Minggu, 27 Juli 2008

HOME COMING DAY UI - 2008 day 2 - 27 juli 2008

Kecapean malam minggu, kami bangun pagi agak kesiangan. Tidak sesuai rencana. Maklumlah, usia yang sudah lebih dari 1/2 abad memang tidak bisa dibohongi.
Usai mandi, shalat subuh dan sarapan pagi aku dan suami berangkat ke Depok. Suami sudah janjian dengan rekan-rekan bikers nya untuk ikut acara tour d'UI sekaligus peresmian biker's track di kawasan kampus UI Depok, sepanjang 10 km yang sudah selesai dari rencana 20 km.

Aku sendiri hanya bermaksud mengantar saja. Hari minggu adalah jadwal ke pasar tradisional di Pondok Labu. Kasihan, nanti para langganan menunggu dan kecewa karena barang yang biasanya sudah disisihkan untukku, nggak laku lagi.

Kampus UI Depok sekitar jam 07.30 pada hari minggu terlihat lebih lengang.
Keramaian justru terlihat di arah sebaliknya. Masyarakat yang kecewa karena tidak diperbolehkan masuk kampus, berkumpul di situ, dekat tulisan UI. Biasanya, hari minggu, kampus yang konon memiliki ruang hijau terbuka yang paling luas setelah kebun raya Bogor, dipadati penduduk Depok dan sekitar yang berolah raga, lengkap dengan para penjual makanan dan segala macam kebutuhan. Seperti yang terjadi di Gelora Bung Karno Senayan.

Minggu ini, demi HCD 2008, akses ke kampus hanya dibuka untuk alumni UI saja. Kami menuju ke arah rektorat dan menurunkan suami dengan sepedanya di depan gedung Pusat Administrasi Universitas - PAU. Nggak jauh dari pusat kegiatan HCD, sedangkan saya langsung pulang. 
Dalam perjalanan pulang, suami masih menyempatkan diri kirim sms;

"Acara belum dimulai. Undangan termasuk DGB sedang sarapan pagi. Siangnya, dia bercerita bahwa usai sarapan pagi, seperti biasa, ada sedikit upacara baru dilanjutkan dengan bersepeda mencoba secara resmi biker's track di kampus UI. Sementara itu saya kembali ke rumah jemput pembantu untuk menemani ke pasar. Usai memenuhi kewajiban dapur, lalu membawa anak ke Gramedia untuk beli keperluan sekolah dan makan siang di Cinere Mall. Usai shalat dhuhur, saya kembali ke Depok.


Kami bertemu lagi di selasar antara PAU dan Balairung. Era komunikasi dengan hp mempermudah manusia untuk bertemu.

Lapangan tepi danau tempat The Professor's Band manggung semalam, sudah sepi. Peserta HCD 2008, semuanya berkumpul di panggung utama yang konon katanya disponsori oleh TransTV (Chairul Tanjung yang alumni FKG). Di tengah lapangan Marching Band Madah Bahana sedang beraksi. 

Setelah itu mulailah panggung hiburan yang diisi oleh artis-artis alumni UI dan dibuka oleh Tere, lalu ada Ikang Fawzi sang rocker yang suaranya masih ok, Christine Panjaitan, Tika Bisono, Louise Hutauruk. Rencananya akan tampil juga Andien, Rossa, Chaseiro, Orkes PSP alias Pancaran Sinar Petromak Acara dipandu oleh Kepra, Maudy Kusnaedi.
Sayang aku nggak sempat hadir hingga acara berakhir. Waktu shalat ashar, "memaksa" kami unuk sadar sudah terlalu lama meninggalkan anak di rumah. Kan jadi ortu nggak boleh egois dengan kesenangannya sendiri.


Siapa yang hadir HCD? Mungkin hanya ada sekitar 1.000 orang yang datang. Hanya sekitar 10% dari jumlah alumni UI. Mereka yang hadir ternyata cukup beragam, walau masih didominasi oleh angkatan muda yaitu tahun di atas 90an dan 2000an. Namun demikian, masih terlihat muka-muka lama angkatan 70 baik yang dari Rawamangun maupun Salemba.


Memang bukan pekerjaan yang mudah mengumpulkan alumni UI dibandingkan dengan alumni fakultas. Apalagi sekarang ini ada 12 fakultas di UI, belum lagi ada program D3, kelas Internasional (double Degree) lalu ada program magister/profesional dan Doktor. Kalau HCD ini dilakukan untuk seluruh alumni dari angkatan awal hingga angkatan terakhir dan dari 12 fakultas, harap maklum bila yang datang relatif terbatas.


Jangan katakan bahwa dalam era komunikasi global, usaha mengkomunikasikan acara ini akan menjadi sedemikian mudah. Ada milis memang, tapi anggota milis fakultas paling hanya diikuti oleh sekitar 10% alumni saja. Yang
mungkin dilupakan, bagaimana dengan alumni tua yang gaptek atau "merasa sok tua" sehingga "harus disowani" dulu agar bersedia datang.


Tetapi, apapun hasilnya, kerja keras panitya patut dihargai. Dengan segala kekurangannya, upaya penggalangan kebersamaan untuk memajukan almamater, tetap harus diteruskan. Minimal ... mempersatukan alumni yang mau "berbagi" untuk almamater tanpa pamrih materi, keuntungan pribadi ataupun kepentingan politis. Menggalang kebersamaan sosial bagi dunia pendidikan Indonesia yang semakin terpuruk.
Mungkin sudah waktunya agar kita menjadi lebih partisipatif dan proaktif apalagi bila menyangkut kegiatan sosial. Mari kita mulai dari diri sendiri... 






Sabtu, 26 Juli 2008

HOME COMING DAY UI - 2008 day 1 - 26 juli 2008

Aku dan suami, tadi siang ke FHUI. Ada undangan sidang promosi doktor ilmu Hukum atas nama Barita Simanjuntak. teman sekantorku yang merangkap staff ahli di DPR dan dosen FH-UKI. Semula kubayangkan, perjalanan ke Depok akan banyak hambatan dan akan susah mencari parkir karena HCD. Kehebohan yang terjadi di milis FTUI membuatku membayangkan bahwa HCD yang dimulai hari ini Sabtu 26 Juni 2008 akan membuat kemacetan luar biasa di bundaran/fly over UI. Tapi, ternyata aku kecele banget....!!! Suasana HCD sama sekali gak terasa. Apalagi, kuliah belum dimulai dan juga belum ada kegiatan mahasiswa baru.

Usai sidang promosi, aku mampir ke Dekanat FTUI. Waduh.... tambah sepi lagi, cuma sempat papasan dengan mas Gotty yang konon terpaksa meninggalkan rumah sejak pagi hari karena ada tetangga yang hajatan pernikahan anaknya. Sama sekali tidak terlihat persiapan acara HCD di lingkungan FTUI. Atau mungkin ini hajatan rektorat. Jadi semua terpusat di lingkungan rektorat. Bukan di fakultas-fakultas.

