Selasa, 31 Oktober 2006

Ada yang mencuri start untuk Pilkada lho….!!!

Pernah perhatikan spanduk-spanduk yang bertebaran di hampir seluruh jalan-jalan di Jakarta, bahkan hingga pelosok kampung? Spanduk yang biasanya berisi pesan sponsor (iklan) atau iklan layanan masyarakat itu, selama masa puasa dan minggu pertama lebaran, sebagian besar didominasi oleh BNP (Badan Narkotika Provinsi) dan PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) DKI Jakarta. Yang dari BNP, tentu saja mengingatkan masyarakat akan bahaya narkotika. Sedangkan yang dari PWNU, mengucapkan selamat berpuasa – selamat Idul Fitri, Selamat Mudik seraya menjamin keamanan harta benda yang ditinggalkan di Jakarta selama mudik.

So ….. apa yang aneh…? Nggak ada yang aneh sebetulnya kalau saja tidak terpampang wajah DR. H Fauzi Bowo, sang ketua kedua institusi tersebut yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta Raya. Juga menjadi aneh bila kita menilik isi “pesan sponsor” tersebut; yaitu ucapan “Selamat mudik ….. dst” atau ”Selamat Idul Fitri ...dst”.

Menurut saya, akan lebih pantas bila ucapan ”selamat mudik dan jaminan keamanan atas harta benda yang ditinggal selama mudik” itu disampaikan oleh Sutiyoso sebagai penanggung jawab – gubernur kepala daerah. Bukan oleh Fauzi Bowo yang wakil gubernur. Ini bisa diinterpretasikan bahwa gubernur DKI Jakarta tidak bertanggung jawab atau tidak mau tahu dan tidak perduli atas kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Atau sudah ada pembagian tugas dengan sang wakil. Tetapi, selama hal itu dilaksanakan atan nama institusi resmi, maka selayaknya gubernur sebagai pucuk pimpinan daerahlah yang tampil, bukan aparat-aparat di bawahnya.

Atau kalau pesan tersebut adalah pesan dari Badan Narkotika Provinsi, tentu wajah sang ketua tidak akan mendominasi hampir 70% dari luas papan. Bahkan pesan itupun akan tetap ”berbunyi” walau wajah sang ketua tidak terpampang di dalamnya. Ada apa gerangan di kantor Gubernur DKI Jakarta? Persaingan pengaruh atau sang wakil gubernur kebablasan?

DR. Ing. H. Fauzi Bowo kerap disebut-sebut sebagai salah satu calon gubernur DKI Jakarta dan dianggap sebagai satu-satunya calon ”putra daerah” yang paling representatif. Putra daerahkah dia? Menilik dari namanya..... rasanya jauh sekali dari nama-nama etnis Betawi. Malah lebih ”njawani” ketimbang betawi. Tapi bolehlah dianggap kalau nama Fauzi mewakili darah Betawi sang ibu dan Bowo mewakili darah Jawa ayahnya. Jadi ... nggak Betawi asli dong ......!!! Apalagi istrinyapun, walaupun termasuk penggerak organisasi wanita Betawi, tetapi dia adalah anak dari Sudjono Humardani, yang jelas-jelas berasal dari Jawa tengah. Mantan assisten pribadi Suharto pada era awal tahun 70 an dan juga salah seorang tokoh kejawen yang kerap dikatakan sebagai salah seorang ”guru dan penasihat” spiritual presiden RI ke 2 itu.

Tapi .... kenapa kita masih menyebut-nyebut keharusan ”putra daerah” untuk menduduki jabatan gubernur DKI Jakarta, apabila pada kenyataannya memang tidak ada putra daerah ”murni” yang layak untuk menduduki jabatan tersebut? Di Jakarta lagi ... kota dimana seluruh etnis dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul. Coba tilik dari kartu tanda penduduk DKI, teliti satu persatu nama penduduk dan nama orang tuanya. Atau kalau mungkin, ambil data yang lebih jauh mengenai asal etnisnya. Bisa ditanggung bahwa mayoritas penduduk Jakarta yang notabene calon pemilih pada pemilihan kepala daerah, bukanlah asli etnis Betawi. Jadi ... apa relevansi penekanan prasyarat calon gubernur DKI Jakarta harus ”putra daerah” bila pada kenyataannya etnis Betawi di kampungnya sendiri hanyalah penduduk minoritas?

Nah kembali kepada Fauzi Bowo, saya mengenal sosoknya, lebih dari 30 tahun yang lalu. Di kampus UI salemba 4. Saat itu, mungkin dia baru kembali dari Jerman dan membantu DR Ing Bianpoen untuk mata kuliah Perkotaan di tingkat 4 Jurusan Arsitektur. Muda ... wajah ganteng dan pintar .... (iyalah ... bila dibandingkan dengan sekarang, hehehe...!!). Mungkin juga masih bujangan. Jadi jangan heran kalau para mahasiswi jadi rajin mengikuti kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas perkotaan. Bahkan saat harus asistensi ke kantor pak Bianpoen di lantai 23 Gedung DKI Blok G di Medan Merdeka Selatan, tak ada yang mengeluh (pak Bianpoen saat itu juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan – namun entah apa jabatan yang disandang Fauzi Bowo di DKI). Tapi empat tahun kemudian, saat saya mengikuti kuliah Perkotaan, saya tidak lagi melihat Fauzi Bowo. Entah apa karena dia sudah tidak lagi membantu pak Bianpoen Mungkin sudah lebih sibuk dengan pekerjaan dan jabatannya sudah lebih tinggi, sehingga tidak lagi memiliki waktu luang untuk membantu pak Bianpoen. Atau mungkin juga kelompok saya tidak pernah kebagian untuk bertemu dengan Fauzi Bowo.

