Sabtu, 31 Desember 2011

Anugerah Allah Yang tak Ternilai

3/5 Berusaha dan terus berusaha.


Hari itu, adalah hari ke 14 menstruasi ... Masih sederas hari pertama dan tidak ada tanda-tanda mereda. Saya sudah lelah kembali ke dokter kandungan. Apalagi harus membuka aurat di hadapan lelaki bukan muhrim. Satu tahun sudah cukup, dan saya tidak ingin lagi melanjutkan pengobatan ini dan membiarkan tubuh, apalagi bagian yang paling intim ditelisik dan diamat-amati, untuk alasan apapun juga, oleh seorang lelaki. Sejak kecil, nenek saya selalu wanti-wanti untuk tidak berperilaku sembarangan. Walaupun jaman itu jilbab belum dipakai orang, tetapi nenek yang aktifis Aisyiah dan tak lepas dari dzikir itu, akan marah besar bila cucu-cucunya memakai baju gaya ”you can see”. Kami, cucu-cucunya diwajibkan memakai baju lengan panjang dan rok sedikit di bawah lutut.

Dulu, saat saya menjalani kehamilan pertama, tahun 1982 - 1983, seluruh dokter yang menangani kehamilan hingga melahirkan adalah dokter perempuan. Padahal itu terjadi di jantungnya Eropa ... di negara, di mana para muslimin menjadi minoritas. Masakan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, saya tidak dapat menemui perempuan yang berprofesi sebagai dokter kandungan? Ini betul-betul tidak masuk akal. Setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya saya mendapatkan nama seorang dokter wanita di bilangan otista - Jakarta Timur. Kesanalah, kemudian saya berobat.

Seperti robot, saya mengulangi lagi cerita panjang mengenai ”penyakit” ini serta tahapan-tahapan pengobatan yang pernah dijalani selama + satu tahun. Usai mendengar keluhan saya, dan memeriksa bola mata, dokter mendiagnosa bahwa akibat perdarahan yang berlebihan selama hampir satu tahun itu, sesungguhnya saya hanya kekurangan vitamin (???!!!) saja. Tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.....

Walaupun agak terkejut dengan diagnosanya, saya hanya manggut-manggut. Percaya sajalah...., masa dokter mau menipu pasiennya?? Jadi, keluar dari ruang praktek, saya hanya dibekali dengan 2 lembar kertas resep untuk ditukar sekantung vitamin yang harus dikonsumsi selama satu bulan.

Mulailah pengobatan dengan hanya meminum vitamin. Logika dokter masih bisa diterima. Bagaimana tidak, kalau hampir satu tahun terjadi perdarahan hebat dengan hanya jeda 1 minggu saja setiap bulannya? Tentu tubuh akan kekurangan banyak haemoglobin dan sekarang dokter berusaha meningkatkan kembali kadar haemoglobin, dengan harapan bila kondisi tubuh prima, maka secara alamiah tubuh itu sendiri yang akan mengembalikan fungsi-fungsi organ tubuhnya seperti semula.

Alhamdulillah, pada hari ketiga setelah meminum berbagai macam vitamin plus obat penghenti perdarahan, menstruasi mulai berkurang dan berhenti total. Tepat satu minggu setelah meminum vitamin atau saat obat penghenti menstruasi tersebut habis. Lega sudah, rasanya ..... Ternyata penyakit ini hanya disebabkan kekurangan vitamin. Bukan sesuatu yang menakutkan ....

Bulan selanjutnya, kala menstruasi datang, saya berharap kondisi tubuh sudah mulai membaik sehingga tidak perlu bersusah payah lagi mengkonsumsi vitamin. Maklum, walaupun pengobatan tersebut mendapat 75% penggantian dari kantor, namun ada juga rasa sungkan kala harus mengajukan permohonan penggantian. Bayangkan .... selama satu tahun, sudah berapa besar biaya yang dihamburkan untuk obat dan kunjungan dokter. Namun harapan tinggal harapan...... Menstruasi tidak kunjung selesai dalam waktu satu minggu. Terpaksa harus kembali ke dokter dan meminum vitamin yang sama ditambah dengan obat penghenti perdarahan yang semakin tinggi dosisnya..... Begitu berulang hingga bulan kelima. Pada bulan ke enam .... vitamin dan obat yang sama sudah tidak mempan lagi ... Perdarahan berlangsung selama satu bulan nonstop. Walaupun saya tidak pernah pingsan karenanya, perasaan sudah mulai tidak nyaman .... tidak lagi bisa membayangkan bagaimana perasaan suami menghadapi masalah ini. Kondisi fisik seperti ini sudah tentu menghambat hubungan pasangan suami istri. Saya tidak pernah sempat memikirkannya apalagi menanyakan. Walaupun saya percaya penuh pada kesetiaan suami tapi kadangkala terbersit juga kekhawatiran. Apalagi bila membaca cerita tentang sebab-sebab perselingkuhan dan kiat-kiat mempertahankan rumah tangga yang banyak ditulis dalam majalah wanita. Betapa, untuk suami, hubungan seksual pasangan suami istri merupakan salah satu elemen penting dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga.

