Selasa, 31 Desember 2013

I share, because I care

Pagi tadi, hari terakhir di tahun 2013, hujan gerimis yang mengiringi terbitnya matahari membuat kita agak malas memulai aktifitas rutin. Apalagi hari-hari ini adalah liburan bagi hampir seluruh penduduk dunia. Jadi, usai membuat zuppa soup dan menyantapnya sebagai sarapan pagi, maka saya mulai membuka facebook dan menemukan artikel yang sangat menarik, yaitu How to avoid cancer.

Artikel tersebut menjadi menarik perhatian  saya karena cancer atau kanker sekarang sudah menjadi penyakit menakutkan bagi penderitanya yang menyebabkan si penderita seolah langsung divonis "mati", begitu mendengar bahwa dirinya didiagnosis menderita cancer. Belakangan ini, di "lingkungan" saya memang banyak yang menderita kanker, baik mereka yang dinamakan  dan diberi "label" survivor, warrior maupun yang sudah lepas dari penderitaannya alias akhirnya meninggal dunia.

Mereka; yaitu para penderita kanker, adalah rekan kerja, istri atau suaminya, teman kuliah dulu bahkan juga keluarga dekat. Mereka "memperoleh" kanker, konon karena keturunan tetapi juga karena gaya hidup atau lingkungan. Bahkan ada teman kuliah dulu yang terkena kanker paru-paru hanya karena dia bekerja di lingkungan dan ruangan dimana penghuninya perokok berat semua. Ironinya, si teman sama sekali tidak pernah menyentuh rokok. Begitu juga salah satu rekan kursus yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dia terkena kanker paru, konon karena suaminya perokok berat dan lingkungan hidup/rumah terpolusi asap rokok. Jenis kanker yang umumnya diderita rekan, keluarga atau teman wanita, biasanya kanker payudara alias breast cancer. Kalau penderita lelaki biasanya kanker hari atau prostat.

Tanpa disadari, ternyata, adik saya yang baru saja meninggal dunia itu juga salah seorang penderita kanker. Entah kanker jenis apa ..... Selama ini, kami hanya tahu bahwa dia memiliki tumor di rongga otak, di antara ke dua rongga mata. Itupun telah diangkat sekitar 6 tahun yang lalu. Tumor mana sempat membuatnya kehilangan penglihatan. Merasa sembuh, karena dokter tidak memberikan signal bahwa tumor tersebut ganas, maka tidak seorangpun yang menyadari bahwa, mungkin akibat operasi tersebut, sel tumor menyebar dan berubah menjadi ganas serta tumbuh kembali. Walau masih di rongga otak namun serangan tumor kali ini, selain induknya, terdapat pula akar-akar yang mencengkeram bola matanya. 

Rupanya, tumor yang sudah bermutasi menjadi ganas tersebut berkembang dengan sangat cepatnya dan sayangnya, hal itu baru disadari tidak lebih dari 2 minggu sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. 
***

Konon .... setiap manusia memiliki potensi untuk menderita kanker, yaitu berasal dari sel tubuh kita sendiri yang "bermutasi". Mutasi sel normal menjadi sel kanker dipicu oleh berbagai sebab, antara lain gaya hidup, asupan makanan, stress, polusi dan banyak lagi sebab-sebabnya. Makanan jaman sekarang yang serba instant dan transgenic ditengarai juga menjadi salah satu sebab meruyaknya mutasi sel normal menjadi sel kanker.

Namun dari pengamatan selama ini, baik dari bacaan dan sekaligus belajar dari kejadian alam; saya termasuk orang yang anti pengangkatan sel kanker. Logikanya adalah fenomena alam. Ketika sebuah batang pohon ditebang, perhatkan dengan baik, maka tidak lebih dari 1 bulan setelahnya, dari setiap "mata" pada kulit batang pohon, akan timbul tunas batang baru yang jauh lebih banyak dan dahsyat jumlahnya. Bayangkan .... kalau tumor dalam tubuh kita diangkat, maka dari puluhan, ratusan dan bahkan mungkin ribuan serabut akar dimana tumor tersebut tumbuh, dalam waktu yang unpredictable, akan tumbuh lagi puluhan, ratusan dan bahkan ribuan tunas kanker. Persis seperti tunas tanaman pada dahan yang sudah ditebang.

Bukan itu saja, logikanya; dari "bukaan" yang terjadi saat tumor terlepas dari "pegangannya" karena aksi pisau operasi, akan "berloncatan" ratusan, ribuan bahkan jutaan sel kanker ke dalam jaringan aliran darah dan dibawanya sel kanker tersebut ke seluruh tubuh manusia melalui peredaran darah. Maka .... tanpa disadari, menurut saya yang awam ini, peristiwa mengangkat sel tumor/kanker adalah peristiwa penyebaran sel kanker ke seluruh tubuh kita, yang sadar atau tidak sadar, sudah kita lakukan dan ijinkan kepada dokter atas nama pengobatan kedokteran modern.

Memang ... segera setelah operasi, akan dilakukan chemotherapy, proses "mematikan" sel kanker yang sejatinya, bukan saja sel-sel abnormal itu saja yang "dimatikan" tetapi seluruh sel tubuh kitapun "dimatikan" oleh obat yang sangat beracun tersebut. Bahkan ... salah satu rekan saya pernah bercerita bahwa kenalannya yang ahli oncology terkenal menyatakan bahwa andai dia terkena kanker, maka dia tidak akan pernah mengijinkan dilakukan kemoterapi, karena itu berarti dia secara sadar sudah "meracuni" diri sendiri dan karenanya cepat atau lambat akan mematikan sel-sel tubuhnya. Bukan hanya sel kanker, tetapi juga sel-sel normal tubuhnya. Karena racun yang dimasukkan ke dalam tubuh, tidak akan pernah bisa memilih sel yang akan dimatikannya. Apakah itu sel kanker atau sel normal.

Lalu, mengapa MRI dan pet scan, prosedur standar yang selalu dilakukan dalam pengobatan kanker, seringkali tidak mendeteksi penyebaran sel kanker dan karenanya dokter dengan sangat percaya diri menyatakan pada pasien bahwa tidak ada penyebaran. Aman .... tetapi sekonyong-konyong, suatu ketika sel kanker si pasien diketahui sudah menyebar dan sudah sulit diatasi? Itu, karena alat secanggih apapun bahkan dengan teknologi nano sekalipun belum bisa mendeteksi keberadaan sel kanker hingga sel kanker tersebut mencapai dimensi tertentu. Hal itu karena konon, kalau tidak salah 1 buah sel besarnya hanya 1- 4 nano alias satu pangkat minus 4 nano. Tentu undetectable, belum dapat dideteksi. 
Ini menjelaskan, mengapa sekonyong-konyong, pasien yang sangat rajin kontrol sekalipun akan terperangah mendapati penyebaran kanker di seluruh tubuhnya.

