Selasa, 18 Desember 2012

Jadi Ibu Anak Lelaki


Anak lelakiku pulang kampung .... menghabiskan libur akhir tahun di Jakarta, sebagaimana permintaanku untuk pulang ke rumah setidaknya setiap 2 tahun. Maka .... setidaknya selama 6 minggu, pada hari kerja, aku kembali menjadi ibu dari anak tunggal lelaki dan saat akhir minggu, selama 2 hari aku menjadi ibu dari sepasang anak yang umurnya terpaut jauh.

Anak ….., berapapun usianya selalu dan tetap menjadi anak bagi orangtuanya. Terutama buat ibunya. Keinginan untuk "memberikan" yang terbaik bagi anak, walau itu dilihat dari sudut pandang keibuannya, selalu tidak pernah bisa lepas begitu saja. Keterikatan emosional yang mungkin terbawa secara alamiah selama seorang ibu mengandung anak selama 9 bulan dalam rahimnya, ternyata tidak mudah pupus. Kondisi ini, mungkin atau lebih tepat dikatakan secara tegas, sangat menyebalkan buat si anak.

Begitulah …., minggu lalu anak lelakiku pulang ke rumah. Usianya tentu tidak muda lagi … sudah 2x usia anak gadisku yang saat ini duduk di bangku SMA dan sebagai ibu, aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan pribadinya…. Perlakuan ini tentu harus berbeda saat menghadapi anak gadis remaja, yang bahkan oleh direktur pendidikan sekolahnyapun, sebagai orangtua, kami diminta untuk mengawasi anak dengan sangat ketat.

Setelah menghabiskan akhir pekan dengan keluarga, pada hari ke 4 dia berada di rumah, aku menawarkannya bila dia ingin ke luar rumah. Dia bisa kuantar ke halte Trans Jakarta dalam perjalanan ke kantor dan kembali pulang bersama di sore hari. Memang sejak kunjungannya yang pertama 8 tahun yang lalu, anakku tidak lagi kuijinkan mengendarai mobil. Ada berbagai alasan tentu …! Yang pertama karena SIM nya sudah kadaluwarsa alias tidak berlaku lagi. Untuk memperpanjangnya, pasti jadi agak ribet. Kemudian … kondisi lalu lintas di Jakarta yang semakin ruwet, kemacetan yang semakin parah dan saling serobot di jalan raya pasti akan membuatnya stress berat. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kecelakaan di jalan. Jadi … biarlah dia bersusah payah naik bus atau taxi, bila perlu.

Sayangnya pula, polusi dan perubahan udara kemudian membuat kulitnya menjadi alergi. Timbul bintik–bintik merah yang gatal di permukaan kulit yang terpapar matahari. Untung tidak menjalar hingga muka. Aduuuuhhhhh repot banget ya, kalau sudah terbiasa hidup di kota yang udaranya relatif lebih bersih.

Maka … kemarinpun menjadi hari yang mencemaskan buat si ibu. Menjelang waktu pulang kantor, sebagaimana yang sudah diperjanjikan, maka aku menelpon, menanyakan acaranya malam itu. Apakah akan pulang atau melanjutkan acara, hang out dengan temannya.

“Aku janjian ketemu jam 19.00 di Grand Indonesia”
“OK …., posisi saat ini dimana?”
Saat itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.15 sore hari… Mendung masih belum pupus setelah hampir sepanjang hari itu kawasan kantorku diguyur hujan yang cukup deras.

“Di Senayan …”, begitu sahutnya.
Entah Senayan bagian mana…  Ada berbagai tempat nongkrong di sana. Minimal ada Senayan City, Ratu Plaza, Plaza Senayan dan FX. Belum lagi resto–resto mewah yang berada di Pacific Place. Entah apakah wilayah PP masih bisa disebut Senayan. Orang lebih banyak menyebutnya SCBD. Kalau nggak salah, SCBD singkatan dari Semanggi (Senayan?) Central Business District. 

“OK, kalau begitu, lebih baik bablas hingga malam hari saja. Kalau harus pulang ke rumah … terlalu buang waktu dan pasti tidak akan sempat lagi kembali ke Grand Indonesia”

Jarak kantorku ke rumah walau hanya 8km, saat ini harus ditempuh dalam waktu minimal 60–75 menit di sore hari. Wajarnya, hanya 15 menit …..! Tapi itu terjadi pada tahun 2000 yang lalu. Kalau sekarang ……? Sepertinya sangat mustahil menempuh 8km di Jakarta dalam waktu 15 menit.

“Jangan terlalu malam ya….”, sambungku lagi.
“OK ….. tapi batere tabku sudah hampir mati nih!”

Tidak terlalu yakin dia tidak pulang terlalu malam atau tepatnya definisi “tidak terlalu malam” buat seorang ibu dan “anak muda” … generasi pekerja abad 21 yang gemar hang out. Apalagi dia bermaksud bertemu teman baiknya sejak duduk di bangku SMP hingga lulus SMA. Perempuan muda kreatif dan sangat mandiri, satu–satunya teman sekolah yang diberitahu tentang kehadirannya di Jakarta.