Saya memang beruntung, memiliki teman-teman kantor, baik lelaki maupun perempuan, yang penuh perhatian. Mereka yang mengetahui masalah ini, mulai menganjurkan untuk mendatangi seorang dokter kandungan, lelaki tua yang dianggap ”mumpuni” di bilangan Menteng. Walaupun agak judes, lelaki tua ini sangat teliti dan konvensional dalam menangani pasiennya. Konon, dokter inilah yang diberi kepercayaan untuk menangani kehamilan para anggota keluarga cendana.

Cape-cape mencari dokter kandungan perempuan, kok malah balik lagi ke dokter lelaki. Tapi, kemana lagi harus mencari kesembuhan secara medis? Teman-teman setiap hari menanyakan kapan saya mau memeriksakan diri dan mereka bersedia untuk mengantar. Dengan agak enggan, saya akhirnya terpaksa berangkat menemui dokter, karena sudah tidak tahan dengan darah yang mengalir hampir selama 6 minggu. Betul saja .... setelah mendengar kronologis seluruh pengobatan yang sudah saya jalani selama 18 bulan, panjang lebar, dia mengomel dan mengomentari pengobatan yang sudah saya terima. Saya hanya diam pasrah, walaupun kesal. Sudah sakit, eh malah diomeli. Kesalahan pengobatan kan bukan salah saya, tapi bisa jadi karena metode pengobatan yang berbeda, atau bisa jadi karena berbeda pengalaman. Pokoknya, itu kan salah rekan sejawatnya, bukan salah pasien. Tapi karena sebelumnya sudah diingatkan oleh teman-teman, saya pasrah saja mendengar omelannya.

Begitulah, walau agak sebal, saya berusaha mengikuti cara penanganannya. Saya dianjurkan untuk mengikuti terapi pemanasan (maaf lupa apa namanya) pada kandung telur bagian kiri, selama 15 sesi @ 10 kali, yang dijalani seminggu 2 kali, di samping dengan obat-obatan dan vitamin yang diberikannya. Demikianlah, sesi demi sesi pemanasan dijalani. Obat ditenggak ... Entah sudah berapa ribu butir obat yang masuk melalui kerongkongan selama ini. Juga entah sudah berapa juta rupiah biaya pengobatan yang sudah keluar dari kantong pribadi maupun dari kantor. Tidak pernah lagi berhitung dan dihitung.

Pada saat pemanasan, terlihat ada bulatan dengan diameter + 5 cm di bagian kiri perut bawah. Konon, di bagian itulah terjadi infeksi pada luka, yang diduga sebagai akibat kuret yang terlalu dalam, yang saya alami satu tahun sebelumnya. Memang pada bagian itu seringkali terjadi rasa ”senut2” saat perdarahan terjadi. Untung saja physioteraphist nya perempuan, jadi saya agak rajin melaksanakan terapi itu.

Bulan demi bulan dijalani .... perdarahan demi perdarahan berulang dan berulang. Obat demi obat silih berganti.... mulai dari dosis rendah hingga dosis tinggi .... Dimulai dari hanya mengkonsumsi obat secara oral hingga ditambahkan dengan suntikan... Dari mulai hanya satu suntikan setiap kali datang hingga dua kali di paha kiri dan kanan setiap kali datang. Dari mulai antibiotic ringan hingga antibiotic kelas berat yang super mahal untuk ukuran saat itu. Sementara tiap sesi pemanasan dijalankan tanpa absen .... Semua sudah dijalani, dan toh harus berakhir pada keputus-asaan.

Tepat satu tahun setelah pengobatan dokter tua ini saya jalani, saya memutuskan berhenti. Lelah dengan kunjungan-kunjungan rutin di ruang praktek dan tempat terapi pemanasan.... Muak dengan obat-obatan yang harus ditenggak. Juga sebal dengan waktu yang harus terbuang dalam perjalanan berangkat dan pulang dari kunjungan ke ruang praktek dokter. Apalagi, saat itu, saya baru saja pindah bekerja dari konsultan perencana di bilangan Tebet ke sebuah perusahaan real estate di bilangan Rawamangun. Sungkan untuk selalu minta ijin pulang cepat dengan alasan ke dokter.

