Rabu, 30 Oktober 2013

Belajar bahasa Inggris ..... Dimana dan untuk apa?

The Union Jack
Jum'at minggu lalu, anak saya telpon. Minta ijin mengunjungi expo salah satu lembaga pendidikan bahasa asing di WTC Jakarta sepanjang siang hingga sore hari. Karena kunjungan ke Expo itu dilaksanakan pada hari Minggu, maka saya memintanya untuk memberitahu pengawas asrama bahwa dia baru akan kembali ke asrama hari Senin pagi, seperti biasa, harus sudah hadir sebelum jam 06.30. Minggu sore adalah jadwalnya kembali ke asrama.

Maka ..... Minggu pagi, saya mengantarnya ke rumah salah satu temannya. Cucu seorang pengacara Indonesia yang cukup kondang dan sering wira-wiri di layar kaca. Konon, mereka akan berangkat sama-sama ke gedung WTC. Sore hari, setelah mereka "bosan" melihat expo, baru saya menjemputnya kembali di meeting point yang akan ditentukan kemudian. Ini salah satu bentuk "penjajahan" anak kepada orangtua. Si anak, seenaknya mengatur acara dan orangtua "pasrah" melaksanakan "perintah" antar jemput.

Memang ada kendaraan umum atau taxi, tapi kemacetan luar biasa di Jakarta dan terutama, yang lebih penting adalah keamanan saat perempuan muda "jalan" sendiri, membuat kami harus meluangkan waktu antar - jemput anak gadis kami kemanapun dia akan pergi. Transportasi umum dan kondisi ruang publik Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia bukanlah tempat yang aman bagi perempuan. Itu menurut kami ... Entahlah... Bisa jadi kami over protective pada anak. Tetapi, sudah banyak kejadian mengerikan yang di alami perempuan muda saat naik taxi. Mulai dari "sekedar" pelecehan seksual hingga yang berakhir dengan pembunuhan.
***

Menjelang sore, sekitar jam 16.00, si anak membunyikan "ping" pada perangkat blackberry;
"Ma ... aku boleh daftar program mereka gak?", tanyanya
'Program apa...?"
"Macam-macamlah..."
"Boleh aja... Berapa lama?", tanyaku
"Minimal 2 minggu, tapi ada yang 2 - 4 bulan"
"Oh .... daftar sih boleh aja, selama nggak ada ikatan!"
"Iya ... cuma kalau mau ikut, pendaftarannya dikasih waktu sampai hari Kamis, supaya dapat diskon lho .... Lumayan gede ma...!"
"Oh ...., Boleh aja daftar. Nanti kita bicarakan di rumah, apa dan bagaimana kelanjutannya ya! Jam berapa dijemput?"
"Agak sore ya ma, supaya aku bisa ikut testnya dulu... Nanti kalau sudah mau pulang, aku telpon atau ping lagi"
"OK ........!!!"

Tidak berapa lama sesudahnya, ibu salah seorang temannya, mengirim pesan melalui blackberry messenger. Rupanya, anak saya memberikan pin kepadanya agar bisa berkomunikasi dengan saya berkenaan dengan program yang ditawarkan dalam expo tersebut. Saya katakan, bahwa saya sama sekali tidak berkeberatan mengikutsertakan anak dalam kegiatan apapun selama tidak mengganggu urusan sekolah dan programnya sesuai dengan kriteria yang kami terapkan dalam "mendidik" anak.

Sore itu, menjelang maghrib, kami menjemput si anak di Kuningan city yang terletak di jalan Prof Dr Satrio. Sepertinya, itu adalah mall yang baru dibuka, atau ada salah satu toko yang baru dibuka. Ada banyak bunga papan di halaman depan gedung tersebut. Kami hanya sempat makan malam di salah satu resto di lantai teratas mall. Lalu, langsung pulang dan tidak sempat membahas mengenai program belajar bahasa tersebut.

Hari Minggu itu, saya memang terlalu lelah untuk kesana-kemari lagi. Sejak pukul 6.30, saya sudah kluyuran keluar rumah. Ke pasar tradisional, lalu antar anak ke rumah temannya. Kembali ke rumah, lalu bersiap-siap melaksanakan rutinitas belanja bulanan, setiap akhir bulan. Tiba di rumah, hanya sempat istirahat sebentar, sudah masuk "panggilan" si anak untuk menjemputnya. Padahal .... Senin pagi sudah harus mengantarnya kembali ke asrama, dan itu berarti sudah harus eluar rumah pada jam 05.30. Badan yang sudah uzur ini, seringkali tidak bisa mendukung aktifitas yang seabreg, mengikuti kegiatan dan kemauan si anak remaja.
***

Senin pagi, selagi berangkat kantor, ibu teman anak saya, mengirim pesan melalui blackberry, berkenaan dengan rencana keikutsertaan anak-anak remaja tersebut dalam program belajar bahasa.
"Nanti saya telpon ya .... Masih di jalan dan setir mobil", sahut saya, mengetik cepat saat terhambat oleh traffic light.

