Rabu, 29 Juni 2005

Bunuh diri juga menghinggapi remaja dari kelas menengah

Pengantar :
Belakangan ini, kasus bunuh diri di Indonesia, semakin marak. Pelakunya bukan saja orang tua tetapi juga anak usia sekolah. Hal sepele bisa menjadi pemicunya. Kala kita membaca berita tersebut, kadang tidak terpikir bahwa ada orang yang mampu menyakiti dirinya dan berusaha menghilangkan nyawanya sendiri. Tetapi kalau hal itu terjadi di kalangan dekat, mungkin perasaan kita menjadi berbeda lagi. Betapa kompleksnya persoalan hidup manusia, termasuk kehidupan anak remaja dari usia belasan sampai usia mahasiswa. Orang tua, seringkali ”merasa tahu segalanya” tentang kehidupan remaja, berdasarkan pengalaman hidupnya. Padahal sesungguhnya, kita tidak tahu apa-apa. Jaman selalu bergerak, sementara referensi yang digunakan orang tua adalah masa lalu, bukan ”masa sekarang” yang riel sedang dihadapi anak-anaknya.

Cerita ini ditulis untuk berbagi cerita sambil menarik perhatian para orang tua.”Peristiwa bunuh diri” bukan hanya menyentuh ”anak-anak golongan miskin” yang malu karena tidak bayar uang sekolah atau orang tua yang tidak lagi sanggup memberi makan anak-istrinya. Tapi lebih luas lagi, bisa terjadi pada remaja atau golongan menengah, tanpa kita sendiri tahu apa pemicu sesungguhnya. Sekedar berbagi pengalaman, tulisan ini, dibuat berdasarkan kejadian sebenarnya (dari sisi penulisnya), semoga menjadi hikmah dan pelajaran bagi kita semuanya, bila suatu saat mengalami hal yang sama. Wallahu 'alam
Salam

Bagaimana bisa terjadi ???
Hari menjelang siang. Saya sedang menyelesaikan proposal kelayakan proyek untuk pinjaman kredit bank yang menjadi tugas dan tanggung jawab keseharian di kantor. Sebentar lagi saat makan siang tiba, jadi proposal ini mesti cepat diselesaikan pengerjaannya.

Belakangan ini, sambil mengerjakan tugas kantor, saya masih harus memonitor proses permohonan student visa anak saya. Anak sekarang memang manja, semua mau tahu beres. Tapi, Ini pasti kesalahan para orang tuanya. Selalu berusaha menyenangkan hati anak, memenuhi kebutuhan mereka. Untuk menutupi kesalahan mereka karena kurang mempunyai waktu bersama. Sibuk mengejar materi untuk memenuhi standar gaya hidup metropolis.

Bip !! Bunyi pendek, tanda sebuah sms masuk. Siapa nih siang-siang kirim sms? Orang yang selalu berhubungan dengan saya, biasanya lebih suka menelpon langsung.
”Selamat siang tante. Saya hanya mau minta maaf, bila saya punya kesalahan sama tante”

Wah, tumben anak ini kirim sms! Biasanya, gadis hanya mengirim sms pada kesempatan atau hari-hari istimewa saja. Pada hari ulang tahun saya atau lebaran. Saya tidak kenal betul dengan gadis, mungkin juga tidak pernah bertemu muka. Hanya sering mendengar namanya. Sesekali dia, juga mengirim kue buatannya untuk saya, ke rumah. Dia teman anak lelaki saya.
”Tumben kamu kirim sms? Memangnya sudah bikin salah apa sih, kamu? Atau mungkin kamu ya, yang suka telpon tak bersuara ke rumah malam-malam?” saya sedikit bercuriga. Memang belakangan itu, seringkali ada telpon gelap berdering di rumah baik siang maupun malam hari. Nggak tahu waktu.
”Nggak kok, tante. Saya cuma mau bilang aja kalau saya sayang banget sama anak tante.” jawabnya lagi.
”Terus dia gimana?” teringat bahwa hubungan cinta remaja ini memang sudah berakhir kira-kira 6 bulan sebelumnya.
”Gini deh, banyak doa aja... Kalau jodoh pasti nggak kemana kok! Sekarang lebih baik konsentrasi kuliah saja”, lanjut saya, masih dalam sms.

Sms terakhir itu tidak terjawab. Saya lalu memutuskan untuk meneruskan pekerjaan sedikit dan lalu makan siang di kantor seperti biasa. Tidak ada kesan apa-apa, walau terasa sedikit aneh menerima sms dari teman anak saya itu. Mungkin gadis lagi iseng, kurang kerjaan! Atau, jangan-jangan mau mengambil hati saya, agar saya mau membujuk anak saya balik lagi pacaran sama dia... He..he... GR ....!!

Setelah makan siang dan shalat, saya melanjutkan pekerjaan rutin yang kadang terasa sangat membosankan. Sekitar jam 15.00, resepsionis kantor memberitahu ada telpon dari rumah. Agak kesal saya menerima telpon. Ada apa lagi ...?? Saya paling tidak suka menerima telpon dari rumah pada jam kantor, kecuali ada hal yang sangat penting.

Saya dengar suara si mbak dari rumah, terkesan sangat hati-hati dan berusaha bicara pelan-pelan seolah tidak ingin didengar siapapun.
”Bu... ada orang... lelaki, telpon cari mas. Sudah dua kali ...”
”Siapa...? Ada apa ... ? Saya agak kaget, sedikit khawatir. Tidak biasanya ada lelaki tak dikenal mencari anak saya ke rumah. Siang-siang begini, seharusnya dia tahu kalau anak saya pasti tidak ada di rumah. Kuliah!

Teman-temannya selalu menghubunginya melalui hp. Apalagi ini hari kuliah. Anak saya sedang ujian semester. Jam segini mungkin baru selesai ... atau sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Anak-anak sekarang punya umumnya hp, jadi tidak mungkin dicari-cari sampai ke rumah, kalau tidak ada sesuatu yang emergency.
”Katanya, gadis masuk rumah sakit bu ... kritis..! Mereka minta, mas bertanggung jawab”

Deg .... tanpa terasa, dada saya berdebar kencang. Apa yang mesti dipertanggung jawabkan oleh anak saya? Saya teringat sms yang saya terima menjelang makan siang tadi. Apa ada kaitan antara sms dengan kritisnya gadis di rumah sakit?
” Ya... ya... nanti saya coba cari mas dan hubungi keluarganya. Tolong hati-hati mbak...! Jaga telpon baik-baik, segera angkat kalau bunyi lagi! Jangan sampai ibu sepuh terima telpon ini, ya.”

Konsentrasi saya langsung pecah. Tidak bisa bekerja lagi. Cemas ... bingung tidak menentu. Saya coba menghubungi anak saya melalui hp nya. Mati ..... Shit! Saya lupa, batere hpnya sekarat. Saya ingat tadi pagi, kami berangkat sama-sama dari rumah. Seperti biasa dia turun di blok M dan menyambung perjalanannya dengan bus ke kampus. Di perjalanan kami sempat ngobrol seperti biasa, tidak ada suatu yang istimewa. Hanya membicarakan proses permohonan student visa di kedutaan dengan segala pernak-perniknya. Dia juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Akhir semester ini dia harus segera berangkat ke melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Saya juga tahu batere hp nya sudah agak lemah. Tidak seperti biasanya, hari ini dia meninggalkan charger hp di rumah. Biarlah, nanti saja saya telpon ke rumah. Mungkin saat ini dia masih dalam perjalanan pulang, di bus.

Saya menghubungi nomor hp gadis yang tadi digunakannya mengirim sms. Cuma itu nomor yang saya ketahui untuk menghubungi keluarganya. Saya tidak pernah dan tidak suka terlalu mencampuri urusan anak-anak, walaupun saya selalu bawel untuk mengetahui siapa saja kelompok mereka. Hanya itu dan tidak mau masuk terlalu jauh.

Suara lelaki remaja segera menyambut.: “Sebentar tante, bicara sama ibu saya saja...”, jawabnya setelah tahu siapa yang menelpon, dan kemudian disambung dengan suara perempuan.
”Apa yang terjadi..?” langsung saya bertanya. Tanpa basa basi. Ini pertama kali saya bicara dengan ibunya gadis.

Sambil tersendat, dia menceritakan semua yang terjadi. Gadis, bungsu dan satu-satunya perempuan di keluarga, mencoba bunuh diri menjelang jam makan siang tadi dengan meminum racun serangga. Dia sudah merancangnya dengan baik. Menyiapkan surat perpisahan dan permohonan maaf untuk keluarga. Mengirim sms kepada seluruh teman dekatnya untuk datang ke rumahnya pada jam 17.00. Waktu yang dia perkirakan ”jasadnya” akan tiba di rumah. Termasuk di dalamnya beberapa sms yang dikirimnya kepada saya. Untung, pembantu rumah mereka cepat melaporkan sesuatu yang mencurigakan di rumah ketika dia mau membereskan kamar gadis. Hari itu, kamar gadis yang biasanya terbuka lebar, saat itu terkunci rapat. Curiga ada maling di dalam kamar, mereka memanggil satpam di perumahan tempat tinggal mereka. Mengintip dari jalusi jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar untuk kemudian segera mendobrak pintu saat melihat gadis terkulai lemah dengan ceceran cairan di sekitarnya. Lalu segera dibawa ke rumah sakit tak jauh dari tempat tinggal mereka.

Saya betul-betul lemas ..., keringat dingin mengalir membasahi baju. Jadi itu rupanya, makna sms dan telpon yang bertubi-tubi ke rumah. Gadis mencoba mengakhiri hidupnya dan mereka, secara tidak langsung, menuduh anak saya sebagai penyebab.
Kepala saya mendadak sakit ... pusing... Duh, apa lagi yang terjadi ini? Urusan remaja yang tidak habis-habisnya. Pendek sekali pikirannya...!!!
”Ibu, apakah anak ibu baik-baik saja....? pertanyaan bodoh begitu saja terlontar.
”Dia masih belum sadar. Tapi seluruh isi perutnya sudah dikuras. Dokter memastikan dia bisa terselamatkan. Belum terlambat dan kami bersyukur, daya tahan tubuhnya sangat baik.”
”Syukurlah ... tapi bukan itu saja. Maksud saya ..... ” ragu saya mengatakannya. Saya takut dengan pikiran dan dugaan saya sendiri... Takut menghadapi kenyataan. Selama ini saya percaya penuh pada anak saya. Dia tidak pernah ketinggalan shalat 5 waktu dan puasa Daud. Dan saya juga selalu mengingatkan setiap saat akan dua hal yang harus dihindarinya dalam bergaul... Narkoba dan seks pranikah. Tapi siapa yang tahu ....???

