Senin, 06 November 2017

FEODALISME dalam kehidupan sehari-hari

Melakukan dan membuat kerjasama dengan kalangan atau segolongan orang yang masih terkait dengan "ikatan masa lalu" atau keluarga kerajaan dan atau yang merasa memiliki ikatan atau "darah biru" kadang menjadi masalah yang unik. Kadang menyebalkan untuk dijalani terutama oleh mereka yang datang dari golongan "rakyat jelata" alias bukan dari kalangan yang kecipratan "darah biru". 


Mengutip wikipedia, Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).
Sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya, istilah feodalisme tidak pernah lagi dipakai. Namun mulai tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal" yang semakin lama semakin berkonotasi negatif. Di Indonesia, kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan', dan pengertian ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya. 
*** 
Sungguh .... kalau bukan karena pekerjaan, saya paling tidak suka berhubungan dengan kalangan yang tidak bisa menghargai manusia lainnya setara dengan dirinya. Kalangan yang memandang dirinya, entah karena jabatan, pendidikan ataupun harta/kekayaannya, lebih tinggi dari yang lain. Ini adalah sebuah kelemahan dan kekurangan saya dalam kehidupan sosial dan professional yang, rasanya tidak bisa ditutup-tutupi dengan dalih apapun juga ....
***

Arloji di pergelangan kiri tangan saya menunjukkan waktu sekitar jam 15.30, usai waktu shalat Ashar ketika kami tiba di tempat kediamannya di suatu komplek kraton. Dua hari sebelumnya, saya sudah menyampaikan niat kami mengunjunginya kepada seorang rekan untuk memberitahukan rencana kedatangan kami, kepadanya. Walau tidak secara jelas mengatakan maksud dan tujuan kedatangan kami kepada rekan tersebut, namun orang yang dituju, pastilah akan paham apa maksud dan tujuan kami berkunjung. Tentu tidak akan jauh dan malah sangat berkaitan dengan surat "ancaman" yang tidak jelas dan mengambang maksud dan tujuan isinya, yang dikirimkannya beberapa hari sebelumnya dan sudah kami terima. Kami ...... , bukannya tidak bereaksi atas kiriman surat tersebut..... namun apa daya, beberapa kali dihubungi melalui telpon serta pesan-pesan yang dikirim via whatsapp, sama sekali tidak digubris.


Kami duduk di ruang tamu kediamannya, menunggunya dibangunkan dari "istirahat siang"nya ..... Dalam hati, saya bertanya-tanya .... gerangan apa yang dilakukannya usai shalat Ashar, apalagi kedatangan kami sudah dikabari. 


Maka .... keluarlah... dia yang ditunggu ... Setelah basa-basi sejenak, maka keluarlah segala unek-uneknya, yang sesungguhnya sudah sangat basi. Kenapa saya katakan basi...? Karena sudah berulangkali masalah tersebut dibahas dan dijelaskan. Bahkan ada dokumen yang sudah ditandatangani, sebagai bukti bahwa semua penjelasan sudah sangat terang benderang dan diterima kedua belah pihak. Bisa diartikan sudah ada kesepakatan yang dibuat ....


Kalau diperhatikan lebih jauh, intinya adalah .... ketersinggungan dan kemarahan karena ada "permintaannya" tidak dituruti. Sebetulnya, bukan tidak ingin menuruti permintaannya, tapi kalau permintaan tersebut melanggar aturan dan membahayakan pihak-pihak yang berwenang atau ..... ada kerugian hampir 25% karena penawarannya terlalu tinggi dan tidak bisa ditawar lagi. Apakah kemudian permintaan tersebut harus dituruti? Tentu .... hanya orang-orang tolol dan tidak punya integritas yang bisa melakukannya .... menuruti permintaan yang di kemudian hari hanya akan menimbulkan masalah, atau menimbulkan kerugian di perusahaan tempatnya bekerja.


Walhasil .... misi yang dibawa untuk diselesaikan berakhir tanpa kejelasan .... Batas waktu yang dicantumkan dalam surat menjadi tidak berarti ... Bahkan permintaan untuk bisa mendapat jawaban sesegera mungkin agar semua masalah/ganjalan bisa diselesaikan dengan baik sehingga kelanjutan proyek tidak terganggu, juga tidak tercapai .....


Jujur ..... saya tidak merasa gagal, tapi frustasi berat menghadapi "manusia" seperti itu. Apalagi beberapa hari kemudian saya mendapat kabar dan jawaban darinya melalui rekan penghubung. Jawaban yang mungkin karena saking sebalnya, saya interpretasikan bahwa "sebagai pejabat tinggi di suatu keraton .... yang bersangkutan hanya mau berurusan dan menyelesaikan masalah proyek ini dengan pejabat tinggi RI". 
Padahal .... ini murni kerjasama bisnis .... yang dirintis sudah lebih dari 2 tahun. Terlalu lama untuk sebuah nilai bisnis, kalaulah tidak ada idealisme untuk membantu pelestarian/perbaikan lingkungan.
***

Sepengetahuan saya, secara tata negara, Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk Republik yang saat ini, kalau tidak salah, terdiri dari 34 provinsi dan masing-masing dipimpin oleh gubernur. Termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, juga dipimpin oleh seorang Gubernur dan wakil gubernur, walau secara otomatis akan dijabat oleh Sultan dari Kraton Ngayogyakarta dan wakilnya dijabat oleh Puri Paku Alaman. 


Memang, kalau merujuk pada masa pra kemerdekaan, kita tahu ada banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di seantero Indonesia. Sebut saja, misalnya keturunan Sultan Deli, Sultan Banten, Sultan Ternate dan banyak lagi .... Keturunan para sultan pra kemerdekaan tersebut, sampai saat ini masih suka "bernostalgia" dengan menyelenggarakan Festival Keraton Nusantara, yang diadakan bergiliran setiap tahun.  

Mengenang masa lalu, tentu sah-sah saja .... tidak akan ada yang bisa melarang, sejauh tidak melanggar ketertiban umum. Dengan bekerja sama dan berkoordinasi dengan kementerian Pariwisata, Festival Keraton Nusantara tersebut malah bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menarik dan meningkatkan jumlah kunjungan wisata. Ada keuntungan ekonomi bagi daerah dan atau keraton penyelenggara. Pelestarian budaya tentu sangat diharapkan. Namun yang lebih penting adalah mentalitasnya .... Martabat manusia tidak lagi diukur dari "keturunan - darah biru", tetapi dari perilaku, integritas, intelektualitas dan banyak lagi. 


Ternya ... sukar mengubah sikap dan mentalitas "merasa memiliki derajat yang lebih tinggi" dari orang lain ....., walaupun sudah lebih dari 72 tahunbentuk negara Indonesia berubah menjadi Negara Kesatuan berbentuk Republik ..... 

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...