Rabu, 30 Mei 2012

EKSPLOITASI ANAK DI JALAN RAYA

Setiap hari saat pulang kantor, kemacetan sudah pasti menghadang di perempatan Jl TB Simatupang - Jl. RS Fatmawati. DI sana, puluhan dan bahkan mungkin ratusan mobil antri, menunggu traffic light memberi signal hijau, sehingga mobil bisa melewati perempatan yang selalu sibuk itu.


Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalan, saling serobot, seakan tak rela melepaskan meter demi meter yang ditempuh demi kelancaran perjalanan pulang. Apalagi motor-motor yang jumlahnya puluhan. Namun di balik keriuhan raungan mesin kendaraan bermotor, coba perhatikan kegiatan yang terjadi di sela-sela antrian mobil/motor. Di bawah sinar kuning lampu penerangan jalan. Tentu akan tersembul beberapa kepala yang tingginya bahkan lebih rendah dari kaca spion mobil atau motor. Mereka berlari di sela-sela mobil dan motor, berebut sasaran untuk menadahkan tangan-tangan mungil berdebu. Tak dipedulikannya pengap dan kotornya udara akibat terpaan polusi asap kendaraan bermotor.


Menyedihkan tentunya ... di malam yang telah larut, seringkali lewat dari jam 22.00, anak-anak yang seharusnya sudah terlelap di pelukan sang ibu, dalam kenyamanan tempat tidur, masih nanar di tengah keramaian malam. Apakah mereka tidak perlu istrirahat agar esok bisa bangun lebih pagi dan berangkat sekolah? Sudahkan mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah? Ah.... jangan-jangan, mereka sama sekali tidak mengenal sekolah ... Jangankan anak-anak kecil yang menurut taksiranku (melihat tinggi badannya) baru berusia sekitar 2 tahun ... bahkan anak-anak yang lebih besarpun, belum tentu mengenal sekolah... Anak siapa mereka...? Begitu teganya orangtua yang melepas dan membiarkan mereka berkeliaran di jalanan, sementara malam sudah sedemikian larut... 


Kepolosan anak-anak itu tak akan pernah mampu memasang wajah memelas untuk meraih belas kasihan pengendara mobil dan motor. Senda gurau tetap terdengar ....., Entah karena memang para pengendara sudah lelah setelah seharian bekerja... atau karena mereka sangat paham betul bahwa anak-anak tak berdosa itu diperalat segelintir orangtua "pemalas" untuk mengais rejeki... Tentu kita tidak berharap bahwa para pengendara motor dan mobil sudah kehilangan empati, nurani dan "rasa" sehingga jarang sekali terlihat tangan menyisipkan selembar uang ke dalam tangan mungil yang tersodor... Begitulah fragmen kehidupan malam, di salah satu sudut, penggalan ibukota Jakarta.
***


Jalan Kyai Maja, tepatnya di depan kolam renang Bulungan, saat pagi atau sore, yaitu pada peak hours. Berbagai ragam merek mobil dan motor turut menambah kemacetan yang sudah terjadi akibat deretan metro mini yang tidak pernah mau mentaati traffic light. 

Beberapa waktu yang lalu, sambil menunggu kendaraan maju, pandangan mataku terpaku pada sosok lelaki berumur sekitar 20an. Berpenampilan kumal bertato yang sedang menggendong bocah umur sekitar 8 tahun. Sempat terbersit rasa kagum melihatnya. Semula kupikir dia sedang menggendong adiknya dan ini merupakan pemandangan yang sangat langka. Seorang lelaki muda, walaupun berwajah dingin dan bertato, mau bersusah payah menggendong adiknya.

Bocah kecil di gendongan itu asyik memain-mainkan koin rupiah. Namun sayangnya, ia lengah dan koin tersebut jatuh menggelinding ke bawah metromini. Si "kakak" begitu marahnya sehingga dengan kasar dia melepaskan bocah dari gendongan ke jalan disela-sela kendaraan yang berhenti di tengah kemacetan. Bocah itu ternyata hanya berkaki satu dan untung juga dia cukup waspada untuk tidak terlempar dari gendongan. Si "kakak" begitu marah ...... Mereka rupanya "pasangan pengemis" yang mengais belas kasihan dengan memanfaatkan tubuh cacat si bocah. 