Usai menyelesaikan beberapa pekerjaan pagi itu, saya sempatkan menelpon si ibu. Sepertinya, dia begitu tergesa-gesa ingin mendapat jawaban kami akan keikutsertaan anak-anak dalam program yang ditawarkan pada expo tersebut.

"Aku kemarin ikut hadir mendengar penjelasannya. Programnya menarik lho mbak ....! Jadi bukan sekedar home-stay. Anak-anak belajar bahasa selama 2-4 bulan. Itu waktu minimal yang dibutuhkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas bahasa si anak. Aku usul agar anak-anak ambil program bulan Januari 2014 nanti dengan pilihan belajar di Brisbane" begitu penjelasannya.

"2-4 bulan apa nggak terlalu lama? Bagaimana dengan sekolah anak-anak dan juga, kenapa di Brisbane? Bukankah belajar bahasa Inggris yang baik ya seharusnya di UK atau minimal di USA. Yang pasti, bukan Australia", tanya saya

"Saya sudah telpon direktur sekolah. Beliau sangat mendukung dan bersedia memberikan pelajaran tambahan kepada siswa yang ikut program ini, supaya mereka tidak tinggal kelas dan Brisbane jadi pilihan, supaya dekat dari Jakarta. Jadi kalau mau nengok, bisa lebih mudah dan cepat", jawabnya.


Agak tercenung juga saya mendengar antusiasmenya. Antusiasme yang khas dari ibu-ibu "muda" dari golongan berduit. Mereka yang sama sekali tidak memiliki masalah dengan keuangan. Saya katakan muda karena umur mereka memang rata-rata 10 - 15 tahun di bawah umur saya.

"Menurut saya, peningkatan kemampuan bahasa anak atau siapapun tidak akan tercapai hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ada banyak faktor penyebabnya. Salah satu yang paling penting adalah kepribadian si anak. Kalau dia talkative, tanpa harus belajar ke "luar"pun, in sha Allah dia akan berbahasa asing dengan sangat baik. Saya punya pengalaman pribadi belajar bahasa asing 20 jam/minggu selama 1 tahun dan toh setelah upaya keras itu, saya tetap berkeringat dingin kalau harus bicara dengan penutur asli bahasa tersebut. Sebaliknya ... anak saya yang besar, tanpa pernah ikut les bahasa Inggris sedikitpun, dia mampu melalui test IELTS pada kesempatan pertama kali dengan hasil yang sangat baik saat dia akan melanjutkan kuliah".

"Mungkin mbak belajar bahasanya di Jakarta....", bantahnya.

"Saya belajar di negeri asal bahasa tersebut. Di kota kecil yang saat itu hanya dihuni 5 orang asal Indonesia. Dan saya satu-satunya orang Indonesia di kelas. Kami, saat itu tinggal di sebuah studio milik penduduk asli. Kecuali ketika suami ada di rumah, praktis saya harus berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan bahasa yang seadanya. Bisa jadi, hal itu disebabkan karena saya memang kurang berbakat dalam bahasa asing... Tapi hasil ujian saya dan ini tercantum dalam sertifikat yang saya peroleh, adalah nilai tertinggi di angkatan tersebut. Dan toh ... hingga saat ini, saya tidak atau belum menjadi penutur yang fasih dari bahasa tersebut", sahut saya.

Mungkin dia sebal juga mendengar cerita saya yang panjang lebar itu..
"Jadi ... bagaimana? Apa anakmu akan ikut? Kita harus segera daftar. Batas waktunya hanya sampai hari Kamis. Idealnya, pesertanya genap, supaya masing-masing bisa tinggal di host parent yang sama", desaknya

"Saya harus bicara dulu dengan suami, malam ini karena ini menyangkut kondisi meninggalkan sekolah dalam waktu yang relatif lama. Besok saya kabari ya...."

Coincidence, suami menelpon saya ... satu hal yang sangat jarang dilakukan. Kesempatan itu saya gunakan untuk menceritakan seluruh percakapan telpon tadi.
***

Sore hari menjelang jam pulang kantor, petugas marketing lembaga pendidikan tersebut menelpon saya. Pasti anak gadis saya mencantumkan nomor telpon genggam saya di formulir yang harus diisinya. Panjang lebar dia menjelaskan keunggulan program-programnya. Cape juga mendengar penjelasannya. Toh saya sudah sempat membaca booklet tebal yang dibawa anak saya.

