijinkan liburan sama keluarga pacarnya begitu...?"
"Ya abis gimana .... kan gue temenin juga .... Dia gak pergi sendiri..."
"Iyalah .... gak pergi sendiri, tapi persepsi si anak atas kejadian ini, bisa-bisa mereka anggap ... Oh nggak apa-apa .... sekali, dua kali, ntar kalo kebablasan... baru nyesel lho ..."
"Nggaklah ...."
"Ya nggak tahu deh .... kami ini mungkin perempuan-perempuan kuno yang nggak akan pernah mengijinkan anak perempuan bergaul berlebihan dengan lelaki", sahut temanku mengatasnamakan kami berdua.
"Gue aja, selalu bilang sama anak gue ... mami nggak mau kehadiran pacar mengganggu acara keluarga kita. kalau dia mau ikut acara kita, welcome ....! tapi kalau kamu bikin acara berdua dengan pacar sementara kita punya acara keluarga, maka kamu harus ikut acara mami...!", sambung temanku lagi menjelaskan posisinya terhadap si anak yang mahasiswi itu.

Perbincangan kemudian menjadi ramai tentang bagaimana nilai-nilai yang kami anut dalam membesarkan anak perempuan di tengah pergaulan metropolitan yang cenderung "mengerikan" ditinjau dari sudut kebebasan ekspresi yang mengarah pada eksploitasi seksual dan narkotika.
***


Aku memiliki sepasang anak dengan jarak lahir 15 tahun. Masing-masing tumbuh dan berkembang secara individu pada era yang berbeda. nyaris 1 generasi bedanya. Kepada si kakak lelaki, walau dengan penuh kekhawatiran, yang mungkin juga saat itu si anak merasa terlalu diawasi, aku relatif bisa melepasnya. Pergi menghadiri pesta akhir tahun di apartemen temannya atau pesta-pesta ulang tahun hingga larut malam. Mungkin juga berbeda karena anak lelakiku itu sangat percaya diri dan merasa sangat mampu menjaga diri sehingga melanggar dan cenderung mengabaikan apapun yang diomongkan ibunya yang cerewet.

Anakku yang kedua, perempuan tumbuh menjadi anak manja, namun juga punya karakter sendiri. Dibalik sikap-sikapnya yang klemer-klemer, gampang jatuh hati pada "rayuan lelaki", tapi sejak kelas 5 SD, walau masih on n off sudah memutuskan memakai jilbab. Tanpa suruhan, anjuran ... (kecuali anjuran guru SDnya saat anak kami pulang umroh). Kini bahkan gerak hidupnya terlihat lebih relijius dibanding kedua orangtuanya .... hehe, dibanding ibunya, tepatnya begitu .....

Begitupun, aku begitu khawatir karena gaya klemer-klemernya itu membuatku bertanya-tanya, mampukan dia menjaga diri dari "serangan" lawan jenis.... Duh ... susahnya jadi orangtua.
***


Kami bertiga di kantor, memang berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sangat berbeda. Tetapi kalau ditinjau dari kota kelahiran, maka kami yang perempuan lahir dan besar di Jakarta. Jadi .... amat sangat menegrti lekak lekuk pergaulan metropolitan. Bahkan bagaimana gaya hidup hedonisme penghuninyapun sudah dihafal luar kepala. Sementara kawan lelaki kami itu, baik dia maupun istrinya adalah keluarga yang besar di wilayah Jawa Tengah/Timur dan mereka masuk ke Jakarta pada saat sang suami bergabung ke perusahaan tempat kami bekerja ini. 

Apakah hal ini ada pengaruhnya...? Entahlah... tapi saya seringkali membaca bahwa orang cenderung mengikuti gaya hidup sekelompok/segolongan lainnya yang menjadi acuan dan panutan agar dia dianggap termasuk dalam golongan tersebut. Apakah agar dianggap modern/maju atau masuk dalam golongan intelektual dan lainnya. Maka ke situlah kiblat hidupnya diarahkan...

Tapi .... kembali pada gaya hidup dan pergaulan remaja abad ke 21 ini ...., sebagai ibu dari anak remaja, saya seringkali ngeri terhadap kondisi pergaulan saat ini, dimana anak-anak terpapar pada godaan sexualitas, narkotika dan lainnya yang sangat bertubi-tubi dan .... borderless ..... 

Kamis, 01 Januari 2015

EVALUASI AKHIR TAHUN?? Nggaklah ...

Sore tadi, Rabu 31 Desember, hari terakhir di tahun 2014, kami baru kembali dari kunjungan selama 4 hari 3 malam ke Palembang. Ini adalah kunjungan pertama setelah sekitar 40 tahun yang lalu, Kebetulan suami mendapat undangan untuk hadir dalam acara pengukuhan guru besar di Departemen Teknik Mesin - Universitas Sriwijaya dan kebetulan juga sedang libur akhir tahun dan tidak ada rencana acara liburan kemanapun juga. Jadi .... ikutlah ke Palembang.

Malam ini, adalah malam pertama di tahun 2015, usai berbuka puasa dan sambil mendengar acara berita di televisi yang sebagian besar diisi dengan update upaya evakuasi korban musibah penerbangan air Asia yang terjadi pada tanggal 28 Desember yang lalu, tepat dengan hari keberangkatan kami ke Palembang, saya berupaya meneruskan tulisan yang sebetulnya sudah agak lama tertunda.