Mengerikan ya .....? 
Sangat....!!! 
Jadi, sangat dimaklumi kalau menderita kanker, seperti mendapat vonis mati pelan-pelan.

Sering terpikir, mengapa di Indonesia, tidak pernah terdengar upaya kemoterapi melalui suntikan langsung ke dalam tumor terkait. Dengan demikian, kerja racun "kelas berat" yang berlabel "kemoterapi" itu langsung kepada obyek yang dituju. Tidak merusak sel tubuh yang masih sehat. Konon kabar yang saya dengar dari dokter gigi yang menangani anak saya, ada salah satu dokter di negeri jiran yang sudah mencoba kemoterapi dengan cara seperti ini dan ibunya adalah salah satu pasien dokter tersebut.

Dengan berbagai masalah tersebut, pengobatan kanker memang pengobatan yang sangat dilematis. Namun sebaiknya, jangan berpikir untuk melakukan "peperangan" melawan kanker. 

Lebih baik kita menghindar saja .... 
Yuk kita baca link di atas dan terapkan dalam kehidupan kita,
karena
Prevention is better than curing ....

Minggu, 29 Desember 2013

Hari-hari terakhir - in memoriam my little sister

Senin 23 Desember 2013, adalah hari terakhir kerja yang diumumkan secara resmi oleh kantor tempat saya bekerja. Jam menunjukkan angka 10.18 saat pesan singkat dari Blackberry Messenger masuk. Dari adik lelaki saya :
"Aku di RS ruang ICU, kondisi adik kita sudah sangat menurun. Sepertinya sudah harus siap menghadapi kondisi yang terburuk". Begitu isi berita yang masuk.
"Lho ..... bukannya besok rencana operasi?".
"Ya, semula memang begitu, tapi sepertinya semua rencana berubah mendadak. Sekarang aku menuju HCU/ICU. Nanti kalau sudah beres, aku update lagi ya".
***

Adik perempuan saya yang paling kecil, atau nomor 4 dari 6 bersaudara, memang sudah lama diketahui menderita diabetes mellitus. Kalau tidak salah, konon sejak kelahiran anak keduanya. Tapi kami tidak begitu memperhatikannya, karena saat itu dia tinggal di Semarang. 

Saat mereka kembali ke Jakarta dan tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah ibu saya, kami juga tidak terlalu memperhatikan kondisi kesehatannya. Kelihatannya dia sehat-sehat saja dan penuh aktifitas. Jadi agen tupperware, antar-jemput anaknya sekolah termasuk juga mengurus rumahnya yang sebagian besar waktunya tidak dibantu dengan keberadaan pembantu rumah tangga.Sejak menikah, dia memang tidak bekerja lagi.

Hingga kemudian, entah kapan dimulai, dari yang semula hanya keluhan diabetes saja. Keluhan penyakit yang kemudian menjadi sebab dia menjadi pasien/penghuni tetap rumah sakit, adalah muntah berat yang tidak bisa tertahankan. Dokter mendiagnosa "ada masalah dengan kelenjar pankreas" dan tanpa mencari penyebab mengapa kelenjar pankreasnya "ngadat", langsung saja diberi "sekeranjang" obat-obatan untuk menjinakkan pancreas dan organ pencernaan yang bermasalah tersebut. Begitu berlangsung selama bertahun-tahun. Sekeranjang obat-obatan menjadi teman setia hidupnya.

Begitulah yang sempat terekam dalam ingatan saya, karena sejak saat itu, mungkin sekitar 8 - 10 tahun yang lalu, adik saya mulai menjadi pasien rawat inap yang paling setia di salah satu RS di wilayah selatan Jakarta. Secara bergurau, anaknya selalu menyebut RS sebagai "pesantren" tempat ibunya "berguru". Memang, sejak saat itu, hampir setiap 3 bulan sekali adik saya masuk RS untuk jangka waktu minimal satu minggu. Penyebabnya selalu masalah pencernaan, lambung dan usus. Disertai ikutannya; gula darah dan kreatininnya meningkat tinggi. 

Konon, setelah dilakukan endoscopy, dinding lambung dan ususnya terlihat penuh dengan parut luka sehingga "untuk menyembuhkannya" dokter  seringkali harus mengambil langkah "mengistirahatkan" fungsi seluruh organ pencernaannya dan mengambil alih peran pencernaan dengan mengganti asupan makanan melalui infus. Hal itu berlangsung cukup lama yang kemudian, berakibat organ pencernaan menjadi "malas bekerja". Mogok kerja sehingga untuk memulihkannya kepada keadaan normal, harus dilatih lagi mencerna makanan. Persis seperti bayi yang baru belajar makan makanan "padat".

Singkat kata.... setelah mondar-mandir rumah sakit dengan menghabiskan ratusan juta rupiah, bahkan mungkin lebih dari satu milyar, sebagai ongkos mondok "di pesantren", akhirnya diketahui bahwa sumber segala penyakitnya itu adalah tumor sebesar +19x10x10mm yang menekan syaraf kelenjar pankreas dan rongga mata. Akibatnya kelenjar pankreas tidak mampu memproduksi insulin dan akhirnya adik saya menderita diabetes mellitus, kerusakan organ pencernaan dan secara perlahan mengalami "kebutaan" akibat desakan tumor tersebut.

Maka, setelah konsultasi kesana-kemari, mencari cara terbaik, resiko minimal dan biaya yang "reasonable", diputuskan untuk menghubungi prof Padmo Santjojo yang sangat terkenal dengan operasi fenomenal pemisahan bayi kembar siam, untuk mengetahui bagaimana cara penanganan tumor tersebut. Jadilah, sekitar 6 tahun yang lalu, dalam kondisi yang cukup "buruk", adik saya "dibawa paksa" keluar dari RS di wilayah selatan Jakarta tersebut untuk kemudian dipindahkan ke RSCM, untuk ditangani oleh tim dokter disana. 

Setelah kondisinya berangsur baik, beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, kalau tidak salah di bulan Oktober beberapa tahun yang lalu, operasi pengangkatan tumor dilaksanakan dan berhasil dengan baik. Walau sempat kritis, adik saya akhirnya bisa pulih. Mungkin karena dampak operasi, kondisi ginjalnya kemudian diketahui memburuk. Namun kondisi ini juga bisa jadi dikarenakan konsumsi obat-obatan secara terus-menerus dan diperparah dengan obat-obatan/anestesi selama proses operasi. 

Apapun juga hasilnya, yang terpenting, operasi berlangsung lancar dan dia terselamatkan, Tinggal saja memulihkan kondisi psikis pasca operasi dan pasca "sakit kronis" yang juga ternyata tidak begitu mudah dilalui baik bagi keluarga inti mereka maupun keluarga besar kami. Tentunya di samping kondisi kesehatannya yang tidak terlalu prima lagi. Artinya, di samping diabetes, fungsi ginjalnya menurun. Paling tidak, keluhan muntah dan kebutaan karena tertekannya syaraf pancreas di rongga otak, bisa mereda karena tumor penyebabnya sudah diangkat. 