Suasana yang lengang membuatku merubah acara, dari semula menunggu hingga acara ramah-tamah malam hari, jadi pulang dan meninggalkan suami yang konon katanya mau ngamen dengan gengnya di panggung taman danau, dengan janji akan kembali menjemput usai shalat maghrib. Sambil pulang kukirim sms ke 2 orang rekan alumni. Satu gak jawab, satu lagi malah balik nanya... HCD itu maunya apa seeh...? Waduh, aku jadi bingung...., mungkin ikatan kekeluargaan ala IKM UI memang sudah hilang. Jadi saat rektorat dan Iluni UI berinisiatif untuk mengadakan acara HCD, bukan sambutan positif, malah pertanyaan-pertanyaan pesimistis yang terlontar.

Malam hari, usai shalat dan makan sedikit, aku kembali lagi ke taman danau, menjemput suami. Dari kejauhan terlihat panggung utama terang benderang, tapi kosong. Beberapa stand telah terisi, tetapi konong tanpa pengunjung. Acara rupanya terkonsentrasi di taman tepi danau. Koridor tempat hidangan tersaji, terlihat beberapa alumni muda sedang makan.
Dalam kegelapan terlihat ada rektor dan istri, si kumis Sekjen Iluni  Suasana terlihat agak ramai, terutama saat Once naik panggung. Seperti kata Once sendiri, kapan lagi nonton gratis. Tetapi tetap saja masih nggak seheboh seperti yang terbaca dalam email di milis FTUI. Buat universitas yang konon jumlah alumni lebih dari 10.000, tingkat partisipasi HCD hari ini minim banget.

Entah gejala apa ini.... pesimistis dan sinisme. Ah... mungkin ini juga sebabnya kenapa negara ini selalu tertinggal....Tingkat partisipasi kita pada suatu kegiatan umum/sosial sangat rendah, kecuali mungkin kalau ada benefit pribadi.

Rabu, 23 Juli 2008

Uang bukan segalanya

Kita seringkali salah menafsirkan uang/kekayaan dalam keseharian. Mengukur segalanya demi uang/kekayaan dengan kamuflase "kebutuhan dasar untuk hidup". Mungkin karena kita masih hidup di negara "dunia ke tiga", dimana kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan dan papan rata-rata secara nasional belum terpenuhi secara layak. 



Tengok saja catatan dari Departemen Pekerjaan Umum; masih ada lebih dari 7 juta rumah yang harus dibangun agar setiap keluarga menempati rumah yang layak. Masih banyak kelaparan/busung yang ditemui walaupun diupayakan untuk disembunyikan dengan berbagai dalih. Akses terhadap layanan kesehatan. 

Belakangan ini memang ada Askeskin yang memungkinkan rakyat "miskin" memiliki akses pelayanan kesehatan, tetapi masyarakat golongan "tanggung" yang tidak memiliki cukup dana untuk membeli polis asuransi kesehatan, bisa dibuat miskin seketika, bila ada nggota keluarganya yang sakit dan harus dirawat di RS/rumah dalam jangka waktu yang panjang. Aduh,... banyak deh yang bisa diungkapkan untuk menunjukkan betapa "uang/kekayaan" memang masih memegang peran penting buat kita semua. 

Minimal buat kita yang masih dalam tahap "memetuhi kebutuhan hidup dasar yang layak", walaupun definisi inipun sangat relatif dan nggak habis-habisnya diperdebatkan. Tapi, apa iya, "uang" menjadi dasar pertimbangan dalam setiap langkah kita?



Week end lalu, aku dapat sms dari teman. Dia berencana keluar dari kantor tempat dia selama 16 tahun "mengabdi dan mendapat kepercayaan besar" dari pemilik perusahaan.
"Gila lu ......! Bos lu bisa mati berdiri kalo elo keluar!"
"Iya..., semua orang bilang, gua gila. Tapi gua udah nggak tahan lagi....!"
"Ya udah, besok setelah rapat, kita ketemu n ngobrol ya.....”
"Besok aku nggak bisa ikut rapat..."
"Ya sudah, elo kirim email deh. CV dan segala macam. Mungkin aku bisa bantu, tapi elo gak bisa main ditempat yang sama. Mesti keluar dari cangkang!"

16 tahun bukan waktu yang singkat. Kepercayaan dari pemilik perusahaan juga bukan suatu yang mudah diraih. Pasti ada sesuatu yang nggak bener, kalau orang yang sudah bekerja selama itu tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari perusahaan.

Pagi itu, sambil mengendarai mobil menuju Kedoya, temanku itu menelpon, menceritakan sebab-sebab keputusannya itu. 
"Aku lelah menjadi perfectionist", begitu semburannya saat telpon tersambung.
“He … padahal aku kagum sama cara kerjamu lho….”
“Nggak…, yang ini serius! Aku lelah jadi perfectionist dan aku nggak mau gila karenanya…!”
“Aduh, duh… tenang dong, ada apa nih?”

“Aku akhirnya disadarkan, bahwa belakangan ini aku sudah sering melalaikan waktu shalat karena pekerjaan. Di rumah, aku jadi orang yang terlalu menuntut pada anak dan suami dan karenanya seringkali terjadi pertengkaran. Aku nyaris bekerja 24 jam dan 7 hari seminggu karena boss bisa saja meminta saya menyelesaikan urusan kantor hampir setiap saat.  Kamu ingat nggak, tahun lalu aku terpaksa cuti karena aku merasa ada yang nggak beres di badanku. Selalu sakit kepala dan muntah-muntah sementara hasil pemeriksaan lab, normal semua. Aku sudah pernah menjadi pasien psikiater”.

“Tapi… boss kan sayang banget sama kamu.”
“Nggak … aku akhirnya sadar itu dilakukan bukan karena sayang … tapi dia memeras semua kemampuanku!”
“Aduh, jangan gitu ah … Pasti ada take n give nya lah… Kalo nggak, mana mungkin kamu tahan sampai 16 tahun begitu?”
“Tapi, ucapannya saat kasus itu membuka mataku dan menyadarkanku. Aku nggak bisa bekerja lagi di situ. Lama-lama, bisa gila beneran, aku.”
“Ya… ya…., kalau memang begitu, cari pekerjaan lain aja. Sekalian cari yang sangat berbeda lingkupnya, supaya traumanya hilang”.


Uang/kekayaan dan karier memang bisa menjerat kita. Semoga kita menjadi orang yang tahu kapan harus berhenti.

Minggu, 20 Juli 2008

Kenapa ditolak? Mari introspeksi diri.