Jadi... dibandingkan dengan calon Gubernur DKI lainnya yang hanya mampu menilik permasalahan DKI dari ”luar”, maka Fauzi Bowo jelas memiliki kelebihan yang tidak dimiliki calon lain. Dia sudah berkarir selama lebih dari 30 tahun di kantor Gubernur DKI. Meniti dengan sabar berbagai jabatan di kantor pemerintahan DKI  Jakarta dari jabatan terendah hingga kursi sekretaris daerah sebelum maju berpasangan dengan Sutiyoso ke kursi ”penguasa daerah” dan berhasil menduduki jabatan wakil Gubernur. Tentu dia sangat paham berbagai masalah yang ada di wilayahnya. Mungkin juga sampai ”ngelotok” di luar kepala.... Bahkan, mungkin juga dia sangat paham betapa besarnya ”pundi-pundi” jabatan gubernur DKI. Itu pula mungkin yang menjadi sebab dia tidak segan-segan memberikan ”advance payment” dengan cara mensponsori pemasangan spanduk atas nama BNP DKI dan PWNU secara jorjoran. Dengan syarat .... memasang wajahnya agar dikenal oleh masyarakat. Ini lho ..... calon gubernur DKI yang akan datang.... (dalam hati... tentunya)

Duh, bang Foke .... ente sadar nggak sih, kalo itu namanya menyalahgunakan jabatan. Himbauan anti narkotika memang perlu, tapi kan nggak mesti menampilkan wajah anda ....! Nggak ada relevansinya antara himbauan anti Narkotika dengan wajah ketua BNPnya, kecuali ... ya itu tadi ... pemasangan spanduk anti Narkotika itu anda yang sponsori! Karena, kalau BNP yang ”mbayari” maka, layaknya KPK mengusut ”penyalahgunaan dana BNP”. Alasannya ..... spanduk anti narkotika tidak memerlukan penonjolan wajah sang ketua!

Belum lagi spanduk-spanduk PWNU itu dimana ditonjolkan posisi bang Foke sebagai Ketua Tanfiziah .... Hehehe.... kok baru sekarang digembar-gemborkan kalo ente aktifis NU? Kapan terpilihnya ....??? Duh ... jangan disalahkan kalau masyarakat yang kritis akan menuduh ... lagi-lagi ... CURI START untuk PILKADA DKI. Mendayagunakan segala posisi dan jabatan untuk lebih mengenalkan diri kepada masyarakat. Akses ini yang tidak dimiliki oleh bakal calon gubernur DKI lainnya seperti Faisal Basri, Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmaja, Adang Daradjatun dan lainnya.

Yah.... sayang deh ...!! Praktek seperti ini semakin memperjelas posisi Fauzi Bowo...! Tidak lebih baik dari yang lain dalam arti kata ”santun dan beretika”, menunggu dengan tenang saat berkampanye tiba sambil bekerja sebaik-baiknya. Daripada menggunakan berbagai kesempatan untuk kepentingan diri sendiri. Akan lebih baik bila... Fauzi Bowo bekerja sebaik-baiknya saja sebagai wakil gubernur, supaya masyarakat menilai hasil kerja nyatanya.

Mungkin ... sadar bahwa akan posisinya sebagai ”skondan” Sutiyoso tidak akan ”dilirik” masyarakat, maka dia dan para pendukungnya ”gelap mata”, menerobos batas etika dan kesantunan dengan menggunakan berbagai cara untuk lebih dini memperkenalkan diri kepada masyarakat DKI yang multi etnis. Bukan tidak mungkin, masyarakat etnis betawipun tidak mengenal sama sekali siapa Fauzi Bowo. Itu sebabnya, acara maulid atau isra mi’raj di masjid-masjid kampung di pelosok pun disponsorinya (eh ... mesjid kampung dekat rumah saya. didatangi juga lho...!!)

Sekarang ... spanduk PWNU memang sudah lenyap .... Mungkin menunggu momen lain yang pas untuk mengeluarkan tema baru. Tetapi wajah Fauzi Bowo dengan kumisnya itu masih saja terpampang mengawal slogan BNP. Minimal yang selalu saya lewati di pojok perempatan RS Fatmawati.

Masyarakat Jakarta adalah masyarakat multi etnis dan kita harus realitis bahwa etnis Betawi (asli) sudah menjadi minoritas di kampungnya sendiri  Jadi jualan ”putra daerah” nggak akan laku disini dan ketinggalan jaman. Kecuali kalau ... FPI dan FBR melakukan sweeping dan memaksa rakyat memilih Fauzi Bowo menjadi gubernur DKI!! Ah ..... ngeri skaleee!!!

31 oktober 2006
(saya juga separo etnis betawi lho!)

Bu Merinya lagi rusak …., bu!!!

Hari-hari libur sesudah lebaran belum tentu merupakan hari libur yang menyenangkan bagi kebanyakan penduduk Jakarta. Lalu lintas kota, memang relatif lebih lengang dibandingkan hari biasa. Maklum saja, konon ada sekitar 2 juta penduduk Jakarta yang mudik ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar masing-masing. Peminat utama golongan pemudik, sudah tentu para ”penguasa” dapur dan rumah kita, yaitu para pembantu rumah tangga. Itu sebabnya .... libur lebaran merupakan ”bencana” tahunan yang tak terhindarkan bagi para ibu rumah tangga.


Memang banyak ditawarkan pembantu pengganti sementara. Tapi dalam kondisi keamanan dan kenyamanan seperti ini, menerima orang asing dirumah, walaupun hanya sementara, tetap penuh resiko. Tidak ada yang bisa menjamin kejujuran dan niat baiknya. Alih-alih membawa solusi, malah bencana yang datang. Jadi solusi bagi orang kaya adalah berlibur keluar kota/negeri atau mengungsi ke hotel. Alternatif lainnya adalah membeli makanan siap saji yang sangat mudah diperoleh. Apalagi pertokoan modern dan grand surface/hypermall hanya tutup di pagi hari lebaran saja. Lewat tengah hari, mereka sudah buka seperti sediakala. Urusan cuci mencuci dan membereskan rumah, bisa ditanggung bersama. Ada mesin cuci dan vacum cleaner yang membantu mempercepat pekerjaan. Tinggal kemauan untuk melaksanakan. Kondisi seperti ini sekaligus sebagai ajang untuk introspeksi bagi kita agar lebih menghargai keberadaan para pembantu rumah tangga.