Tahun berlalu walau dengan susah payah. Beragam masalah pasca operasi terjadi. Namun kehidupan tampaknya mulai berjalan "normal". Gangguan muntah hebat dan diabetes "mulai bisa teratasi". Komplikasi baru sebagai akibat konsumsi ragam obat-obatan dalam jangka waktu lama, yaitu fungsi ginjalnya yang melemah dan cenderung turun, mungkin hanya tinggal 30% atau bahkan, bisa jadi di bawah itu. adalah resiko pengobatan yang harus dijaga dengan baik. Sudah terbayang, cepat atau lambat cuci darah alias hemodialisis akan menjadi salah satu cara memperpanjang usianya atau cangkok ginjal yang pasti tidak akan mudah pula dilaksanakan. 

Begitulah rasanya, hingga sekitar 3 bulan yang lalu, adik saya mulai mengeluh sering sakit kepala dan muntah beratnya kambuh kembali. Bahkan saat hari raya Idul FItri 1344h bulan Agustus 2013 yang lalu, adik saya tidak kelihatan hadir berkumpul dengan keluarga di rumah peninggalan orangtua kami. Masuk rumah sakit, kemudian menjadi rutinitas kehidupan mereka kembali. 

Memang, saking seringnya mendengar beritanya masuk rumah sakit, membuat kami, kakak-kakaknya menjadi kurang sensitif terhadap perkembangan kesehatannya. Apalagi kelelahan usai bekerja dan kemacetan luar biasa di Jakarta, menjadi alasan kurangnya waktu bertemu, yang mau tidak mau harus dimaklumi siapapun yang tinggal di wilayah Jabodetabek. 

Mungkin kami masih beruntung. Masih ada adik lelaki saya yang begitu sigap, ringan tangan dan selalu siap sedia melakukan apapun yang kami minta untuk dilakukannya, sejauh dia tidak sedang sakit. Maklum juga ... usianya yang sudah di atas 50 tahun tentu sudah sangat rentan untuk dilanda penyakit degeneratif. Dialah yang menjadi satu-satunya sambungan silaturahim keluarga besar kami. Bukan hanya keluarga kami saja tetapi juga kepada keluarga besar kedua orangtua kami almarhum.
***
Senin 23 Desember 2013 itu. Pada hari terakhir masuk kantor di tahun 2013 itu, saya pulang lebih cepat agar masih ada waktu menjenguknya ke HCU/ICU. Tiba di RS, saya segera menuju HCU/ICU. Suami dan anak-anaknya ada semua disana. Ngeri saya melihat kondisi dan penampilannya. Seluruh badannya bengkak, sangat berbeda jauh dengan kondisi 1 bulan sebelumnya saat saya menjenguknya di ruang rawat umum di RS yang sama. 

Di lehernya sebelah kanan menjuntai pipa, entah untuk apa. Hampir di seluruh lehernya yang bengkak dan pucat itu terlihat titik-titik bekas tusukan jarum. Di bagian kiri ranjang tidur tempatnya berbaring terpasang kantong yang tersambung dengan pipa kateter ke kandung kemihnya. Masih ada cairan pekat. Tidak sampai 100ml.  

Dari hasil MRI, diketahui bahwa di rongga otaknya tumbuh tumor baru dengan dimensi yang hampir sama dengan yang terdahulu. Bedanya, tumor kali ini jenis ganas dengan "tangan" yang mencengkeram bola matanya, Itu sebabnya, sakit kepalanya kali ini tidak tertahankan dan karenanya adik saya sudah tidak mampu lagi membuka mata, saking sakitnya. Itu juga yang menyebabkan dokter memberi suntikan morphin, penghilang rasa sakit. Mungkin pula suntikan itu yang membawanya pada kondisi "tidak sadar" hingga akhir hayat.

Saat itu, napasnya sudah dibantu dengan oksigen. Botol infus bergelantungan di sekitar tempat tidur begitu juga dengan beragam alat monitor. Badannya pucat kekuningan dan dingin sekali. Sambil menggenggam tangannya, saya memintanya untuk pasrah, tawakal dan terus mengingat Allah SWT sambil berdzikir. Matanya membuka dan terlihat bola matanya bergerak, namun tidak ada reaksi sama sekali saat kita mendekatkan tangan di depan bola matanya. Dia sudah tidak bisa melihat apapun juga. Saya juga memintanya untuk menggenggam tangan saya, bila mendengar ucapan saya, tapi tidak terasa ada reaksi. Mungkin reaksinya terlalu lemah dan saya kurang peka untuk itu. 

Apa yang terjadi ... terjadilah .... Bila memang waktunya sudah dekat semoga Allah SWT memudahkan jalannya.
***

Selasa 24 Desember 2013, sore, usai shalat ashar yang agar terlambat karena kemacetan di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta Selatan. Hari pertama libur tersebut, saya memang mengalokasikan waktu untuk menunaikan janji pada anak gadis saya yang sedang libur. Saya bergegas ke RS, untuk menjemput adik perempuan yang khusus datang menjenguk langsung dari Bandung. Agak lama kami berdua di ruang rawat HCU/ICU mengamati dan mendiskusikan kondisi adik kami. Adik saya yang kebetulan berprofesi dokter itu mengatakan, kondisinya sudah sangat berat. Sepertinya sudah masuk fase terminal. Kelihatannya jauh lebih berat dibandingkan dengan kondisi almarhumah ibu kami menjelang akhir hayatnya.