Saya ingat 2 minggu sebelum peristiwa itu, anak saya membawa adiknya main ke rumah gadis. Seperti biasa, usil, saya sempat menanyakannya. Kenapa masih berkunjung ke rumah gadis juga, sementara hubungan mereka sudah putus. Tapi anak saya enteng saja menjawab...” Memangnya kalau sudah putus nggak boleh berteman ya...??”

”Tidak bu ... Alhamdulillah, bersih dan tak kurang apapun. Semua sudah diperiksa lengkap” Ibu gadis mengerti arah pertanyaan saya yang mengambang itu.
”Syukurlah, saya masih mencoba mencari anak saya. Hpnya mati, karena lupa di charge. Insya Allah kami akan berkunjung ke rumah sakit nanti malam, bersama suami dan anak saya. Saya harap ibu berkenan menerima kami”

Saya kemudian menelpon semua teman-teman anak saya yang saya kenal. Mengecek keberadaannya. Semua menggeleng, tidak tahu dimana keberadaan anak itu. Bahkan teman-teman belajarnya dan penghuni rumah, tempat mereka sering nongkrongpun tak ada yang tahu kemana dia. Betul-betul lenyap seperti ditelan bumi. Mungkin ini coincident  dan pertolongan Allah SWT untuk menyelamatkan diri anak saya. Kakak-kakak dan oom-oomnya gadis begitu marah. Menuduh secara tegas bahwa anak saya penyebab gadis bunuh diri seraya mengancam melalui telpon ke rumah. Bila sampai maghrib anak belum ditemukan, mereka akan mengadukan kasus ini ke polisi dan menciduk anak saya. Apalagi teman dekat gadis mengatakan bahwa sehari sebelumnya, gadis bertengkar hebat dengan anak saya di Senayan. Apa sebabnya? Gelap! Sama gelapnya dengan penyebab bunuh diri itu. Mereka sudah bubar sejak 6 bulan sebelumnya. Gadis, sama sekali tidak ternodai, apalagi hamil karena anak saya ... So what? Hanya karena pertengkaran di Senayan ...? Pertengkaran apa lagi? Sangat tidak masuk akal!!!

Saya ulangi menelpon kerumah. Berharap dia sudah berada di rumah. Biasanya 1,5 jam sesudah selesai kuliah, anak saya sudah tiba di rumah, Ini sudah waktunya. Tapi entah apa yang terjadi, dia belum juga tiba di rumah.  Mbak panik karena telpon tidak berhenti berdering mencari anak saya. Dia tidak bisa ke dapur untuk masak, khawatir ibu saya menerima telpon. Saya tidak kalah panik dan bingung. Buyar sudah urusan kantor ... ingin pulang, ingin menangis, panik, sedih, bingung... takut akan keselamatan anak saya. Semua masih gelap. Saya tidak berani menelpon suami ke kantornya. Ini masalah gawat ... tidak nyaman dibicarakan di telpon. Bisa runyam semuanya. Lelah mencari anak melalui telpon, akhirnya saya memutuskan pulang, sambil tak putus-putus berdoa untuk keselamatan anak saya. Duh... kemana anak ini????

50 meter menjelang tiba di rumah, saya melihat dia sedang berjalan menuju rumah, santai seperti biasanya, tanpa beban. Saya panggil dan mengajaknya masuk ke mobil, untuk bicara sebentar menjelang masuk ke rumah. Saya tidak ingin pembicaraan ini didengar ibu saya. Telpon-telpon panjang seharian ini saja pasti sudah membuatnya curiga. Pasti dia akan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Saya tidak ingin ada kehebohan di rumah.

”Gadis mencoba bunuh diri, sekarang kritis di rumah sakit”
”Kapan dan darimana tahu kabarnya?”

Saya ceritakan secara singkat apa yang sudah terjadi sambil menatap tegas wajah anak saya. Menduga-duga reaksi dan perasaannya. Tapi tidak ada yang dapat saya baca pada raut wajahnya.
”Saya sudah janji akan ke rumah sakit setelah kita makan malam nanti. Mau ikut?”
’Yup!” jawabnya singkat.

Setelah suami pulang, saya menceritakan sedikit tentang kejadian hari ini. Tentang janji saya mengunjungi gadis di rumah sakit dan memintanya segera bersiap. Setelah makan, mandi dan shalat Isya, kami berangkat. Dalam mobil, tak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran dan perasaannya masing-masing. Menduga-duga, apa yang sebenarnya terjadi. Perjalanan ke rumah sakit terasa bagai tak berujung. Ini adalah perjalanan yang paling mencekam selama hidup saya.

Tiba di rumah sakit, kami langsung menuju lantai tempat gadis di rawat. Keluar dari lift, kami bertemu pandang dengan tatapan mata marah, benci dan bengis dari keluarga gadis. Saya merasa terluka dan sangat terhina karenanya. Sikap mereka sama sekali tidak bersahabat. Kami berniat baik menjenguk gadis, ingin berbagi duka, menunjukkan bahwa kami orang-orang yang bertanggung jawab, kalau diperlukan, walau kami sendiri masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga gadis menempuh jalan terkutuk ini.

Saya masuk ruang perawatan dengan anak saya. Gadis sudah sadar dan meminta maaf pada saya dan anak saya, sudah merepotkan kami. Saya hanya bisa tersenyum getir dan memintanya untuk tidak mengulangi tindakan konyol ini. Tidak lama di kamar, saya segera meninggalkan kedua remaja yang saling berpegangan tangan. Lalu meminta suami menjenguk masuk. Suasana betul-betul tidak bersahabat dan sangat mencekam. Kaku dan tegang.

Hanya ibu gadis yang masih mau berbicara dengan kami. Sekali lagi, dia mengulang cerita yang sama. Dia menyampaikan pesan dan ancaman bapak gadis agar anak saya tidak lagi menghubungi anaknya. Saya memahami dan sangat mengerti, kemarahan mereka. Saya menyanggupinya, walaupun saya tidak mengerti apa permasalahan dan kesalahan anak saya. Ini memang sudah keterlaluan. Saya hanya tidak ingin anak saya tersandera dengan tindakan-tindakan konyol gadis, bila mereka masih saling berhubungan.

Tidak lama kami di rumah sakit, kami berpamitan. Tidak ada jabat tangan dan tidak ada basa-basi apa lagi beramah tamah. Malam itu, amat sangat kelam dan gelap. Sama kelamnya dengan hati dan perasaan saya. Untung hari itu hari terakhir anak saya ujian. Jadi keesokan harinya dia mengurung diri di rumah. Saya rasa dia perlu menenangkan pikiran dan perasaannya. Kejadian itu pasti membuatnya shock. Saya tidak berani bertanya-tanya lebih jauh lagi apa yang menjadi masalah dalam pertengkaran mereka di Senayan satu sehari sebelum kejadian ini. Biar itu menjadi rahasia hatinya.

Hari Jum’at kebetulan libur. Saya di rumah, menyiapkan makan siang, saat telpon berdering. Tidak ada orang di dalam. Suami dan anak saya sudah berangkat ke mesjid untuk melaksanakan shalat Jum’at Agak malas, terpaksa telpon saya angkat. Ternyata, Ibu gadis menelpon, meminta dan sangat mengharapkan kehadiran anak saya di rumah sakit saat itu juga. Saya ingat perjanjian yang kami buat di rumah sakit. Tidak ada kontak lagi, apalagi bertemu!

”Maaf bu, apa ibu lupa dengan permintaan bapak gadis dan perjanjian kita?”
”Ya, maafkan saya. Tolonglah sekali ini saja...!
”Untuk apa? Untuk menyakiti hati kami lagi?”
”Ibu, tolonglah! Gadis meminta saya menelpon. Keadaannya memang sudah semakin baik. Dia hanya ingin bertemu anak ibu. Saya sudah melarangnya, tapi dia mengancam, hanya mau makan obat-obatannya setelah bertemu dengan anak ibu. Dia berjanji, ini untuk yang terakhir kali. Jadi mohon diijinkan”
”Anak saya sedang shalat Jum’at. Saya belum bisa memberi jawaban. Telpon saja lagi, nanti”

Sepulang shalat, saya sampaikan pesan tersebut. Saat telpon kembali berdering, anak saya menyanggupi dan berjanji datang setelah makan siang. Siang itu kami berdua berangkat ke rumah sakit. Saya tidak akan mengijinkan anak saya berkunjung sendiri. Saya masih belum tahu perkembangan keadaan di sana. Jangan-jangan ini jebakan untuk melukai anak saya. Jujur, saya masih mengkhawatirkan keselamatan anak saya.

Berbeda dengan pertemuan pertama, kali ini ibu gadis menyambut kami dengan sangat ramah. Rumah sakit sepi. Ibu gadis menyambut dan mempersilakan anak saya masuk ke dalam ruang tempat gadis dirawat. Kemudian dia menggamit tangan saya. Dia meminta maaf atas sikap keluarga terutama suaminya kepada kami saat bertemu dua hari sebelumnya. Dia banyak bercerita tentang gadis, tentang isi hati dan perasaan-perasaan gadis. Sayapun meminta maaf, bahwa anak saya sudah menjadi penyebab keputus-asaan gadis, walaupun sesungguhnya saya sama sekali tidak mengerti pangkal permasalahannya. Sesungguhnya ibu gadis tahu permasalahan sebenarnya, dan merasa malu atas kejadian ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia juga bercerita; keluarga memutuskan bahwa gadis, untuk sementara waktu akan diungsikan di luar kota, untuk menenangkan pikiran dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pertemuan siang hari itu diakhiri, sekali lagi, dengan janji untuk mengusahakan agar mereka tidak lagi saling berhubungan. Walaupun kami sama sepakat bila suatu sat mereka memang berjodoh, maka kami tidak bisa menghalanginya. Biarlah Allah SWT yang menentukan jalan hidup manusia.

Hari itu saya pulang dari rumah sakit dengan hati yang lebih ringan Beban berat selama 3 hari ini pupus sudah. Namun, secara jujur, dalam hati saya berdoa dan memohon; ”Ya Allah, bila suatu saat nanti saya diberi kesempatan untuk mempunyai menantu perempuan, berikanlah, kepada anak saya, pasangan shalihah yang menyejukkan hati  baginya dan juga bagi kami, kedua orang tuanya”

salam
Lebak bulus 15juni2005




Selasa, 28 Juni 2005

Mengawal anak remaja menyusuri gemerlap kehidupan kota besar.