Lebaran tahun ini, Dedeh, untuk pertama kali selama hampir 5 tahun bekerja di rumah kami, berlebaran di kampungnya, Cihampelas-Cililin. Biasanya dia baru pulang di H+4 sampai dengan H+7, bergantian dengan Nunung adiknya. Tahun ini, karena Nunung sudah berhenti, maka kami mengijinkannya pulang kampung selama lebaran. Ijin ini tentu membawa konsekuensi pada aktifitas keseharian kami. Pasti akan ada kerja ekstra melakukan pekerjaan tumah tangga yang biasa ditanganinya. Walaupun sudah ada mesin cuci, pekerjaan tersebut tetap saja menyita waktu untuk mengeringkan dan menstrikanya. Belum lagi masak memasak. Di lain pihak, ini kesempatan besar bagi anak dan suami untuk ”memaksa” saya turun dapur. Alasannya tentu ada saja ... beli di luar enggak seenak masakan mama. Begitu selalu alasan mereka. Dan saya selalu akan memasak makanan yang mudah, tanpa bumbu yang njlimet seperti biasanya masakan Indonesia.


Pagi ini, usai membereskan kamar tidur dan memeriksa isi kulkas, saya pergi ke Carrefour Lebak Bulus. Niat utama, mencari sayur-sayuran dan buah-buahan. Yang tidak pernah tertinggal tentu saja jamur segar. Portabella, Champignon, shiitake, Shiimeji ... dan ada satu lagi bentuknya seperti jarum... panjang 10cm dengan pentul kecil di ujungnya. Ini jenis sayur yang selalu ada di kulkas dan sangat bermanfaat untuk campuran segala jenis masakan. Dari oseng-oseng, cah sampai nasi goreng.


Sore itu, menu buka puasa (hari ke 3 puasa Syawal), rencananya mau bikin mie kangkung saja. Ini makanan satu porsi lengkap, ada sayuran (kangkung), karbohidrat (mie) dan proteinnya (telur puyuh + suwiran ayam). Jadi tidak terlalu repot menyiapkannya. Buahnya, mangga harum-manis yang lagi musim dan strawberry juice. Wah terbayang deh nikmatnya buka puasa nanti.


Belanjanya orang yang sedang berpuasa seringkali ngawur. Itu sebabnya dianjurkan agar jangan berbelanja saat ”lapar”. Belanja kita, lalu menjadi melewati niat awal dan melebihi budget awal. Apalagi, sebelumnya anak gadis saya, sudah memesan untuk dibelikan ice cream Walls. Nggak tanggung-tanggung ... neapolitan, buble gum dan choco-strawberry. Yang berbau choco, pasti pesanan bapaknya. Dia memang penggila coklat.


Usai membeli keperluan dapur, mata yang lapar ini melahap Kacang madu (kacang tanah rebus yang manis). Seperti biasa, terpajang rapi di depan counter roti. Ini cemilan favorit di rumah yang disantap sehabis shalat tarawih. Dijual dalam kemasan kira-kira 250 gram, kacang madu biasanya terasa hangat. Namun kali ini, kacang madu yang tersaji, dingin. Tidak ada tanda-tanda rasa hangat seperti biasa.
”Mbak ..., kok kacangnya anyep? Nggak hangat seperti biasanya...?”
”Iya bu ..... Maaf, bu merinya lagi rusak...”
”...?????, Dengan bingung saya menjawab :
”ya sudah ... 4 bungkus deh...!”.


Sambil memperhatikan si mbak membungkus kacang madu tersebut saya menduga-duga tentang bu Meri... Siapakah dia, Pemilik jualan kacang? Kok rusak ....?. Ketika terlihat dasar tempat kacang madu tersebut, hampir meledak tawa saya. Baru sadar apa yang dimaksud bu meri dalam jawaban si mbak. Untung masih bisa ditahan.


Kasihan si mbak yang melayani penjualan kacang madu itu. Tentu dia sama sekali tidak tahu bahwa bu meri yang di maksud itu adalah ”au bain marie”. Dia tentu hanya mendengar orang bicara tentang ”au bain marie” yang di tangkap telinganya sebagai bu meri. Ini istilah perancis untuk mematangkan makanan dengan menggunakan dua panci. Panci pertama diisi air panas dan panci kedua diisi dengan makanan yang akan dimatangkan dan ditaruh di dalam panci pertama yang berisi air. Cara memasak seperti ini digunakan untuk membuat caramel – puding atau mencairkan cooking – chocolat. Dan yang lazim kita lihat adalah dalam penyajian makanan di restoran atau pesta pernikahan untuk menjaga agar makanan tetap hangat, tanpa berisiko gosong.


International culinary memang banyak menggunakan istilah dari bahasa perancis. Maklum saja, negerinya Jacques Chirac, di samping memang sangat terkenal dalam bidang wewangian (perfume) dan adi busana (haute couture) juga terkenal dalam bidang masak-memasak. Semuanya menyiratkan kualitas rasa dan penyajian yang sangat berseni. Tidak heran bila berbagai istilah masak-memasak internasional banyak mengadopsi bahasa perancis. Sebut saja, istilah ”menu a la carte”, masakan ”Kakap a la meuniere”, ”pot au feu” dan lain-lain ...., termasuk istilah “au bain marie” tadi. Yang paling menghebohkan adalah istilah “cordon bleu”.