"Sepertinya, ini sudah masuk fase terminal. Paru-parunya sudah penuh cairan sehingga O2 tidak bisa terserap. Lihat deh ..., sama sekali tidak terlihat gerakan nafasnya. Kalau pompa ini di tekan, maka gerakan pompa ini terlihat sama dengan gerakan dada. Kalau dilepas, hilang pula gerakan dadanya. Padahal almarhumah mami, dulu, bernafas dengan paru-parunya sendiri, tenang dan teratur. Aku melihat dengan sangat jelas tarikan nafas terakhirnya", komentarnya sambil menekan bola pemompa O2
"Lalu ... bagaimana?"
"Tadi dokter jaga sudah mengusulkan untuk dipasang ventilator. Aku serahkan keputusan pada keluarga, walau secara medis, rasanya tidak terlalu banyak manfaat. Selama tumornya tidak diangkat, maka dia tidak bisa sembuh. Tapi kondisinya yang kritis ini juga sangat tidak memungkinkan untuk melaksanakan operasi pengangkatan tumor. Dokter anestesinya pasti menolak melakukan tindakan. Operasi ini seperti mengantar nyawa pada kematian dan dokter pasti tidak akan mau pasien meninggal di meja operasi. Menunggu kondisinya membaik, sama juga memberi waktu pada tumor yang ganas itu membesar. Akhirnya kita cuma adu cepat dengan perkembangan tumor. Lokasi tumornya juga sangat rawan. Pembesaran tumor akan mendesak syaraf gerak organ vital tubuhnya. Akhirnya ..., cepat atau lambat, akan tetap sama, meninggal dunia!"
"Lalu, apa fungsi ventilator?"
"Menggantikan perawat yang ogah2an mompa", sinis adik saya menjawab.
"Pasien punya pilihan, mau pasang ventilator atau manual dengan pompa seperti ini. Di RS tempatku praktek, kalau pasien memilih tidak memasang ventilator, maka satu perawat akan disiagakan membantu pernafasan pasien, bergantian sepanjang malam. Begitu SOPnya", sambungnya lagi.
"Berapa lama bisa bertahan hidup dengan ventilator? Satu bulan?"
"Entahlah ... tanpa mendahului takdir Allah SWT, rasanya hanya beberapa hari saja. Tidak lebih dari satu minggu. Kita lihat saja, kalau malam ini keluarganya memutuskan untuk memasang ventilator, besok (Rabu 25 Desember 2013), aku pulang ke Bandung. Di rumah nggak ada yang bantu urus bayi".

Adik saya ini memang baru mendapat cucu. Baru 1 minggu. Cucu perempuan lagi...! Tentu dia lebih suka pulang ke Bandung, mengurus cucu selama cuti akhir tahun ini, sambil praktek dan visit ke RS.
***

25 Desember 2013, setelah mengantar adik saya ke tempat pemberangkatan minibus jurusan Bandung, kami tinggal di rumah, sambil memonitor kondisi. 2 adik lelaki yang lain, saya suruh pergi memancing. Menghibur diri, daripada ikut stress memikirkan yang sedang dirawat di ICU, sambil tetap diingatkan agar sambil pulang dari pemancingan, mampir dulu ke RS, melihat perkembangan.

Malam itu, kami berencana makan malam bersama di luar, kebetulan ada keluarga adik bungsu saya, juga dari Bandung yang memanfaatkan waktu libur sekolah di Jakarta.
"Bagaimana perkembangan terakhir?", tanya saya melalui blackberry messenger. 
Saat itu jarum jam menunjukkan waktu sekitar jam 17.27, saat itu adik lelaki saya, sang komunikator, saya minta mampir ke RS dalam perjalanannya pulang ke rumah.
"Berangsur membaik..."
"Oh .... syukurlah ...."

Bersamaan dengan saya membaca pesan tersebut, adik ipar saya juga menerima pesan yang isinya sangat bertolak belakang. Kali ini pesan dari Evi, kakak dari ipar lelaki saya yang kebetulan saat itu sedang menjenguk di RS..
"Kondisi menurun, keluarga sudah dipanggil dokter untuk dijelaskan perkembangannya", begitu isi pesan yang diterima dari ipar adik saya.
"Lho ... kok beda banget sih pesannya? Yang satu bilang membaik, satu lagi memburuk! Coba cek lagi!", sahut saya sambil pergi untuk menuntaskan jahitan blus batik yang belum terselesaikan.

Adzan maghrib sayup-sayup masih terdengar baik dari TV maupun pengeras suara masjid, saat dering telpon di ruang keluarga, berbunyi.
"Yuli meninggal dunia tepat saat adzan mulai berkumandang, beberapa waktu yang lalu....", telpon singkat dari adik lelaki saya.

Inna lillahi wa inna illaihi rojiun ............



Jumat, 06 Desember 2013

Antara Kesombongan dan Kepercayaan Diri.

Sore itu ... sudah lewat dari jam kantor. Kantor sudah mulai sepi, di lantai tempat saya kerja hanya tinggal 1 staff yang sedang menunggu jemputan suaminya. Saya masih di ruang rapat, dengan ditemani seorang staff, jebolan arsitektur di salah satu PTN terkenal, bertemu dengan arsitek yang akan kami tunjuk untuk melaksanakan pembuatan/revisi desain dan gambar kerja salah satu proyek kami di luar kota, ketika seseorang mengetuk pintu dan menghampiri :

"Maaf bu ..., ada telpon dari Mr. XX, ingin bicara."
"Tolong kasih tahu, saya sedang rapat ..., nanti saya telpon", sahut saya.
Enak saja, mengganggu konsentrasi pembicaraan ... lagi pula, saya belum tahu, jenis manusia seperti apa, dia dan apa keperluannya.
"Sudah diberitahu bu ..., tapi dia maksa saya, untuk bilang sama ibu, bahwa dia mau bicara", jawabnya lagi.
"Bilang rapatnya gak bisa diganggu ... nanti ditelpon...!"

Usai rapat, saya hampiri staff kantor tersebut. Dia masih ada di meja kerjanya, masih menunggu suaminya. Mukanya kusut .... Mungkin tertekan dengan omelan yang dirasa kurang pada tempatnya.
"Telpon dari siapa dan apa keperluannya..? tanya saya.
"Namanya XX bu ..., dia mengaku GM di salah satu BUMN. Dia marah besar saat saya bilang ibu sedang rapat. Makanya saya ketuk ruang rapat."
"Memang kamu nggak minta untuk tinggalkan pesan, agar nanti ditelpon kembali...?"
"Sudah bu ...., tapi dia bilang dia pernah telpon 4 hari yang lalu dan meninggalkan nomor telpon agar ibu bisa menelpon kembali. Tapi ibu gak nelpon. Makanya dia marah ....!"

Saya agak lupa, apakah memang pernah ada telpon dari Mr XX tersebut. Biasanya, kalau jelas keperluan si penelpon, maka saya akan selalu menelpon kembali. Tetapi kalau urusannya tidak jelas ... saya agak malas menelpon kembali . Biasanya, orang-orang yang enggan memberitahukan maksud dan tujuannya menelpon, adalah mereka yang bekerja di asuransi, bank atau perusahaan consumer goods/life style product dan sejenisnya untuk menawarkan produk.

"Gak kasih tahu apa keperluannya?"
"Nggak bu ... cuma, dengan nada tinggi ... dia tanya ..., Memang apa jabatan si ibu itu? Saya ini kenalan baik A dan B, anak pemilik perusahaan tempat kamu bekerja. Kenapa ibu itu gak mau terima telpon saya? Apa dia salah satu owner?", begitu cerita staff terkait.
"Hm .... !!!"
"Iya bu ... saya bilang ... kan bapak sudah tahu siapa pemilik perusahaan. Jadi ibu memang bukan pemilik perusahaan. Terus dia bilang ... masih sambil marah-marah ... pastikan saya ditelpon balik...!", dengan nada geram .... Begitu cerita staff kantor. Entah memang benar begitu, atau hanya perasaannya saja. Tapi ... menilik dari raut wajahnya saat menceritakan hal itu pada saya, jelas terlihat wajah kusut dan tertekan.