Punya anak remaja dan tinggal di kota besar seperti Jakarta bukanlah hal yang menyenangkan. Hati selalu dibuat was-was. Terlalu banyak godaan dan bahaya, dari soal tawuran anak sekolah, peredaran narkoba hingga perilaku seks bebas. Lihatlah, saya yakin tidak ada satu sekolahpun yang berani menjamin bahwa anak didiknya bebas dari penggunaan narkoba atau seks pranikah, sekalipun itu sekolah favorit.

Setiap kali saya harus berangkat ke Bandung dan mampir ke kantor terlebih dahulu untuk menunaikan shalat subuh, saya selalu melihat anak remaja, baik perempuan maupun lelaki, bergerombol di kawasan Blok M. Mau berangkat sekolah? Jelas tidak. Pakaian mereka tidak mencerminkannya dan hari masih terlalu pagi. Baru pulang? Lha dari mana sepagi itu? Apakah orang tuanya tidak mengetahui anak-anaknya masih diluar rumah dan belum pulang? Pada hari sekolah lagi. Diam-diam, kawasan tersebut memang dikenal sebagai tempat transaksi pekerja seks remaja. Teman kerja saya, bahkan pernah mendengar dengan telinganya sendiri transaksi pekerja seks remaja tersebut saat dia, sepulang kantor, mampir di sebuah café di pertokoan modern di kawasan blok M. Bahkan dia mendengar dengan jelas, kemarahan si mucikari, saat remaja putri menyatakan bahwa dia tidak bisa melayani pesanan karena merasa masih lemas setelah aborsi yang dijalaninya beberapa hari sebelumnya. Mengenaskan sekali dan sekaligus memprihatinkan. Kita memang cenderung lari dari kenyataan, pura-pura tidak tahu dan tidak mau mengakui adanya masalah sosial yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja. Masalah seks pranikah!

Beberapa tahun yang lalu, kita dikejutkan dengan publikasi survey yang dilakukan terhadap perilaku seks di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Sebagian mahasiswa di Yogyakarta melakukan kumpul kebo, dengan berbagai macam alasan. Ada yang berdalih untuk menghemat biaya atau berbagai alasan lainnya. Semua orang terkejut, semua orang angkat bicara. Namun tidak ada yang berpikir positif untuk menindak lanjuti hasil penelitian itu dengan tindakan yang bersifat preventif dan antisipatif. Alih-alih menyimak fenomena tersebut untuk memperdalam masalahnya dan melakukan penelitian lebih mendalam mengenai fenomena sosial tersebut untuk kemudian diambil tindakan preventif. Yang terjadi adalah hujatan kepada para peneliti yang melakukan dan mempublikasikan hasil penelitian itu. Ada yang menanyakan karena meragukan metode penelitiannya. Menggugat jumlah responden yang dianggap terlalu sedikit dan berbagai pertanyaan dan hujatan lainnya. Intinya adalah meragukan keabsahan penelitian tentang perilaku seks pranikah dan penelitian tersebut dianggap sebagai upaya untuk menghancurkan reputasi Yogyakarta sebagai kota pelajar yang berbudaya tinggi.

Saya pikir, seorang peneliti yang kreatif dan proaktif akan selalu tergelitik oleh fenomena apapun yang terjadi di lingkungannya. Bisa saja, seorang peneliti masalah sosial membuat suatu “pengandaian” sebuah kasus atau masalah yang belum ada dan kemudian membuat sederetan kuestioner untuk mendukung asumsi, hipotesis dan analisa dari penelitiannya. Tujuannya adalah agar kita sudah bersiap-siap terhadap suatu “kejadian” sehingga bisa mengantisipasinya dengan lebih baik dan terstruktur. Atau, mungkin si peneliti sudah melihat ”gejala”, walaupun masih samar dan ingin memetakan proyeksi/kecenderungan perkembangan fenomena tersebut sehingga bila fenomena tersebut meluas, masyarakat sudah siap  dan masalah ikutan dari fenomena tersebut dapat diantisipasi.

Sebetulnya perilaku seksual bukanlah suatu masalah. Ini adalah kejadian alam yang sangat natural sejak penciptaan manusia pertama di muka bumi. Bukankah Allah SWT menciptakan Hawa sebagai pasangan Adam dan memberikan kenikmatan ragawi agar mereka tergerak untuk memperbanyak keturunan yang akan menjadi khalifah di muka bumi? Dengan atau tanpa pornografi, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan biologis yang satu ini. Secara alamiah dan tidak terhindarkan, Allah SWT mengatur bahwa sejak seorang lelaki mengalami ”mimpi” dan perempuan mengalami menstruasi, maka otomatis timbul pula dorongan seksual dalam diri anak manusia. Pornografi hanyalah salah satu bentuk luapan dan ekspresi dari naluri tersebut. Tidak terhindarkan dan hanya butuh penyaluran! Hanya caranya yang berbeda. Disinilah akal pikiran, moralitas dan berbagai pertimbangan manusia mempengaruhinya.

Lalu bagaimana cara kita mengawal remaja kita dari seks pranikah. Orang yang religius, akan ingat pesan Rasulullah; ”Menikahlah atau berpuasalah!”, karena puasa ”memaksa” kita menahan diri dari segala godaan. Orang-orang modern, pintar dan munafik bilang, tidak perlu dihindari. Jalani saja ... yang penting jaga agar tidak hamil sebelum menikah. Apalagi berbagai kontrasepsi diperdagangan dengan bebas. Obat kuat beredar dimana-mana. Motel bertebaran dimana-mana dan selalu penuh terisi. Lupakah kita pada kasus mahasiswa Itenas  Bandung dan kasus hotel Maharaja – Jakarta Selatan? Jadi itu bukan hanya melanda golongan selebriti saja. Ini problem semua orang.

Remaja tetaplah remaja. Penuh gelora ... penuh dinamika, dalam proses pencarian identitas dan selalu mengaktualisasikan diri melalui kelompok. Beruntung kalau dia menemukan kelompok yang religius dan sepaham. Mungkin seks pranikah bisa terhindari. Tetapi kita hidup di negara sekuler, dimana semua jenis kelamin bertemu tanpa batas. Tidak semua orang menutup aurat sebagaimana tidak ada yang dapat melarang perempuan memakai baju transparan atau super ketat di tempat umum. Kalau perempuan diwajibkan memakai pakaian yang sopan saat keluar rumah, jangan-jangan, seperti kasus Inul, malah membuat marah kaum feminis karena dianggap melanggar hak azasi manusia. Padahal lingkungan pergaulan, interaksi relatif tidak terbatas antar 2 jenis kelamin berbeda, cepat atau lambat bisa menimbulkan gairah seksual.

Orang tuapun kadang secara tidak sadar, mendorong anak untuk terjerumus. Acara ulang tahun ke 17 anak remaja kerap diselenggarakan di Villa, apartement keluarga atau bahkan hotel dimana setelah pesta usai kadang si remaja diijinkan orang tua untuk mengajak teman-temannya menginap. Pada kesempatan menginap tersebut, dapat dipastikan orang tua tidak akan begadang sepanjang malam menemani dan mengawasi anak-anak remaja. Bisa-bisa mereka dikatakan kurang gaul, kurang modern dan lain-lain. Wah mana mau orang tua dicap seperti itu oleh teman anaknya. Mereka, kan, sudah pasti masuk ke golongan menengah ke atas yang modern!

Kejadian-kejadian seperti itu selalu membuat saya tidak bisa tidur setiap malam minggu atau saat anak saya minta ijin menghadiri pesta ulang tahun teman. Dapat dipastikan, setelah jam 23.00, setiap 30 menit handphone anak saya akan berdering. Ibu yang bawel, cemas dan sekaligus protektif ini sedang merasa bertanggung jawab untuk mengecek keberadaan anak dan mengingatkannya pulang. Aktifitas ini baru berakhir sampai akhirnya si anak, dengan muka masam, pulang juga ke rumah. Itupun sudah dipastikan selewat jam 1 dinihari. Padahal anak saya lelaki, yang repotnya, sejak SD punya banyak fans. Jadi harap maklum kalau si ibu amat sangat cemas membayangkan yang seram-seram... hi.....!!!

Akhirnya, kami belajar dari akang EAK tentang hal yang satu ini. Dosen berpenampilan sederhana ini, pada jaman mahasiswa dulu sering datang, selepas subuh, ke rumah kami di kemang pratama untuk konsultasi tugas akhir pada suami. Jujur saja, dulu, saat kami mengetahui bahwa anaknya yang masih kuliah dinikahkan dengan pacarnya yang sama-sama masih kuliah, saya berkata dalam hati .... Ih... kuno amat sih tu orang!!! Mestinya kan tunggu selesai dulu .... tunggu punya kerjaan dulu.... tunggu mental siap dulu...!

Tapi, ternyata dia benar .... lihatlah mantan penyanyi cilik EL, mantan penyanyi cilik yang akhirnya menikah juga dengan pacarnya, setelah hamil 5 bulan. Padahal, menurut pengakuannya, sebelumnya, mereka telah meminta ijin menikah, namun pemintaan tersebut ditolak orangtua karena pasangan itu masih kuliah.

Jadi .... mau pernikahan dini yang bersih dan diridhoi Allah SWT atau menjerumuskan anak pada perzinaan ? Yuk ah merenung.... jangan ditunda-tunda. Mumpung belum terjadi .... nanti menyesal lho!!!!

Salam –
lebak bulus 120605

Jumat, 17 Juni 2005

ASI adalah hak anak kita. Jangan biarkan mereka jadi ”anak sapi”!!!

Industri makanan anak balita di Indonesia termasuk industri makanan bayi berkembang pesat. Kesibukan ibu bekerja yang mengakibatkan kurang waktu untuk menyiapkan makanan segar, turut menyuburkan pertumbuhan tersebut. Cobalah tengok pada deretan rak di supermarket. Semua ada...., mulai dari snack yang katanya sehat dari berbagai rasa, makanan pagi jenis sereal, biskuit berbagai rasa dan bentuk, makanan kecil pencuci mulut hingga susu baik susu bubuk maupun susu cair. Bahkan makanan (bubur) bayi siap saji .... semua ada, campur aduk tidak ada lagi batasan umur. Semua menjanjikan kelebihan-kelebihan, dengan tambahan-tambahan multi vitamin dan berbagai macam unsur-unsur artifisial yang saya yakin, buat orang awam, sangat tidak dimengerti kegunaan pastinya .... Pokoknya, semua mengatakan produknya bisa mencerdaskan anak.