Beberapa waktu yang lalu, boss meminta saya untuk mengkoreksi barang cetakan hotel, termasuk daftar menu hotel. Nah salah satu menu yang harus dikoreksi adalah “Chicken Gordon Blue” yang seharusnya ditulis sebagai “Chicken Cordon Bleu”. Namun apa yang dikoreksi itu malah diprotes keras oleh “penguasa” hotel, katanya :


“Bu .... kenapa tulisan Chicken Gordon Blue diganti?”
”Setahu saya, istilah yang benar memang Cordon Bleu. Bukan Gordon Blue. Ini nama yang diambil dari bahasa Perancis”.
“Tapi ... saya sudah mengeceknya di Hotel “X”. Mereka menggunakan istilah Gordon Blue ... bukan Cordon Bleu! Tidak mungkin mereka salah ... Saya yakin betul yang tertulis adalah Gordon Blue, bukan Cordon Bleu. Jadi jangan mengubah-ubah istilah itu seenaknya dong!!!”
“Ya sudah ... Terserah deh, mau pake Gordon Blue atau Cordon Bleu, isinya kan tetap sama. Filet ayam yang diisi keju dan smoke beef, dilapisi tepung panir, lalu digoreng. Lagipula, saya hanya menunjukkan istilah yang benar. Bukan ingin berdebat. Kalau anda yakin itu istilah yang benar, silakan saja menggunakannya”


Begitu banyak istilah asing yang diadopsi dalam ucapan dan ungkapan sehari-hari. Beberapa diantaranya seperti fait accompli, a priori dan istilah lainnya seringkali salah dalam penggunaan dan penerapannya. Sehingga nuansa yang tercipta menjadi berubah. Yang seharusnya netral menjadi negatif atau bahkan salah kaprah. Usaha untuk memadankannya dengan bahasa asli Indonesia, tidak selamanya berhasil. Penyebabnya bisa jadi karena tidak ditemukan istilah yang pas atau kurang enak ditelinga dan tidak nyaman diucapkan. Atau mungkin karena kita lebih suka menggunakan istilah-istilah asing (walaupun salah ucap atau salah tempat), agar kelihatan lebih keren dan berkelas, gitu ......!!!


Lebak bulus 27oktober2006.

Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik bagi semuanya

Sabtu pagi 28 Oktober 2006, sekitar jam 07 pagi, lamat-lamat terdengar suara kehebohan di dalam rumah. Hari itu, saya agak kesiangan bangun pagi setelah malamnya kelelahan tidur, usai mensetrika tumpukan pakaian. Untung saja, tidak kesiangan bangun sahur dan shalat subuh.

Rupanya, adik saya menelpon memberitahu ibu bahwa iparnya (istri adik ibu saya) dalam kondisi kritis sejak semalam. Jadi pagi itu mereka bergegas untuk berangkat ke Bekasi. Sambil lalu, saya katakana untuk segera mengunjunginya lagi, setelah kunjungan terakhir pada hari Selasa malam. Bergiliran dengan ibu, karena pembantu masih belum kembali dari kampung. Belum lagi cucian masih ada setumpukan yang menanti giliran masuk mesin atau yang harus disetrika.

Sambil menunggu putaran mesin cuci, disela acara “melantai”, saya sempatkan menelpon oom, menanyakan kabar istrinya:
“Tolong bantu doa… Sejak semalam kondisinya agak kurang stabil. Napasnya sudah tinggal satu-satu saja”, begitu katanya.
”Insya Allah... dampingi terus, mintakan pada Allah SWT agar diberikan yang terbaik bagi semuanya. Oom masih disampingnya?”
”Saat ini sudah ada ibu-ibu dari majelis taklim yang menanganinya. Mana suamimu?”
”Masih tidur ... nanti aku suruh telpon, kalau sudah bangun”.

Sejak mendengar kehebohan pagi tadi, saya mendapat firasat bahwa ”saatnya” hampir tiba. Tidak akan lama lagi. Apalagi yang bisa diharapkan baginya. Kecuali ada mukjizat besar dari Allah SWT, maka kematian mungkin menjadi hal yang terbaik bagi mereka semua. Yang sakit maupun keluarganya. Bagi si sakit, dia akan terbebas dari kesakitan dan derita panjang yang dirasakannya. Sementara bagi anggota keluarganya, mereka terlepas dari beban psikologis beratnya merawat penderita di rumah, beban biaya dan ketimpangan jalannya rumah tangga. Kondisi rumah tangga dan keuangan mereka sudah sangat tidak memungkinkan untuk menunjang penderitaan itu lebih lama lagi. Tentu akan ada kesedihan yang mendalam terutama buat anak-anak. Tetapi mereka sudah cukup umur untuk menerima kehilangan itu. Toh waktu akan berjalan terus dan kesedihan perlahan-lahan akan terkikis bersamanya.

Usai mencuci, saya meminta suami untuk menelpon ke Bekasi....;
”Jangan sampai putus untuk mentalqinnya...”, begitu suara yang saya dengar dari kejauhan. Yah... sejak kunjungan beberapa hari sebelumnya, kami memang sudah mengatakan pada oom, bahwa mungkin jalan yang terbaik adalah bahwa Allah SWT ”menyegerakan” waktunya agar yang sakit dapat pergi dalam keadaan yang baik dimata anak-anak dan seluruh kenalannya. Tidak lagi diperpanjang deraan kesakitan yang amat sangat akibat kanker rahimnya itu.

Begitulah, sambil membereskan rumah, kami menggumamkan dzikir dan doa agar Allah SWT memberikan yang terbaik bagi YH. Ini mungkin ”bahasa halus” untuk menyebutkan bahwa ”kematian” adalah yang terbaik bagi orang yang sudah sangat menderita. Begitulah.... waktu terasa berjalan begitu lambat.

Tepat pada jam 13.00, telpon di rumah berdering, mengabarkan bahwa sabtu 5 syawal 1427 hijriah jam 12.30, Allah SWT berkenan melepaskan YH dari penderitaan duniawinya untuk kembali keharibaanNya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Ibu dan adik saya ternyata sudah dalam perjalanan pulang. Tidak sempat menunggui hingga detik terakhir YH menghembuskan napasnya.

