Hari Selasa 24 Oktober 2006 yang lalu, Lebaran hari pertama atau hari kedua bagi yang mengikuti jadwal lebaran versi Muhammadiyah, pada siang hari adalah jadwal kunjungan keluarga besar ibu saya, ke rumah. Yang hadir biasanya 3 orang adik lelakinya beserta keluarga dan keluarga adik sepupunya beserta anak-menantunya.
3 adik terkecil ibu saya, semasa remaja hingga mereka menikah, tinggal susul menyusul bersama kami, menjadi tanggung jawab bapak saya seiring dengan meninggalnya opa pada tahun 1967. Apalagi umur mereka tidak terpaut jauh dengan saya. Bahkan adik bungsu ibu saya hanya terpaut 1 bulan saja usianya. Jadi kami memang saling menyapa dengan nama saja, apalagi istri-istri mereka berusia jauh lebih muda daripada saya.
Tahun ini, hanya satu adik lelakinya yang hadir dengan istrinya. Satu orang adik bungsunya berlebaran di Padang dan sudah berangkat pada tanggal 21 oktober yang lalu. Sedangkan satu lagi adik lelakinya tidak dapat datang karena YH istrinya, sudah hampir satu tahun ini menderita kanker rahim. Konon katanya sudah mencapai stadium lanjut. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, saat dirawat di RS St Carolus, dokter memprediksi umurnya hanya tinggal sekitar 3 bulan saja. Prediksi ini ternyata sudah terlewati, Allah SWT yang menentukan umur seseorang, bukan dokter.
Ihwal perawatan ini, sering memicu diskusi panjang di antara keluarga. YH hanya sempat dirawat di RS St, Carolus selama 3 hari saja. Entah apa sebabnya, dia kembali dirawat di rumah. Berita yang tersebar, konon ustadt yang mencoba menyembuhkannya melalui pengobatan spiritual (dzikir) berkeberatan dengan intervensi medis. Saya menduga bahwa biaya perawatan yang tinggi dengan tipisnya harapan akan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut menjadi faktor utama dari pengambilan keputusan tersebut.
Salah satu adik ipar (lsuami adik bungsu saya) termasuk yang “ngotot” akan hal ini :
“Kenapa nggak jual rumahnya saja untuk biaya rumah sakit?”“Gila …!!! Rumah yang mana lagi?”
”Ya rumah yang ditinggali itu!”
”Lalu, mereka mau tinggal dimana?”
”Minimal, ada usaha untuk menyembuhkan penyakit...!”
”Lho ...., kok enak aja ngomong begitu! Kita yang tidak terkait dengan penderitaan mereka, sebaiknya nggak usah berkomentar panjang lebar. Apalagi kalau cuma ngomong aja dan nggak ada usaha apapun untuk mengurangi penderitaan mereka!”
”Tapi ..., masa iya, penyakit gawat begitu cuma diobati oleh ustadt?””Apapun caranya... itu sudah merupakan usaha mereka untuk menyembuhkan penyakit yang diderita”.
”Tapi ... bukan dengan dengan ustadt dong ... Pantasnya ya ke rumah sakit”.
”Setiap orang mengobati penyakit sesuai dengan kemampuan dan keyakinannya. Kalau punya uang tentu akan dibawa ke RS atau bahkan hingga ke luar negeri. Tapi saat kita tidak mampu, maka pengobatan alternatif menjadi pilihan. Tetapi apapun jalan yang ditempuh, itu adalah cara pengobatan yang dipercayainya”.
”Makanya kubilang, jual aja rumahnya untuk biaya RS. Aku dulu sampai habis-habisan untuk bayar biaya rumah sakit istriku. Kalau kita ikhlas, Insya Allah, ada gantinya”.
”Berapa sih harga rumahnya itu? Katakanlah harga tanahnya 1 juta/m2. Paling banter dia hanya akan dapat uang bersih sebesar 100 juta. Apa yang bisa diharapkan dari uang sebesar itu untuk pengobatan kanker yang panjang dan rumit? Apalagi penyakitnya sudah masuk stadium lanjut. Realistis sajalah .... Yang ada, uang ludes, dan yang sakit akan meninggal juga.”
”Minimal, sudah ada usaha!”