Dalam perbincangan dengan ibu bekerja dewasa ini, jarang sekali ditemukan ibu yang menyusui bayinya secara eksklusif selama minimal 6 bulan. Alasannya macam-macam. Ada yang mengatakan ASInya tidak keluar .... yang lainnya mengatakan, karena harus kembali bekerja, sehingga tidak lagi sempat menyusui anak. Stress karena pekerjaan memang dapat menyebabkan produksi ASI berhenti. Ironisnya .... keengganan menyusui bayi juga menjangkiti ibu-ibu yang tidak bekerja. Mungkin promosi gencar produk susu mengenai kelebihan-kelebihan produknya terutama yang menyangkut ”peningkatan IQ anak” membuat ibu tidak percaya diri untuk menyusui anak. Apakah mereka mengerti bahwa makanan yang terbaik bagi bayi terutama di awal tahun kehidupannya adalah ASI. Melihat kenyataan yang ada, saya menjadi sangat tidak yakin akan hal ini. Kecuali mengetahui tentang kegunaan ASI dari bacaan/majalah yang hanya dapat diakses oleh keluarga mampu yang biasanya diakhiri dengan pesan terselubung dari sponsor bahwa ”apabila ibu mengalami kesulitan untuk menyusui bayi, maka gunakanlah susu formula sesuai dengan umur bayi” lengkap dengan promosi keunggulan-keunggulannya.

Tidak salah lagi, bila banyak ibu yang menganggap susu formula bagi bayi sebagai bagian dari gaya hidup modern, gaya hidup masa kini. Tidak ada sarana lain dari ibu-ibu muda untuk mengetahui manfat menyusui baik bagi bayi maupun si ibu sendiri. Jangan lagi berharap pengetahuan itu dapat diperoleh dari sekolah. Sekolah kita kan mendidik anak supaya cerdas dari segi ”akademis”. Aneh-aneh saja ... masa pengetahuan tentang menyusui diajarkan di sekolah? Padahal itu kan pengetahuan praktis yang secara alamiah pasti dibutuhkan manusia, terutama perempuan.

Dengan jumlah penduduk 220 juta orang dan sebagian besar masih dalam usia produktif, Indonesia memang pasar yang besar dan luas bagi produk makanan anak. Apalagi generasi muda Indonesia adalah generasi yuppies yang baru tumbuh sehingga mereka mengganggap kuno gaya hidup alami dan lebih cepat termakan dengan gaya hidup instant dan praktis. Tidak heran, usaha pemerintah untuk memasyarakatkan pemberian ASI pada bayi tidak terdengar sehingga imbauan pemerintah untuk menarik produk makanan untuk bayi di bawah usia 4 bulan tidak didengarkan oleh produsen.

Ini berlainan dengan sekolah asing. Bos saya, pernah cerita; anaknya yang kala itu masih duduk di level SMU JIS – Jakarta International School, suatu hari pulang sekolah dengan membawa tas besar. Isinya ...... boneka bayi, dengan segala macam peralatan dan produk makanannya. Pada pergelangan tangan si anak juga sudah terpasang gelang. Apa yang terjadi ...? Ternyata, si anak perempuan diberi tugas untuk ”bersimulasi” menjadi ibu yang memiliki bayi usia di bawah 6 bulan. Jadi mereka betul-betul harus berfungsi sebagai ibu dengan seabrek kewajiban mengurus anak. Gelang tangan itu rupanya juga berfungsi sebagai alarm yang mengingatkan si anak untuk mengerjakan kewajibannya sebagai ibu,

Maka week end tersebut menjadi hari sibuk bagi si anak. Tidak bisa keluar rumah menghabiskan waktu dengan keluarga. Bagaimana mungkin keluar rumah dengan membawa boneka? Menyuruh si ”mbak” di rumah menggantikan? Itu juga tidak mungkin .... instruksi tersedia dalam bahasa Inggris dan dia juga harus membuat laporan tentang makanan si ”bayi”, kekentalannya, panas makanan saat disuapkan dll. Apalagi gelang tangannya juga berfungsi sebagai sensor dari aktifitas sianak dan interaksinya dengan ”bayinya”. Pendeknya, tidak ada kemungkinan untuk meminta bantuan orang rumah.

Jam 5 pagi, si anak sudah bangun. Hari dimulai dengan menyiapkan peralatan membuat susu, mensterilkan botol, masak air, dan menakar bubuk susu. Setelah selesai, lalu memberi susu kepada ”bayi”. Usai memberi susu, lalu menyiapkan air mandi buat ”bayi”, memandikannya, mengganti popok dan seterusnya.... Pendeknya segala kegiatan yang menyangkut pemeliharaan bayi sepanjang hari. Alarm di gelangnya sangat ”rigid” dengan waktu ... bahkan jadwal memberi susu dan mengganti popokpun persis seperti laiknya bayi manusia sungguhan. Ada waktu ”bayi menangis minta digendong, atau buang air. Hampir setiap 3 – 4 jam sekali ada saja ulah si ”bayi” yang telah diprogram tersebut .... Bahkan ulah itu juga yang membuatnya harus bangun pada jam 2 malam. Betul-betul seperti ibu mengurus bayi. Mengada-adakah kegiatan anak dan tugas dari sekolah itu..? Sepintas lalu ... ya, tetapi sesungguhnya, itulah pelajaran hidup yang nyata.

Bagaimana dengan sekolah di Indonesia? Wah ..... saya tidak yakin ada sekolah yang memberikan tugas semacam itu buat murid SLA nya. Bahkan Rumah Sakit Bersalinpun belum tentu melakukannya.

Pada saat saya melahirkan anak yang ke 2 pada usia menjelang 42 tahun di sebuah RS swasta di Bekasi. Wanti-wanti saya berpesan pada perawat dan dokter bahwa saya akan memberikan ASI. Tetapi yang terjadi adalah ... setiap kali bayi diberikan kepada saya untuk disusui, si bayi tidur dan menolak. Dua kali kejadian seperti itu, maka saat ketiga kali, saya tanyakan pada perawat, kenapa bayi saya menolak disusui? Perawat mengatakan ... bayi sudah diberi susu formula setelah dimandikan. Saya katakan : ”saya sudah bilang akan menyusui sendiri”. Jawabnya klise ”Ini standar. Ibu perlu istirahat banyak agar cepat pulih dari operasi caesar”. Saya marah ... ”Itu bayi saya, Adalah resiko saya akan kelelahan karena melahirkan bayi dan harus menyusui. Bukan anda yang mengatur saya untuk menyusui atau tidak! Sekarang... ambil box bayi dan letakkan di kamar saya ini!”

Perawat keluar dan mencari dokter anak yang langsung menanyakan kepada saya apa yang sudah terjadi. Kepada Dr W (belakangan saya tahu bahwa istri si dokter itu adalah teman sekelas adik saya di SMA), saya ulangi semua ucapan saya. Dokterpun menyatakan hal yang sama ... bahwa saya perlu banyak istirahat memulihkan kondisi. Lagipula belum tentu ASI saya mencukupi kebutuhan bayi. Saya betul-betul marah karenanya. Saya ulangi lagi bahwa ”hak saya untuk menyusui bayi dan saya minta anak saya untuk diletakkan dikamar rawat saya” Saya betul-betul tidak percaya lagi dengan niat perawat/dokter untuk menjamin pemberian ASI bagi bayi. Dengan muka masam, si dokter akhirnya mengijinkan perawat membawa box bayi ke kamar. Sejak hari itu dia tidak pernah lagi melakukan visit. Saya tidak perduli! Beruntung saya melahirkan dalam usia yang sudah mapan dan dirawat di ruang VIP. Bagaimana dengan ibu-ibu lainnya yang miskin pengalaman? Terlalu sekali....

Ini bertentangan dengan kelahiran anak saya yang pertama di l’hopital de la Fontaine – Saint Denis, Perancis. Pagi hari setelah melahirkan, perawat membangunkan saya dari tidur (saya masuk ruang perawatan pada jam 2 pagi setelah melahirkan pada jam 23.45), meminta saya untuk bangun, mandi karena tempat tidur akan dibersihkan dan menanyakan apakah bayi akan diberikan ASI atau tidak. Setelah saya mengatakan akan diberi ASI, perawat memberikan pil yang katanya akan memperlancar pengeluaran ASI. Sementara tetangga kamar yang tidak memberikan ASI diberi pil untuk menghentikan produksi ASI. Ternyata produk ASI menjadi sangat berlebihan dan karena saya belum berpengalaman bagaimana memberikan ASI, akibatnya buah dada menjadi keras dan ASI sukar keluar. Saya demam. Tetapi dengan sabar mereka membantu saya, mengurut dada yang bengkak, mengkompres dan mengajari saya mengatasi seluruh masalah yang ada. Sementara saya masih demam dan belum sanggup memberikan ASI langsung, maka saya diwajibkan ”memerah susu”, menyimpannya di dalam botol dan memberikan kepada bayi pada saatnya hingga akhirnya saya berhasil menyusui bayi secara langsung. Semua harus dilakukan sendiri, termasuk memandikan anak dan perawatan ”pusat” yang belum puput. Perawat hanya membantu manakala kita mengalami kesulitan.

Banyak penelitian yang menyatakan keunggulan ASI, terutama pada masa tepat pasca kelahiran, dibandingan dengan susu formula jenis apapun dan direkayasa bagaimanapun. Apapun usaha manusia untuk mendekati susu formula dengan ASI, secara alamiah tetap saja, susu itu susu sapi. Bukan susu manusia ..... Siapa yang menjamin bahwa tidak ada ”sel hewani” yang terbawa dalam formulanya. Kalau ya.... berarti ada gen ”hewani” yang masuk dalam tubuh anak kita.... Aduh.................

Mungkin akan banyak orang yang menyatakan ”penelitian sudah sedemikian canggihnya dan menjamin bahwa formulanya sudah mendekati ASI. Tapi kembalilah pada fitrahnya! Susu manusia untuk manusia, susu hewan untuk hewan... Jangan mencampur adukkannya. Allah SWT sudah mengatur semuanya dengan gratis buat kita... Jadi jangan disia-siakan. Anak-anak saya tumbuh sehat, walaupun tidak gemuk, mereka tumbuh secara proporsional, jarang sakit apalagi kena diare, walaupun mereka sama sekali tidak meminum susu formula. Saya memang beruntung, setelah cuti hamil, bos pun memperkenankan saya membawa bayi ke kantor. Jadilah dia karyawan termuda di kantor sampai usia 15 bulan. Jadi saya bisa menyusui bayi saya sepuasnya.

Ayo dong..... kita kembali ke alam... jangan tergiur oleh iklan yang menyesatkan itu!!!

Salam,
Lebak bulus 12 juni 2005

Selasa, 14 Juni 2005

Jangan silau dengan predikat dan ijasah/sertifikat yang dimiliki….!!!