Ba’da Isya pada malam minggu, usai membeli sedikit makanan di Carrefour, kami segera meluncur ke Bekasi. Hampir jam 22.00, saat kami tiba di rumah duka. Tidak terlihat banyak tamu di bawah tenda yang terpasang di jalan depan rumahnya. Hanya beberapa pasang tetangga terdekat yang sibuk mengurus ini – itu baik untuk keperluan jenazah maupun kebutuhan makan-minum keluarga yang ditinggal dan para pelayat.

Tidak tampak raut muka sedih yang berlebihan pada wajah oom. Saya rasa dia sudah sadar betul sejak beberapa waktu yang lalu bahwa kematian istrinya hanyalah soal waktu. Kematian yang sesungguhnya akan membuatnya ”terlepas” dari berbagai beban lahir dan batin. Adith, anak lelakinya tidak terlihat. Konon dia sedang beristirahat dan tidur di kamarnya setelah malam sebelumnya hampir tidak tidur menemani ibunya. Afi, walaupun terlihat tabah, tetapi masih tidak bisa lepas dari sisi ibunya. Sesekali terlihat dia mengusap airmatanya ... kadang dibelainya wajah dingin ibunya. Wajah beku YH terlihat lebih kurus, namun terlihat bersih dan cantik. Semoga ini merupakan pertanda baik bahwa Allah SWT memang memberikan tempat yang layak baginya.

Tidak terlihat anggota keluarga YH. Adik-adiknya (half bro-sis) sudah datang sore hari. Mereka tak dapat meninggalkan rumah terlalu lama. Ibu YH sudah lama menderita sakit (pengerutan otot otak?) yang membuatnya kehilangan kesadaran sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun maupun mengkontrol segala gerak tubuhnya. Bapak kandung YH sudah lama meninggal dunia sedangkan bapak tirinya belum sembuh sama sekali dari serangan stroke yang berulang. Tentu, mereka sudah tidak mungkin lagi diharapkan untuk mengunjungi dan melihat YH untuk kali terakhir.

Malam itu, salah satu kakak oom dengan istrinya menginap disana, beserta para tetangga, mereka bermaksud menjaga jenasah, hingga usai acara pemakaman minggu pagi. Hampir tengah malam kami meninggalkan Bekasi.
***
Minggu 29 Oktober 2006, jam 07.00 suami, ibu dan adik-adik saya berangkat ke Bekasi untuk menghadiri pemakaman yang akan diselenggarakan pada jam 10.00 di TPU Pondok Kelapa. Sementara saya menunggu di rumah. Ngantuk dan lelah masih terasa apalagi ditimpa panas yang luar biasa. Acara pemakaman nampaknya berjalan dengan lancar. Semoga selancar itu pulalah perjalanan roh almarhumah menuju keharibaan sang Pencipta.

”Ya Allah ... terimalah roh hambaMu itu. Ampunkanlah segala dosa dan perbuatan yang dilakukan selama masa hidupnya. Baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Terimalah segala amal-jariah dan ibadahnya. Tempatkanlah dia ditempat yang layak dan sebaik-baiknya disisi Mu. Semoga dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat syafaat dari RasulMu kelak. Amin....!!”

minggu 29 oktober 2006, 21.35

Indahnya keikhlasan.

Hari Selasa 24 Oktober 2006 yang lalu, Lebaran hari pertama atau hari kedua bagi yang mengikuti jadwal lebaran versi Muhammadiyah, pada siang hari adalah jadwal kunjungan keluarga besar ibu saya, ke rumah. Yang hadir biasanya 3 orang adik lelakinya beserta keluarga dan keluarga adik sepupunya beserta anak-menantunya.

3 adik terkecil ibu saya, semasa remaja hingga mereka menikah, tinggal susul menyusul bersama kami, menjadi tanggung jawab bapak saya seiring dengan meninggalnya opa pada tahun 1967. Apalagi umur mereka tidak terpaut jauh dengan saya. Bahkan adik bungsu ibu saya hanya terpaut 1 bulan saja usianya. Jadi kami memang saling menyapa dengan nama saja, apalagi istri-istri mereka berusia jauh lebih muda daripada saya.

 Tahun ini, hanya satu adik lelakinya yang hadir dengan istrinya. Satu orang adik bungsunya berlebaran di Padang dan sudah berangkat pada tanggal 21 oktober yang lalu. Sedangkan satu lagi adik lelakinya tidak dapat datang karena YH istrinya, sudah hampir satu tahun ini menderita kanker rahim. Konon katanya sudah mencapai stadium lanjut. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, saat dirawat di RS St Carolus, dokter memprediksi umurnya hanya tinggal sekitar 3 bulan saja. Prediksi ini ternyata sudah terlewati, Allah SWT yang menentukan umur seseorang, bukan dokter.

Ihwal perawatan ini, sering memicu diskusi panjang di antara keluarga. YH hanya sempat dirawat di RS St, Carolus selama 3 hari saja. Entah apa sebabnya, dia kembali dirawat di rumah. Berita yang tersebar, konon ustadt yang mencoba menyembuhkannya melalui pengobatan spiritual (dzikir) berkeberatan dengan intervensi medis. Saya menduga bahwa biaya perawatan yang tinggi dengan tipisnya harapan akan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut menjadi faktor utama dari pengambilan keputusan tersebut.

Salah satu adik ipar (lsuami adik bungsu saya) termasuk yang “ngotot” akan hal ini :
“Kenapa nggak jual rumahnya saja untuk biaya rumah sakit?”
“Gila …!!! Rumah yang mana lagi?”
”Ya rumah yang ditinggali itu!”
”Lalu, mereka mau tinggal dimana?”
”Minimal, ada usaha untuk menyembuhkan penyakit...!”

”Lho ...., kok enak aja ngomong begitu! Kita yang tidak terkait dengan penderitaan mereka, sebaiknya nggak usah berkomentar panjang lebar. Apalagi kalau cuma ngomong aja dan nggak ada usaha apapun untuk mengurangi penderitaan mereka!”
”Tapi ..., masa iya, penyakit gawat begitu cuma diobati oleh ustadt?”
”Apapun caranya... itu sudah merupakan usaha mereka untuk menyembuhkan penyakit yang diderita”.
”Tapi ... bukan dengan dengan ustadt dong ... Pantasnya ya ke rumah sakit”.