Saya, sebetulnya, bukan orang yang suka membuat resolusi menjelang pergantian tahun sehingga tentu juga tidak akan melakukan evaluasi tentang apa yang sudah saya lakukan sepanjang tahun 2014 dan apa yang akan saya lakukan di sepanjang tahun 2015 mendatang. Hidup .... biarkanlah berlalu apa adanya saja. Seperti aliran air di sungai ... toh akhirnya akan mencapai muara .... 

Lelah sekali kalau kita harus mematok target dan kemudian mengevaluasinya. Mungkin juga karena faktor umur dan beragam peristiwa yang pernah terjadi dan masih sangat membekas dalam sehingga saya merasa harus meredam beragam ambisi.

Khusus kali ini, rasanya saya hanya akan bercerita saja tentang apa yang terjadi di hari terakhir hari kerja di tahun 2014. Senin 22 Desember 2014
***

Hari itu .... sementara saya sedang mengetik sesuatu di Mac book pro, seorang staff kantor masuk ruangan. Sambil mempersilakannya duduk, saya melihatnya seperti agak salah tingkah.
"Bu ... maaf .... saya mau pamit ....."
"Lho ......? Resign ya .... kapan?
"Pertengahan Januari bu! 15 Januari ..."
"Wah ... mendadak sekali ya ...? Aturannya kan 1 month notice?"
"Maaf bu ... saya baru dapat kabar hari Jum'at dan tanggal 15 Januari itu harus apel sambil melengkapi data administrasi yang kurang ...."
"Oh .... OK, gak masalah .... buat aja surat ke HRD, pemberitahuan pengunduran diri, lalu coba telpon managermu. Tanya, kapan dia masuk kantor setelah cuti melahirkan itu... Siapkan serah terimanya. Kita bicara begitu masuk kantor, nanti. Dokumen2 dan administrasi bisa diserahkan ke managermu. Bagian tekniknya biar langsung saja sama saya ... pak E, mungkin akan lama di luar kota dan baru akan kembali kalau sudah ada manager teknik proyek".
"Baik bu ..."
"Pindah kemana ...?"
"Kemenkeu bu ..."
"Oh .... OK ... baguslah, kalau begitu ...! Selamat ... Semoga tempat itu jadi pelabuhan terakhir dan cocok buatmu"

Setelah itu, kami bicara beragam hal. Sambil bicara, ingatan saya melayang-layang pada anak sulung saya yang entah sedang apa saat itu ... Di suatu negeri asing yang telah menjadi pilihannya untuk menetap sejak 12 tahun yang lalu.
***

Sejujurnya ... saya memang tidak terlalu berharap staff tersebut akan betah bekerja di kantor tepat saya bekerja. Ada berapa hal yang mendasarinya .... Pertama tentu saja saya peroleh saat pertama saya bertemu dan merekrutnya. Dia menyebutnya hanya akan bekerja paling lama 5 tahun saja di kantor kami.

Jawaban itu bagi saya cukup "fair" .... Dulu, saat pertama bekerja, sayapun mematok waktu 5 tahun untuk bekerja di suatu kantor. Kalau dalam jangka waktu tersebut saya merasa "tidak memperoleh apa-apa", maka saya akan mengundurkan diri, mencari kesempatan lain yang lebih baik. Harap bisa dimengerti karena masa kerja sejak lulus hingga usia 35 tahun adalah masa keemasan untuk mendapatkan remunerasi maupun kesempatan yang dialokasikan untuk meraih jenjang karir terutama bagi yang bekerja di sektor swasta. Selebihnya... setelah usia tersebut, karir relatif menjadi lebih stagnan

Itu sebabnya, orang muda pada range umur itu seringkali berganti pekerjaan. Tetapi ... terlalu sering mengganti pekerjaan juga akan menimbulkan pertanyaan bagi para recruiter ... Apakah ada yang salah dengan orang tersebut.

Hal lain yang turut mengambil peran dalam menentukan sektor pekerjaan, adalah latar belakang keluarga, baik keluarga asal maupun keluarga pasangan. Sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir feodalistis. Menjadi Pegawai Negeri Sipil alias PNS dengan harapan suatu waktu nanti akan menjadi pejabat terpandang, baik apakah itu pada level daerah setempat (kabupaten, provinsi) maupun pada level nasional. Syukur-syukur kalau suatu saat terpilih jadi menteri, tapi minimal sebagai pejabat karier, level eselon 1 tentu jadi harapan. 

Posisi sebagai "penentu kebijakan umum" yang wajib "dipatuhi" seluruh anak negeri menjadi suatu previlege yang tidak mungkin diperoleh kala kita bekerja di sektor swasta. Setinggi-tingginya jabatan di sektor swasta, dia akan tetap "menundukkan" kepala ... mematuhi segala aturan yang dibuat "pejabat negara"..... Walau di belakang, misuh-misuh ... hehe ...

Atas dasar itulah, saya akan sangat memaklumi bila ada staff yang mengundurkan diri untuk kemudian menjadi PNS atau minimal menjadi pegawai BUMN. Namun demikian ... saya akan jauh lebih salut dan bangga bila ada yang mengundurkan diri dengan alasan ingin membangun bisnis sendiri ..... Ini jarang dan sampai saat ini belum pernah terjadi. Yang lebih banyak terjadi adalah, staff yang memanfaatkan waktu luang di luar kantor untuk berbisnis dan lebih parah lagi memanfaatkan fasilitas kantor untuk melaksanakan bisnisnya. Apalagi hampir semua kantor saat ini dilengkapi dengan saluran internet dan online business sedang menjadi kecenderungan utama.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...