Week end yang lalu, seperti biasa saya punya waktu yang lebih luang untuk baca koran sampai kolom surat pembaca sebuah harian di Jakarta. Di situ, ada keluhan seorang bapak tentang penolakan permohonan limit kartu kredit.. Kebetulan sekali bank yang disebut adalah bank yang sama dengan penerbit kartu kredit yang saya miliki.

Saya sendiri pernah punya pengalaman meminta peningkatan limit secara urgent/seketika melalui card center saat harus membayar biaya rumah sakit adik dan itu saya lakukan sebanyak 2 kali. Kali pertama, permohonan itu gagal. Alasannya cukup bisa saya terima, karena permohonan tersebut saya minta sudah agak larut malam dan petugas tele–card center tidak berhasil menghubungi supervisor/atasannya untuk meminta persetujuannya.

Sebetulnya, dia menyarankan saya untuk menghubungi service assistant yang biasa melayani saya saat ke bank, supaya dia bisa mendapat rekomendasi persetujuan. Sayangnya saya tidak punya nomor telpon genggamnya.

Kala kedua, masih untuk keperluan yang sama, saya menghubungi service assistant bank penerbit kartu kredit, melalui telpon, meminta bantuan untuk meningkatkan limit. Dia, lalu menanyakan apakah peningkatan tersebut akan diminta untuk permanen atau temporer dan jumlah yang diinginkan. Tidak sampai satu jam, sang service assistant sudah menelpon kembali dan memberitahukan bahwa credit limit ditingkatkan untuk jangka waktu dua bulan dengan dikenakan biaya sebesar 25 ribu.

Sementara itu, dalam keluhan si bapak yang ditulis dalam kolom surat pembaca, disebutkan bahwa setelah beberapa hari dia diberitahukan bahwa permohonan peningkatan credit limit ditolak tanpa alasan yang jelas. Tentu dia marah sekali sehingga ditulislah kasus tersebut di Koran. Dia merasa telah menjadi nasabah yang baik. Selalu membayar tepat waktu sejumlah minimum payment. Dia merasa, bank sengaja menolak permohonannya agar si bapak selalu melakukan over limit. Dengan demikian, bank memperoleh keuntungan denda over limit yang jumlahnya relatif besar.

Kenapa permohonan credit limit saya diterima dengan mudah, sementara permohonan si bapak ditolak? Bank pasti punya alasan yang jelas, berdasarkan analisa kelayakan. Menurut saya, ada misperception mengenai terminology nasabah yang baik versi bank dan nasabah. Versi nasabah, dia merasa sudah menjadi nasabah yang baik dengan membayar tepat waktu minimum payment yang dipersyaratkan card center. Entah kemudian seberapa besar credit balance yang tersisa. Kalau nasabah tidak membayar lunas alias hanya membayar minimum payment sebesar 10% dari total tagihan setiap bulan yang terdiri dari jumlah pembelanjaan + bunga + denda over limit, sementara kebutuhan pengeluarannya cukup besar, tentu saja semakin lama, credit limit balance nya akan semakin kecil. Dan dia akan selalu over limit bila tidak meminta peningkatan credit limit.

Si bapak mungkin lupa, bahwa credit card dimata bank adalah pinjaman tanpa agunan. Bagi bank, kepatuhan pemilik credit card memang salah satunya dinilai dari pembayaran tepat waktu, terutama bila pembayaran tersebut dilakukan secara lunas. Bank sebetulnya tidak membutuhkan bunga dari pemegang kartu. Dia sudah cukup beruntung dari pungutan iuran tahunan dan komisi dari para merchant yang jumlahnya rata-rata sebesar 3%. Bayangkan kalau bank memiliki 100.000 nasabah dengan iuran rata-rata 200 ribu/kartu saja maka setiap tahun bank menerima masukan sebesar 20.000.000.000 alias 20 milyar. Bila rata-rata belanja nasahnya tersebut sebesar 1juta/bulan, maka komisi yang diperolehnya adalah sebesar 3% x 100.000 x 1.000.000 x 12 atau sejumlah 36 milyar setahun. Jadi dengan hanya memiliki 100.000 nasabah dengan belanja rata-rata 1juta per bulan saja, maka bank sudah akan menikmati keuntungan sebesar 56 milyar. Padahal, biaya pembuatan kartu, paling banter hanya 50 ribu. Memang, keuntungan ini belum termasuk capex dan opex serta franchise fee nya.

Nah kembali kepada si bapak yang hanya membayar minimum payment, tentu saja bank tidak mau meningkatkan kredit limit. Takut kalau suatu waktu si bapak tidak mampu melunasi, entah karena si bapak sakit atau berbagai kemungkinan buruk lainnya. Bank harus membayar biaya tagihnya, terutama bila menggunakan debt collector.

Jadi, jangan terlalu cepat berburuk sangka pada bank. Cobalah melihat permasalahannya dari sudut pandang bank. Percaya deh, andaikan sebagai pemegang credit card kita selalu melunasi dengan baik dalam arti selalu dilunasi tepat waktu agar tidak dikenakan bunga, maka over limit akan lebih mudah diperoleh. Lagipula, kita sering diingatkan… gunakan credit card secara bijak; yaitu gunakan kartu sebagai pengganti uang tunai sesuai dengan kemampuan dompet dan budget. Lunasi seluruh tagihan, maka credit card akan sangat menguntungkan baik dari segi keamanan maupun kepraktisan karena kita tidak perlu membawa-bawa setumpuk uang tunai setiap saat. Tapi kenapa ya, sekarang kita jadi gemar berhutang (minimal pakai credit card dan malah bangga dengan hal itu.

Itu menurut saya lho….. Ayo yang kerja di card center, silakan berkomentar ….!

Kamis, 17 Juli 2008

Jakarta Megacity? Nggak lah yaw!!!


Jakarta Megacity? Nggak lah yaw!!!

Selasa malam yang lalu, lewat dari jam 22, saya masih menyelesaikan jahitan blouse yang sudah tertunda sekitar satu bulan, di kamar sambil mendengarkan siaran Metrotv. Suami seperti biasa menginap di rumah ibunya. Ini kewajiban seminggu sekali yang sudah dijalaninya hampir lima tahun. Tiba-tiba ada bunyi halus menandakan sms masuk;

“ Lihat Jak-tv, nanti koreksi ya!”, begitu yang tertera dalam layer telpon genggam. Terpaksa channel dipindahkan mencari Jak-tv yang sangat jarang ditonton, karena penerimaan gambarnya buram.

Jak–tv  sedang menayangkan talkshow yang dipandu oleh Dedi–Miing–Gumilar, dengan nara sumbernya ada 3 orang, 2 lelaki yang saya lupa nama dan profesinya. Sedang satunya lagi, perempuan cantik yang kelihatannya sedang naik daun di jajaran pejabat teras DKI Jakarta. Dia, Sylviana Murni yang walikota Jakarta Pusat.