Hm .... sungguh sangat tidak beretika....! Menelpon kantor orang dengan cara seperti itu, cuma akan menunjukkan kualitas intelektual dan martabat dirinya. Untuk apa marah pada "orang kecil" di kantor yang sama sekali tidak kita kenal?

Untuk menghargai dan menenangkan hati staff yang sudah kena marah tidak pada tempatnya itu, saya memutar nomor telpon yang diberikannya. 3x mencoba tanpa tanggapan. Jadi saya hentikan usaha itu. Balas dendam dengan tidak menerima telpon saya ...? Biar saja ... kalau butuh, dia akan menelpon saya lagi. Toh saya tidak kenal dan tidak tahu pula apa keperluannya.

Keesokan harinya, saat saya bertemu dengan anak pemilik perusahaan tempat saya bekerja, saya tanyakan identitas orang tersebut.
"Wah ... saya lupa bu ....! Kalau nggak salah dia kerja di..... (disebutnya nama salah satu BUMN). Saya ketemu di suatu tempat. Lupa dimana... Dia mau nawarin tanah ....", sahutnya.

Nah lo.... Nggak jauh-jauh.... Makelar tanah/proyek rupanya? Nggak nyambung banget deh ... Dia bilang kenalan baik, si anak owner bilang, cuma kenal selintas dan tidak ingat dimana kenalan. Ngaku jabatan GM di BUMN, rupanya masih butuh cari tambahan gaji sebagai makelar tanah. Ya sudah...... que sera... sera...!!!

Beberapa hari kemudian .... masuk email dari mr XX, mengirimkan daftar tanah dari beberapa lokasi dan permintaan uang muka transaksi tanah. Mungkin, anak owner kami menelponnya kembali dan meminta untuk mengirimkan email. Entah apa yang dibicarakan mereka. Hasilnya adalah email tersebut. Lucu rasanya ... belum ada pembicaraan apapun atas tanah/proyek, sudah dimintakan uang muka. Jadi, saya teruskan email tersebut ke Business Development manager agar dia menindaklanjutinya.

Beberapa hari kemudian, penerima telpon kantor memberitahu bahwa mr. XX menelpon dan mencari saya. Jujur saja, saya merasa agak terganggu. Namun, rasa penasaran ingin tahu identitasnya mengalahkan rasa terganggu ditelpon saat sedang kerja.

"Ya... ada yang bisa saya bantu...?"
"Langsung saja bu ..., beberapa hari yang lalu, saya mengirim email. Kapan kira-kira saya bisa menerima proposal kerjasamanya?" begitu katanya...
"Lho ... kok begitu...? Kita belum pernah bertemu membicarakan lahan yang ditawarkan. Tidak tahu lokasinya, kondisi lahan serta legalitasnya. Banyak hal yang perlu dibicarakan sebelum sampai pada proposal kerjasama. Saya tidak juga tahu dalam kapasitas apa anda di sini. Jadi bagaimana mungkin secara "buta" saya mengirimkan proposal kerjasama?"
"A bilang ... email yang saya kirim itu sudah cukup untuk kemudian ditindaklanjuti dengan proposal kerjasama bu ...!"

Nggak tahu siapa yang bego ..... Atau ... bisa jadi saya kurang canggih dalam memahami trend bisnis masa kini...

"Ada business development yang akan mempelajari, mengevaluasi dan kemudian memberikan rekomendasi internal. Kalau semua OK, baru kita bisa membicarakan langkah selanjutnya. Mereka akan menghubungi anda, nanti."
"Baik bu ... Ditunggu beritanya. Anyway ... saya adalah GM di salah satu BUMN dan sudah biasa deal dengan perusahaan-perusahaannya bapak X ..., Y ... Z dan lain-lain (disebutkannya beberapa nama terkenal dalam dunia bisnis di Indonesia ... namun menurut saya mereka semua sudah phase out). Saya juga memiliki lisensi pilot dan dengan bapak-bapak itu biasa ketemu di lapangan golf, atau di club. Ternyata saya juga teman fitness bapaknya A (pemilik perusahaan tempat saya bekerja) di fitness center the Sultan. Cuma... saya nggak tahu kalau beliau itu bapaknya A" , cerocosnya tanpa ditanya.

Hadoohh........ pening rasa kepala ini mendengar cerita seperti itu. Menurut saya, ini jenis orang yang gak percaya diri dan sedang mencari "pegangan" pada status sosial mana dia berada. Lucu banget ... orang dengan posisi GM di sebuah BUMN masih harus menyebut-nyebut betapa dia bergaul dengan pengusaha golongan atas. Tanpa harus disebutkan, siapapun sudah bisa meraba dan merasakan, pada status sosial apa, masing-masing teman bicara kita berada. Nggak perlu ditambah-tambah. Penambahan itu malah semakin membuka tingkat sosial dan intelektual kita.

"Oh .... iya!" sahut saya pendek.
"Nanti saya minta Business development kami menghubungi anda ya....!" segera saya sudahi pembicaraan yang berkembang nggak jelas lagi arahnya kecuali menceritakan betapa dia bergaul di kalangan atas Jakarta.
"Baik bu ... sebelumnya, boleh saya minta nomor HP atau pin ibu?"

Waduh ....., ini dia nih .... Sudahlah merasa nggak nyaman bicara dengan orang jenis seperti ini, eh ... dia minta nomor telpon dan pin lagi.
"Anda bisa telpon ke kantor kok. Sebagian besar waktu saya ada di kantor."
"Tapi kan susah kalau harus lewat operator. Nanti pesan saya nggak sampe!", masih ngotot juga.
"Atau pin saja bu... jadi saya bisa langsung connect dengan ibu!"

Yah .... terpaksa deh, saya berikan pin blackberry. Toh walau pesan tersebut masuk, saya masih punya kebebasan untuk membalas kapan ada waktu. Jadi tidak terlalu mengganggu dibandingkan dengan telpon masuk.

Tidak menunggu lama setelah itu, beberapa kali ping terdengar masuk perangkat BB. Dikirimkannya 3 buah foto diri ... sedang main golf, duduk di ruang kerja dan foto cockpit. "Aktifitasku", begitu tulisan yang menyertai ke 3 foto tersebut. Menilik fotonya selintas, sepertinya, orang itu masih muda. Menjelang 40 tahun mungkin. Saya memang tidak men zoom in fotonya. Malah langsung saya delete. Nggak penting banget, gitu loh....!!! Saya malah jadi meragukan bahwa dia bergaul erat dengan pengusaha "papan atas" yang sudah phase out itu. Generasinya berbeda jauh.
***

Ternyata .........., di Jakarta ini banyak banget manusia jenis seperti ini. Sejenis orang yang "tidak percaya diri" kalau tidak mengenakan "topeng". Jenis topengnya bermacam-macam. Ada yang topengnya betul-betul topeng buat kesempurnaan tampilan wajah dan bentuk badannya, yaitu berupa make up atau segala macam upaya perbaikan penampilan wajah/badan seperti operasi plastik atau suntikan botox dan sejenisnya.