Pintu metro mini selalu terbuka, tanpa terduga, dilemparnya si bocah ke dalam metro mini. Tanpa terduga, dengan lincahnya si bocah mulai beroperasi, merangsek masuk ke dalam metro mini. Sementara si "kakak" berusaha meraih koin yang terjatuh sebelumnya.
***

Pemanfaatan orang cacat, anak-anak balita atau bayi sakit-sakitan sebagai umpan belas kasihan masyarakat kerap terlihat di perempatan jalan atau di kendaraan umum. ini adalah cermin kemiskinan yang merasuk di masyarakat. Kalau pemerintah selalu mengklaim bahwa tingkat kemiskinan telah menurun, maka itu hanya hitungan di atas kertas berdasarkan teori dan asumsi yang dibuat secara sepihak. Bukan berdasarkan fakta di lapangan. Apapun alasan yang disampaikan dan berbagai asumsi yang dibuat untuk menutupi kondisi riel masyarakat, itulah bukti ketidakberdayaan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraaan rakyat.

Kemiskinan memang "memaksa" mereka untuk menghalalkan segala cara untuk meraih uang pembeli sebungkus nasi karena lapangan pekerjaan sangatlah mustahil dimasuki oleh mereka yang tidak memiliki bekal pendidikan yang cukup. Mau berdagang, apalagi ... darimana modal bisa diperoleh? Mungkin juga mereka berpikir bahwa mengemis masih lebih baik daripada mencuri atau merampok karena profesi "pencuri dan perampok" sudah "dirampok" oleh golongan elite berdasi yang tanpa malu-malu mencuri dan merampok duit negara .... Duit yang sebetulnya hak masyarakat .... Duit yang sejatinya harus dikembalikan untuk dinikmati masyarakat dalam bentuk berbagai fasilitas pelayanan kesehatan "murah" di puskesmas, sekolah gratis berlabel wajib belajar ... pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok negeri agar denyut pembangunan merata di hampir seluruh wilayah negeri tercinta.

Kini, di tengah maraknya kasus-kasus perampokan duit negara oleh perampok elite serta himbauan pemerintah daerah untuk tidak memberi uang kepada anak jalanan agar mereka "kapok" dan kembali ke rumah, apa yang harus kita lakukan?

Senin, 28 Mei 2012

BIJAK MENGUNDANG

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman di kantor yang lama, yang sekitar 18 tahun lalu pernah sekantor, menelpon .... Meminta alamat kantor saya sekarang. Dia bermaksud mengundang beberapa teman kantor saya yang sekarang beserta boss yang juga bossnya di kantor terdahulu untuk menghadiri pernikahan anaknya yang ke dua.

Setelah saya berikan alamat persisnya, beberapa hari kemudian saya menerima undangan tersebut. Alhamdulillah, dia masih ingat untuk mengundang teman-teman lamanya. Bisa jadi hal ini dilandasi untuk menfasilitasi teman-teman lamanya untuk melaksanakan reuni gratis heheheh .... Semangat menyambung tali silaturahim yang patut dihargai.

Saat membaca nama - nama pengundang, yaitu nama orang tua mempelai, saya agak tertegun... Bukan karena jumlahnya yang ternyata 3 pasang, yaitu 2 pasang berasal dari keluarga perempuan dan satu pasang dari keluarga lelaki, tetapi karena saya merasa nama salah satu istri pengundang agak familiar. Nama yang berasal dari "masa remaja" nun jauh di seberang... Apalagi dipadukan dengan nama suaminya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak dan alamat rumahnya. 

Tidak salah lagi .... karena belasan tahun yang lalu, sekitar beberapa bulan setelah kelahiran anak saya yang ke dua, saya pernah bertemu di sebuah RS di bilangan Bekasi. Saat itu dia yang juga berprofesi dokter, sedang menunggu sang suami.

Segera saja kutelpon mantan teman kantorku itu untuk meminta nomor telpon genggam calon besan perempuannya yang menjadi ibu tiri calon menantunya itu.

Singkat kata, berbekal nomor telpon genggam pemberian temanku, beberapa hari kemudian, hari minggu pagi, sambil menunggu asisten rumah membeli ketupat sayur di pelataran parkir dekat pasar pondok labu, kukirim sms kepada temanku tersebut, memberitahukan bahwa aku mendapat undangan untuk hadir dalam pernikahan anak tirinya tersebut dan bermaksud menghadirinya.

Di luar dugaan, alih-alih menjawab sms ku, teman lamaku itu malah langsung menelpon ... hihihi... inilah kemudahan dan dampak kemajuan teknologi komunikasi - sedang berbelanja di pasarpun bisa tetap berkomunikasi. Cerita panjang lebar, bernostalgia mengenai teman-teman lama kami saat di bangku SMA dulu.

Sebetulnya... teman lama ini adalah kawan sekelas adik perempuanku, tapi karena kami tinggal bersebelahan rumah dan kebetulan dia tinggal dengan kakak iparnya yang saat itu menjabat sebagai wakil kepala cabang suatu bank, maka kami cukup saling mengenal seluruh isi keluarga masing-masing.

Dua hari kemudian, saat berada di kantor, secara tiba-tiba aku menerima sms berisi penjelasan mengenai keluarga dan status anak-anaknya. Kaget juga aku membacanya .... Entah apa yang ada di dalam benak temanku, hingga dia merasa harus menjelaskan bagaimana dia melaksanakan pernikahannya dulu serta status anak-anaknya. Sumpah mati ... sama sekali tak pernah terlontar pertanyaan tentang hal itu. Itu urusan pribadi mereka.

Aku memang pernah mendengar cerita tentang pernikahannya tersebut dari adikku yang memiliki profesi yang sama dengan suaminya. Tapi... untuk apa mengusili urusan rumah tangga orang lain? Itu sebab ... aku hanya menjawab singkat..."ya, sudah pernah dengar ..... ! 

Hari Minggu, saat dilangsungkan resepsi pernikahan tersebut, aku hadir sendiri. Anakku sedang bermalas-malasan, kalau diperintahkan mandi lebih pagi. Mengikuti kebiasaan bapaknya, hari Minggu adalah hari santai dimana semua orang merasa "bebas" untuk mandi sesuka hati. Kebiasaan jelek yang tak patut ditiru. Suamiku, sudah sejak pagi keluar rumah. Hari Minggu adalah jadwalnya latihan senam pernafasan Sinar Putih. Pulang dari tempat latihan, usai sarapan pagi yang sudah sangat terlamabta, sekitar jam 10.30, biasanya acara memeluk guling tidak bisa diganggu gugat. Jadi.... kalau aku punya undangan dan dia sedang berbaik hati untuk ikut hadir, biasanya dia akan mengorbankan waktu latihannya. Namun kali itu, dia "berkeras" latihan karena minggu sebelumnya, kami pergi ke Bandung menjenguk ibuku yang baru usai melakukan operasi penggantian sendi pangkal paha kanannya.

Aku berangkat sendiri dari rumah sekitar jam 10.45, langsung mengambil jalan bebas hambatan menuju lokasi. Kebetulan bertemu beberapa teman lama dari kantor yang sama dengan orangtua mempelai lelaki. Kami ngobrol kesana-kemari. Memang begitulah motivasi kami hadir di acara pernikahan tersebut. REUNI..... Rupanya, mereka juga agak "curious" dengan adanya 3 keluarga pengundang. Itu sebab kami memilih tempat berdiri agak dekat dengan pelaminan, dengan harapan agar kami bisa "melihat" dari dekat  serta mendapat kesempatan awal memberi selamat kepada keluarga yang berbahagia tersebut.

Tiba saat pengantin dan keluarga berjalan menuju pelaminan, mataku menangkap sosok seorang perempuan yang sedang duduk di kursi roda dan seorang lelaki ganteng. Si perempuan, setelah kuperhatikan, ternyata menggunakan warna kebaya yang sama dengan orang tua pengantin yang sedang berjalan mengiringi pengantin menuju pelaminan, sedangkan sang pria juga memakai pakaian Jawa berblangkon. Tidak salah lagi ... ini tentu ibu pengantin perempuan disertai suami barunya.

Menjelang rombongan pengantin tiba di pelaminan, ibu kandung pengantin perempuan bangkit dari kursi rodanya. Berjalan perlahan tertatih-tatih sambil dipapah suaminya... dia berjalan dan duduk berdampingan dengan mantan suami dan istri "baru"nya. Memang agak terlihat tidak biasa ... apalagi saat itu sama sekali tidak terlihat adanya saling sapa di antara ke dua pasangan suami istri itu. Unik ..... Salah satu temanku sempat nyeletuk usil .... " lihat deh ... suaminya (bapak dari pengantin perempuan) mendapat istri yang lebih cantik, langsing dan lebih muda - begitu juga dengan ibunya. Usai diceraikan suami, dia yang terlihat sakit, mendapat suami yang juga lebih muda dan ganteng"

Kulihat seksama mereka yang ada di pelaminan.... Betul ... Sang suami Jawa yang wajahnya lebih pantas disebut wajah Minang - duduk berdampingan dengan istrinya (ini teman lamaku) yang jauh lebih segar dan cantik dibandingkan dengan mantan istrinya yang terlihat jauh lebih tua dan "sakit". Demikian juga mantan istri. Dia duduk tenang didampingi oleh suami yang terlihat gagah dan ganteng khas lelaki Jawa dengan kumisnya dan ..... terlihat jauh lebih muda dari wajah istrinya.

Entah apa yang berkecamuk di benak para undangan... Yang pasti, ke dua orangtua itu, walaupun sudah bercerai ... mereka punya hak dan kewajiban untuk "menyelesaikan" tugas, mengantar anak-anaknya ke gerbang pernikahan. Jadi memang.... mengapa harus malu dengan kondisi ini?

Minggu, 06 Mei 2012

Pasar Tradisional vs Hypermarket. Bersaing dalam era global.


Sejak ibu saya menderita komplikasi dari diabetes mellitus yang dideritanya sejak 19 tahun yang lalu, saya menjadi pelanggan pasar tradisional di Pondok Labu – Jakarta Selatan. Hal ini sudah berlangsung hampir enam tahun terakhir.



Sebelumnya, ibu saya selalu rajin berbelanja di pasar yang sama. Selain karena harganya lebih murah (katanya), berbelanja ke pasar tradisional menjadi salah satu kegiatannya sehari-hari selain mengaji. Anggaplah sebagai bagian dari kegiatan olahraga pengganti setelah beliau berhenti total dari kegiatannya main golf.

Saya sendiri agak malas belanja ke pasar tradisional. Sejak kembali ke Indonesia di tahun 1985, saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke pasar tradisional. Alasannya klasik. Tidak punya cukup waktu untuk dihabiskan bersama keluarga sehingga berbelanja harus merupakan aktifitas keluarga. Dan tempat yang memenuhi syarat untuk berbelanja sambil beraktifitas bersama keluarga adalah berbelanja di supermarket. Apalagi sekarang supermarket bertaburan dimana-mana. 

Jakarta bahkan sudah dipenuhi oleh hypermarket yang luasnya sudah belasan ribu meter persegi. Yang menyediakan seluruh kebutuhan manusia dari mulai kebutuhan primer maupun sekunder. Mereka bangga dengan sebutan one stop shopping. Apalagi buat sebagian besar masyarakat, berbelanja di pasar modern memiliki gengsi tersendiri.
*****

Pasar tradisional di Indonesia, khususnya di Jakarta, walau sudah dibangun bertingkat dan dikelola “secara professional” oleh PD Pasar Jaya, ternyata belum beranjak jauh dari ciri-cirinya sejak jaman dulu. Kotor, kumuh, sumpek dan berbau busuk. Fasilitas umum berupa toilet dan mushola sangat tidak memadai. Air tidak mengalir sehingga akibatnya menebarkan aroma tidak sedap.

Area perparkirannyapun tidak jauh berbeda. Selalu dipenuhi oleh pedagang yang menggelar dagangannya di pelataran parkir sehingga area tersebut beralih fungsi, tidak sebagaimana maksudnya. Pedagang di area parkir kemudian menjadi pesaing bagi pedagang resmi yang berada di dalam bangunan pasar. Sukar untuk menyebut mereka yang berjualan di pelataran parkir sebagai pedagang liar. Nyatanya, mereka berdagang dengan aman di tempat itu dan konon membayar sewa "lapak".

Tidak itu saja, di sekelililing bangunan pasar tradisional dimana saja di Indonesia, akan selalu ada “pasar kumuh” Orang sering menamakannya sebagai pasar bawah untuk membedakan dengan pasar atas yang berlokasi di dalam bangunan. 

Pasar bawah ini semakin membuat kesemrawutan lingkungan. Menyumbang bebauan sampah dan becek. Sungguh sangat jauh dari kebersihan dan kesehatan lingkungan. Padahal yang dijual adalah produk makanan, baik bahan makanan mentah dan juga makanan matang seperti kue2an, dan warung makan. Tetapi nyatanya orang tetap berbelanja dengan tenang.
*****

Awal tahun 1970an, Jakarta masih sepi dari supermarket. Kalaupun ada, hanya satu atau dua gerai yaitu Hero dan Gelael. Merekalah pionir pasar modern di Indonesia. Saat itu, jarang orang berbelanja di sana karena harga barang yang dijual relatif lebih mahal dari harga barang di pasar tradisional. Dengan demikian, konsumennyapun terbatas pada kalangan menengah ke atas saja.

Tahun 1980an mulai muncul Golden Trully dan Grasera. Keduanya menggelar komoditi sehari-hari di dalam gedung dengan area yang jauh lebih luas dan ragam jenis dagangan. Era one stop shopping di super store sudah dimulai. Masyarakat Jakarta mulai dididik untuk berbelanja di pertokoan modern. Persaingan antara pasar modern berupa super store dan pasar tradisional dimulai.

Seiring dengan perkembangan keberadaan supermarket dan hypermarket, perlindungan terhadap keberadaan pasar tradisional mulai terabaikan. Di atas kertas, keberadaan super store yang kemudian berkembang pesat menjadi hypermarket dibatasi. Harus berada pada radius sekian kilometer dari pasar tradisional dan tidak boleh menjual jenis komoditi tertentu yang menjadi jajaan di pasar tradisional. Namun kehadiran “pemain asing” yang dimulai dengan kehadiran “Continent” yang kemudian diakuisisi oleh Carrefour mengubah peta perpasaran modern di Indonesia terutama Jakarta.


Bayangkan …. Carrefour diijinkan beroperasi selama 365 atau 366 hari per tahun. 7 hari per minggu dari jam 10.00 hingga 22.00. Tidak ada hari libur. Kalaupun tutup, itu hanya untuk kepentingan stock opname - recheck. Bayangkan … di hari Raya apapun juga mereka tetap beroperasi walaupun jam bukanya digeser menjadi agak siang.

Carrefour juga merambah masuk pertokoan di tengah kota. Tetap dengan konsep hypermarket dan one stop shopping. Dengan sangat piawai mereka “mengeduk” isi dompet semua kalangan dimana mereka berada dengan berbagai marketing’s gimmick. Tak ada Carrefour yang sepi pengunjung dan berbelanja di Carrefour saat week end menjadi sangat tidak nyaman lagi.

Tanyalah pada orang Perancis yang mungkin anda kenal, bagaimana komentar mereka tentang keberadaan Carrefour di Indonesia. Mereka tentu akan geleng-geleng kepala. Entah karena kagum akan keberhasilan Carrefour menggaet pengunjung atau karena tidak habis pikir akan “isi kepala” para pembuat keputusan di Indonesia sehingga Carrefour bisa semena-mena dan hampir-hampir tanpa batas untuk menentukan lokasi hypermarket serta jam dan hari beroperasinya. Hal yang hampir mustahil mereka peroleh di negara asalnya. Benar-benar liberalisasi tanpa batas dan tanpa adanya perlindungan terhadap pemain kecil dan tradisional.

Jumlah Carrefour di Jakarta, ternyata lebih banyak daripada jumlahnya di Paris. Bahkan anda tidak akan pernah menemukan satupun hypermarket, apakah itu bernama Carrefour, Mammouth, Euromarche atau apapun namanya di pusat Paris ataupun pusat kota-kota lainnya di Perancis, kecuali mereka di luar outer ring road yang berarti di pinggiran kota.

Kebijakan ini dimaksudkan agar toko-toko makanan tradisional yang menjual sayur-mayur dan buah-buahan, daging-dagingan (bouchery), toko roti (boulangery) tetap hidup dan menghidupi dinamika masyarakat. Bahkan pada hari-hari tertentu, terutama week end, di berbagai lapangan parkir (place–plaza) atau di sebagian/potongan jalan di pusat kota digelar pasar tradisional yang hanya beroperasi hingga tengah hari saja.

Di negara asalnya, Carrefour dan seluruh “pasar modern” apakah itu supermarket atau hypermarket tidak akan pernah diijinkan untuk buka 7 hari seminggu atau 365 atau 366 hari setahun. Jaringan perpasaran modern itu akan bergantian menutup tokonya. Satu hari dalam seminggu. 