”Setiap orang mengobati penyakit sesuai dengan kemampuan dan keyakinannya. Kalau punya uang tentu akan dibawa ke RS atau bahkan hingga ke luar negeri. Tapi saat kita tidak mampu, maka pengobatan alternatif menjadi pilihan. Tetapi apapun jalan yang ditempuh, itu adalah cara pengobatan yang dipercayainya”.

”Makanya kubilang, jual aja rumahnya untuk biaya RS. Aku dulu sampai habis-habisan untuk bayar biaya rumah sakit istriku. Kalau kita ikhlas, Insya Allah, ada gantinya”.

”Berapa sih harga rumahnya itu? Katakanlah harga tanahnya 1 juta/m2. Paling banter dia hanya akan dapat uang bersih sebesar 100 juta. Apa yang bisa diharapkan dari uang sebesar itu untuk pengobatan kanker yang panjang dan rumit? Apalagi penyakitnya sudah masuk stadium lanjut. Realistis sajalah .... Yang ada, uang ludes, dan yang sakit akan meninggal juga.”

”Minimal, sudah ada usaha!”

”Usaha apa yang bisa dilakukan untuk kanker stadium lanjut dengan uang 100 juta? Itu ibarat menabur garam di laut... Gak terlihat manfaatnya. Lalu, setelah rumah terjual, mau kemana mereka tinggal? Di emperan? Di kolong jembatan? Rumah yang sekarang aja sudah kumuh kok...! Setiap orang punya masalahnya sendiri. Kamu dengan mudah menjual rumah karena tahu ada kakak/ipar yang mampu membantu dalam kondisi darurat. Tetapi mereka tidak punya siapapun yang dapat dijadikan tempat bersandar kala dibutuhkan. Tidak ada orangtua/mertua yang mampu menyokong. Apalagi mengharap bantuan kakak/adiknya. Kalaupun kakaknya mampu, tapi itu sama sekali tidak mungkin. Kamu tahu betul bagaimana mereka! Sudahlah .... jangan banyak komentar. Kalau mau, bantu saja sebisanya, tapi jangan berkomentar yang menyakitkan”.

Percakapan semacam itu selalu menjadi topik berulang, manakala kami mendengar perkembangan penyakit YH.

Siang itu, saat kami menelpon ke rumah dalam perjalanan pulang dari rumah ibu mertua saya di Cipinang, adik saya bercerita bahwa oom tidak mungkin datang ke Lebak Bulus untuk berlebaran. Kondisi YH sangat tidak memungkinkan untuk ditinggal. Mendengar kabar tersebut, spontan saja diputuskan untuk berkunjung ke rumah mereka di Pondok Pekayon Indah, usai shalat Isya.

Kehidupan di Jakarta memang semakin membuat tali silaturahmi kerap terputus akibat kesibukan (sikap pura-pura sibuk) manusia penghuninya. Lebaran tentu selayaknya menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin kembali keakraban di antara keluarga besar. Namun demikian, niat baik untuk bersilaturahmi ini masih memerlukan konfirmasi dari yang bersangkutan. Maklum saja ... jarak Lebak Bulus ke Bekasi lumayan jauh. Jangan sampai kami hanya mendapati rumah kosong setelah menempuh kemacetan dan jarak yang lumayan jauh itu.

Sekitar jam 20, usai shalat dan makan malam, berdua kami kembali menyusuri jalanan yang relatif lebih lengang menuju Bekasi via jalan tol. Agak bingung juga mencari rumah yang kerap kami datangi dulu. Sudah hampir 7 tahun kami tidak mengunjungi mereka, apalagi sejak kepindahan kami dari Kemang Pratama di pertengahan tahun 2000. Untunglah, keberadaan telpon genggam sangat membantu  dalam menemukan rumah di dalam komplek yang dipenuhi dengan portal terkunci untuk alasan keamanan selama masa libur lebaran.

Rumah mungil yang dulu terawat rapi itu sudah terlihat sangat kusam dan kumuh. Rumput hijau dan bebungaan yang dulu menghiasi halaman muka sudah tak tampak lagi. Entah mati kekeringan karena kemarau panjang tahun ini atau juga mungkin mati seiring dengan penderitaan sang ibu rumah tangga yang biasa menyirami dan memupuknya. Plafon rumah yang hancur dimakan bocor menyeruak disana-sini. Dindingpun sudah kotor tanda sudah terlalu lama tak tersentuh cat. Jujur saja, sejak mereka pindah ke Pekayon sekitar tahun 1988 yang lalu (wah ... tidak terasa, sudah hampir 20 tahun lamanya mereka tinggal disana), saya tidak tahu sama sekali apa pekerjaan/profesi oom. Ini pertanyaan sensitif yang terasa kurang layak diajukan pada siapapun.

Oom sudah siap menunggu kami di muka rumahnya. Setelah cukup berbasa-basi, tiba juga pertanyaan mengenai kondisi YH.
”Dia baru saja tertidur....”
”Oh ... kalau begitu, nggak usah diganggu. Biar kita ngobrol disini saja. Apa sebetulnya penyekit yang diderita”

“Kanker rahim ... entah sudah stadium berapa. Saat dirawat di RS, Dokter memperkirakan hanya tinggal menunggu masa 3 bulan saja. Itu sebabnya, YH meminta untuk dirawat dirumah saja. Selain itu, kami memang tidak mempunyai biaya yang memadai. Jujur saja ... saat membawa YH masuk RS, saya hanya memiliki uang 500 ribu saja. Hanya atas kuasa Allah SWT sematalah, maka biaya perawatan selama 3 hari yang mencapai 11 juta itu bisa terbayar tanpa hutang sama sekali.”
”Lalu bagaimana kondisinya sekarang...?”