Belasan tahun yang lalu, saya pernah punya sekretaris yang super kinclong...!!! Penampilannya nyaris sempurna. Make up lengkap yang sangat rapih selalu menyertai penampilannya setiap hari ke kantor. Rambutnya tertata rapi, memanjang ikal karena si gadis rajin menggelungnya sebelum kemudian dirapikan dengan "blow dry" dan foam. Parfum nya jelas dari merek kelas atas. Harumnya "berkelas". Saya cukup maklum dengan segala penampilannya yang kinclong tersebut, karena ibunya adalah notaris yang cukup kaya raya. Jadi, sepanjang hari ... belum terlihat orangnya, harum parfumnya sudah menyapa penciuman kita. Konon dia bangun jam 04.00 setiap pagi untuk memulai ritual memoles penampilan untuk tiba di kantor jam 08.00.

Gadis ini juga akan panik luar biasa kalau ada yang kurang dalam penampilannya. Bahkan hanya karena dia kelupaan memoles lipstick ke bibirnya. Sayangnya ...., saat itu, saya sedang "mabok" karena kehamilan anak kedua dan sangat sensitif dengan bebauan termasuk harum parfum kelas atas sang sekretaris. Jadi .... dia terpaksa saya larang untuk berada dekat saya.

Pada kesempatan lain, pada suatu hari boss menerima salah satu executive dari grup usaha anak penguasa negeri ini, pada saat itu. Sekarang tentunya mantan penguasa dan grup usaha tersebut termasuk para executive nya sudah tidak terlalu jelas keberadaannya.

Lelaki tersebut berpenampilan metro sexual. Rapi dan harum. Datang dengan mengenakan pakaian formal. Kemeja berdasi dengan setelan jas Ermenegildo Zegna. Bingung kan, kenapa saya sampai tahu merek setelan jasnya. Ini disebabkan karena rancangan jas yang dikenakannya tersebut menjahitkan merek/label nya pada pergelangan tangan. Saya nggak tahu, secara etika, apakah label tersebut harus dicopot dulu sebelum dipakai atau memang disengaja perancangnya agar penggunanya "memamerkan" apa yang dipakainya? Yang pasti.... sang executive memakai jas tanpa mencopot labelnya, sehingga dengan pandangan sekilas saja, merek tersebut sudah jelas terbaca. Pamer ...., norak dan tidak mengerti etika berpakaian secara elegant... atau saya yang kurang gaul...? Silakan menilai sendiri

Masih tentang kelakuan para executive di Jakarta. Kali ini executive perempuan yang konon adalah "tangan kanan" seorang pengusaha kelas atas yang saat ini sedang berkibar. Saya diajak boss untuk menemuinya di Pan d'Or jalan Wijaya 1 Kebayoran Baru. Kami hanya bertiga saja saat itu. Boss memperkenalkan saya, lengkap dengan status saya di kantor. Dia menyambut jabat tangan sekedarnya. Kita tentu akan bisa merasakan sambutan seseorang hanya melalui jabat tangan. Jabat tangan dengan aura kehangatan, ketulusan, basa-basi atau bahkan "meprisant". Dari jabat tangannya, saya tahu dan merasa dianggap "nggak level" untuk dikenal lebih jauh ... Ya sudah ... saya toh diajak, dan "merasa" harus siap-siap kalau pertemuan tersebut harus ditindaklanjuti kemudian, apapun tanggapan dan pandangannya terhadap saya.

Jadilah ..... saya menjadi pendengar setia atas omong-omong kosong yang menurut saya sangat tidak bermutu. Alih-alih bicara soal prospek bisnis, pertemuan itu lebih banyak diisi dan didominasi si perempuan dengan pembicaraan tentang sekolah anak-anaknya di luar negeri, lengkap dengan biaya sekolahnya yang bernilai puluhan ribu USD per semester. Tentang tas bermerek yang baru dibelinya. Cincin, gelang, kalung dan giwang berlian yang dipakainya saat itu. Bahkan dia juga cerita tentang renovasi rumahnya yang memakan biaya miliaran rupiah .... Kesemuanya, menurut saya, sangat tidak perlu dan tidak pantas dibicarakan di depan umum, kecuali kalau niatnya memang mau pamer.

Entah bagaimana, si boss dengan sabar meladeni ocehan perempuan itu....! Salut saya pada si boss yang sabar mendengarkan omong kosong seperti itu. Saya sebagai sesama perempuan, merasa jengah mendengar omongannya. Bukan karena iri/dengki. Hanya merasa ada hal-hal yang tidak pantas dibicarakan dengan orang lain. Apalagi konteks pertemuan tersebut adalah bisnis. Bukan pertemuan pribadi antar dua kawan.

Beberapa hari kemudian, tatkala saya ceritakan pengalaman tersebut pada salah satu teman (perempuan juga) ... dia malah ngakak tertawa .....
"Wah ... tu ibu mau nunjukin bahwa kamu bukan level gaulnya dia kali....", celotehnya.
Iya juga, kali ya ....? Saya tidak akan pernah tahan bergaul dengan orang model begitu. Tahu diri bahwa tingkat kehidupan sosialnya terlalu tinggi .... Sangat jauh dari jangkauan cara hidup keseharian saya....
***

Menurut saya, dI Indonesia, ternyata memang sangat banyak orang yang merasa kurang percaya diri akan kualitas hidupnya lalu mencari-cari cara supaya dianggap masuk ke dalam suatu status sosial tertentu. Kalau ingin dianggap intelek, maka setengah mati dicarinya gelar-gelar akademis untuk dicantolkan di depan atau belakang namanya.

Untuk terlihat terpelajar, mereka bicara dengan mencampur adukkan bahasa tanpa tahu konteks penggunaan bahasa/istilahnya. Seperti gaya bicara Vicky Prasetyo yang baru-baru ini ramai dibincangkan orang. Alih-alih dianggap terpelajar, malah kelihatan "mutu" sebenarnya, Memang ... kualitas intelektual orang akan terlihat saat orang tersebut berbicara.

Ada yang merasa tidak percaya diri kalau tidak menggunakan barang bermerek ... Kalau nggak yang asli, karena harganya luar biasa mahalnya... maka digunakanlah barang-barang "aspal". Banyak lagi cara yang digunakan untuk "menggapai" status sosial tertentu.

Salah satu teman saya, pernah dicuekin teman sekelasnya saat dia kuliah management di PTN terkenal, hanya karena dia menggunakan mobil tua. Padahal saya tahu dia adalah pengusaha, walaupun saat itu baru merintis usaha di bidang telekomunikasi.