Mereka memperbincangkan mengenai problematika yang dihadapi Jakarta serta kemungkinan menjadikan Jakarta sebagai Megacity; yang mencakup wilayah Jabodetabek. Dengan demikian diharapkan problematika Jakarta dapat dilihat diperlakukan sebagai problem nasional yang perlu mendapat dukungan pemerintah pusat. Inilah yang saya pahami dari “pendengaran” sambil lalu. Maklum saya menyimak talkshow sambil menjahit. Namun demikian, saya sempatkan juga membalas sms tadi.

“Wah, saya bukan pendukung Jakarta Megacity. Fungsi dan beban Jakarta malah mestinya dikurangi. Ambil contoh New York dan Washington DC, Sydney dengan Canberra. Jakarta dan pulau Jawa sudah terlalu padat dan pembangunan di Indonesia ini tidak merata. Bila Jakarta menjadi Megacity, maka pemerataan pembangunan dan jumlah penduduk tidak akan tercapai/merata”.
“Di lain pihak saya setuju dengan pemikiran itu. Ada delegation of authority atau amalgamasi….”
“Tapi statement nya tidak begitu lho! Atau, itu jawaban normatif sebagai pejabat pemerintah…?”
“Hehehe…..”

Komunikasi sms, berakhir. Malam memang sudah larut, sudah nggak ada yang mau ditulis. Lagipula, sudah lewat tengah malam.
*****

Jakarta
Megacity? Saya nggak tahu apa konsepnya, tapi, menurut saya, ini kemauan politik dan ambisi penguasa DKI sebagai masyarakat biasa, kita nggak ngerti apa latar belakang dari pemikiran untuk menjadikan Jakarta sebagai Megacity.

Buat saya sih, simple aja…. (penguasa) Jakarta kebanyakan maunya. Segala macam fungsi mau diambil. Misalnya saja sebagai pelabuhan laut/udara utama di Indonesia, ibukota Negara, pusat pemerintahan negara, kota penyedia jasa, tujuan wisata belanja dan lain–lain …. Nggak tahu pusat-pusat apa lagi deh, kebanyakan maunya! Akibat banyaknya fungsi tersebut, maka lebih 60% peredaran uang (ada yang tahu persisnya berapa?) di Indonesia ada di Jakarta. Dampaknya, Jakarta seperti berlian berkilau di tengah lautan kemiskinan.

Jadi semua orang berlomba-lomba mendekati, mencoba meraih, siapa tahu dapat bongkahannya. Walaupun kecil, dengan penuh perjuangan, tapi ada kebanggaan bagi yang bisa meraihnya. Itu sebabnya di kalangan orang terpelajar di Indonesia, kesuksesan karier, menjadi kurang berarti  bila tidak diperolehnya darii belantara Jakarta. Itu sebabnya, Jakarta menjadi tujuan, mencari nafkah, memburu karier dan kesuksesan.

Jakarta kemudian “gelagapan diserang” pendatang dari segala penjuru negeri. Para pendatang bermodal cekak atau modal dengkul mulai mencari lahan-lahan tempat tinggal. Mula-mula tanah kosong kebun yang tidak terurus yang diserobot oleh para squatters, emper toko dan troitoir dengan dalih berdagang, lalu bantaran kali …. Bantaran rel kereta api, taman-taman umum…. terakhir kolong jembatan.

Sementara kaum bermodal membeli tanah membangun perumahan. Mula-mula membangun rumah bernuansa alami. Memiliki halaman yang luas. Makin lama makin banyak. Yang membangun rumah. Akhirnya harga tanah semakin mahal sehingga halaman rumah menjadi semakin kecil. Tidak ada lagi halaman atau taman luas tempat bermain anak. Semua tanah terbangun berdesak-desakan. Sumpek, panas dan tidak ada resapan air hujan. Habislah sudah tanah Jakarta. Jalan keluarnya, menggunakan penyejuk udara dan rumah menjadi bertumpuk-tumpuk meninggi seperti rumah burung. "Sok" modern sementara secara sosio budaya masyarakat belum terlalu siap untuk hidup di rumah susun 

Namun demikian, pembangunan tidak berhenti … Harga tanah di Jakarta yang semakin mahal tidak menyurutkan kaum terpelajar untuk berduyun-duyun meraih asa dan karier ke Jakarta. Akhirnya pembangunan rumah menjalar ke luar Jakarta, mula-mula di kecamatan yang berbatasan dengan Jakarta seperti di antaranya Ciputat, Cireundeu, Ciledug dan Pondok Gede. Sekarang, tengoklah, kita tidak bisa lagi melihat batas wilayah Jakarta dengan kabupaten-kabupaten tetangganya kecuali melalui sepotong tugu. Secara factual, Jakarta sudah menjadi Megacity walaupun secara administratif, masih ambigu. Ada bagian administratif yang sudah menyatu, seperti wilayah pengamanan polisi, administrasi kendaraan dan immigrasi.

Padahal, masalah Jakarta tidak akan berhenti. Jumlah penduduk yang tinggi, terutama di siang hari menimbulkan berbagai masalah baru. Mulai dari kemacetan karena pertambahan jumlah kendaraan tidak terkejar oleh pertambahan jalan. Hutan beton menyebabkan jumlah air hujan tak terserap tanah dan mengakibatkan banjir, karena rawa penampung air telah hilang dan kanal tak mencukupi. Kalaupun ada, maka sungai, kanal dan kali sudah dangkal berlumpur  serta keruh beracun. Sementara masalah-masalah yang ada belum tertangani, jumlah penduduk yang datang tidak juga berkurang.

Seandainya sebagian fungsi Jakarta, misalnya saja ibukota Negara dipindahkan ke salah satu kota di luar Jawa. Katakanlah, ekstrimnya ke salah satu kota di Irian/Papua. Mau tidak mau bagian wilayah yang terpilih akan menjadi sorotan mata masyarakat Indonesia. Pemerintah pusat “terpaksa” membangun infrastruktur di Irian/Papua untuk mendukung aktifitasnya.

Di sana akan dibangun industri, pembangkit listrik dan lain-lain. Alam Irian yang kaya sumber mineral/pertambangan dan migas sangat mendukung. Hasil pertambangannya, bila dikelola dengan baik dan tidak dikorupsi sangat mampu membangun semua kebutuhan tersebut tanpa membebani APBN.

Masalahnya, adakah pejabat yang mau pindah dari comfort zone nya di Jakarta untuk berjibaku membangun daerah timur yang “tertinggal” yang walaupun sudah ada menteri Negara khusus sejak beberapa periode pemerintahan tetapi tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.