“Kalau pulang terlalu malam, akan kupesan agar pintu gerbang tak digembok. Jadi masuk dan ketuk pintu kamar ya… Jadi kami bisa membukakan pintu buatmu!”. Begitu pesanku melalui fasilitas sms, sebelum meninggalkan kantor.

Aku terpaksa makan malam sendiri. Suamiku yang tiba sekitar jam 17.00 meninggalkan rumah lagi untuk menemui temannya, sebelum aku sempat tiba di rumah. Lalu lintas yang semrawut, apalagi aku baru meninggalkan kantor usai shalat maghrib, menyebabkan kami hanya saling berkabar lewat telpon saja. Khas kehidupan rumah tangga di Jakarta yang keduanya bekerja penuh waktu.

Sekitar jam 21.00, sang suami memberi kabar bahwa dia belum makan malam. Menyambung lapar usai shaum hari Senin setelah berbuka hanya dengan beberapa iris mangga saja. Rupanya … bapak–bapak itu hanya memesan Vietnamese snack yang bukan snake …. Jadi belum membuatnya mampu mengenyangkan cacing–cacing yang keroncongan usai shaum.

Usai menemaninya makan malam dan membuatkannya kopi, aku tertidur di sofa setelah sebelumnya berpesan untuk dibangunkan jam 23.00, waktunya mandi dan shalat Isya.

Jam 23.30, semuanya selesai kulakukan. Kuraih buku Rahasia sang Ibu Negara yang baru ½ bagian kubaca.
“Penyakit lama, kambuh ….”, gumamku.
“Kenapa…?”
“Menunggu anak lelaki yang nggak jelas jam berapa akan tiba di rumah”, sahutku.
Meledak, suara tawa suamiku mendengar keluhanku ….

Like father, like son …. Begitu konon kata pepatah usang ….
Tentu saja tawanya meledak. Begitulah kebiasaan anak lelaki, seperti yang dilakukan suamiku tentunya saat dia masih belum menikah. Tidak jelas kapan pulang ke rumah …. Tidak pula mau berbasa-basi memberi kabar ke rumah agar orangtuanya tidak menjadi penunggu pintu rumah. Bedanya … kalau dia adalah lelaki ke 4 dari 6 lelaki di keluarganya, maka aku hanya punya 1 anak lelaki….

Rabu, 12 Desember 2012

Dua Anak Tunggal

Ada dua anak tunggal dalam sebuah keluarga, dari sepasang suami istri dan kedua anak tunggal tersebut lahir dari ibu dan bapak yang sama. Mungkinkah....?

Adalah suatu masa .... ketika tanpa terduga kehamilan itu terjadi setelah 7 tahun yang berdarah-darah dan 7 tahun kering kerontang .... Tapi begitulah kehendak Yang Maha Kuasa. Maha Pencipta yang selalu memberikan apa yang dibutuhkan manusia ... Bukan apa yang kita inginkan.

Manusia hanya merencanakan, namun Allah juga yang menentukan dan memilihkan apa yang terbaik bagi umatnya. Jadi ... berbaik sangka saja terhadap apa yang kita alami.

Begitulah .... aku hamil untuk yang kedua kali pada usia di atas 40 tahun. Tepatnya berusia 40 tahun 8 bulan saat kehamilan tersebut terdeteksi. Tanpa rencana dan sama sekali tak terduga.

Kenapa harus disebut terdeteksi ....?
Tentu karena selama bertahun-tahun sebelumnya aku berpikir sudah memasuki menopause. Menopause dini tepatnya karena saat itu terjadi, usiaku masih berada dalam kisaran 30 tahunan. Kemudian ..., tanpa terduga, terjadi menstruasi. Menstruasi terakhir yang kualami dan terasa sangat mencekam. Itu terjadi pada akhir tahun sebelum tahun kehamilanku. Mencekam sekali karena isi rahimku terasa seperti dikuras habis... Bahkan sempat secara bergurau, kusampaikan pada suami ...

"Sepertinya, rahimku dikuras habis supaya bersih ... Siapa tahu kelak akan terisi bayi lagi". Pikiran tersebut terasa absurd karena saat itu, sudah lebih dari 2 tahun aku seperti mengalami menopause. Bahkan seorang dukun pijat pernah mengatakan bahwa rahimku sudah "kisut", mengering dan hal itu bisa diterjemahkan bahwa kehamilan hampir mustahil terjadi.

Tapi .... begitulah kehendak Allah .... Menjadikan yang tak mungkin terjadi dalam kacamata manusia.

Aku sangat patut bersyukur karena kehamilan kedua berlangsung hampir tanpa masalah dan seakan menghapus segala teori yang selama ini sering dikatakan orang bahwa kesibukan dan stress dapat menyebabkan perempuan kesulitan untuk hamil. Kehamilan terjadi saat kesibukanku sedang sangat tinggi, sudah mengalami menopause ... dan pada usia sudah di atas 40 tahun.