Rekan yang lain, notaris yang baru pindah dari luar kota ke Jakarta, terpaksa "megap-megap" mengambil kredit mobil Mercedes Benz seri terbaru agar dia dianggap "bonafide"  oleh calon kliennya.

Saya, bahkan sering diledek staff proyek di luar kota sana, karena hanya memiliki low end gadget yang kuno. Itu karena saya hanya akan menggantinya kalau memang sudah tidak berfungsi dengan baik lagi, sementara di lingkungan saya, hampir seluruhnya menggunakan gadget keluaran terbaru, termasuk keponakan2.

Padahal ...... kalau dipikir-pikir, cape lho memakai "topeng". Berat di ongkos pula ...!!! Tapi .... begitulah manusia ....
Wallahu alam

Selasa, 03 Desember 2013

Bencana dan Mencari Kebahagiaan Hidup

Bulan sudah berganti ....... sekarang malah sudah hari ke 2 bulan terakhir di tahun 2013. tidak sampai 30 hari lagi kita akan memasuki tahun 2014. Apa yang sudah kita lakukan selama lebih dari 320 hari di tahun 2013 ini?

Susah mengingatnya, karena begitu banyak yang sudah terjadi, baik dalam susah dan sedih maupun senang dan bahagia. Satu yang saya ingat ......., saya melewati bulan Nopember tanpa sekalipun menulis di blog ini. Rekor terburuk selama memiliki blog.

Entah kenapa, selama bulan Nopember ini, pikiran serasa buntu. Ada banyak hal yang terjadi dan rasanya patut ditulis, tapi tangan terasa enggan untuk diajak kompromi dan otak, juga serasa beku untuk mencairkan apa yang terekam selama itu ke dalam bentuk tulisan. Ya... sudahlah ... Sudah terjadi.

Pagi tadi, Senin 2 Desember 2013 ..., ketika saya menyalakan blackberry, masuk pesan duka dari salah satu teman ngrumpi di hari Sabtu. Adik salah satu rekan kami di kelas Sabtu Pagi IF alias Institute Francaise, meninggal dunia setelah beberapa tahun menahan sakit dan serangan ganasnya sel cancer. Ternyata bukan hanya satu jenis cancer, tetapi dua macam cancer, langsung menyerangnya. Perjalanan serangkaian pengobatan rutin sejak tahun 2008, yang dimulai dengan operasi pengangkatan sel cancer, kemudian diikuti dengan chemotherapy dan check up rutin setiap 3 bulan ternyata tidak juga mampu mendeteksi dan menghambat ganasnya penyebaran sel cancer.

Baru hari Sabtu lalu, berarti kurang dari 48 jam sebelumnya, di kelas, sang kakak dengan mata yang berkaca-kaca menceritakan niatnya untuk meminta agar kedua orangtuanya membisikkan kata perpisahan dan keikhlasan mereka melepaskan roh kehidupan putri bungsunya yang cantik itu. Saya juga sempat meng"iya"kan niat tersebut sambil menyarankan agar keluarganya banyak berdoa, dzikir dan membaca surat Yasin menjelang akhir hayat si adik. Mengiringinya dengan kalimat dan doa-doa yang baik, yang inshaa Allah mendekatkannya pada Illahi dan mempermudah "perjalanan"nya.

Pasti berat menghadapi detik-detik, saat salah satu anggota keluarga dekat melepaskan roh kehidupan..., tapi saya selalu meyakini bahwa akan lebih berdosa lagi kalau kita mendzalimi si sakit pada saat terakhir tersebut dengan tetap mempertahankan penggunaan peralatan-peralatan yang dari kaca mata duniawi sebagai "alat memperpanjang nyawa" manusia. Sementara, secara medis, dokter sudah "angkat tangan" dan secara kasat mata, kitapun melihat betapa si sakit sudah terlihat demikian menderita dan kesakitan. Cancer yang sudah menyebar, memang merusak penampilan manusia dan menimbulkan kesakitan yang sangat luar biasa bagi penderitanya.

Saya juga teringat, suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, sempat mengunjungi teman perempuan suami saya di RSCM yang juga menderita cancer payudara yang sudah menyebar. Saat itu, walau dia berusaha tampil cantik, dengan membubuhkan lipstick di bibirnya. Mencoba menutupi rasa sakit dan "bebauan" yang menyebar dari luka terbuka cancernya, tapi .... ganasnya penyebaran sel ganas tetap "terlihat". Betapa kelopak matanya sudah tidak bisa berkedip, bengkak berwarna merah. Begitu juga dengan bentuk mulutnya yang sudah tertarik sel cancer serta perban berdarah di bagian dada, menutupi sel cancer yang pecah.

Saya juga masih ingat, betapa dengan tegarnya dia bercerita tentang rasa sakit yang harus dia tahan tatkala serangan datang. Belum lagi betapa besarnya biaya yang harus ditanggung keluarga untuk membiayai seluruh rangkaian pengobatan dan perawatannya. Mungkin dia "sedikit beruntung" karena pada masa kritis tersebut, dia memperoleh pendamping setia setelah beberapa tahun sebelumnya berpisah dengan suaminya.

Konon dalam banyak kasus, kesembuhan penderita cancer lebih bersifat semu, yaitu saat sel ganas tersebut dalam fase "dormant" alias tidur. Dan .. "tidur"nya sel ganas itu tidak berarti dia berhenti membelah diri. Mungkin ... peralatan buatan manusia yang sampai saat ini dianggap canggih seperti MRI dan PET scan belum mampu mendeteksi keberadaan sel cancer, kecuali saat dimensi sel tersebut sudah mencapai suatu besaran yang "dapat ditangkap".

Maka ......, dalam kondisi seperti ini, doa apalagi yang pantas kita panjatkan kepada Allah SWT selain ..." Ya Allah .... berikan yang terbaik bagi yang sakit dan seluruh keluarganya. Bila memang sudah waktunya Kau panggil dia, maka mudahkanlah jalannya". Begitu yang selalu saya do'akan bagi anggota keluarga atau teman yang kondisinya sudah sangat kritis, termasuk juga saat almarhumah ibu saya dirawat adik di rumahnya setelah beberapa minggu tinggal di RS.
***

Pada bulan Nopember ini, kalau kita percaya pada pengaruh magnet bumi dan peredaran planet pada kehidupan manusia, mungkin memang bukan "bulan baik". Kata orang Jawa, bulan Suro, konon bukan bulan baik .... Ada banyak bencana terjadi baik bencana alam maupun bencana akibat kelalaian manusia.