Di lain pihak, DKI Jakarta pun belum tentu “rela” kehilangan fungsinya yang paling prestigious tersebut dan pasti akan mati-matian mempertahankannya walaupun untuk itu pemerintah daerah terseok-seok dibuatnya. Padahal …. andaikan ada yang berani ambil langkah ekstrim memindahkan ibukota Negara ke Timika misalnya, percaya deh…. wilayah timur Indonesia akan langsung bersinar dan tidak perlu lagi ada menteri Negara pembangunan kawasan timur Indonesia.

Ya…. Namanya juga ngomong dan nulis…., enak kan? Nggak ada resiko, paling dikomentarin atau dimusuhin orang…. Hehehe, maaf ya….  

Selasa, 15 Juli 2008

Kebijakan Ngawur akibat Defisit Listrik


Kemarin dan tadi pagi saya dengar di radio/tv bahwa pemerintah berencana menerbitkan SKB 5 Menteri yang isinya menganjurkan/mewajibkan (?) industri untuk memberlakukan tambahan 2 hari kerja (sabtu+minggu) setiap bulannya. Alasannya adalah untuk memeratakan beban puncak listrik sehingga dapat mengurangi defisit penggunaan listrik.


Entah bagaimana cara para pembuat kebijakan itu berhitung mengenai defisit listrik dan cara penanggulangannya hingga membuahkan kesimpulan dan keputusan tersebut. Mungkin mereka hanya berhitung jumlah pemakaian listrik oleh industri setiap hari dan setiap bulan. Padahal beban puncak tidak akan berkurang selama jam kerjanya tetap. Misalnya saja; kalau semua pabrik bekerja (tanpa lembur) selama 8 jam/hari katakanlah dari jam 8 s/d jam 17 ditambah dengan istirahat 1 jam per hari. Maka kalau satu hari dikurangi 2 jam, buruh akan bekerja dari jam 09.00 s/d 16.00, maka beban puncak listrik selama 7 jam dari jam 09.00 s/d 16.00 tidak akan pernah berkurang. Mungkin jumlah pemakaiannya berkurang karena ada pengurangan pemakaian listrik selama 2 jam per hari, yaitu 1 jam pagi dan 1 jam sore, tetapi tidak signifikan. Sementara pemakaian listrik selama jam kerja yaitu mulai jam 09.00 s/d 16.00, tetap tidak berubah. Jadi pada jam tersebut PLN tetap saja harus menyediakan pasokan listrik dengan jumlah yang sama. Begitu juga bila kita menggeser-geser jam kerja. Jumlah pemakaian per hari bisa berkurang tetapi pasokan listrik pada beban puncak pemakaian listrik tetap sama tingginya baik sebelum terbitnya SKB maupun sesudahnya.

Para pengusaha tentu juga akan sangat berkeberatan bila buruh harus bekerja pada hari minggu. Minggu adalah hari libur dan mewajibkan buruh masuk berarti membayarnya 2x lipat, sementara hasil kerjanya tidak 2x lipat. Jadi dari sudut pandang industri kebijakan yang tertuang dalam SKB 5 Mentri merupakan ineffisiensi yang luar biasa.

Para buruhpun belum tentu suka dengan kebijakan tersebut. Mereka butuh libur untuk beristirahat, bercengkerama dengan keluarga atau bahkan pulang kampung menemui keluarga yang ditinggal merantau ke kota besar. Tidak semua orang bekerja demi tujuan materi semata, ada waktu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan non materi.

Pemerintah mungkin bingung memecahkan masalah defisit pasokan listrik, yang sebenarnya sudah alarming sejak beberapa tahun yang lalu. Apalagi, penyediaan Infrastruktur, termasuk listrik adalah salah satu kewajiban pemerintah kepada rakyat, untuk memenuhinya. Dan mereka sudah lalai untuk melaksanakannya. Mungkin kesibukan menghitung bonus, kongkalikong proyek membuat para pejabat terkait lupa akan gunung es defisit pasokan listrik. Wallahu'alam 

Minggu, 13 Juli 2008

Gosip dibalik permintaan keringanan biaya masuk UI; Korban poligami

Apa hubungan antara poligami dan masuk UI?
Ternyata ada...  dan memang sangat mungkin. Lalu kalau poligami dihubungkan dengan permohonan keringanan biaya masuk UI? SO pastilah..... Semua orang juga tahu, hubungannya akan terang benderang. Nah, kasus ni mungkin bisa jadi peringatan bagi para pelaku poligami.

Awal bulan Juli 2008, adalah bulan sibuk orangtua dan mahasiswa yang ikut jadi panitia seleksi permohonan  keringanan uang masuk/kuliah di UI. Entah apa nama programnya. Tapi begitulah, yang menseleksi siapa-siapa yang patut mendapat keringanan. Supaya mereka tahu, bahwa tidak mudah memberi keringanan secara tepat sasaran dan berkeadilan. Harus ada mekanisme yang betul, karena bukan tidak mungkin di antara pemohon, terselip satu dua orang yang sebetulnya mampu, tapi coba-coba. Mumpung ada kesempatan. Kan orang Indonesia terkenal sangat pandai memanfaatkan kesempatan.

Konon, mahasiswa di salah satu fakultas di UI, kebingungan untuk memutuskan apakah calon mahasiswa baru itu pantas mendapat keringanan atau tidak. Masalah yang dihadapinya memang agak lucu banget. Ceritanya begini;

Calon mahasiswa meminta keringanan pembayaran. Sayang, saya nggak nanya detail, keringanan macam apa yang dimintanya. Ini soal biasa. Keterangan gaji si bapak, ternyata mencantumkan nilai 13 juta sebagai monthly take home pay. Si mahasiswa penyeleksi mulai bingung. Soalnya, gak nyambung banget. Mestinya orang yang gajinya 13 juta per bulan, nggak pantas diberi keringanan.

Bayangkan saja, UMR di DKI Jakarta, kalau nggak salah hanya sebesar 950 ribu. Gaji PNS nya professor di UI, nggak sampe 5 juta. Rata-rata gaji manajer di perusahaan besar di Jakarta, antara 10 - 20 juta, walau ada yang di atas itu, biasanya di Oil Co, tapi banyak juga yang bergaji di bawah 10 juta. Nah menilik range gaji seperti itu, mestinya bapak si calon mahasiswa ini termasuk berpangkat manajer ke atas di Jakarta dan kalau berdasarkan salary survey, dia termasuk golongan menengah atas. Dia pasti mampu hidup berkecukupan di Jakarta dan bahkan masih bisa menabung setiap bulan untuk biaya pendidikan anak-anaknya, bila berhemat. Jadi nggak pantas memperoleh keringanan.