”Usaha apa yang bisa dilakukan untuk kanker stadium lanjut dengan uang 100 juta? Itu ibarat menabur garam di laut... Gak terlihat manfaatnya. Lalu, setelah rumah terjual, mau kemana mereka tinggal? Di emperan? Di kolong jembatan? Rumah yang sekarang aja sudah kumuh kok...! Setiap orang punya masalahnya sendiri. Kamu dengan mudah menjual rumah karena tahu ada kakak/ipar yang mampu membantu dalam kondisi darurat. Tetapi mereka tidak punya siapapun yang dapat dijadikan tempat bersandar kala dibutuhkan. Tidak ada orangtua/mertua yang mampu menyokong. Apalagi mengharap bantuan kakak/adiknya. Kalaupun kakaknya mampu, tapi itu sama sekali tidak mungkin. Kamu tahu betul bagaimana mereka! Sudahlah .... jangan banyak komentar. Kalau mau, bantu saja sebisanya, tapi jangan berkomentar yang menyakitkan”.
Percakapan semacam itu selalu menjadi topik berulang, manakala kami mendengar perkembangan penyakit YH.
Siang itu, saat kami menelpon ke rumah dalam perjalanan pulang dari rumah ibu mertua saya di Cipinang, adik saya bercerita bahwa oom tidak mungkin datang ke Lebak Bulus untuk berlebaran. Kondisi YH sangat tidak memungkinkan untuk ditinggal. Mendengar kabar tersebut, spontan saja diputuskan untuk berkunjung ke rumah mereka di Pondok Pekayon Indah, usai shalat Isya.
Kehidupan di Jakarta memang semakin membuat tali silaturahmi kerap terputus akibat kesibukan (sikap pura-pura sibuk) manusia penghuninya. Lebaran tentu selayaknya menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin kembali keakraban di antara keluarga besar. Namun demikian, niat baik untuk bersilaturahmi ini masih memerlukan konfirmasi dari yang bersangkutan. Maklum saja ... jarak Lebak Bulus ke Bekasi lumayan jauh. Jangan sampai kami hanya mendapati rumah kosong setelah menempuh kemacetan dan jarak yang lumayan jauh itu.
Sekitar jam 20, usai shalat dan makan malam, berdua kami kembali menyusuri jalanan yang relatif lebih lengang menuju Bekasi via jalan tol. Agak bingung juga mencari rumah yang kerap kami datangi dulu. Sudah hampir 7 tahun kami tidak mengunjungi mereka, apalagi sejak kepindahan kami dari Kemang Pratama di pertengahan tahun 2000. Untunglah, keberadaan telpon genggam sangat membantu dalam menemukan rumah di dalam komplek yang dipenuhi dengan portal terkunci untuk alasan keamanan selama masa libur lebaran.
Rumah mungil yang dulu terawat rapi itu sudah terlihat sangat kusam dan kumuh. Rumput hijau dan bebungaan yang dulu menghiasi halaman muka sudah tak tampak lagi. Entah mati kekeringan karena kemarau panjang tahun ini atau juga mungkin mati seiring dengan penderitaan sang ibu rumah tangga yang biasa menyirami dan memupuknya. Plafon rumah yang hancur dimakan bocor menyeruak disana-sini. Dindingpun sudah kotor tanda sudah terlalu lama tak tersentuh cat. Jujur saja, sejak mereka pindah ke Pekayon sekitar tahun 1988 yang lalu (wah ... tidak terasa, sudah hampir 20 tahun lamanya mereka tinggal disana), saya tidak tahu sama sekali apa pekerjaan/profesi oom. Ini pertanyaan sensitif yang terasa kurang layak diajukan pada siapapun.
Oom sudah siap menunggu kami di muka rumahnya. Setelah cukup berbasa-basi, tiba juga pertanyaan mengenai kondisi YH.
”Dia baru saja tertidur....””Oh ... kalau begitu, nggak usah diganggu. Biar kita ngobrol disini saja. Apa sebetulnya penyekit yang diderita”
“Kanker rahim ... entah sudah stadium berapa. Saat dirawat di RS, Dokter memperkirakan hanya tinggal menunggu masa 3 bulan saja. Itu sebabnya, YH meminta untuk dirawat dirumah saja. Selain itu, kami memang tidak mempunyai biaya yang memadai. Jujur saja ... saat membawa YH masuk RS, saya hanya memiliki uang 500 ribu saja. Hanya atas kuasa Allah SWT sematalah, maka biaya perawatan selama 3 hari yang mencapai 11 juta itu bisa terbayar tanpa hutang sama sekali.”
”Lalu bagaimana kondisinya sekarang...?”