Berkenaan dengan bencana alam, pernahkan kita introspeksi diri, bahwa sesungguhnya, kita sendirilah yang "memancing" datangnya bencana? Manusia sendiri, jugalah yang kelak secara sadar atau tidak, akan mempercepat akhir kehidupan bumi ini. Pernahkan kita berpikir bahwa eksploitasi alam sudah sedemikian hebatnya sehingga alam semesta ini "terpaksa" mencari kesetimbangan yang baru dan dalam upaya serta proses menemukan kesetimbangan yang baru inilah terjadi apa yang kita sebut bencana.

Tanpa kita sadari, penyedotan minyak bumi yang semakin hari semakin besar jumlahnya akan menyisakan "ruang kosong" di perut bumi, apalagi kalau posisi minyak bumi tersebut berupa cerukan/cekungan - basin. Maka tatkala cairan yang disebut emas hitam hitum disedot ke muka bumi, maka akan terjadi ruang kosong di dalam perut bumi. Kalaupun minyak bumi bercampur dengan material lainnya, maka akan selalu ada ruang kosong yang ditinggalkannya. Maka perputaran bumi pada porosnya pasti akan sangat berpengaruh pada kesetimbangan ruang-ruang kosong di dalam perut bumi tersebut.

Perputaran bumi pada porosnya lama kelamaan akan "memampatkan" ruang kosong yang ditinggalkan "penghuninya" baik berupa benda cair (minyak mentah) maupun bahan tambang. Proses pemampatan itu pasti berakibatkan terjadinya pergerakan untuk mencari kesetimbangan baru. Ya proses pemadatan kembali ruang kosong itulah. Pergerakan itu menyebabkan, pergeseran, patahan, retakan pada bumi yang di permukaannya, yaitu di tempat kita tinggal akan menyebabkan gempa bumi, tsunami dan berbagai macam bencana alam lainnya. Tapi .... siapa yang peduli?

Belum lagi pembabatan hutan tropis yang sangat kaya dengan ragam hayati berupa flora dan fauna. Pembukaan besar-besaran hutan tanaman industri seperti perkebunan kelapa sawit menyebabkan hutan tropis yang kaya itu berubah menjadi hutan mono kultur yang menyebabkan tersingkirnya binatang-binatang liar. Hilangnya beragam spesies tanaman dan binatang ... dan yang pasti ... intensifikasi hutan tanaman industri merusak komposisi humus dan lapisan tanah. Tapi siapa yang memikirkan dampak tersebut ketika tumpukan lembaran dolar atau rupiah melambai-lambai di depan mata, mengundang syahwat keserakahan manusia?

Kita hanya akan tersadar sebentar saat bencana dan duka menghampiri ... Beruntung kalau kita mampu menyadari bahwa apapun yang kita alami dan hadapi sesungguhnya buah dari perbuatan kita sendiri. Siapa menanam benih dia akan menuai hasilnya .... Begitu peribahasanya.
***

Hari Sabtu beberapa waktu yang lalu, saat "me time", acara rutin mingguan ngerumpi, madame Hermien yang menggantikan monsieur le Directeur d'une société Indonésienne de l'assurance de la santé, memberikan satu artikel yang cukup panjang berkenaan dengan psikologi positif, yaitu suatu aliran ilmu psikologi yang dipelopori oleh Martin Seligman. Artikel itu, walaupun dituliskan berdasarkan penelitian perilaku anak kembar, tetapi rasanya bisa diterima dan diadaptasikan siapapun.

Intinya adalah ... Perilaku manusia, pada dasarnya dapat dibagi 3 golongan, yaitu 50% berasal dan diturunkan secara genetik. 40% merupakan "pemberian" Tuhan dan karenanya merupakan "perilaku" unik dan individu. Sisa 10% nya terbentuk karena faktor internal, yaitu pengaruh pengasuhan orangtua, hubungan dalam keluarga, pengaruh lingkungan/pergaulan dan lain-lain. Apakah yang 40% tersebut bisa mempengaruhi 50% (genetik) +10% (faktor eksternal) sehingga kita bisa menjadi pribadi unik yang "sempurna" dalam arti kata unsur "kebaikan"nya lebih dominan daripada keburukannya.

Konon katanya .... pada saat kita mendapat musibah, apapun bentuknya ..., maka "receptive alarm" dalam tubuh akan otomatis bereaksi negatif. Otak manusia akan merekam signal negatif untuk membangkitkan "perlawanan" terhadap "signal bahaya" yang masuk. Setelah itu .... tergantung kita....! Kalau 40% sifat dasar kita "terlatih" untuk berpikiran positif, maka reaksi atas signal bahaya yang masuk tersebut akan berupa reaksi yang memberikan beragam solusi positif. Namun kalau 40% sifat dasar tersebut berasosiasi dengan pikiran negatif, maka yang muncul adalah reaksi negatif yang "melebih-lebihkan" signal bahaya" yang masuk tersebut menjadi seolah-oleh bencana besar yang tak tertanggungkan ... lupa bahwa segala sesuatu yang terjadi harus "dilawan" tetapi jangan berlebihan. Kalaupun bereaksi ... maka reaksinyapun destruktif, bukan solusi. Maka, sebagaimana sering dikatakan dalam bahasa sehari-harinya ... jangan LEBAY deh ... hehe....

Perlukan signal bahaya itu ditanggapi negatif? Pada awalnya, tentu perlu ... supaya ada "perlawanan". Karena kalau signal yang masuk selalu ditanggapi positif, maka "daya tolak/daya juang" manusia menjadi tipis ... Nrimo terus .... ya sudahlah ... memang begini adanya nasibku ... Kira-kira begitu. Tapi kalau reaksi "otak" terhadap signal yang masuk, negatif, maka secara otomatis akan terjadi perlawanan. Tapi, tentu harus merupakan perlawanan yang positif.

Ini rasanya sejalan dengan apa yang pernah ditulis dalam buku the Secret dan Mestakung (Semesta Mendukung). Kita secara tidak sadar sebetulnya "menentukan" sendiri, mau jadi apa kelak. Masa depan dan kehidupan manusia sesungguhnya sesuai dengan apa yang direncanakan, baik secara sadar ataupun tak sadar. Kalau alam pikiran kita selalu memiliki aura positif, maka kita akan mampu "menangkap" makna dan hikmah atas apapun yang terjadi dan apapun yang kita hadapi, baik dalam kesusahan maupun kebahagiaan. Dengan demikian akan selalu ada optimisme dalam setiap langkah.

Namun kalau alam pikiran kita memiliki aura negatif, maka hal sekecil apapun yang kita alami, akan selalu dilihat dari kacamata negatif. Bahkan saat mendapat rejekipun, kita luput bersyukur ... karena sibuk melirik dan mengintip seberapa besar kekayaan/harta tetangga dan membandingkannya dengan kekayaan kita. Akhirnya ... hanya penderitaanlah yang diperoleh. Penderitaan yang dibuat sendiri karena perasaan/pikiran negatif yang ada dalam relung pikiran kita. Begitu .....???
Wallahu alam

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...