Entah apa yang dipikirkan si sulung yang saat itu sudah duduk di bangku kelas 3 SMP melihat ibunya hamil dan melahirkan adiknya. Adik yang sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi diucapkannya dan dilupakan kehadirannya. Bagi orangtuanya, kelahiran anak kedua tersebut menggenapi anak kami menjadi sepasang. Lelaki dan perempuan..., walau 15 tahun jarak membentang di antaranya.

Mungkin karena secara alamiah, emosi dan perhatian lelaki agak berbeda dengan anak perempuan, maka si sulung lebih sibuk dengan kegiatan di luar rumah terutama melakukan olah raga kesenangannya ... sepak bola. Tidak membantu mengurus, memperhatikan atau mengakrabi si bayi/adik. Namun demikian, setelah si adik membesar, ada juga kedekatan di antara mereka ... si sulung tak segan mengajak adik mengunjungi teman perempuannya, kala kegiatan itu dilakukan di siang hari.

Kebersamaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Saat si adik masih duduk di bangku taman kanak - kanak, si sulung meninggalkan kami untuk melanjutkan kuliahnya. Sejak itu kami kembali hidup bertiga untuk kali yang kedua. Kami kembali "memiliki" anak tunggal. Anak tunggal kedua.

Pada periode pertama, kami memiliki anak tunggal lelaki selama 15 tahun kemudian diberikan kesempatan memiliki sepasang anak lelaki dan perempuan. Mengayomi mereka selama 4 tahun untuk kemudian kembali mengasuh "anak tunggal" ke dua dan kali ini berjenis kelamin perempuan.

Ternyata .... ada perbedaan yang sangat signifikan di antara keduanya. Anak pertama, lelaki yang sangat mandiri .... sangat tahu apa yang diinginkannya sementara anak kedua, perempuan yang manja. Si kakak melakukan dan memutuskan segala kemauannya hampir tanpa intervensi orangtuanya. Bahkan sejak kecil, meja makan menjadi area adu argumentasi kami bertiga. Walau masih "di bawah umur", pandangan dan argumentasinya sangat tajam dan kritis.

Sementara anak kedua, lebih manja dan dengan caranya sendiri berusaha "menguasai" dan mendominasi orangtuanya. Sebagai sesama perempuan, seringkali terasa adanya "persaingan" untuk menarik perhatian si bapak. Dia menjadi begitu baik kepada ibu atau bapaknya saat berduaan saja dan berbalik "garang" saat kami bertiga.

Apakah kami memperlakukannya secara berbeda... Mungkin ya.... Usia yang sudah beranjak senja membuatku sedikit lebih bersabar dan assertif dalam menghadapi anak kedua. Atau bisa jadi aku terpengaruh "ramalan" seorang pakar fengshui yang menjelang kelahiran anak kedua tersebut dia wanti-wanti mengingatkan agar anak keduaku harus lahir sebelum tahun (Cina) berganti.

Dia mengingatkan .... kalau aku melahirkan setelah pergantian tahun (saat itu), maka aku akan melahirkan seorang anak di bawah naungan shio Macan .... dan aku, ibunya, yang bershio monyet akan kalah pengaruh.
Benarkah begitu....?
Wallahu alam

Senin, 03 Desember 2012

Makna Kehidupan


co-pas dari teman

Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat. Saat kelas dimulai, dia mengambil toples kosong dan mengisi dengan bola-bola golf. Kemudian berkata kepada murid-muridnya, apakah toples sudah penuh...... ? Mereka setuju !!!!

Kemudian dia menuangkan batu koral ke dalam toples, mengguncang dengan ringan. Batu-batu koral mengisi tempat yang kosong di antara bola-bola golf. Kemudian dia bertanya kepada murid-muridnya, apakah toples sudah penuh ? Mereka setuju !!!

Selanjutnya dia menabur pasir ke dalam toples ... Tentu saja pasir menutupi semuanya. Profesor sekali lagi bertanya apakah toples sudah penuh..?? Para murid berkata, "Yes"...!! Kemudian dia menuangkan dua cangkir kopi ke dalam toples, dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir. Para murid tertawa....

"Sekarang.. saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupanmu. " "Bola2 golf adalah hal yang penting; beribadah, keluarga, anak2, kesehatan. Jika yang lain hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh."

"Batu-batu koral adalah hal2 lain, seperti pekerjaanmu, rumah dan mobil. Pasir adalah hal2 yang sepele. Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples, maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu2 koral ataupun untuk bola2 golf..

Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu. Jika kalian menghabiskan energi untuk hal2 yang sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal2 yang penting buat kalian. Jadi beri perhatian untuk hal2 yang penting untuk kebahagiaanmu. Bermainlah dengan anak2mu. Luangkan waktu untuk check up kesehatan. Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam. Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola2 golf, Hal-hal yang benar2 penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasirnya."

Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya,
"Kopi mewakili apa?

Profesor tersenyum, "Saya senang kamu bertanya."
"Itu untuk menunjukkan kepada kalian, sekalipun hidupmu tampak sudah sangat penuh, tetap selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat"

Cerita ini sangat indah, sempatkan untuk membaca dalam beberapa menit saja.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...