Judul ini mungkin terlalu provokatif ..... Di tengah membanjirnya sekolah, universitas dengan seabrek-abrek gelar yang ditawarkan, saya yakin masih banyak ijasah/sertifikat yang menjamin bahwa pemegangnya memang memilki kompetensi yang tinggi sesuai dengan ijasah/sertifikat yang diterbitkannya. Saya tidak ingin berpolemik tentang hal itu. Saya hanya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi. Pengalaman ini tidak bisa dianggap sebagai patokan, karena mungkin, kemampuan saya yang betul-betul rendah atau standar yang saya gunakan terlalu tinggi. Apapun juga, saya berharap cerita ini ada manfaatnya bagi para pendidik untuk mengevaluasi sistem belajar terutama dalam pembelajaran bahasa, agar terjadi kesesuaian antara nilai yang tercantum dalam ijasah/sertifikat dengan kemampuan peserta didik. Atau, anggap saja tulisan ini hanya sekedar refleksi diri.

Tahun 1980, 3 minggu setelah menikah, suami  berangkat ke Perancis karena mendapat beasiswa. Saat itu saya sedang mengikuti ujian akhir tingkat 4 (belum berlaku sistem SKS) dan entah kapan saya bisa menyelesaikan kuliah yang sebetulnya secara teoritis tinggal 1 tahun lagi. Jadi, daripada kuliah nggak jelas kapan selesainya, lebih baik ikut suami saja. Kalau memungkinkan, lanjutkan kuliah di sana. Kalau tidak ..... jadi ibu rumah tangga saja., dan punya anak..... Nanti setelah setelah masa kuliah suami selesai, baru meneruskan kuliah di Indonesia.  Sederhana saja.

Sambil menunggu proses permohonan visa de long sejours, saya mengikuti kursus bahasa perancis di CCF Salemba, 2 kali seminggu @ 2 jam, ditambah dengan private di rumah ibu Titi Sari (wartawan majalah Kartini, kalau tidak salah), 4 jam lagi per minggu. Saya berharap dengan bekal itu, saya tidak akan tersesat di negara orang.

Bulan September, saya berangkat ke Paris sendiri dengan pesawat UTA dalam perjalanan selama 18 jam. Suami sudah menunggu di Orly du Sud jam 5 pagi di  awal musim gugur yang romantis. Dari Orly, kami ke Gare de Lyon untuk langsung menyambung perjalanan dengan KA ke Lyon, + 525 km di selatan Paris, tempat suami belajar bahasa Perancis secara intensif sebelum mulai belajar mengambil program DEA (diplome d’etude Approfondie). Kami tinggal di studio di banlieu nya Lyon, di Vaulx en Velin selama 1 minggu. Walaupun pengetahuan bahasa saya masih ”cetek” banget, saya merasa tidak memiliki kendala untuk keluyuran, belanja ke Mammouth, sebuah  hypermarche, tidak jauh dari cite yang kami tempati. Bukan apa-apa, saya pakai logika saja. Belanja di grand surface, nggak perlu ngomong. Cukup lihat etiket harga dan layar monitor saja, lalu bayar. Gampang kan?

Akhir September, kami pindah ke Poitiers. Selama kami mencari tempat tinggal yang tetap, l”ENSMA (ecole nationale superieure de mecanique et d’aerotechnique) mempersilakan kami tinggal di asrama mahasiswa, bangunan sangat kuno yang berada di kampus lama, hanya untuk jangka waktu 1 bulan saja. Setelah beres-beres barang bawaan, kami mulai kluyuran mencari-cari rute bis, jalan-jalan yang harus dilalui, sekaligus mencari agence d’immobiliere untuk cari studio tempat tinggal. Masih ada waktu 1 minggu sebelum test masuk untuk ikut kuliah bahasa Perancis di Faculte des letters – Universite de Poitiers. Di situ ada  kelas khusus bagi orang asing yang mempersiapkan diri, belajar bahasa sebelum kuliah di Universitas di seluruh Perancis. Belajarnya intensif, 20 jam per minggu.  Kelas ini terdiri dari 3 niveau, yang disebut vrai debutant, debutant dan yang tertinggi dianggap sebagai premiere annee. Saya ikut test masuk, disana bertemu sepasang anak muda dari etnis cina. Modal ikut test? Hasil les di CCF selama 3 bulan (+ 48 jam) ditambah 36 jam di luar CCF. Baru sampai di lesson 8 buku De Vive Voix I (ini buku kuno banget... ). Singkatnya, saya diterima di kelas debutant. Kelas yang menengah.  Nggak malu-maluin sebagai orang Indonesia. Pasangan cina itu masuk di premiere annee. Mereka memang kelihatan betul-betul sudah sangat siap untuk sekolah di Perancis.

Kuliah di adakan setiap hari dari jam 9.00 – 12.00 istirahat, lalu dilanjutkan lagi mulai dari jam 14.00 – 16.00, setiap hari, 5 hari/minggu. Hari pertama masuk kuliah, guru kami, Fabienne, menjelaskan bahwa kelas akan mulai belajar dengan buku yang sama dan mulai dengan buku ke II (pokoknya jauh banget dari apa yang dipelajari di Jakarta). Kami juga diminta untuk menulis sedikit cerita standard... Nama, asal negara, sudah berapa lama belajar bahasa perancis ... dst.

Kelas kami memang kelas multi nasional. Isinya ada 1 orang dari Canada, 1 dari Jerman, 1 cewek Mexico dari Guadalajara yang super cerewet dengan logat espagnola yang khas, 2 pasang refugies Vietnamiens, 3 orang refugies Iraniens, 1 turki dan saya dari Indonesia. Saat itu memang lagi musim-musimnya Boat people dan saat-saat menjelang kejatuhan Syah Reza Pahlevi dari Iran.

Usai istirahat, kami kembali masuk , langsung ke laboratorium bahasa. Sambil menyuruh mahasiswa mengikuti petunjuk audio, Fabienne membaca kertas-kertas tulisan kami. Satu persatu disapanya langsung melalui peralatan audio. Tiba di tempat saya, Fabienne menyapa ramah ....
Madame .... anda ternyata baru belajar sampai di lesson 8 ”.
Oui .... c’est ca...!!”
” Wah .... rasanya, anda salah masuk kelas”
Pourquoi.. / Kenapa..?”
” Kami akan mulai dengan buku ke dua ... niveau anda terlalu rendah untuk mengikuti pelajaran! ”

Saya tercekat .... ya, betul! Pengalaman saya belajar bahasa Perancis memang masih sangat cetek walau hasil test menyatakan saya berhasil melampaui standar yang ditetapkan.
Mademoiselle, .... j’ai passe le test et .... bukan salah saya kalau saya masuk kelas anda.”
“ Anda akan mengganggu kelancaran teman-teman yang lain…”
” Tapi saya ingin mencoba... donnez-moi la chance
” OK, saya beri kesempatan anda selama seminggu. Bila anda tidak mampu, saya harap anda bersedia turun kelas...”
Bon,... d’accord”.

Kami meneruskan pelajaran. Sebelum pulang, Fabienne meminta kami untuk membuat sedikit cerita tentang negara masing-masing. Saya membuat tugas dengan sungguh-sungguh, berusaha keras bercerita tentang Indonesia. Kamus dan livre de la conjugaison bertebaran di tempat tidur. Keesokan harinya, PR dikumpulkan, kami mulai pelajaran. Sesudah makan siang Fabienne mengumumkan hasil PR, ternyata tulisan saya dinyatakan terbaik. Jadi, dia tidak punya alasan lagi untuk menyuruh saya turun kelas. Hoorreeee.......

Tidak ada perbedaan yang terlalu jelas akan kemampuan berbahasa di kelas, kecuali keberanian untuk bicara. Kelas terlihat jelas lebih didominasi oleh mahasiswa ”kulit putih”. Bawel, ramai, walaupun bahasanya kacau balau, gak tahu subyek, predikat .. gak jelas tata bahasanya. Pokoknya tabrak terus ... ngomong dan ngomong. Apalagi si mexicaine itu tidak ada hari tanpa celotehnya.

Kami yang berasal dari Asia, duduk diam ... anteng, tangan di atas meja. Takut bergerak... takut Fabienne menyadari kehadiran kami... takut ditanya ... Nanti malu... ketahuan gak tahu tata bahasa yang baik. Ketahuan vocabulaire-nya masih amat sangat cetek. Duh, kok kelas lama banget selesainya... Si Turki, masih mendingan. Masih ada bunyinya ... dia sering menyapa saya, ngajak ngobrol. Mungkin karena merasa ada ”separo darah eropa” mengalir di tubuhnya.

Satu semester lewat. Masuk semester ke 2, gurunya ganti. Sekarang kami diajar Helene yang judes tapi funki. Pelajaran lebih banyak menggunakan audio, dengar siaran berita atau rekaman acara talk show dari TV, lalu diskusi. Seperti biasa, kami yang berasal dari Asia cuma bunyi kalau di ”gong” in. Akhirnya, masa ujian dimulai. Ujian teori (tata bahasa) saya lalui dengan penuh percaya diri. Itu soal teori yang gampang dihapal. Masuk ke laboratorium, saya mulai tersendat, ngomongnya cepet banget, jadi mesti diulang-ulang. Tapi, masih ok lah, walau hati sudah mulai kecut! Keesokan harinya, ujian oral ... percakapan sehari-hari dan di test langsung satu persatu. Untung saya nggak kebagian di test sama Helene. Bisa mati berdiri!!

Masuk bulan Juni, keluar pengumuman, karena sudah mulai masuk musim panas, orang mulai gelisah mengatur jadwal berlibur. Saya tidak terlalu bersemangat melihat pengumuman. Maklum sejak tinggal di Poitiers, saya jadi nggak pede lagi. Mulai sadar betul bahwa kemampuan bahasa saya masih nol besar. Belum bisa atau lebih tepat, belum berani ngomong ... takut salah ... takut diketawain orang. Saya sudah punya pengalaman nggak enak waktu beli karcis bus 2 mingguan. Petugas loket berulang kali tanya ... nggak ngerti waktu saya bilang mau beli ”un carnet de quinzaine”. Padahal, mati-matian sudah, saya melafalkan kata-kata itu.

Sampai kampus, saya cari papan pengumuman cepat-cepat. Deg ..... saya bingung baca pengumuman. Nama saya nggak ada. Saya ulangi mencari.. Sekarang mulai dari atas. Nama saya terpampang di urutan teratas. Nilai ujian saya dapat mention ”tres bien” ... Sangat baik... dan cuma satu-satunya. Saya bingung .. gamang ....!! Kok bisa ya..?? Apa gak salah nulis..? Pasti ada yang salah..!!! Tapi ya sudah, saya masuk ke ruang administrasi, nanyain sertifikat .. dan betul ... tertulis di sertifikat itu ” a reussi avec mention tres bien..” Duh .. duh.. gimana nih??