"Program kami ada diberbagai kota dunia. Ibu bisa memilih kota mana saja yang diinginkan. Bisa juga di Singapore, kalau di tempat lain terasa terlalu jauh, misalnya", begitu tuturan pamungkasnya.


the very known RED Bus of London
"Menurut saya ...., tempat terbaik belajar bahasa dan budaya Inggris hanya ada satu. Di negeri asalnya, yaitu UK, tidak ditempat lain, apalagi negara-negara yang anda sebutkan tadi. Alternatif ke 2 adalah USA dan bukan Australia", sahut saya.

"Kalau begitu ... ke UK saja bu ..., tapi tidak bisa Januari yang akan datang. Untuk UK, kami hanya ada summer program. Berat bagi siswa kalau mereka ikut winter program. Cuaca di UK pasti sangat tidak mendukung", sambarnya, sama sekali tidak mau kehilangan kesempatan dalam memasarkan produknya.

"Nah ... itu dia ... Kami hanya mengijinkan anak pergi selama libur sekolah. Jadi hanya home stay antara 2-3 minggu saja. Libur sekolah yang akan datang dan tentunya Summer program 2014 dan 2015 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi, sudah tentu kami tidak akan mengijinkannya pergi selama bulan Ramadhan tersebut. Lagi pula, home stay berlangsung setiap waktu, jadi tidak harus disegerakan. Kami akan cari waktu yang tepat bagi semuanya".

"Tapi bu ....., kalau ibu daftar sekarang, anak ibu akan mendapat diskon USD 250 lho....! Penawaran ini sudah diperpanjang dan hanya berlaku hingga hari Kamis 31/10 saja. Sayang kalau tidak dimanfaatkan....!!!", rayunya lagi... Khas cara kerja para marketer.

"Come on .... Orang yang sudah mau mengeluarkan uang sebesar itu, minimal USD 5.000 hanya untuk membiayai anaknya belajar bahasa selama 2-3 minggu saja, rasanya sudah tidak perlu tergiur iming-iming diskon deh...!", bantah saya sambil tertawa.

Bukan karena sombong ... tapi begitulah seharusnya, minimal menurut saya, logika berpikir orangtua yang sudah dengan ringan hati "membuang uang" membiayai anaknya ikut program belajar bahasa asing hanya untuk waktu singkat. Kalau masih hitung-hitungan diskon begitu, lebih baik belajar di tempat kursus di Indonesia saja.
***

Ada banyak contoh anak-anak yang belajar bahasa Inggris hanya di Indonesia saja dengan biaya yang relatif murah dan toh mereka mampu berbicara dengan sangat baik. Saya ingat di salah satu episode acara Kick Andy beberapa bulan lalu, ada seorang wanita, dari kalangan kurang beruntung, tetapi mampu berbicara dalam 6 bahasa asing dan istimewanya........, dia belajar secara otodidak.

Dan seperti yang sudah saya ceritakan, anak lelaki saya sama sekali tidak pernah les bahasa Inggris, toh dia mampu melalui test IELTS dengan hasil yang sangat baik hanya dalam 1 kali kesempatan test saja. Entah bagaimana cara dia belajar. Bisa jadi melalui tontonan film kartun yang pada jamannya kecil dulu tidak di dubbing dengan bahasa Indonesia. Bisa juga melalui lagu-lagu berbahasa Inggris yang selalu kami pasang di mobil dan dimanapun kami memasang radio/compact disk... Yang pasti dia mampu berbahasa Inggris dengan cukup baik. Bahkan karena apa yang didengarnya adalah produk USA, maka teman2nya di Australia sana, mendengar aksen bahasanya sangat American.

Sebaliknya... saya juga banyak menemui orang yang bertahun-tahun tinggal di "luar" tetapi kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris/asingnya sangat parah. Tidak sebanding dengan lamnya waktu tinggal di negeri "asing" tersebut. Jadi ... sudah sangat bisa dipastikan ... belajar bahasa Inggris hanya 2 bulan, walau di negeri aslinya sekalipun, tidak menjamin akan meningkatkan kualitas kemampuan berbahasa kita.
***


UK Map
Malam hari ... menjelang tidur, saya sempatkan menulis pesan di perangkat blackberry. Rencananya, akan saya kirim menjelang berangkat kantor, untuk memenuhi janji saya, memberitahukan isi dan keputusan hasil pembicaraan dengan suami.

Isinya begini (edited):

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Maaf saya menyampaikan via blackberry™, takut lupa ☎ kalau sudah di kantor nanti.

Saya sudah bicara dengan suami tentang program belajar bahasa untuk anak2. Tadi sore marketingnya juga ☎ & kami sudah bicara panjang lebar.

Kesimpulannya; saya+suami sepakat bahwa tempat belajar bahasa+budaya Inggris yang ideal & pas adalah di UK, bukan negara lainnya. Suami saya juga keberatan kalau anak2 meninggalkan sekolah, walau nantinya ada pelajaran tambahan utk mengejar pelajaran yang tertinggal. Anak harus belajar pada jadwal regular & berproses secara normal.

Menurut pengalaman kami, belajar bahasa dalam waktu singkat (beberapa bulan) tidak akan memberi kemajuan luar biasa untuk anak, kecuali kalau tujuannya hanya penyesuaian diri dengan lingkungan setempat sebelum kuliah di negeri terkait. Kalaupun anak kami akan ikut serta, maka sifatnya hanya untuk "melepas dia" belajar beradaptasi di lingkungan asing. Jadi hanya program Home stay 2 - 3 minggu saja. Sementara itu, karena untuk UK, program mereka hanya ada pada musim panas & mengingat libur sekolah tahun 2014 & 2015 adalah Ramadhan, maka kami pikir anak kami tidak akan ikut program ini.

Terima kasih informasinya ya. Wassalam
***

Ternyata ..... saya kalah set juga hehe ....... Pagi-pagi sekali, saat BB saya dinyalakan, sudah masuk pertanyaannya untuk memastikan rencana keberangkatan anak-anak. Maka langsung saja saya kirim jawaban yang sudah disiapkan tersebut.

Jawaban yang hilang begitu saja, tanpa tanggapan apapun juga sebagai tanda bahwa dia sudah menerima konfirmasi saya. Tapi sudahlah ... sayapun tidak memerlukan jawaban apapun lagi... Stand point nya sudah sangat jelas.

Saya hanya teringat lagi akan perbincangan seorang psikolog, dalam suatu talk show di radio yang selalu saya dengar saat berangkat ke kantor. Dia bilang begini:

"Seorang marketer/tim pemasaran menginterpretasikan penelitian laboratorium/akademis  sedemikian rupa sehingga menimbulkan kecemasan bagi yang membacanya. Kemudian mereka memanfaatkan kecemasan itu dalam  sebuah strategi untuk memasarkan suatu produk. Tujuannya adalah mempermainkan & menjebak perasaan konsumen ke dalam perasaan cemas yang mereka (para marketer) ciptakan agar calon konsumen merasa bahwa tanpa menggunakan produk (apapun juga bentuk produknya) terkait, hidup (konsumen yang dituju) akan terasa menjadi kurang sempurna"


So parents ... be a smart consumer in any case

Rabu, 23 Oktober 2013

The Butler dan strata sosial/rasisme.


Minggu lalu, saat libur panjang–long week end berkenaan dengan perayaan Idul Qurban 1434 H, kami berkesempatan atau lebih tepatnya menyempatkan diri menonton film.

Kecuali anak gadis saya, kami – saya dan suami bukanlah pengemar film yang fanatik. Kalau bisa disebut, malah cenderung pemilih. Suami saya sih tidak memiliki preferensi film. Lebih tepat disebut “pengikut” setia dari perempuan–perempuan “pemilih” yang tinggal serumah dengannya. Dia akan ikut apa yang kami inginkan. Cuma … kalau filmnya ber genre science fiction seperti Harry Potters, The Hunger Games dan sebangsanya, atau genre horror, saya sudah pasti menolak untuk ikut serta. Maka suami dan anak gadis saya akan nonton berdua saja. Sementara saya lebih suka nonton film “true story”. Beberapa film lepas terutama yang alur ceritanya lebih “membumi”, menjadi pilihan utama. Kalaupun ada titik temu tontonan saya dengan si gadis, adalah film–film kartun seperti Mandagaskar, Finding Nemo, Tangled, Rapunzel dan sejenisnya.

Nah … pilihan melihat the Butler, tentu saja atas usulan saya. Alasan utamanya, apalagi kalau bukan karena film tersebut dibuat berdasarkan cerita nyata alias true story dari salah satu kepala rumah tangga White House, warganegara Amerika berkulit hitam, yang mengabdikan dirinya sejak jaman pemerintahan presiden Dwight Eisenhower hingga ke Ronald Reagan.

Dalam film, dia bernama Cecil Gaines, anak buruh perkebunan kapas dari Negara bagian Arizona yang kemudian mencoba peruntungannya “di kota” setelah menyadari bahwa cepat atau lambat, dia akan terlibat keributan dengan anak pemilik perkebunan, yang mungkin beresiko kematian.