”Jangan kita bicara soal medis. Ini soal penglihatan awam saja. Dulu, sebelum ditangani ustadt, kalau serangan kanker itu datang, YH seringkali teriak-teriak kesakitan sambil berguling-guling dengan darah mengucur tak terkendali. Itu pula sebabnya kami membawanya ke RS, karena saat itu Hb nya sudah drop hingga level 4 saja”.
”Di RS, bagaimana diagnosanya?””Ya... begitulah. Dokter hanya bilang, harapannya tipis. Jadi untuk apa lagi dirawat di RS dalam kondisi keuangan yang tidak memungkinkan. Lebih baik dirawat di rumah sesuai dengan keyakinan saja”.
”Pengobatan apa sih yang dianjurkan ustadt?”
”Melalui dzikir .... Saya berdzikir setiap malam .... kadang-kadang beberapa teman juga ikut berdzikir disini. Ustadt seringkali mengirimkan air yang sudah didzikiri, bergalon-galon banyaknya untuk diminumkan. Alhamdulillah... sekarang ini, kalau serangan sakit datang, dia tidak lagi berteriak/bergulingan. Perutnyapun tidak terasa menggelembung keras lagi seperti sebelumnya”.
”Hm ... saya jadi ingat waktu berobat ke pak Anto di jalan Mundu-Rawamangun dulu.... untuk mengobati perdarahan. Mungkin hampir mirip ya... kita disuruh berdzikir sambil menaruh botol air minum dan kemudian air tersebut diminum. Eh ... ternyata ada dokter dari Jepang yang meneliti bahwa partikel air itu mendengar dan berubah bentuk sesuai dengan apa yang kita ucapkan berulang-ulang di depan air tersebut. Ini kuasa Allah SWT”.
”Ya..... Mohon doa saja. Merawat orang sakit seperti ini memerlukan kesabaran dan keteguhan hati. Saya mendapat banyak pelajaran dari hal ini. Merupaka anugerah Allah SWT juga, saya dipertemukan dengan ustadt yang mampu mencerahkan jiwa saya yang kotor hingga menerima hidayah seperti ini. Penyakit YH istri saya, mungkin merupakan ujian kesabaran dan ketakwaan dalam perjalanan menuju pensucian jiwa. Saya menerimanya dengan ikhlas dan berharap agar dalam sakitnya, istri saya mau mendoakan agar saya dan anak-anak mendapatkan rahmah dan berkah dari Yang Maha Kuasa. Saya yakin, doa orang yang sedang menderita akan diijabah Allah SWT”.
”Insya Allah ....”.
Oom saya yang satu ini, masa mudanya memang agak ”jahiliyah”. Segala macam dikerjakan. Perlakuannya terhadap istri mungkin sekarang bisa dikategorikan dalam KDRT. Kelihatannya, perkenalannya dengan ustadt dari Ngawi itu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dia terlihat lebih pasrah dan ikhlas. Gaya bicaranyapun jauh berbeda. Lebih relijius dan sufistik. Tidak heran bila keluarga besar, memandangnya dengan ”aneh”. Tapi, bukankah seharusnya kita menjadi lebih baik dari hari ke hari terutama dalam kualitas keimanan dan ketakwaan kepada sang Pencipta?
Hari sudah menunjukkan jam 22.30 saat kami meninggalkan Pondok Pekayon Indah untuk kemudian mampir sejenak ke masjid Baabut Taubah di Kemang Pratama. Mesjid yang dahulu kala, selama bertahun-tahun kami ikuti perkembangannya. Mesjid terlihat gelap, pintu-pintu sudah tertutup rapat, namun belum terkunci. Masih ada 2 orang pekerja .... satu sedang menyiram rumput, satu lagi sedang asyik menonton televisi yang terpasang di teras masjid. Keduanya tidak kami kenal ... orang-orang yang baru bekerja selama 2 tahun saja. Pengurus mesjidpun bukan lagi orang-orang yang kami kenal. Sudah berganti ....
Begitu mungkin ada baiknya ... dunia yang fana ini terus berputar. Kala kita merasa tidak terikat dengan segala kebendaan didunia ini, maka kita akan menyikapi segala yang kita alami selama hidup ini dengan langkah dan perasaan yang ringan. Ikhlas dan pasrah bahwa segalanya adalah milik dan berada dalam penguasaan Allah SWT. Wa Allah ’alam.
Lebak Bulus 28 Otober 2006 – 06.00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar