Tampilkan postingan dengan label malari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label malari. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Januari 2009

Ragam cerita di seputar Peristiwa MALARI 1974

Entah pikiran apa yang mampir di kepala, hingga tiba-tiba terbersit ide untuk membuat tulisan tentang Malari 1974. Sejujurnya, tidak banyak yang saya tahu tentang hal tersebut. Saya baru saja 3 minggu menginjakkan kaki kembali ke Jakarta setelah meninggalkannya selama hampir 9 tahun. Browsing di Wikipedia juga tidak mendapatkan banyak tulisan tentang hal ini.

Tapi, maksud hati menulis tak perlu dikalahkan oleh kekurangan referensi. Jadilah tulisan singkat yang sebetulnya tidak bisa memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang terjadi pada 15 Januari 1974. 35 tahun yang lalu.

Tulisan singkat yang "nggak mutu" tersebut ternyata memancing rekan-rekan saya di milis FTUI untuk bercerita tentang pengalamannya tersebut. Nah, setelah minta ijin untuk meng copy paste tulisan meramaikan dan melengkapi tulisan singkat saya. Nah, berikut copy paste nya disusun sesuai dengan urutannya terbit di milis.

***
Thu Jan 15, 2009 8:45 am; marsudi wibowo <marsudiwib@...> wrote :


Bls: [alumni_ftui] oot : 15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu

Mbak Lina aku nimbrung cerita nih.

Saat itu kami di SMA I Bhudhut didatangi mahasiswa berjaket hijau untuk ikut turun ke jalan, tidak ada tata krama dari mereka, mereka mengacuhkan peran guru2 yang ada disana. Akhirnya kami (OSIS) memutuskan untuk menolak turun ke jalan, setelah bicara dengan Kepala Sekolah dan Kepala Persatuan Orang Tua Murid. Kami membagi tugas,  mengatur mekanisme pulang kerumah (terutama pelajar putri).

Maka dengan gaya preman kita stop bis2 Merantama (arah grogol), Saudaranta (arah priok) dan Pelita Mas Jaya (arah kampung melayu). Disamping itu,  harus ada yg menjaga sekolah, karena keputusan kami mengecewakan mahasiswa2 tadi dan rekan STM sekitar kami.

Sampai 3 hari kami bergiliran berjaga. Kami beruntung, karena saat itu sekolah kami selalu identik dengan terjadinya perkelahian2 apalagi dengan tetangga sebelah (STM I). Kalau tidak salah dari 7 sekolah negeri yg diskors saat itu, dari SMA hanya SMA VII.

Kalau kejadian di lapangan, mungkin Mukti Wibowo bisa ikut nimbrung, dia kelas II waktu itu, sedang doyan-nya rame2. Saya ikut nimbrung karena khawatir tahun 2009 ini ada PEMILU, kita lihat Pilkada Gubernur, Bupati, bahkan kepala desa banyak yang rame, anarkis, tidak ada juntrungannya. Apa di negara ini, melakukan perubahan harus diawali dengan rame2??? Dan perubahan2 itu belum kita nikmati secara merata.

***
Re: Bls: [alumni_ftui] oot : 15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu
Thu Jan 15, 2009 12:11 pm, "Aswil Nazir" <aswil@...> wrote :

Wah, 15 Januari 1974 saya lagi jadi pengangguran (sehabis tamat SMA di Padang, ke Jakarta untuk ikut test masuk UI) numpang tinggal sama oom di FKUI, Salemba 6. Beliau adalah Kepala Tata Usaha (KTU) FKUI. Jadi, saya yang baru 2 minggu menginjak ibukota, cuma planga plongo melihat massa mahasiswa yang pagi2 kumpul di lapangan FKUI untuk long march ke Trisakti. Dalam hati kagum sama Hariman yang mimpin massa waktu itu, oh begitu to yang namanya aktifis?

Siangnya dan berlanjut sampai sore, massa mahasiswa udah balik lagi ke Salemba dan campur sama tukang2 becak. Suasana di kampus FKUI mulai tegang. Ada kabar bahwa di Senen udah terjadi bakar-bakaran. Saya sebetulnya sudah diinstruksikan sama oom untuk tidak keluar rumah, tapi rasa ingin tahu membuat saya menonton keramaian dari dalam pekarangan FKUI.

Sebagai warga pendatang, memang shock melihat keberingasan massa yang menyetop mobil-mobil yang lewat di ujung jalan Diponegoro menuju Salemba. Kalau ditemui mobil Jepang, penumpangnya disuruh keluar dan mobilnya dihancurkan dan dibakar. Brutal.

Tukang2 becak yang selama ini tidak berani tampil di jalan protokol, mendadak nongol di jl Diponegoro dan Salemba dan overacting beratraksi. Mobil patroli lalu-lintas yang lewat dipukul-pukul atapnya dan polisi di dalamnya cuma bisa pasrah. Itulah aksi massa yang saya saksikan dari balik pagar FKUI.

Sorenya Hariman, Yudil, Gumirlang dkk ngumpul di rumah tempat saya tinggal. Terlihat semua nya tegang dan panik melihat perkembangan yang diluar perkiraan.

Malam hari listrik di kompleks UI Salemba padam sementara suasana sepanjang jalan Salemba dan depan RS Carolus makin panas disertai suara tembakan2. Dalam suasana mencekam itu, tahu-tahu rumah kami digedor tentara yang ternyata baret merah mau mencari anak2 yang katanya abis menimpuk batu kearah truk RPKAD yang lewat, sehingga mengenai kepala komandannya.

Jadinya rombongan tentara ini ngamuk dan menyisir daerah di sekitar Carolus. Kami seisi rumah disuruh keluar sambil mengangkat tangan dan isi rumah digeledah (persis kayak di film action). Untung tidak ditemui apa2, dan kami diperbolehkan masuk rumah kembali.

Besok harinya (atau lusanya, udah lupa), mendadak Hariman dan Yudil nongol di rumah (dengan dikawal), pamitan sama oom karena mereka akan ditahan. Kalau ngga salah, kita dikurung (tidak boleh keluar masuk kompleks FKUI) oleh pasukan dari Brawijaya selama 3-4 hari. Makan ya, dari stok yang tersedia di rumah.

What an unforgetable experience.
***

Mohon ijin meng copy paste tulisan anda

on Mon 19/1/09 10.10AM; Rasam Syamsudin wrote:

Silahkan saja,
nah ada tambahan sedikit.Saya tidak ingat kapan tanggal pastinya waktu itu bang Hariman Siregar berorasi (sayang saya tidak ingat apa yang disampaikan) didepan fakultas kedokteran.

Nah didampingi dengan beberapa aktivis, yang saya ingat salah satunya wanita namanya .... Nasution (lupa nama depannya). Kira-kira sekarang dimana yah mbak Nasution itu? Juga kabarnya tentunya?Waktu itu ada kolonel ganteng bawa tongkat komando dipedestal jalan salemba antara jebatan penyebrangan dan Masjid ARH depan rektorat lama diluar. Kalau tahun 98 kayak Pak Syafrie.. Yaitu pak Edi Nalapraya (saya lihat label namanya) yah mengatur bawahannya.

Semua access masuk dijaga tentara.Yah memang suasana pada saat itu, yang saya ingat pada waktu itu saya baru tingkat satu, datang ke Kampus mau ujian (kalau tidak salah ujian HER waktu itu belum pakek semesteran) tanggal 14 January 1974. Saya tiba di Kampus antara jam 06.30 s/d jam 07.00 pagi.

Celakanya kampus sudah dijaga Brawijaya yang sudah didalam tidak boleh keluar yang diluar tidak boleh masuk. bagi yang mau masuk ke FTUI (jalan yang ada pohon asemnya dan dibawahnya ada warteg) terpaksa terkumpul dijalan masuk tersebut karena dihalangi tentara (waktu itu belum ada gerbangnya)..

Saya masih ingat betul sangkur yang dipasang tentara tersebut tajamnya bukan main (kelihatannya karena saya nggak pegang) dan ada dialog dengan teman-teman kami. Jawaban tentara yang saya ingat sampai sekarang kira-kira seperti ini : Saya diperintahkan tanpa tahu kemana tujuannya dan dari kemarin saya belum makan (sarapan), tolong kami jangan diganggu, kami hanya menjalankan tugas. Saya ingat diri saya kalau lagi lapar emosi susah terkontrol.

Tahun 1978 juga saya tidak berani teriakin (menggangu) mereka (mungkin nyaliku kecil) tidak seperti yang lainnya, karena saya pikir mereka hanya menjalankan tugas.Besoknya saya tidak bisa ke Kampus karena sudah tidak ada bis yang beroperasi, nah selanjutnya saya dengar peristiwa 15 January lewat TV. Kalau tidak salah banyak yang pulang jalan kaki, pergi ada bis pulangnya tidak ada.

Yang paling saya ingat ditahun 1974 itu adalah ujian her saya gagal dan saya tidak naik tingkat (nggak naik kelas kalau di SMA) dan diharuskan mengulang seluruh mata kuliah tingkat satu tersebut.

Rabu, 14 Januari 2009

15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu

15 Januari 1974, tepat 35 tahun yang lalu, hari masih relatif pagi. Jam 6.15 seperti biasa saya mulai berjalan kaki menuju terminal Rawamangun untuk berangkat ke sekolah di bilangan Matraman, naik bus. Seperti biasa, saya bisa langsung naik bus dan memilih-milih tempat duduk. Tidak perlu menunggu lama, apalagi sampai berdesak-desakan berebut bus seperti sekarang.

Tidak ada bus yang langsung melewati SMA Fons Vitae dari terminal Rawamangun, sehingga saya harus berhenti di per 4 an Matraman – Pramuka, untuk kemudian menyambung perjalanan dengan oplet menuju sekolah. Namun demikian, saya bisa tiba disekolah tepat waktu tanpa pernah sekalipun terlambat.

Tidak banyak yang saya ingat, apakah hari itu tanggal 15 Januari 1974, kami “disuruh” pulang lebih cepat atau tidak. sebagai “pendatang” baru yang belum “kenal” Jakarta atau lebih tepat dikatakan “anak hilang” yang baru pulang kembali ke rumah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada hari itu. Yang pasti, sore itu saya melihat tayangan di tvri tentang dibakarnya “Proyek Senen”, satu-satunya pertokoan modern di wilayah Jakarta Pusat. Dan konon, aksi pembakaran tersebut dilakukan oleh mahasiswa.

Penguasa negeri ini menuduh mahasiswa Universitas Indonesia yang saat itu masih memiliki dua kampus terpisah di Rawamangun dan Salemba, melakukan aksi pembakaran tersebut setelah sebelumnya rencana berdemonstrasi di pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk menyambut kedatangan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka, tidak berhasil karena ketatnya penjagaan.

Jakarta membara, walau tidak sedahyat peristiwa Mei 1998 yang meluluh-lantakkan hampir seluruh bagian kota. Namun demosntrasi 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Malari, bisa dikatakan lebih “dahsyat” dari demonstrasi mahasiswa dan pelajar (KAMI/KAPPI) pada era pasca G30S yang “hanya” memberhentikan untuk kemudian mengempesi ban mobil yang mereka temui di sepanjang jalan.

Akibat peristiwa ini, beberapa, tokoh mahasiswa terutama dari UI ditangkap dan dipenjarakan. Jenderal Sumitro, pangkopkamtib saat itu dicopot dari jabatannya. Bisa jadi… Malari 1974 merupakan “babak baru” cara berdemostrasi dengan pola anarkis, karena sejak itu, jarang sekali ada demonstrasi yang “santun”. Baik yang dilakukan oleh mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya

Apa yang melatarbelakangi demonstrasi di awal tahun 1974 tersebut? Dalam banyak bahan bacaan, dikatakan bahwa mahasiswa memprotes masuknya pemodal asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Memang saya itu banyak program "bantuan" asing yang masuk ke Indonesia di berbagai sector industry dari hulu hingga hilir, dari sector agro hingga industry automobil.

35 tahun kemudian, apa yang dikhawatirkan mahasiswa tersebut terbukti. Seluruh sektor ekonomi Indonesia telah tergadaikan. Coba sebutkan sector industry mana yang bebas “campur tangan” asing? Kini kita malah merasa lebih bangga bila bisa bermitra dengan investor asing dibandingkan kebanggaan menjadi “ raja bagi diri sendiri”. Bahkan hingga harga diri bangsa ini tergadaikan. Bangsa Indonesia “mulai” menjadi kuli di negara asing (baca: menjadi TKI di negara Timur Tengah), dan lambat laun di negara sendiri.

Yang lebih menyedihkan, “roh” perjuangan Malari 1974 yang anti modal asing sudah kita lupakan sedangkan “yang buruk” dari peristiwa itu, demonstrasi anarkis dan barbarism diadopsi dengan sangat bangga. IRONI sekali….….

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...