Mereka tentu saling menyimpan rasa tidak suka. Ibu Cecil menjadi hilang ingatan setelah perkosaan yang dilakukan oleh anak majikannya. Suaminya – ayah Cecil ditembak mati si pemerkosa, di depan mata Cecil, karena memprotes perlakuan yang dialami istrinya. Beruntung bagi Cecil, mungkin karena rasa berdosa atas perlakuan anak majikannya kepada para buruh kapas, ibu tua pengawas perkebunan, lalu “memasukkan” Cecil ke dalam rumah. Mendidik Cecil menjadi pelayan rumah tangga dan mengajarinya baca–tulis. Pengetahuan itulah, yang kemudian menjadi bekal Cecil untuk mengadu untung di kota.

Kesimpulan apa yang bisa kita peroleh setelah menonton film The Butler? Selain sebagai hiburan, tentunya.

Yang pertama adalah, perjuangan menuju kesetaraan hak dalam kehidupan sosial di Amerika Serikat, Negara yang selalu mengaku sebagai Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, belum sepenuhnya selesai. Secara legal–formal, Amerika Serikat memang sudah memberlakukan UU kesetaraan hak warga negaranya. Tidak membedakan warganegara berdasarkan warna kulit. Namun tidak demikian halnya dalam praktek dan kenyataan di lapangan. Perbedaan perlakuan warganegara atas dasar warna kulit masih dan akan tetap berlaku. Bahkan hingga di White House sekalipun.

Kita mungkin diingatkan kembali betapa kematian JFK alias John Fitzgerald Kennedy. Presiden Amerika Serikat termuda yang “flamboyant” itu ternyata tewas ditembak setelah yang bersangkutan menunjukkan dukungannya atas pemberlakuan UU kesetaraan warganegara tersebut. UU yang akan menempatkan hak warganegara berkulit hitam setara dengan hak warganegara kulit putih.

Betapa bertahun-tahun setelah kematian JFK dan bahkan hingga 5 presiden selanjutnya perbedaan perlakuan terutama yang jelas dirasakan Cecil Gaines adalah dalam hal nominal gaji yang diterimanya dibandingkan dengan gaji staff kulit putih dalam posisi yang sama. Padahal, seluruh presiden yang dilayaninya, sangat memuji pelayanan yang diberikan oleh Cecil Gaines dan toh… seluruh pengabdian dan prestasinya tersebut tetap tidak cukup untuk diganjar dengan penghargaan berupa kenaikan gaji atau bahkan persamaan gaji dengan untuk staff selevel yang berkulit putih.

Saya juga baru mengetahui bahwa di Amerika Serikat sana, Negara adi kuasa penjunjung tinggi hak asasi manusia ternyata masih dan mungkin akan tetap ada universitas khusus untuk warganegara kulit hitam, walau sekarang universitas itu juga dimasuki oleh warganegara kulit putih. Namun saya yakin warga kulit putih yang kuliah di universitas “hitam” tersebut, mungkin berasal dari masyarakat dengan strata sosial rendah atau mereka yang memiliki kualitas akademis rendah. Entahlah … ini memang cuma dugaan saja.

Entah apa yang dirasa Cecil Gaines, mendengar langsung diskusi presiden dengan staffnya berkenaan dengan pro–kontra penghapusan diskriminasi hak warganegara kulit hitam, saat dia melayani presiden. Betapa, mungkin, sakit hatinya dia pada staff tertentu yang menolak penghapusan diskriminasi tersebut, namun di sisi lain dia harus tetap menutup mulut, mata dan telinga atas apa–apa yang dilihat dan didengarnya. Sementara itu, di luar tempat kerjanya, dia “melepas” anak sulungnya berjuang mati–matian, menghadapi diskriminasi perlakuan, di luar sana.

Perjuangan Jesse Jackson beberapa tahun lalu dalam konvensi calon presiden, tentu layak dipuji. Tentu menjadi sangat tidak mudah untuk menembus dominasi kulit putih dalam penentuan berbagai kebijakan baik pada level partai apalagi pada level penguasa publik, yaitu gubernur Negara bagian dan lembaga kepresidenan. Bagi warganegara berkulit putih pendukung penghapusan diskriminasipun, tidaklah mudah untuk membuat agar kebijakan yang berpihak pada warganegara kulit hitam dapat dilaksanakan sebagaimana tujuannya. Tanpa reserve. Dukungan yang berlebihan bisa membuat nyawa, menjadi taruhannya. Seperti yang dialami JFK.