Bulan terus berjalan, kami pindah ke region Parisienne. Ke Stains di departement Seine St Denis. Kesibukan suami di lab menyebabkan saya harus bisa mengatasi masalah sendiri. Jadi saya harus mengurus Allocation Familiale, Securite Sociale, reimboursement d’impots dan berbagai korespondensi, sendiri. Malu kalau gak bisa .. kan sudah dapat mention tres bien. Tapi lain teori lain pula prakteknya. Menghadap pejabat publik saat mengurus allocation dan securite sociale menjadi siksaan yang luar biasa buat saya. Jantung berdebar-debar, kaki lemas, tangan berkeringat, keringat dingin menetes deras tak terkendali, membasahi baju. Padahal sudah masuk musim gugur. Siksaan itu terus berlangsung sampai saya pulang dan tiba di rumah, baru sedikit lega karena menemukan tempat untuk bersembunyi. Saya sungguh-sungguh merasa lelah lahir dan batin. Nggak bisa masak lagi buat suami. Untung sebelumnya suami sudah dipesan untuk mampir beli bebek panggang di restoran cina. Jadi tinggal masak nasi di rice cooker. Saya malu, kesal bahkan frustasi ... kok kemampuan saya tidak sebanding dengan nilai yang tercantum di sertifikat.

Kembali ke Indonesia, saya merasakan bahwa kemampuan saya berbicara dalam bahasa Perancis masih sangat jelek. Apalagi bahasa Perancis memang kurang digunakan. Jadi sampai sekarang, saya masih les di CCF 4 jam seminggu. Supaya nggak lupa, walaupun rasanya tidak ada kemajuan lagi. Itu cuma tempat clubbing saja, ngrumpi ngalor-ngidul, nggak ada tujuan, nggak ada target..

Di kalangan selebriti perempuan Indonesia, lepas dari segala macam kontroversi yang dibuat, saya mengagumi Krisdayanti dan Anggun, yang dengan sadar dan percaya diri menyudahi pendidikan formalnya untuk kemudian total menggeluti dunia tarik suara. Mereka sesungguhnya orang-orang jenius yang mampu menggali potensi diri dan mengembangkannya dengan sangat baik. Padahal, itu bukan keputusan yang mudah untuk diambil. Tidak banyak orang tua mendukung keputusan semacam itu.

Teman kursus saya, ada yang malang melintang pindah kuliah disana-sini dan semuanya berakhir dengan tanpa selesai tuntas. Dia merasa tidak mendapat apa-apa di kampus. Namun saya sungguh-sungguh angkat topi buat dia. Tanpa ijasah formal, dia mampu meniti karier hingga posisi manager di sebuah perusahaan multinasional asal perancis, Kini, ibu cantik yang satu ini sekarang lebih suka mengurus 3 jagoannya di rumah. Tapi itu adalah pilihan yang tidak kalah baiknya. Semoga anaknya memiliki semangat juang dan kemampuan yang sama tinggi dengan ibunya. Begitu juga teman saya TB yang pernah menjadi General Manager di salah satu hotel berbintang di Jakarta dan ibu Enha, guru bahasa Inggris saya 16 tahun yang lalu. Je rends hommage a vous tous

Saya tidak tahu apa perasaan orang-orang yang memiliki setumpuk ijasah/sertifikat berikut sederetan gelar di depan dan belakang namanya. Sekitar 4 tahun yang lalu, seorang bekas teman kantor saya yang lama datang ingin bertemu bos. Karena beliau tidak ada, saya yang mengenalnya duduk menemani. Duduk dan ngobrol panjang lebar, dia ternyata sudah memajang gelar DR, PhD, MSc dan M.Eng sekaligus di kartu namanya. Kesemuanya dari universitas di negara paman Sam,. Hebat sekali. Saya bertemu terakhir sekitar 8 tahun sebelumnya. Berarti selama 8 tahun dia sudah menyelesaikan 2 jenjang pendidikan S2 dan melakukan 2 kali  riset S3. Saya geleng-geleng kepala. Orang Indonesia memang jenius ....super hebat... Semoga tahun mendatang ada Nobel Price mampir ke Indonesia. Tidak habis pikir ... kagum, kapan ya dia tinggal dan sekolah di negerinya paman? Ups... tidak boleh berburuk sangka....!!!!

Omong punya omong, akhirnya dia menawarkan saya untuk ikut mengambil gelar PhD. ”Murah kok mbak, 20 juta saja. Wisuda (??!!) bisa di Singapore atau Jakarta. Boleh pilih. Ini daftar peserta kita yang baru selesai”

Saya melihat brosur yang diajukannya.Ada sederetan nama-nama beken, sebagian besar pejabat pemerintah dan legislatif. Saya mengelak. Ingat pengalaman saya dengan sertifikat bahasa perancis itu.
”Nggak ah ... saya ingin ilmunya. Malu punya gelar kalau nggak ngerti apa-apa...”
”Jangan takut ..., kalau mau ilmunya, ikut saja program yang 6 bulan, kuliah dulu baru wisuda”
Lho..lho..lho... Nggak salah tuh? Kok gelar PhD diperoleh cuma dengan kuliah 6 bulan?  Bukankah DR/PhD itu diperoleh by research dan bukan by course yang Cuma 6 bulan? Duh pusing …. Mungkin level intelektual saya nggak sampai setinggi itu.

Terbayang masa-masa melelahkan saat saya mendampingi suami di Perancis. Hari-hari melelahkan lahir batin kami berdua. Libur musim panas pertama di Poitiers tidak dapat kami lalui dengan baik. Suami harus belajar mati-matian karena Prof. Henry Cordier di l”ENSMA akan pensiun dan dia merasa berkewajiban untuk  segera ”mentransfer” urusannya kepada Prof. Pierre Thureau di universite de Paris XII - Creteil. Saya juga teringat pada perjalanan panjang suami setiap hari, dari Stains ke Creteil menyusuri lorong bawah tanah Paris dengan metro dan RER ditambah 10 jam di lab. Bahkan, dia berhari-hari tidak pulang untuk menyelesaikan sisa penelitian selama hampir 4 tahun diakhir masa tinggalnya. Belum lagi menyelesaikan thesis dalam bahasa perancis yang rumit. Mereka yang pernah melakukan riset atau kerja di laboratorium untuk meraih gelar DR/PhD pasti merasakan betul sakit dan getirnya masa-masa tersebut.

Duh ... jadi, buat apa gelar sederetan itu? Saya tidak sanggup mengkhianati prosesi tradisi keilmuan yang sudah berlangsung sekian lama. Bukan karena sok moralis, tapi saya betul-betul takut ... saya malu .... nanti kalau saya diajak diskusi, terus ngomongnya nggak nyambung gimana .... ? Saya juga takut, kalau nanti di akhirat, Allah SWT tanya... ” Gelar kamu yang sederet itu diperoleh dengan cara apa...???”

Salam
Lebak bulus 13juni2005

Senin, 13 Juni 2005

Air jatuh tidak jauh dari pelimbahannya, lho!!.

Air jatuh tidak jauh dari pelimbahannya. Ini adalah peribahasa yang saya pelajari saat masih di bangku sekolah dasar dulu. Begitu saja, dihapal, masih tanpa makna yang mendalam, Maklum, pengajaran bahasa Indonesia dari jaman dulu sampai sekarang, masih begitu-begitu saja. Tidak beranjak dari urusan tata bahasa, persamaan kata dan lawan kata. Kurang mengeksplorasi kemampuan penggunaan bahasa pada anak-anak.

Jaman saya sekolah dulu, pelajaran bahasa Indonesia sangat menarik hati. Siapa pengarang buku pelajarannya, saya lupa. Pasti beliau adalah seorang pendidik yang mumpuni. Yang sangat mengerti alam pikiran anak sehingga mampu membuat buku yang sangat bagus yang sampai saat ini, beberapa dari cerita dalam buku pelajaran itu masih saya ingat dengan baik.

Buku pelajarannya ada 2, buku bahasa Indonesia yang memuat pelajaran tata bahasa. Yang satunya lagi Bacaan Bahasaku. Isinya, ”full” cerita. Nama tokohnya sangat sederhana ... Tuti, Amir, Muntu, Topo dan Sudin, tapi saya sangat suka dengan buku itu. Jadi sehabis pulang dari toko buku, langsung buku tersebut saya lalap habis, sehingga saat ulangan bahasa, saya tidak perlu belajar lagi. Itu soal buku pelajaran bahasa, lalu apa hubungannya dengan judul tulisan itu. Memang tidak ada, ini hanya karena peribahasa di atas mengingatkan saya pada pelajaran bahasa saat SD dulu yang saya jalani berpindah-pindah sekolah sampai empat kali. Kali ini saya cuma ingin cerita, ingin mencari pembenaran antara peribahasa di atas dengan penurunan sifat, kebiasaan sampai dengan profesi orang tua kepada anak.

Saya, orang Indonesia asli. Tidak memiliki dominasi kesukuan tertentu. Saya bilang ”asli”, karena saya lahir dari bapak yang orang betawi. Itupun tidak asli betul. Kakek saya, katanya punya mbah buyut keturunan Jerman yang menikah dengan Cina sengkek. Apa artinya? Saya juga nggak tahu ... tapi ibu saya bilang ... itu tuh, perempuan Cina yang tapak kakinya masih kecil karena masih pakai sepatu besi. Dari pihak nenek, katanya keturunan menak (bangsawan) Sunda dari Cianjur. Kulitnya putih bersih .... Jadi nggak salah kalau saya sering dikira keturunan Cina.

Nah, ibu saya berasal dari sumatera barat. Ibunya berasal dari Batusangkar dan kakek saya, mengaku dari Padang-panjang. Tapi ibu saya bilang masih ada darah ”keling”. Keling itu artinya apa, saya nggak perduli. Yang saya tahu, adik ibu saya yang lelaki kulitnya hitam seperti pantat kuali. Begitu ibu saya bilang. Nah ibu saya ini, walaupun katanya sudah tidak mau mengikuti adat minang, tapi kadang-kadang masih suka keluar juga ”tanduk”nya, terutama kalau sudah yang berkaitan dengan ”harga diri”. Biasalah .... perempuan minang yang matrilial itu memang penuh perhitungan dan karenanya sangat dominan dalam keluarga. Apalagi kalau suaminya berasal dari daerah yang punya sifat lembut.