Yang jadi masalah; si bapak berkilah bahwa dia tidak mampu membayar uang masuk dan kuliah anaknya di UI, karena dia harus membiayai 2 rumah tangga. Aku yang lagi telmi (maklum hari minggu ...) bertanya... "Memang mereka menanggung biaya orangtua/mertuanya ya?" Ini kan hal biasa di Indonesia, anak yang sudah menikah seringkali diminta ikut membiayai kebutuhan rumahtangga orangtua. Tapi, jawabannya ternyata bukan seperti yang kubayangkan.

Bapak si calon mahasiswa itu ternyata memiliki dua istri Dua keluarga yang harus dibiayai dengan entah berapa orang anak dari ke dua istrinya itu.. Jadi, mungkin dia berhitung bahwa gajinya bisa dihitung hanya 6,5juta karena dibagi untuk masing-masing keluarganya. Jumlah yang memang hanya pas-pasan untuk hidup secara layak di Jakarta.  

Oalah... pak ,,,,, pak .....!!! Ini salah satu konsekuensi poligami. Jadi kalo enaknya berpoligami dinikmati sendiri, mbok ya kalo sudah susah ya telan sendiri. Jangan nyabot hak calon mahasiswa yang betul-betul nggak mampu!

YA... tapi, namanya juga usaha,.... Begitu mungkin yang ada di kepala si bapak 

Jumat, 11 Juli 2008

Penerimaan Mahasiswa Baru --> Mendzalimi orang tak mampu?

Seperti yang sudah direncanakan sejak semula, hari ini, teman kantorku minta ijin cuti untuk mengajukan “banding” atas permohonan keringanan uang kuliah dan uang masuk anak sulungnya di UI.

Temanku ini single parent yang memiliki 2 orang anak. Yang sulung diterima di UI sedangkan anak bungsunya diterima di SMP negri. Suaminya sudah meninggal dunia sekitar 7 tahun yang lalu dan sekarang mereka bertiga tinggal, menumpang di rumah neneknya.

Sore tadi, sambil mengendarai mobil saat pulang kantor, saya sempat berkomunikasi melalui sms untuk menyampaikan beberapa urusan kantor yang dititipkannya kemarin.
“Kamu dimana? Sudah beres urusan bandingnya?
“Belum mbak! Bete banget … nggak ada kepastian jam berapa dipanggil. Bayangin aja, kami cuma diberitahu bahwa banding dilakukan pada hari Jum’at jam 08.00. nggak ada penjelasan lain. JAdi bayangin deh…. Dari jam 08.00 aku stand by di Depok.
“Gila ……? Yang bener aja?”
“Iya…. Aku lagi antri nih….! Nah itu … baru dipanggil buat wawancara.”
Jarum jam sudah menunjukkan angka 8. Yang ini angka 8 saat matahari sudah tenggelam. Jadi temanku sudah “nangkring” di Depok selama 12 jam!

Sebelum aku cuti akhir bulan yang lalu, aku sudah bilang agar dia tidak sungkan “memperjuangkan” permohonan keringanan uang masuk dan uang kuliah, kalau memang membutuhkan.
Ada harga yang harus dibayar untuk itu! Kalau kamu memang kurang mampu membayar, perjuangkan dengan segala cara. Mulai dari permohonan keringanan hingga pembebasan atau yang teringan mengangsur pembayaran.”
“Tapi … nanti kalau aku terlalu rewel, bisa-bisa anakku nggak diterima kuliah dong.”
“Nggaklah…. Anakmu sudah diterima, tidak ada alasan untuk menolak mahasiswa yang tidak mampu, kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri. UI punya dana untuk mengatasi biaya kuliah mahasiswa yang orangtuanya kurang mampu.”
“Bener nih?”
“Aku pernah baca itu. Tapi UI tentu nggak mau kebobolan dan kebijakannya menjadi tidak tepat sasaran. Jadi pasti ada mekanisme yang bisa merontokkan niat orangtua yang hanya pura-pura tidak mampu membayar. Jadi hanya orang yang benar-benar membutuhkan yang akan sabar menjalani proses tersebut. Nah kalau kamu memang butuh, jalani saja”

Kemarin, saat bertemu di kantor, dia sudah bicara panjang lebar tentang apa yang sudah dijalaninya. Betapa segala persyaratan yang diminta oleh fakultas, betul-betul seperti mengumbar “aib” diri sendiri.
“Bayangin, mbak! Surat keterangan gaji dari kantor wajib dilegalisir oleh RT – RW dan lurah. Belum lagi keterangan ini itu yang betul-betul bikin aku malu, rasanya”.
“Yah, nasib, lah! Mau diapain lagi? Makanya dari awal, aku sudah bilang, cuma orang yang betul butuh yang akan menjalani proses ini. Pokoknya berjuang sampai putus urat malu”
*****

Begitulah perjuangan temanku dan banyak orangtua lain yang sedang menggapai asa melalui anak-anaknya yang diterima di Universitas penyandang nama negara yang gemah ripah loh jinawi tapi sekarang sedang sekarat lahir batin.

Bahwa mekanismenya panjang, aku sudah membayangkan dan dapat memaklumi. Tetapi kalau setelah direpotkan dengan berbagai surat-surat dan pernyataan lalu orangtua “disiksa” untuk menunggu dan menunggu tanpa ada kejelasan waktu, maka aku nggak habis pikir, apa yang ada di belakang kepala pembuat kebijakan dan para pelaksananya.

Bukankah ada banyak ahli manajemen di UI yang mengajarkan kepada mahasiswa tentang effisiensi waktu dan customer satisfaction. Mereka tentunya tahu cara bekerja yang effisien demi kepuasan orangtua dan calon mahasiswa. Ini kalau dikaitkan dengan customer satisfaction.

Tapi mungkin aku lupa, bahwa calon mahasiswa dan orangtuanya, bisa jadi tidak digolongkan sebagai customer yang perlu diberikan layanan yang memuaskan. Tetapi mereka adalah pihak yang membutuhkan jasa. Menjadi pihak yang lemah! Jadi yang butuh harus mengalah dan mematuhi aturan main pihak yang lebih kuat. Yang terlihat hanya semangat : kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?

Ini, kan sebuah pemborosan, kerugian bagi perusahaan tempat para orangtua bekerja. Bayangkan ada berapa banyak orangtua yang terpaksa mengambil cuti, dan berapa banyak pekerjaan kantor terbengkelai. Mungkin …. Manajemen UI dan para pelaksananya berkilah…. "Emang gue pikirin…..!!! Yang butuh siapa?"