Terpilihnya Barack Husein Obama sebagai presiden USA, hingga masa jabatan yang ke 2 kali, saya yakin tidak berarti diskriminasi perlakuan terhadap warganegara kulit hitam atau kulit berwarna berakhir. Apalagi terbukti belum sampai 1 tahun masa pemerintahan ke 2 Barack H Obama, kesulitan ekonomi yang luar biasa melanda USA dan memaksanya mengambil keputusan penghentian pelayanan publik alias governmental shut down. Hal yang mungkin tidak pernah terjadi pada berbagai pemerintahan sebelumnya dalam kondisi krisis ekonomi separah apapun juga.

Bukan tidak mungkin penolakan oposisi untuk mendukung program yang dicanangkan pemerintah Obama lebih didasari sebagai upaya “balas dendam” sekaligus menunjukkan kepada khalayak Amerika, bahwa presiden kulit hitam hanya “membawa“ kesusahan bagi rakyatnya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi presiden berkulit hitam memerintah negeri adi kuasa ini.

Saya juga masih bisa mengingat dengan sangat jelas, betapa kami ditolak mentah-mentah saat kami menelpon pemilik studio saat kami sedang mencari tempat tinggal di suatu kota kecil di tenggara Paris di tahun 1980. Alasannya sangat jelas dikatakan …. tidak menerima penyewa berkewarganegaraan asing. Hanya atas jaminan dan telpon langsung dari sekretariat l’ENSMA lah, akhirnya kami bisa diterima untuk menyewa studio yang kami minati dan lama kelamaan mereka (pemilik rumah) bisa menerima kami dengan baik dan bahkan sempat mengundang kami untuk “gouter” di ruang keluarga mereka saat liburan Natal.

Pengalaman itu hanyalah satu dari berbagai pengalaman tidak menyenangkan menjadi warganegara asing, kulit berwarna yang tinggal di Negara maju milik kulit putih. Di Negara penyandang semboyan egalite–fraternite–liberte alias persamaan (hak)–persaudaraan–kemerdekaan. Mereka lupa bahwa karakteristik dan sifat manusia sebetulnya tidak bergantung pada warna kulit. Budaya masing–masing memang sangat berpengaruh pada perilaku manusia. Memang karakteristik budaya orang–orang berkulit hitam berbeda dengan orang kulit putih. Tetapi itu lebih pada masalah budaya yang berbeda dan tentunya akan menghasilkan “manner” yang berbeda pula. Jadi tidak berarti bahwa orang kulit berwarna tidak ada yang baik, pengacau dan berbagai cap buruk lainnya, Tetapi memang karena ada system nilai yang berbeda.
***

Tidak perlu jauh–jauh melanglang buana ke Negara orang. Perilaku rasisme sebetulnya juga terjadi di negeri kita. Lihat saja betapa setiap ada kerusuhan, selalu saja etnis Cina menjadi sasaran. Pertikaian antar ras, yaitu antara pribumi dengan non pribumi yang dikonotasikan dengan etnis Cina tidak putus–putusnya terjadi. Sama halnya dengan pertikaian antar suku atau antar agama. Padahal sudah jelas tercantum dalam berbagai dokumen perundang–undangan, berbagai peraturan dimana saja kecuali di Negara yang menganut system pemerintahan apartheid (itupun kalau masih ada), bahwa seluruh warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Perlakuan diskriminatif, apakah karena perbedaan warna kulit, ras, agama, suku, kasta dan sebagainya sesungguhnya disebabkan karena adanya perasaan “lebih tinggi, lebih benar, lebih berbudaya dan berbagai perasaan lebih lainnya” pada salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Kalau dalam hati, dalam perasaan kita sudah ada perasaan superioritas terhadap pihak lainnya, maka percayalah … dari situ akan timbul pola, cara dan perilaku diskriminatif dan … segala undang–undang, declaration of human rights atau sejanisnya tidak akan bermanfaat lagi dan akan dijungkir balikkan dengan berbagai cara.

Minggu, 06 Oktober 2013

Batik dan Nasionalisme

batik Madura
Beberapa hari yang lalu, tepat pada hari dan tanggal yang ditetapkan pemerintah sebagai hari Batik Nasional, saya terlibat pembicaraan dengan rekan kerja berkenaan dengan penggunaan batik dan akhirnya merembet kemana-mana...

Isi pembicaraan via blackberry itu kira-kira begini :
"Pagi bu .... Hari ini, Rabu 2 Oktober, hari Batik Nasional. Diharapkan agar pakai batik (ke kantor)", begitu sapanya.
Sudah agak terlambat sebetulnya kalau sapaan itu dimaksudkan untuk mengingatkan agar kami mengenakan baju batik ke kantor, karena saya yakin, semua rekan kerja sudah dalam perjalanan menuju kantor.