”Jangan kita bicara soal medis. Ini soal penglihatan awam saja. Dulu, sebelum ditangani ustadt, kalau serangan kanker itu datang, YH seringkali teriak-teriak kesakitan sambil berguling-guling dengan darah mengucur tak terkendali. Itu pula sebabnya kami membawanya ke RS, karena saat itu Hb nya sudah drop hingga level 4 saja”.
”Di RS, bagaimana diagnosanya?”
”Ya... begitulah. Dokter hanya bilang, harapannya tipis. Jadi untuk apa lagi dirawat di RS dalam kondisi keuangan yang tidak memungkinkan. Lebih baik dirawat di rumah sesuai dengan keyakinan saja”.
”Pengobatan apa sih yang dianjurkan ustadt?”

”Melalui dzikir .... Saya berdzikir setiap malam .... kadang-kadang beberapa teman juga ikut berdzikir disini. Ustadt seringkali mengirimkan air yang sudah didzikiri, bergalon-galon banyaknya untuk diminumkan. Alhamdulillah... sekarang ini, kalau serangan sakit datang, dia tidak lagi berteriak/bergulingan. Perutnyapun tidak terasa menggelembung keras lagi seperti sebelumnya”.

”Hm ... saya jadi ingat waktu berobat ke pak Anto di jalan Mundu-Rawamangun dulu.... untuk mengobati perdarahan. Mungkin hampir mirip ya... kita disuruh berdzikir sambil menaruh botol air minum dan kemudian air tersebut diminum. Eh ... ternyata ada dokter dari Jepang yang meneliti bahwa partikel air itu mendengar dan berubah bentuk sesuai dengan apa yang kita ucapkan berulang-ulang di depan air tersebut. Ini kuasa Allah SWT”.

”Ya..... Mohon doa saja. Merawat orang sakit seperti ini memerlukan kesabaran dan keteguhan hati. Saya mendapat banyak pelajaran dari hal ini. Merupaka anugerah Allah SWT juga, saya dipertemukan dengan ustadt yang mampu mencerahkan jiwa saya yang kotor hingga menerima hidayah seperti ini. Penyakit YH istri saya, mungkin merupakan ujian kesabaran dan ketakwaan dalam perjalanan menuju pensucian jiwa. Saya menerimanya dengan ikhlas dan berharap agar dalam sakitnya, istri saya mau mendoakan agar saya dan anak-anak mendapatkan rahmah dan berkah dari Yang Maha Kuasa. Saya yakin, doa orang yang sedang menderita akan diijabah Allah SWT”.

”Insya Allah ....”.

Oom saya yang satu ini, masa mudanya memang agak ”jahiliyah”. Segala macam dikerjakan. Perlakuannya terhadap istri mungkin sekarang bisa dikategorikan dalam KDRT. Kelihatannya, perkenalannya dengan ustadt dari Ngawi itu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dia terlihat lebih pasrah dan ikhlas. Gaya bicaranyapun jauh berbeda. Lebih relijius dan sufistik. Tidak heran bila keluarga besar, memandangnya dengan ”aneh”. Tapi, bukankah seharusnya kita menjadi lebih baik dari hari ke hari terutama dalam kualitas keimanan dan ketakwaan kepada sang Pencipta?

Hari sudah menunjukkan jam 22.30 saat kami meninggalkan Pondok Pekayon Indah untuk kemudian mampir sejenak ke masjid Baabut Taubah di Kemang Pratama. Mesjid yang dahulu kala, selama bertahun-tahun kami ikuti perkembangannya. Mesjid terlihat gelap, pintu-pintu sudah tertutup rapat, namun belum terkunci. Masih ada 2 orang pekerja .... satu sedang menyiram rumput, satu lagi sedang asyik menonton televisi yang terpasang di teras masjid. Keduanya tidak kami kenal ... orang-orang yang baru bekerja selama 2 tahun saja. Pengurus mesjidpun bukan lagi orang-orang yang kami kenal. Sudah berganti ....

Begitu mungkin ada baiknya ... dunia yang fana ini terus berputar. Kala kita merasa tidak terikat dengan segala kebendaan didunia ini, maka kita akan menyikapi segala yang kita alami selama hidup ini dengan langkah dan perasaan yang ringan. Ikhlas dan pasrah bahwa segalanya adalah milik dan berada dalam penguasaan Allah SWT. Wa Allah ’alam.
Lebak Bulus 28 Otober 2006 – 06.00.










Kamis, 19 Oktober 2006

Susahnya memegang AMANAH

Hari Jum'at minggu lalu, usai shalat maghrib dan berbuka puasa, kami pergi ke komplek sekolah Islam A-A menjemput anak gadis kami yang sedang menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus menandai penutupan acara Pesantren Kilat dan akhir masa belajar, menjelang hari Raya Idul Fitri. Tengah memanggil anak gadis kami, yang sedang berjalan beriringan dengan teman kelasnya, datang pak Sonny ... mantan Ketua Komite Sekolah periode sebelumnya, menghadang mobil kami, "memaksa" suami untuk turun dan ngobrol sejenak. Suami akhirnya turun dan ngobrol dengan beberapa orang bapak-bapak. Saya sendiri akhirnya turun juga, masuk ke aula mesjid menemui beberapa guru yang sedang asyik menyantap hidangan dan menyapa beberapa orang tua murid yang kebetulan saya kenal.

Sejak adanya perubahan kebijakan pendidikan seiring dengan masuknya kepala sekolah baru kira-kira 2 tahun yang lalu, saya memang mengurangi keterlibatan dengan sekolah. Entahlah... pada pertemuan pertama dengan kepala sekolah baru tersebut, saya memperoleh kesan yang tidak menyenangkan. Jadi ceritanya, saya agak mutung setelah "berdebat keras" berdua dengannya, sebelum peserta rapat anggota komite sekolah saat itu berkumpul. Bukan karena kesal argumentasi saya dipatahkan, entahlah... ada perasaan tidak percaya terhadap sosok kepala sekolah tersebut.Maklum pada "kesan pribadi" yang buruk itu, tidak perlu ditularkan kepada orang lain, maka kemudian saya mengundurkan diri dari kepengurusan Komite Sekolah. 