Saya sudah betul-betul lelah lahir batin. Berbagai teori kedokteran dijejali ke dalam otak, tetapi tak satupun yang terbukti. Semua upaya dokter terasa dilakukan dengan cara coba-coba. Saat segala teori telah dipraktekkan tanpa membawa hasil, dokter dengan enteng angkat tangan. Mengapa tidak dijelaskan pada pasien sejak awal, proses yang harus dilalui, resiko-resiko, biaya-biayanya sekaligus kemungkinan keberhasilan dari metode pengobatan yang akan dijalankan, agar pasien tidak merasa dibohongi dan dicurangi...?

Saya merasa beruntung, secara fisik, masalah kesehatan yang parah ini tidak terlalu terlihat. Saya selalu berusaha untuk tidak bolos kantor, apalagi hanya untuk bermanja-manja di rumah karena perdarahan yang dialami. Bekerja di lapangan juga masih dilakukan. Mengapa tidak, secara fisik, saya merasa sehat wal afiat, tidak merasa sakit. Hanya saja merasa cepat lelah kala harus naik tangga. Wajar saja ... perdarahan yang terus menerus tentu mempengaruhi kebugaran tubuh. Jadi wajar saja bila setiap naik tangga saya merasa terengah-engah dan harus memberi jeda yang cukup setelahnya, sebelum memulai aktifitas fisik lainnya. Orang juga melihat saya agak pucat.

Bersamaan dengan kepindahan ini, saya memutuskan untuk menghentikan pengobatan modern karena tidak lagi percaya dan merasa jenuh dengan pengobatan modern/medis. Perut saya bukan gudang anti biotik dan saya tidak ingin ginjal menjadi rusak karena beban yang berat dari resido obat-obatan kimiawi. Maka, mulailah saya beralih pada pengobatan alternatif. Inipun dilakukan dengan pilih-pilih. Maklum ada keraguan dalam menjalani pengobatan alternatif. Saya tidak ingin terjatuh pada tindakan syirik.

Pengobatan alternatif pertama adalah melalui seorang Cina muslim sederhana yang dibawa teman kantor untuk membantu. Mungkin sekarang dikenal dengan nama accupressur. Dia mengobati dengan memijat jari kaki, betis lalu dengan kop/bekam pada punggung (cupping – yang dilakukan oleh istrinya) dan diakhiri dengan pemijatan. Memang pengobatan ini, pada awalnya, seperti biasa memberikan hasil. Perdarahan bisa dihentikan dalam waktu 3 hari sesudah dilakukan pemijatan. Tetapi sejarah selalu berulang. Setelah tiga kali periode menstruasi, maka perdarahan kembali keluar tidak terkendali. Setelah satu tahun dijalankan, saya memutuskan untuk mengganti cara pengobatan. Apalagi, untuk pengobatan selanjutnya, saya harus datang ke rumahnya, yang letaknya agak jauh, yaitu di bilangan tanah abang yang kumuh. Jujur saja, agak jengah melakukan pengobatan dengan diintip tetangga yang tinggal di kawasan kumuh dimana letak rumahnya saling berhimpitan.

Dalam kebingungan, seorang teman ibu saya merekomendasikan untuk berobat dengan metode dzikir dan air putih yang dibimbing oleh seorang alumni IPB yang di Bogor itu. Dia berpraktek komplek Pertamina di bilangan Rawamangun – Jakarta Timur. Pasiennya banyak sekali, datang dari berbagai kalangan dan berbagai daerah, juga dari sebrang, Sumatera dan Kalimantan. Bahkan juga dari berbagai agama, Kristen/katholik, budha dan tentu saja dari kalangan mayoritas Islam. Apalagi, pengobatannya dilaksanakan dengan cara berdzikir, yang sebaiknya dilakukan sendiri oleh penderita sakit dan meminum air putih. Entah bagaimana cara orang-orang non muslim itu melaksanakan dzikir tersebut. Yang pasti pasien dari kalangan non muslim ini cukup banyak.

Pasien masuk 5 orang sekaligus, jadi bisa saling mengintip. Toh bukan pengobatan yang luar biasa. Pak Haji hanya memegang bagian yang diperkirakan sakit dengan salah satu tangannya dan tangan satu lagi memegang jemari kaki. Tetapi, bila tepat mengena bagian yang diperkirakan sakit, maka pasien akan berteriak sekeras-kerannya merasakan sakit pada jemari kaki yang dipijatnya. Begitu juga yang saya alami.