Tapi, cobalah sedikit berempati…. Andaikan orangtua calon mahasiswa itu seorang buruh harian. Seorang tukang ojek, supir bus/angkutan kota atau pedagang sayur yang kesemuanya mengandalkan pemasukan harian bagi kelangsungan rumah tangganya. Maka karena rasa cintanya pada si anak… Karena setumpuk asa akan masa depan yang lebih cerah, yang digantungkan pada si anak yang telah diterima di UI, maka dia kehilangan sumber penghasilannya hari ini dan hari-hari sebelumnya demi mengurus segala macam persyaratan.

Demi anaknya yang telah diterima di UI, yang sedang diperjuangkannya untuk memperoleh keringanan biaya, maka anaknya yang lain terpaksa kelaparan di rumah. Karena bapaknya harus bolos bekerja dan ibunya tidak diperbolehkan berhutang lagi di warung, karena hutang-hutangnya yang kemarin belum terlunasi.

Padahal… andaikan saja ada empati bagi mereka yang kurang beruntung itu, maka aku yakin manajemen UI pasti sudah tahu dan mampu melakukannya. Tidak sulit! Saat pengembalian formulir permohonan keringanan, fakultas yang bersangkutan langsung menetapkan jadwal pertemuan evaluasi/wawancara. Katakanlah satu orang mahasiswa perlu dilayani selama 15-30 menit, alokasikan saja waktunya dan fakultas tinggal “menugaskan” sejumlah dosen dan panitia PMB. Katakanlah ada sepuluh orang hingga secara simultan ada 10 orang calon mahasiswa yang terlayani. Jadi orangtua dan mahasiswa tinggal datang pada jam yang telah ditetapkan. Tidak harus menunggu dari pagi tanpa kejelasan waktu.

Tapi, mungkin empati itu sudah hilang …. Atau segala teori manajemen itu memang hanya tinggal teori yang para pengajarnya sendiri tidak mampu menerapkan dan melaksanakannya pada diri sendiri.

Aku hanya teringat pada suatu tulisan, yang aku sendiri lupa isi persisnya. Tapi intinya begini:
Bila anak kita dididik dengan penuh empati, maka dia akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Maka analoginya; bila anak-anak kita (baca: calon mahasiswa kurang mampu) diperlakukan dengan semena-mena saat penerimaan mahasiswa maka jangan kaget bila saat mereka terjun ke masyarakat kelak, maka mereka akan menjadi pejabat yang semena–mena dan suka mempersulit rakyatnya.

Jadi….. kalau ternyata Indonesia sekarang menjadi carut marut. Lembaga Eksekutif Legislatif dan Yudikatif sudah menjadi sarang korupsi. Tidak ada lagi empati kepada sesama, maka mungkin kita patut memutar kembali ingatan kita… contoh apa yang sudah kita terima dari lembaga pengajaran kita, baik yang formal maupun informal.

Yah…. Beginilah nasib …. Semoga, tidak ada menambah kesusahan dengan pertanyaan : Siapa suruh jadi orang miskin????

Lika-liku masuk UI

Teman sekantorku yang posisinya sebagai sekretaris, selama satu bulan terakhir ini, merasa enggak enak sama boss. Dia terpaksa beberapa kali mengambil cuti karena harus mengurus sekolah dua anak gadisnya. Yang besar diterima di Fakultas Ilmu Budaya alias FIB–UI.sedangkan yang kecil baru lulus SD dan harus mendaftar ke SMP.

Beruntung dia diterima di SMP Negeri, jadi tidak terlalu “menguras biaya”, walaupun tetap saja nggak ada yang gratis. Ada urusan uang seragam, uang kegiatan sekolah yang harus dibayar. Akan hal, anaknya yang mau masuk ke FIB–UI, harus didampingi dan dipersyaratkan kehadiran orang tua. Ini dikarenakan temanku ingin mendapat keringanan biaya masuk maupun uang kuliah.

Masyarakat hanya dapat informasi bahwa biaya masuk UI adalah 25 juta dan uang kuliah sebesar 5 – 10 juta per semester. Suamiku bilang bahwa ada kebijakan UI/fakultas untuk memberikan keringanan dalam program yang mereka namakan bea siswa. Keringanan ini bermacam, dari jenis teringan berupa pembayaran yang diangsur sampai dengan 6 bulan alias 6 kali, pengurangan jumlah kewajiban hingga yang terbesar penghapusan biaya masuk universitas.

Konon kabarnya patokan uang masuk UI adalah dari 100 ribu hingga 25 juta untuk program regular. Tapi jangan bicara biaya masuk untuk program Internasional atau KSDI alias Kerjasama Daerah dan Industri. Yang dua ini program khusus yang uang masuk dan uang kuliahnya tidak bisa tawar menawar. Yang Internasional memakai acuan USD sedangkan KSDI, kalau tidak salah harus dibayar sekaligus dimuka. 

Namanya saja PEMBERIAN KERINGANAN…. Untuk dan atas nama keadilan dan supaya tepat sasaran, UI tentu tidak mau kebobolan memberikan keringanan pada mahasiswa yang kurang tepat. Maka dipasanglah berbagai rambu-rambu, sehingga hanya orang-orang yang betul-betul tidak mampulah yang akan terus berjuang untuk terus menerus memenuhi persyaratan yang diminta.

Orang boleh bilang bahwa persyaratan yang diminta, terlalu mengada-ada. Tapi setelah ngobrol-ngobrol informal saat di Ujung Genteng dengan pak Herr Suryantono PhD yang ketua panitia penerimaan mahasiswa program KSDI dan juga suami, aku bisa memahaminya.

Aku juga ingat cerita iparku. Di sekolah katolik favorit seperti Tarakanika, pada saat pendaftaran siswa baru, banyak ibu-ibu yang berpenampilan sangat sederhana bahkan hingga bersandal jepit mendaftarkan anaknya dan berharap agar uang masuk dan uang sekolahnya tidak terlalu tinggi. Padahal setelah si anak sekolah, maka keluarlah kondisi aslinya. Si anak di antar/jemput dengan mobil mewah. Nah sejak itu pula mereka menerapkan kiat lain untuk menjerat “para penipu” biaya pendidikan sekolah swasta itu.

Nah… darimana UI menilai orangtua si calon mahasiswa betul-betul tidak mampu. Yang pertama, formulir isian standar dengan berbagai macam lampiran. Nah lampiran ini yang bisa membuka kondisi riel orangtua si anak. Orangtua yang mampu akan merasa jengah memenuhi segala macam persyaratan yang diminta.