"Kan saya selalu pakai baju batik....!"
"Ya bu... Nasionalisme tinggi!!!", begitu jawabnya

Memang sudah hampir 3 tahun ini, sejak "berkenalan" kembali dengan batik dan warna batik yang masuk pasar sudah mengikuti trend warna tahunan dalam dunia mode, saya mulai membeli batik dan menjahitnya. Bukan sekedar untuk diri sendiri, tapi anak dan suamipun jadi "korban paksa" dijahitkan dan harus memakai batik. Bahkan anak lelaki saya yang kebetulan sedang berlibur akhir tahun sempat saya buatkan 2 buah kemeja batik. Tentu dia tidak akan pernah bisa menolak..., karena dia tahu persis, si ibu bukan menyuruh penjahit profesional yang menjahit kemeja batik. Tetapi betul-betul dijahit sendiri, meluangkan waktu ditengah segala aktifitasnya sebagai pekerja kantoran. Begitu juga dengan anak gadis saya dan suami ...
Secara bergurau ... saya sering meledek suami sebagai "bapak batik" di kantornya, karena nyaris tiada hari tanpa batik saat bekerja.

Tapi .... jawaban rekan saya tentang nasionalisme tinggi hanya karena setiap hari memakai baju batik ke kantor, membuat saya sedikit terhenyak.


blazer 2 muka untuk anak gadis saya
"Padahal ........, nggak segitunya juga...!!", jawab saya agak tidak enak hati.
"Biasanya, kalau pernah tinggal di luar negeri, (kita akan memiliki) masionalisme tinggi, karena tahu Indonesia itu lebih baik. Betul nggak, bu...?"

Jawaban itu lagi-lagi membuat saya semakin terhenyak .... Menurut saya, tidak sesederhana itu untuk mendefinisikan rasa nasionalisme seseorang.

"Kalau bagi saya, pengalaman tinggal di luar Indonesia, lebih tepatnya merasa prihatin dengan kondisi Indonesia. Saat tinggal di luar negeri, kita akan melihat masalah secara makro. Untuk kepentingan bersama sebagai bangsa. Jadi lebih toleran terhadap perbedaan. Sementara di dalam negeri kita mungkin melihat berbagai masalah secara mikro. Kepentingan suku/agama/kelompok (lebih dominan sehingga seringkali menjadi) militan, saat membela kepentingannya". Mungkin ini jawaban yang sangat tidak diharapkannya. Tapi, minimal inilah yang saya rasakan sejak dulu ..... saat saya memang berkesempatan tinggal di negeri orang.
***

Saat itu ...... Indonesia sedang memasuki masa pemerintahan Suharto periode ke 3. Pemilu yang digelar saat itu, kalau tidak salah mulai menuai kerusuhan karena mulai muncul keinginan untuk mengganti presiden, setelah gerakan mahasiswa pada tahun 1978 yang ingin mengusung Ali Sadikin menjadi presiden bisa diredam pemerintah dan kelompok petisi 50 pun mulai "diamputasi" pemerintah.

Di wilayah Timur Tengah yang sejak jaman nabi-nabi dahulu selalu bergejolak, sedang ramai dengan adanya perebutan kekuasaan di Libanon. Beirut yang sebelumnya dijuluki sebagai surga di Timur Tengah porak poranda karena bom dan perang saudara. Dua bersaudara Gemayel yang digadang-gadang sebagai pemimpin negara akhirnya satu demi satu tewas terbunuh.


Di Mesir, Anwar Sadat tewas ditembak secara dramatis saat menghadiri parade angkatan bersenjata. Serombongan tentara yang berada dalam tank/kendaraan yang sedang berdefile di hadapan pembesar negeri Fir'aun itu, turun dan serentak mengarahkan senjata otomatisnya ke podium kehormatan dan ..... pelurupun berhamburan ditembakkan. Upacara kemudian berubah jadi kacau balau.  Dunia jelas geger.....


blus untuk si gadis
Di Paris sendiri, ibukota Perancis yang indah dan elegant, nyaris setiap minggu ada bom meledak di bagian kota, silih berganti. Setiap kami menyalakan TV di sore hari, usai "cari angin" di ibukota Perancis yang elok itu, berita pengeboman hampir selalu menghiasi isi "breaking news alias a la une" nya TV.  Pengeboman itu umumnya diakui sebagai serangan dari suku Kurdi atau mereka yang bermusuhan dengan Yahudi, karena memang komunitas Turki dan Yahudilah yang saat itu paling sering menjadi sasaran. Seingat saya, belum terdengar adanya gerakan al Qaeda dan Osama bin Ladin.