Usai di”obati”, saya dibekali dengan sederet surat pendek yang mesti dibaca tanpa henti (dzikir), diawali dengan Al Fatihah, lalu beberapa surat pendek seperti At Takatsur, Al Kafirun, Al Kautsar, Al Ikhlas dan An Nas. Kesemua surat pendek itu harus dibaca berulang kali dengan jumlah yang telah ditetapkan pak Haji. Kalau dijumlah, bisa mencapai ribuan kali dan memakan waktu antara 2 – 3 jam setiap kali dzikir. Setiap orang mempunyai komposisi bacaan yang berlainan, sesuai dengan penyakit yang didieritanya. Apakah ini bid’ah, syirik atau apa....? Entahlah ... saya hanya berprinsip ingin mencari kesembuhan. Selama yang dibaca adalah surat-surat dan ayat-ayat yang tercantum dalam Al Qur’an, lalu tidak ditambah-tambahkan dengan mantera-mantera atau bacaan tertentu, maka akan saya jalani dengan ikhlas.

Hari pertama melaksanakan dzikir, badan saya terasa seperti dibakar ... panas dan gelisah. Terpaksa dzikir dijalani sambil memasang kipas angin, berdiri, berjalan, jongkok dan duduk berpindah-pindah tempat. Dari kamar, menuju ruang makan, lalu ke ruang tamu dan kembali ke kamar lagi, meredakan rasa panas dan gejolak yang tanpa sadar terasa di sekujur badan. Dzikir tidak dapat dihentikan karena bila tidak selesai dalam satu putaran, maka prosesi dzikir harus diulang dari awal.

Tiga hari setelah dzikir dan meminum air putih dilaksanakan, perdarahan mulai mereda. Namun demikian, pengobatan tetap dilakukan hingga pasien dianggap telah sembuh. Hari ketiga setelah melaksanakan dzikir, saya kembali ke tempat prakteknya dan menceritakan apa yang saya alami selama berdzikir. Lalu dia mulai memijat jemari kaki seperti biasanya. Namun berbeda dengan pertama kali, saya tidak sanggup menahan rasa sakit yang amat sangat akibat pemijatan sehingga pak Haji meminta asisstennya untuk memegang jemari tangan saya sambil membaca surat Yasin sebanyak 3 kali untuk meredakan rasa sakit yang teramat dahsyat itu, baru pemijatan jemari kaki dilanjutkan. Pengobatan kali itu benar-benar melelahkan dan memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Beruntung, saya mendapatkan prioritas untuk tidak mengantri bersama pasien lainnya. Bila tidak, butuh waktu berjam-jam untuk sampai pada giliran.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, saya betul-betul pasrah menjalani apa yang diperintahkannya. Bahkan ketika pak Haji meminta untuk dibawakan kembang setaman dan jeruk purut untuk dibacakan doa-doa dan menggunakan rendaman kembang setaman dan jeruk untuk mandi. Entah doa apalagi yang dilakukannya, saya sudah tidak peduli. Hanya satu tujuan yang ada di kepala .... ingin sembuh, dan toh, satu-satunya ritual yang langsung saya lakukan langsung hanya berdzikir setiap malam dengan surat dan jumlah yang sudah ditentukan. Saya berpendapat tidak ada yang salah dengan ritual itu, apalagi, disamping surat-surat pendek, tidak ada mantra-mantra yang mengiringinya. Yang lainnya, saya pasrahkan pada Allah semata. Kelihatannya pengobatan itu berhasil, saya tentu merasa gembira dan sangat bersyukur, bahwa tanpa obat-obatan, hanya dzikir dan air putih perdarahan yang sudah saya alami bertahun-tahun mulai mereda.

Suatu malam pada siklus kedua, saat menjelang tidur saat saya berdzikir, terdengar suara letusan dan diiringi dengan padamnya seluruh lampu rumah. Saya pikir, itu dikarenakan korsleting pada lampu kamar. Memang, saat letusan kecil itu, terlihat sedikit pijaran api dari bola lampu kamar. Perlahan, lampu kamar dimatikan, baru kemudian sekring utama dinyalakan kembali. Keesokan harinya, saat bangun tidur, lampu kamar secara otomatis dinyalakan kembali dan anehnya, tidak terjadi apa-apa. Bola lampu tidak putus seperti biasa bila terjadi korsleting.