Dengan posisi sebagai “penguasa” jaringan retailer di Indonesia, bukan tidak mungkin kalau Carrefour menangguk keuntungan terbesarnya bukan di negara asalnya tetapi dari Indonesia. Di negara dunia ketiga yang lokasinya sangat jauh. Negara yang konon masih merangkak-rangkak mengemis pinjaman kepada pemerintahnya dan bahkan mungkin sama sekali tidak dikenal atau dilirik oleh rakyat Perancis. Kecuali mungkin sekarang, kalau rakyat Perancis sadar akan kehadiran Anggun sebagai penyanyi asal Indonesia. Ironis sekali!!!!

Sungguh memprihatinkan kondisi perpasaran di IndonesiaPara pedagang lemah “dipaksa” bersaing dan berperang dengan pemodal raksasa tingkat dunia. Kalau pada awal keberadaan pasar modern bernama supermarket, hanya masyarakat golongan menengah atas yang mampu berbelanja, maka pada era Carrefour, seluruh golongan masyarakat memadatinya.

Harga yang ditawarkan tidak jauh berbeda dan bahkan terkadang lebih murah dari pasar tradisional. Kualitas barang-barangnya terjamin. Kesegaran buah-buahan dan sayur-mayur tidak perlu diragukan lagi. Dan yang terpenting, belanja di Carrefour bisa dimanfaatkan sebagai aktifitas keluarga.

Sungguh terasa sangat tidak adil menghadapkan para pedagang kecil pasar tradisional dengan segala kekumuhannya dengan pasar modern. Entah apa yang ada di dalam benak para pengambil keputusan di negeri ini tertutama mereka yang memberikan ijin operasi hypermarket. Lihat saja saat ini. Jangankan pasar tradisional, jaringan retailer lokal seperti Gelael dan Hero sudah menampakkan wajah yang semakin redup dan diakuisisi oleh pihak asing
*****
Sejujurnya, kalau saya kembali berbelanja ke pasar tradisional, tentu bukan karena alasan-alasan yang sok humanitarian. Kalau boleh diakui,  awalnya hanya untuk “menyenangkan” hati ibu saya yang selalu “membanggakan” pedagang sayur langganannya. Ada rasa penasaran, untuk mengetahui siapakah sosok pedagang sayur itu. Kesempatan itu datang saat ibu saya harus “mengungsi” ke Bandung dan kemudian dirawat di rumah sakit hampir selama satu bulan karena DMnya kambuh.

Kekumuhan, kemacetan, kesemrawutan dan bebauan busuk yang langsung menyergap hidung di sekitar pasar hampir menyurutkan langkah saya untuk berbelanja. Namun waktu terus berjalan. Di tengah segala kesemrawutan itu ada nuansa dan suasana yang berbeda dengan “dingin”nya hypermarketAda interaksi antara penjual dan pembeli, ada kehangatan hubungan kemanusiaan. Tukar menukar info atau berbagi pengalaman dalam menangani “sisa sayuran” yang tidak laku mewarnai suasana berbelanja dan kadangkala info yang diperoleh di pasar bermanfaat untuk dijadikan resep olahan jenis hidangan baru.

Secara umum, tanpa melihat kualitas dan kesegarannya terutama bila berbelanja terlalu siang, harga hampir sebagian besar komoditi kebutuhan rumah tangga di pasar tradisional lebih murah dari supermarket. Namun, terkadang harga yang ditawarkan lebih mahal. Jadi, jangan terlalu berharap bahwa belanja di pasar tradisional akan lebih murah terutama bila kita termasuk jenis manusia yang tidak terlalu suka melakukan tawar menawar harga.

Mungkin ada baiknya bila kita mau mengubah paradigma yang ada di kepala, kala berbelanja di pasar tradisional. Jangan melakukan tawar menawar dengan pedagang kecil itu. Karena itulah yang kita lakukan saat kita berbelanja di hypermarket. Kasihan para pedagang kecil itu!! 

Niatkan saja bahwa aktifitas belanja di pasar tradisional adalah bagian dari “berbagi” rejeki dengan sesama, yaitu kepada para pedagang kecil. Nggak ada ruginya kok. Daripada uang kita terus menerus mengisi pundi-pundi para pemodal Perancis itu? Ayo … pilih yang mana?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...