Suami saya, mengaku orang Jawa. Bapaknya dari Jawa Timur, orang Jawa yang paling ”kasar”. Ibunya ... nggak tahu asal muasalnya, pokoknya orang Jawa yang besar di daerah Pasundan, tapi dengar-dengar beliau masih punya darah madura. Wuih, ... mudah-mudahan bukan dari Bangkalan atau Sampang yang katanya sangar. Itu sebabnya dengan kakak-kakaknya beliau bicara dalam bahasa Sunda (yang menurut saya agak kasar), campur belanda seperti noni-noni. Maklum anak wedana jaman kumpeni. Tapi saya nggak pernah dengar suami bicara dalam bahasa Jawa di keluarganya. Katanya karena dia lahir dan besar di Jakarta, jadi supaya kelihatan lebih egaliter, pakai bahasa Indonesia saja. Maklum, bahasa Jawa itu salah satu bahasa daerah di Indonesia yang sangat feodal. Ngomong saja di atur-atur, ada tingkatan-tingkatannya. Duh .... hidup yang sudah susah ini kok dibikin repot sih? Dengan latar belakang keturunan seperti itu, kalau ada kolom isian mengenai suku bangsa di formulir isian sekolah anak-anak, saya bingung mesti isi apa.

Pernikahan menyatukan dua orang yang memiliki latar-belakang dan keturunan yang berbeda ini, walaupun masih sama-sama anak teknik. Nah, akibatnya dalam mendidik anak seringkali terjadi benturan. Bukan terjadi pertengkaran, tetapi ada perbedaan prinsip dan pendekatan. Suami yang bapaknya psikolog, seolah-olah merasa sangat tahu cara mendidik anak dengan cara pendekatan psikologis. Ditambah, profesinya dosen lagi, yang alhamdulillah pernah diberi kesempatan oleh Allah menjelajahi universitas-universitas terkenal di seluruh belahan dunia kecuali benua Afrika dan Amerika latin. Jadi, komplit sudah! Jangan berbantahan soal pendidikan anak dengannya! Semua teori tentang pendidikan anak, dari A sampai Z. Dari metode pendidikan barat sampai pendidikan timur, yang terkadang masih juga dilengkapi dengan kutipan hadis dan ayat-ayat al Qur’an, bisa serta merta keluar dari mulutnya. Meja makan akan berubah jadi tempat ceramah pendidikan yang gratis selama berjam-jam. Tinggal anak lelaki saya bengong, namun masih menyimak dengan penuh minat.

Saya, yang didominasi darah matrilinial minang, lebih praktis, realitis tapi penuh perhitungan untung-rugi dan terkadang tidak mau mengalah. Harus bisa dan harus berhasil. Apalagi bapak saya, dulunya bankir. Bankir kelas ”cere” yang relatif sederhana di antara koleganya, pada ukuran jamannya dulu.

Apa keuntungan dari kondisi ini? Si anak, alhamculillah, kelihatan tidak bingung. Menurut saya, malah jadi agak ”opportunis”. Mau yang enak-enak saja. Karena metode pendidikan bapaknya yang ”sok ilmiah”, mengikuti teori psikologi anak maka dengan senang hati si anak mengadopsinya. Displin ibu dianggap sebagai kebawelan yang perlu dibuang jauh-jauh. Tutup kuping rapat-rapat, omongan ibu dianggap angin lalu, Maka, jadi si anak tumbuh ”seenaknya”. Mereka cenderung mengikuti sistem pendidikan bapaknya yang serba longgar dan permissif. 

Kalau hari minggu dan hari libur, boleh mandi siang karena tidak ada yang dikejar. Menjelang ujian, tidak perlu belajar. Kan, sekolahnya sudah dari jam 7 sampai jam 2 siang, jadi di rumah untuk istirahat dan senang-senang. Nonton tv, baca buku cerita atau dengar musik. Kalau ulangan dapat angka jelek (jelek versi ibu-ibu adalah di bawah angka delapan), dan saya mengomel karena keengganannya belajar menjelang ulangan, bapak dengan enteng bilang ; dapat enam juga sudah bagus, tidak perlu harus dapat angka sepuluh! Maka, jadilah saya mendapat komplain dari guru atau wali kelas bahwa prestasi anak saya kurang optimal. Bahkan anak gadis kecil saya bilang terus terang kepada guru kelasnya : ”Ibu guru, saya bosan dan malas jadi juara kelas. Ingin biasa-biasa saja”. Duh ’tu anak ....!! Gak tahu ya, kalau sekarang jamannya globalisasi. Jamannya bersaing ketat. Kalau nggak pintar ... kamu ketinggalan lho!!!

Adakah keuntungan dari perdebatan dan keterbukaan keluarga seperti itu? Anak lelaki saya selalu mengeluh tentang sistem pendidikan di Indonesia dan jadi pemberontak di sekolahnya. Bacaan kesukaannya yang tadinya kelas komik jepang beralih jadi buku filsafat yang rada berat. Bahkan karya tulisnya di SMA mengambil judul ”Mencari Tuhan” yang agak filosofis sehingga dia kesulitan mencari guru pembimbing. Ini pasti gara-gara pada saat yang bersamaan, bapaknya kuliah lagi di jurusan filsafat, pasca sarjana UI, walau Cuma sempat mampir satu semester saja (kalah sama si Oneng... he..he...). Segala buku yang berkaitan dengan ilmu filsafat bertebaran diseluruh pojok rumah. Tidak ada sensor ... semua boleh dibaca dan didiskusikan. Walaupun kalau urusan yang ilmiah-ilmiah begitu, pasti didominasi bapak.

Dalam menentukan sekolah, saya cenderung berpikiran praktis. Cari jurusan atau fakultas yang punya masa depan cerah. Segala alasan diberikan. Yang paling mendasar, tentunya, sebagai lelaki kelak anak saya harus mempunyai penghasilan yang baik (besar, maksudnya, malu-malu nyebutnya ...) agar bisa memenuhi kebutuhan hidup yang layak sesuai dengan standar hidup kelas menengah ... atas. Sebagai alumni fakultas teknik, maka dengan pakai kacamata kuda, pilihan sekolah buat anak, pasti juga yang dekat-dekat situ. Jadilah dia masuk jurusan elektro, sayangnya itu cuma berlangsung dua tahun. Pada tahun ke tiga, setelah lepas dari pengawasan ketat ibunya, dan merasa bebas menentukan masa depannya sendiri, dia pindah ke jurusan matematika. Untung tidak mengulang dari awal. Cuma kehilangan satu semester.

Sekarang dia sudah selesai dan sedang menimbang-nimbang mengambil magister pada bidang Pure Mathematics karena dia bercita-cita jadi dosen. Alamak ....... jauh-jauh sekolah, dipilihkan jurusan yang ”gemerlap” eh ... profesi dosen juga yang diincar. Jangan-jangan itu ”kutukan” leluhurnya di Mojokerto sana ... he..he. Bagaimana mungkin ... ?? Kakeknya (mertua saya) dosen, bapaknya dosen .... ini, satu lagi, ada keturunan ”homo erectus mojokertensis” yang sedang merintis jalan menjadi dosen!!! Apalagi istrinya sudah jelas-jelas bercita-cita jadi guru (dia ambil double degree biochemistry dan education), mertua perempuan anak saya juga berprofesi sebagai guru – early childhood teacher. Lengkap sudah ....

Tapi, memangnya apa yang salah dengan profesi guru/dosen? Bukankah dalam Islam dikatakan bahwa guru/dosen mendapat pahala dari ilmu yang disebarkan dan bermanfaat bagi orang banyak? Jadi secara agama, profesi guru/dosen itu begitu mulia! Tapi, kita kan harus realistis ... Kebutuhan hidup atau moralitas?

Saya teringat, salah satu teman saya pernah mengeluhkan ”kelakuan” mantan bosnya yang sering memeras orang dan tidak bermoral. Padahal bosnya itu anak jendral dan pejabat daerah yang kaya raya dan disegani orang. Teman saya yang lugu itu lupa, mungkin bosnya, sejak kecil, melihat nikmat dan mudahnya mendapat uang upeti dari contoh yang diperlihatkan orang tuanya. Dan toh, orang tuanya yang pejabat itu tetap dihormati (baca ”ditakuti”) orang. Jadi setelah besar dan dewasa, dia menganggap wajar saja bahwa sebagai anak jendral, dia harus juga dihormati dan kemudian menggantikan bapaknya menerima upeti untuk menghidupi keluarganya. Itu contoh cara survive yang dilihatnya sejak kecil. Toh soal kutip mengutip di negara ini, kan sampai sekarang merupakan hal yang biasa. Malah sekarang sudah dilakukan secara berjamaah ... tidak malu-malu lagi. Kan sudah jadi juara dunia...

Kita saja yang lupa bahwa harta yang tidak halal akan membawa bala bagi pemakannya, sebagaimana hadis yang meriwayatkan bahwa shalat dan ibadah orang yang memakan harta tidak halal, tidak akan diterima selama 40 hari. Nah, kalau profesi kita menyebabkan kita memakan uang haram, kapan dong ibadah kita diterima? Padahal kita sudah bayar zakat lho..... sudah menyumbang mesjid di pojok sana .... sudah menyantuni anak yatim. Eh tapi tetangga, kerabat dan istri sekalipun mungkin nggak tahu lho asal muasal harta yang dikumpulkan ini!!!

Duh ...., kalau begini, biarlah anak saya jadi dosen daripada nantinya dia nyerempet-nyerempet narik upeti atau kongkalikong. Mudah-mudahan dia termasuk golongan orang yang amal dan ibadahnya diterima Allah SWT, dan kami orang tuanya mendapat berkah dari kesalehannya. Kami hanya bisa berdo’a karena kami hanya bisa berusaha agar harta yang digunakan untuk menghidupi keluarga berasal dari cara-cara yang halal.

Salam
Lebak bulus 12 juni 05

Tujuan pendidikan anak-anak kita 2.

Bagian 2: Sebetulnya ....... apa sih tujuan pendidikan kita.



Hari ini, anak saya mulai mengikuti evaluasi belajar. Karena dia sekolah di swasta, maka dia harus mengikuti evaluasi sebanyak 2 kali. Minggu pertama versi sekolah dan minggu ke dua versi Diknas. Kasihan anak itu ... kena flu lagi. Tapi seperti biasanya, saya tidak terlalu memaksanya untuk belajar. Saya sudah agak ketularan suami dengan prinsip ”Biar dia senang-senang. Anak kecil itu alamnya ... bermain. Jadi jangan dipaksa belajar. Pinter di sekolah, nggak jaminan sukses di masyarakat. Nantinya Cuma jadi orang gajian yang patuh...., bukan orang yang strugle dalam menghadapi kehidupan”.