Malamnya, letusan yang sama terjadi sekali lagi. ... Kali ini bersumber dari kolong tempat tidur, persis pada posisi badan saya terbaring. Letusan itu cukup keras dan bukan saya saja yang mendengarnya. Suami yang sedang berada di ruang dalampun, masuk ke kamar, menanyakan apa yang terjadi. Tadinya sempat terpikir, lantai keramik terangkat, seperti yang biasa terjadi bila pemasangannya tidak benar. Tetapi tidak ada keramik yang terangkat. Entahlah... saya tidak ingin terjebak pada prasangka buruk yang berkaitan dengan guna-guna dan sejenisnya. Seumur hidup, walaupun sering mendengar tentang praktek guna-guna, saya termasuk orang yang tidak percaya, bahwa ada manusia yang tega menempuh jalan pengecut untuk ”menghabisi lawannya”. Lagipula, siapa yang menjadi lawan saya ataupun suami? Kami berdua bukan orang-orang yang patut menjadi seteru bagi siapapun. Tidak memegang jabatan penting apalagi kekayaan yang melimpah yang menjadi sebab kedengkian orang. Tetapi, mungkin saja ada orang yang sakit hati atas perbuatan tidak sadar/tidak sengaja yang kami lakukan.

Walaupun ada beberapa selingan seperti itu, saya merasa bahwa pengobatan melalui dzikir ini memberikan hasil yang baik dan berharap bahwa ini menjadi akhir dari penyakit ”aneh” yang selama ini dirasakan. Namun sayang sekali... kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap.... pada bulan ke empat sejak pertama kali mengunjungi pak haji, Perdarahan kembali tak terkendali.

Apa yang harus dilakukan? Kembali ke pengobatan modern/secara medis dengan cara mengunjungi dokter atau meneruskan melalui pengobatan alternatif? Sungguh bukan pilihan yang mudah.

Dalam kadaan bimbang, seorang rekan kantor merekomendasi pengobatan alternatif lain pada seorang perempuan berdarah Minang di bilangan pos pengumben – Jakarta Barat. Ke sanalah saya pergi setiap hari sabtu pagi ditemaninya, dengan berbekal 5 butir telur ayam kampung dan jeruk nipis untuk pengobatan serta uang sebesar Rp.10.000,- (saat itu) ditambah dengan 1 kg beras dan 1 pak rokok. Konon uang dan beras digunakan ibu tersebut untuk makanan anak asuhnya. Sedangkan sumbangan uang akan diserahkan kepada kaum duafa. Rokok, entah untuk apa, saya tidak pernah menanyakannya. Telur ayam kampung itu, selain digunakan sebagai medium pengobatan sebanyak 1 butir, sisanya harus dimakan mentah, bagian kuningnya oleh penderita, 1 kali sehari.

Rupanya, bermacam-macam penyakit orang diobati. Yang terbanyak adalah penderita pengapuran. Dengan mata kepala, saya melihat ada ibu tua yang tadinya tidak bisa berjalan sama sekali karena pengapuran pada sendi lututnya, lalu setelah 3 kali pengobatan, dia sudah bisa berjalan, walaupun perlahan. Pengobatannya dilakukan dengan cara mengusap sebutir telur ayam kampung ke tempat yang diduga bermasalah. Sementara si pasien diminta untuk membaca al Fatihah sepanjang pengobatan dilakukan. Setelah itu, telur dipecahkan untuk dilihat perubahan pada kuning telurnya lalu dibuang. Konon, dia bisa mengetahui apakah penyakit yang diidap itu karena guna-guna atau penyakit biasa. Jadi berbagai hal aneh yang terlihat dan terdengar dari ruang prakteknya.

Pada pengobatan pengapuran itu, setelah diusapkan telur pada bagian yang bermasalah, kemudian terlihat keluar kristal putih seperti gula pasir dari pori-pori kulit. Itu katanya, kristal pengapurannya. Wallahu ’alam, tapi saya melihatnya dengan jelas. Subhanallah...!!!! Allah Maha Besar ... sesungguhnya, bila kesembuhan diinginkanNya, maka akan selalu ada jalannya. Tidak harus melalui dokter dengan pengobatan modern tetapi apapun dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan. Bahkan hanya dengan air zam-zam pun, asal sabar, tawakal disertai kepasrahan pada Illahi, bukan tidak mungkin akan diperoleh kesembuhan

2 komentar:

  1. Selamat siang, sya boleh minta no hp dan alamat lengkap pak Haji Anto Rawamangun? . No hp saya di 081111010222. Terima kasih untuk infonya.

    BalasHapus
  2. Maaf ... saya lupa alamat tepatnya. Kejadiannya sudah terlalu lama, sudah lebih dari 20 tahun yang lalu

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...