Melihat begitu porak porandanya negara-negara di Timur Tengah karena pertikaian dan terutama perang saudara akibat perebutan kekuasaan, seringkali saya membatin...
"Biar deh Suharto mau jadi diktator atau apapun juga, yang penting asal Indonesia tetap aman tenteram ... Jangan sampai terjadi perang saudara, baik berupa perang suku atau perang dengan latar belakang agama"
***

Indonesia pasca 1998 memasuki era baru. Dari era Suharto yang diktator dan korup menjadi era reformasi yang konon lebih demokratis. Demokratis karena sejak saat itu, semua menjadi lebih terbuka. Bisa ngomong apa saja, apalagi didukung oleh teknologi dan social media networking. Jadilah segala macam ucapan, dari yang baik-baik hingga caci maki kepada siapapun bisa dilontarkan. Buruh-buruh yang pada era Suharto patuh bekerja, sekarang demo melulu, walau pasti ada provokatornya. Bukan buruh dan mahasiswa saja yang rajin demo, bahkan ibu-ibupun jadi rajin demo sambil buka baju, kalau hajat hidupnya terganggu. Tuntutannyapun beragam..., dari yang masuk akal hingga yang sangat tidak masuk akal.

Bukan itu saja..., teror bom, tawuran dan bahkan "perang saudara" antar etnis maupun agama acap terjadi. Kita pasti masih ingat akan "perang saudara" di Ambon antar umat Islam dan Kristen. "Perang saudara" di Poso, keributan  yang berbuntut pengusiran etnis Madura dari ranah Kalimantan dan yang belum lama terjadi adalah pengusiran penganut aliran Syiah dari Sampang. Begitulah ... demokrasi membawa auranya sendiri pada masyarakat Indonesia yang mayoritasnya, secara intelektual ternyata memang belum siap menerima perbedaan dengan sikap bijak.

Demokrasi juga membawa konsekuensi sendiri dalam kehidupan politik negara. Bila pada era Suharto, eksekutif begitu berkuasanya sehingga legislatif dan yudikatif hanya bertindak sebagai pelaksana yang patuh dalam menjalankan apa yang "diperintahkan dan sudah digariskan" oleh eksekutif yaitu presiden dan para pembantunya, maka pada era pasca 1998, semua lembaga eksekutif - legislatif - yudikatif, berebut dan beradu kekuasaan. Saling memperlihatkan "taringnya"

Akhirnya ...... untuk mengatasi segala perbedaan dan "perebutan leluasaan/wewenang" ternyata, uanglah yang jadi pemenang! Segala sesuatu bisa diselesaikan dengan uang! Tentu saja secara "bisik-bisik". Tidak terlihat di permukaan, tapi aroma dan auranya begitu jelas terasa,

Begitulah, akhirnya era reformasi 1998 berhasil memeratakan dan meningkatkan pola kerja korup dari semula hanya ada pada lingkungan eksekutif, sekarang merata ke segala lini. Eksekutif - legislatif - yudikatif. Dari tingkat pusat hingga  pelosok daerah. Dari level pejabat tinggi Negara dan bukan tidak mungkin hingga pejabat tingkat RT. Betul-betul pemerataan yang nyaris sempurna.


kemeja untuk suami
Lalu ... apa hubungannya dengan batik?
Ya, begitulah .... Hubungannya adalah soal rasa nasionalisme, yang tidak bisa diukur hanya dengan memakai batik setiap hari. Nasionalisme baiknya diukur dengan seberapa konsistennya kita untuk bersikap lurus, amanah terhadap tugas yang dibebankan/diamanatkan. Satu kata dengan perbuatan. Jelasnya tidak munafik...!!! Tidak menggunakan topeng!

Aduh .... sikap munafik ini yang rasanya sering kita jumpai sekarang. Tidak ada kesatuan antara kata dan perbuatan. Ibadah yang seharus menyatu dengan perilaku sehari-hari menjadi hanya ritual dan seremonial belaka. Akibatnya .... terlihat misalnya pada masyarakat yang beragama Islam. Lelaki dengan jidat menghitam yang dianggap sebagai tanda betapa orang tersebut rajin bersujud menyembahNya, namun mereka tak segan-segan melakukan perbuatan tercela. Perempuan dengan hijab yang menutupi tubuhnyapun tak segan memeras dan memperkaya diri dengan cara yang tidak patut sama sekali.

Jadi .... sama halnya dengan ciri-ciri fisik tersebut, maka nasionalisme tidak mungkin dan sama sekali tidak bisa dinilai dengan seberapa seringnya kita memakai batik atau berkoar-koar tentang indah dan kayanya alam Indonesia atau kebanggaannya akan kekayaan ragam tradisi dan budaya negeri ini. Tapi yang lebih penting adalah seberapa besar tindakan/perilaku kita dilaksanakan untuk kepentingan/kemajuan bangsa dan negara serta tidak merugikan siapapun yang ada di bumi Indonesia ini. Wallahu alam

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...