Anak-anak, sepertinya selalu jadi kelinci percobaan bagi para pakar pendidikan. Semula, saya selalu kesal kalau ada orang tua atau berita yang yang mengeluhkan perubahan kurikulum. ” Ganti menteri, ganti kebijakan .... Itu jargon yang selalu didengung-dengungkan. Dalam hati, saya selalu berkata ... ”kok bego amat ya orang-orang itu...., kan dunia selalu berputar ... bertambah maju, jadi tentunya kurikulumpun harus dievaluasi secara periodik, disesuaikan dengan perkembangan jaman”.



Jadi sah-sah saja kalau kurikulum berganti setiap 5 tahun sekali. Cuma saja, karena pergantian kurikulum selalu terjadi bersamaan dengan pergantian menteri, seolah-olah menteri baru-lah yang mengganti kurikulum. Padahal kan para pakar pendidikan sudah bekerja jauh sebelumnya, selama masa kerja menteri lama. Mereka sudah melakukan benchmark ke negara-negara maju, mempelajari kurikulum disana-sini. Saya yakin, tim kurikulum nasional adalah orang-orang pintar dengan sederetan gelar di depan dan belakang namanya. Masa nggak percaya sih?



Sayangnya, sekarang saya terpaksa menjilat ludah saya sendiri. Bukan karena saya tidak lagi memiliki pemahaman bahwa kurikulum harus dievaluasi mengikuti perkembangan jaman. Pemahaman ini tetap saya pegang dan saya percayai. Tapi membaca berita mengenai berbagai masalah pendidikan, di daerah pedalaman terutama di luar pulau Jawa, angka pengangguran yang semakin tinggi, khususnya di kalangan orang-orang terdidik (sarjana), sekarang saya jadi bertanya-tanya.... sebetulnya, apa sih tujuan pendidikan anak-anak kita ini. Mau dibawa kemana mereka dengan bekal pendidikan yang diterima di sekolah?



Terus terang, saya terpengaruh dengan tulisan Andreas Harefa dalam salah satu bukunya. Dia mengatakan bahwa pendidikan dimaksudkan agar anak-anak kelak menjadi mandiri, mampu mempekerjakan dirinya sendiri dan tidak bergantung pada pemerintah untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, pendidikan harus disesuaikan dengan lingkungan dimana anak-anak itu tinggal. Jangan mencabut mereka dari alam dimana mereka tumbuh dan besar. Saya sangat percaya dengan pendapat tersebut, karena dengan jalan apapun juga, akhir dari pendidikan adalah agar kelak kita mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apakah kemampuan itu berasal dari kemampuan fisik semata, kemampuan intelektual (otak) semata .... atau gabungan dari keduanya.



Kalau tujuan akhirnya adalah seperti itu, maka seharusnya, pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, tidak bisa disama ratakan. Memang ada ilmu-ilmu dasar yang wajib diajarkan. Ilmu lainnya, seharusnya adalah ilmu yang langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Jadi, pikiran awam saya mengatakan bahwa sebelum kita membuat kurikulum; selain melakukan benchmark ke negara maju, kita juga harus melakukan riset/survey data terlebih dahulu tentang profil calon anak didik kita secara demografi. Kemudian dibuatkan peta kondisi anak didik berdasarkan, antara lain lokasi tempat tinggal, potensi akademiknya, kondisi sosial dan ekonomi, kondisi/potensi daerah tempat tinggal. Ini memang bukan kerja yang mudah, tetapi bisa dan harus dilakukan. Jangan dilihat sebagai proyek yang dijadikan ”pintu masuk” untuk mengeruk keuntungan sesaat.



Di luar dari masalah kemampuan akademis dan faktor ekonomi, anak-anak yang tinggal dikota-kota besr di Indonesia (misalnya saja Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya), akan memilik persepsi dan ekspektasi tentang pendidikan dan masa depannya yang berbeda dengan anak-anak di kota-kota kecil pulau Jawa. Anak-anak nelayan, pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan anak petani. Sesama anak petanipun akan berbeda.... anak petani di pulau Jawa pasti memiliki persepsi dan ekspektasi berbeda dengan anak petani di pedalaman Kalimantan, Sulawesi.... apalagi bila dibandingkan dengan anak petani di Irian/Papua..Dari hasil pemetaan tersebut ditambah dengan benchmark dari luar negeri itu, mungkin dapat ditentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, Sekolah macam apa ... sampai tingkatan mana. Kesemuanya disesuaikan dengan potensi daerahnya masing-masing.



Bukankan suatu yang aneh, bila Bandung dan Jakarta yang tidak memiliki sumber daya alam pertambangan maupun permiyakan memiliki perguruan tinggi dengan jurusan Teknis Gas/Petrokimia, jurusan pertambangan dan perminyakan. Sementara di jantung daerah perminyakan (Riau) sama sekali tidak ada perguruan tinggi dengan jurusan perminyakan. Jurusan Pertambangan mungkin lebih cocok ada di Kalimantan. Bahkan Jayapura yang kaya dengan mineral dan minyak selayaknya ada jurusan-jurusan tersebut. Dengan demikian putra daerah bisa mengenyam pendidikan yang sesuai dengan alamnya. Mereka akhirnya mampu mengeksplorasi daerahnya. Tidak perlu mendatangkan tenaga dari Jawa yang akhirnya hanya akan memperlebar jurang antara putra daerah dan pendatang. Yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial yang berbuntut kepada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.

Di samping itu, kitapun tahu bahwa struktur apapun juga, selalu mengikuti bentuk piramida. Tingkat bawah selalu lebih besar daripada tingkat atas. Jadi .... kalau di suatu wilayah, diperoleh data bahwa sebagian besar anak-anak nantinya, karena berbagai faktor dan ketersediaan tenaga guru, hanya mampu menyelesaikan sekolah sampai SD saja, SLP saja atau SLA saja, kurikulum sekolah harus mampu membekali anak agar bisa bekerja setelah menamatkan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Atas dasar itu, pada tingkatan SD pun, maka kurikulum yang diperlukan untuk anak di kota besar seharusnya berbeda dengan kurikulum sekolah untuk anak di pedalaman. Yang pasti, mata ajaran/muatan lokal yang diajarkan harus sesuai dengan kebutuhan hidup yang sifatnya praktis ... bukan sekedar teoritis.

Jaman saya kecil dulu, saya masih melihat adanya Sekolah Menengah Pertanian, Sekolah Kesejahteraan Keluarga, Sekolah Asisten Apoteker, sekolah Guru Olahraga, yang sekarang tidak terdengar lagi gaungnya. Bukankah suatu hal yang aneh, bila kita menanggap diri sebagai negara agraris sementara Sekolah Menengah Pertanian adalah sekolah yang langka, Juga suatu hal yang sangat ajaib, bila sebagai negara kepulauan, saya tidak pernah mendengar adanya sekolah menengah perikanan/kelautan. Kalaupun ada universitas dengan jurusan pertanian dan kelautan, maka lulusannya pun lebih suka jadi wartawan atau bankir. Pantas saja kita ketinggalan jauh dari Thailand dalam bidang pertanian dan kelautan. Bahkan kita akan tersusul oleh Vietnam, yang baru + 20 tahun bangkit dari perang gerilya, dalam bidang pertanian.

Sebagai negara yang kaya dengan sumber mineral, alangkah sayangnya nila tidak ada sekolah menengah pertambangan/permiyakan. Bukankah pekerja di pertambangan, perminyakan juga memerlukan tenaga menengah, teknisi yang jumlahnya cukup besar, bukan melulu tenaga sarjana? Begitu juga dengan bidang kelautan dan pertanian. Bahkan, apa salahnya bila buruh kasar yang tidak tamat SD, juga memiliki pengetahuan bagaimana cara memupuk, mencangkul yang baik dan itu diperoleh dari kurikulum/muatan lokal sekolah di desa.

Mungkin kita memang senang bermuluk-muluk. Melihat sesuatu terlalu jauh, bukanlah suatu yang salah. Karena kita memang tidak boleh ketinggalan, kalau mau bersaing di percaturan global. Tapi sesuatu yang jauh itu seharusnya dengan mengerahkan potensi dan sumber daya alam kita. Dengan demikian kita akan memiliki keunggulan yang unik, yang tidak dapat dimiliki negara lain. Bukankah suatu hal yang menyedihkan, sebagai negara agraris, Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor wahid di dunia? Buah-buahan yang dijual di super market bahkan hingga pedagang kalilimapun berasal dari manca negara. Jeruk pakistan, durian bangkok, pepaya hawai. Itupun kualitas buangan, bukan kualitas nomor satu. Duh nasib.....

Akhirnya saya dapat mengerti, kenapa di daerah pedalaman dan di kalangan masyarakat miskin, orangtua seringkali tidak memberikan prioritas utama bagi anaknya untuk pergi ke sekolah. Bahkan di Jakarta, anak, masih dengan seragam sekolah, lebih suka memegang kecrekan, bergerombol di hampir setiap traffic light. Sekolah memang tidak pernah gratis, walaupun pemerintah memberlakukan wajib belajar 9 tahun Apalagi, di samping kemampuan keuangan yang sangat terbatas dan kemiskinan orang tua, sekolah juga tidak mampu menjawab kebutuhan hidup.

Setamat sekolah, anak-anak mereka tidak juga dapat bekerja. Ilmu yang diperoleh di sekolah, bukanlah ilmu praktis yang membuat anak didik mampu bekerja secara mandiri, melainkan ilmu-ilmu teoritis yang abstrak. Ilmu yang hanya membuat anak merasa ”sudah pintar” sehingga lebih suka mengganggur karena merasa malu untuk ”bekerja kasar”. Sekolah malah menjadikan anak-anak kita gamang menapaki kehidupan. Itu problema yang dihadapi bila kita sempat  tamat sekolah, bagaimana nasib anak-anak yang terpaksa drop out? Padahal, akhir dari perjalanan panjang pendidikan sekolah, katanya agar kita mampu bekerja sesuai dengan bidang pendidikan. Tapi mengapa kenyataannya jauh berbeda .... Adakah yang salah.......???

Ah ... seandainya, di sekolah, saya diajarkan bertukang .... mungkin saya bisa bantu bapak di bengkelnya. Seandainya, di sekolah saya diajarkan menjahit atau memasak dengan serius ... pasti saya bisa membantu melebarkan usaha warung ibu dengan menu-menu baru atau mengantikan ibu menjahit baju langganannya. Sayang .... di sekolah saya cuma diajarkan matematka, fisika dan kimia yang bikin otak saya melintir ..............

Salam
Lebak bulus 13 juni 2005


BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...