Lampirannya konon berupa foto rumah dari luar dan dalam yang dilengkapi dengan konfirmasi berupa tandatangan 3 tetangga terdekat. Si  tetangga juga “dipaksa” menuliskan data pribadi untuk konfirmasi. Lalu rekening listrik dan telpon, Kartu keluarga, Keterangan gaji dan keterangan domisili yang disahkan dari RT – RW – Lurah hingga camat. Pada akhirnya ada pernyataan yang ditandatangani anak dan orangtua bahwa "apabila keterangan yang diberikan ternyata palsu dan tidak benar, maka mahasiswa yang bersangkutan akan dikeluarkan dari Universitas"

Njlimet …..? Merendahkan martabat orang tua…? Tentu saja…. Apa boleh buat, ini harga yang harus dibayar supaya subsidi tidak salah sasaran. Orang yang mampu dan atau setengah mampu tidak akan sudi bersusah payah melakukan prosedur tersebut dan memenuhi semua persayaratan. Orang yang setengah mampu, jatuh-jatuhnya akan tetap membayar sesuai dengan biaya dasar yang 25 juta, tetapi dengan cara mengangsur selama 6 bulan. Tetapi mereka yang  betul-betul tidak mampu akan berjuang sampai titik darah penghabisan, sampai putus urat malu agar anaknya bisa masuk UI dengan hanya membayar 100 ribu rupiah saja atau bahkan gratis.

Cukup adil bukan?

Kamis, 10 Juli 2008

Nggak naik kelas? Pindah aja...!!!!

Usai mengambil raport akhir tahun anakku, sambil mengantar anak ke rumah (karena saya harus segera kembali ke kantor), anakku cerita; temannya Hilda akan pindah sekolah sehingga murid di kelasnya hanya tinggal 14 orang saja.

"Kenapa pindah? Tanggung banget... sudah kelas 6, sebentar lagi ujian akhir."
"Nggak tau, deh, kata Filza, dia nggak naik kelas. Jadi orangtuanya minta ke sekolah supaya Hilda tetap naik kelas, dengan kesepakatan dia harus pindah sekolah.”
“Memang seberapa begonia sih temanmu itu, sampe nggak naik kelas?”
“Aduh ma… ribet sih…. Dia tu suka cari perhatian …. Waktu kami ujian semester, dia nggak masuk, jadi nggak ikut ujian. Terus waktu ada jadwal ujian ulangan, dia juga nggak ikut. Nah, gimana mau naik kelas? Ulangan harian, dia juga sering nggak ngerjain soal….”
“Mungkin dia sakit beneran….”
“Ih … nggak lagi. Bu Anggi kan buka tempat les piano dekat rumah Hilda. Nah bu Anggi pernah ketemu Hilda lagi main. Padahal itu lagi jadwal ujian yang dia nggak masuk-masuk itu lho…!”

Aku terhenyak mendengar cerita itu. Pasti ada yang nggak beres, entah sekolah dan guru-gurunya yang nggak beres, atau malah ada problem di keluarganya sehingga si anak menjadi korban. Apalagi, ada statement anakku yang menyatakan bahwa temanku itu suka mencari perhatian dari orang lain.
*****

Pindah sekolah karena tidak naik kelas menjadi budaya pendidikan di Indonesia. Entah sejak kapan, siapa pencetus gagasan tersebut dan siapa memulainya tetapi sekarang hal itu menjadi solusi bagi anak-anak yang tinggal kelas untuk menutupi “aib”nya. Padahal, bukankah kegagalan (tidak naik kelas atau tidak lulus) merupakan suatu hal yang biasa dan bagian dari pengalaman hidup. Apa guna kita membohongi diri … pura-pura pintar dan naik kelas, tapi pindah sekolah? Dunia pendidikan begitu banyak berubah …. Kita sudah kehilangan roh pendidikan.

Dulu, saat masuk kelas 7 (kelas 1 SMP) di SMPN1 Karawang, di kelas saya, kelas 1A ada 3 orang anak yang tinggal kelas. Ketiganya lelaki. Satu orang, aduh…. Minta ampun bandelnya, tapi dua lainnya baik-baik saja. Kalau dibilang mereka bodoh, rasanya nggaklah. Mungkin mereka nakal, sehingga kurang memperhatikan pelajaran, sebab saat mengulang, mereka termasuk dalam golongan rata-rata.

Saat saya masuk kelas 1 SMAK Xaverius di Jambi, juga ada yang mengulang. Temanku itu namanya Jafri …. Minta ampun juga bandelnya,. Senang mengganggu orang, dan aku termasuk salah satu orang yang suka diganggunya (saat masih di kelas 3 SMPK XAverius jambi). Tapi setelah sekelas di SMA dan bergaul, ternyata kami menjadi teman karib yang sering meluangkan waktu akhir pekan bersama, jalan-jalan ke Kenali Asam.

Begitu juga saat akhirnya aku pindak ke Jakarta dan masuk ke SMAK Fons Vitae 1 di jalan Matraman Raya 129 – Jakarta Timur… (Gile, masih inget juga alamatnya). Di sekolah khusus perempuan ini (saat itu, sekarang sudah gabung lelaki dan perempuan), ada 2 orang siswa yang harus mengulang karena tidak lulus ujian.

Memang, itu cerita kuno, yang terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu namun berlangsung selama 6 tahun. Saat itu, siswa tidak naik kelas atau tidak lulus, merupakan hal yang biasa terjadi dan tidak menjadi sebuah pemandangan yang aneh bila dalam suatu kelas ada murid mengulang. Salah satu adikkupun ada yang pernah mengulang kelas. Tidak ada upaya atau intervensi orangtua yang “memaksa” anaknya harus naik kelas walaupun dengan konsekuensi pindah sekolah.

Memang, jaman sudah berubah. Tidak naik kelas, tidak lulus sepertinya menjadi aib besar yang harus ditutupi. Siswa menjadi beringas dan “menyerang” guru atau sekolah kalau tidak naik kelas. Mereka lupa bahwa ulangan dan ujian hanya sebuah alat untuk mengukur kemampuan kita menyerap pelajaran sekolah. Naik kelas hanya sebuah petanda bahwa siswa dianggap “mampu” melewati batas minimal. Siswa lupa, bahwa ulangan, ujian dan sekolah hanya salah satu kegiatan selama manusia hidup. Masih ada banyak kegiatan yang sebetulnya akan banyak mempengaruhi “keberhasilan” anak didik mengarungi hidup saat dewasa nanti. Bukan tidak mungkin kegagalan sekolah (tidak naik kelas dan tidak lulus) menjadi suatu pengalaman bagi manusia bagaimana “mengelola” emosi saat mengalami kegagalan untuk kemudian bangkit kembali.

Tapi, seperti biasa, bicara lebih mudah daripada melakukannya. Tetapi bukankah kita sebagai orangtua “wajib” ingat bahwa sekolah hanya salah satu wahana bagi anak-anak kita untuk belajar dan mendapatkan pengalaman sebagai bekal hidup. Dan pengalaman itu tidak harus pengalaman yang manis, tetapi juga pengalaman pahit. Bukankan hidup juga tidak selamanya manis???



BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...