Setelah anak kami bosan dan lelah dengan acara sekolahnya, kamipun pamit. Di tengah perjalanan pulang suami saya tiba-tiba bicara :
"Ada berita buruk dari sekolah..."
"Ada apalagi?"
"Yayasan dan Komite Sekolah berseteru .... ada penggelapan uang sebesar +/- 400 juta oleh sekolah yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, termasuk dana bos. Komite Sekolah sendiri sudah dikebiri oleh sekolah sehingga tidak dianggap lagi"
"Apa iya  SDI itu mendapat BOS? Kalaupun ya... apa jumlahnya sebesar itu? BOS dan disalurkan sesuai dengan jumlah murid... rasanya terlalu berlebihan deh..."
"Nyatanya ... menurut pak Sonny, Guru-gurupun turut menjadi korban ulah Yayasan. Waktu libur kemarin (bulan Juli), mereka tidak mendapat gaji penuh ... Kan kasihan... masa begitu cara memperlakukan guru?. Itu sebabnya Komite kemudian menunjuk pengacara untuk menyelesaikan masalah ini karena perseteruan ini sudah menjurus hal yang destruktif. Jangan sampai nanti Yayasan main keras dengan membekukan kegiatan sekolah."

Aduh .... kepalaku mendadak pusing ... terbayang bagaimana nasib anak-anak sekolah itu. Mungkin ini resiko memasukkan anak kesekolah yang baru didirikan (SD ini memang baru 6 tahun berdiri, setelah sebelumnya hanya membuka pendidikan tingkat playgroup dan TK). Memindahkan anak ke sekolah lain, bukanlah hal yang mudah. Selain biaya, anak kami sudah begitu sangat menyukai lingkungan sekolah, teman-teman dan bahkan guru-gurunya. Pasti dia akan banyak bertanya sebab musabab kami memindahkannya ke sekolah lain dan penjelasan kami akan menyebar di sekolah ... Hal ini tentu akan memperkeruh suasana sekolah. Apalagi kabar yang kami terima masih kabar angin sepihak, yaitu dari para orang tua yang masih terlibat dalam komite sekolah. Belum ada penjelasan versi sekolah/yayasan itu sendiri.

"Coba tanya ibunya Filza atau Zaid ... mungkin kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan sebenarnya. Cerita pak Sonny itu sepotong-sepotong, loncat sana- loncat ini. Sukar digabungkan.. apalagi saya masuk ddi tengah obrolan mereka", begitu suami saya mengusulkan.
"Aduh ... nggak ah, kalo tanya sama ibu-ibu, malah makin nggak keruan... banyak imaginasi ibu-ibu yang berbau gosip.  Nanti malah memperkeruh suasana. Atau tanya pak Saichul".
"Dia juga sudah berhenti! ssttt ... nous arretons de parler ceci. ta fille nous entends attentivement. Elle va apprendre des mauvais images sur son ecole alors qu'on ne sais pas exactement ce qui s'est passe"

Duh ... kok kelihatannya gawat sih kondisinya... semua orang berhenti.
"OK .... gini deh, besok malam, kita shalat di masjid. Temuin pak SM usai tarawih dan tanyakan ke dia apa yang terjadi. Saya akan telpon bu Mei besok dari kantor. Daripada kita penasaran dan menanyakan pada orang yang kurang tepat".  
“OK deh … semoga tidak separah yang kita duga… Semoga ada yang bias kita Bantu untuk menyelesaikan masalah ini. Memang tidak mudah mengelola sekolah.”

Begitulah ... pagi ini saya sempatkan untuk menelpon sekolah. Ternyata guru-guru sudah mulai libur. Lalu saya mengirim sms dulu ke ibu MLT menanyakan keberadaannya. Semoga dia belum pulang kampung. Tidak berapa lama, ada missed call di layar hp yang langsung saya call back … suara ibu MLT terdengar di seberang …

“Assalamualaikum bu, … maaf mengganggu. Langsung aja nih … hari jum’at lalu, saat buka puasa, kami mendengar kabar kurang menyenagkan tentang sekolah. Apakah ibu berkenan menceritakan kepada saya…?”
“Tentang apa, misalnya...?”
”Maaf bu ... saya hanya berusaha memperoleh kabar dari pihak yang berwenang (sekolah) agar mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pengunduran diri kepala sekolah, tentang penyalahgunaan dana dan perseteruan antara Komite Sekolah dengan Yayasan yang terjadi akhir-akhir ini di sekolah”
”Hm ... ya, saya berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Kepala Sekolah diberhentikan oleh Yayasan karena kasus penyalahgunaan keuangan sekolah, antara lain uang sekolah dan kegiatan anak, uang tabungan murid, dana BOS. Sekarang sudah dilaporkan dan diproses polisi”.
”Lho ... kenapa bisa terjadi ....? Bukankah selama ini uang sekolah langsung dibayarkan ke tata usaha Yayasan?”
”Ya .... tapi kemudian petugas tata usaha dipaksa menyerahkan seluruh uang-uang yang diterima melalui tata usaha kepada kepala sekolah dengan dalih, dia yang akan menyetorkan ke rekening yayasan di bank”.

”Masya Allah ......., lalu bagaimana dengan perseteruan dengan Komite Sekolah...?”
”Komite Sekolah meminta rapat dengan kepala sekolah untuk berbicara mengenai masalah keuangan, karena banyak kegiatan sekolah yang sebtulnya sudah ditarik dananya dari murid, tapi pelaksanaannya Komite masih dimintakan bantuan dana. Jadi Komite menduga pengurus Yayasan menyalahgunakan dana. Keadaan yang sebenarnya adalah, dana sudah diserahkan penuh oleh Yayasan kepada kepala sekolah, namun yang digunakan hanya sebagian. Sebagian lagi digunakan untuk kepentingan pribadi”
”Wah ... miscommunication dong jadinya antara Yayasan dengan Komite...!”

”Ya..., Kepala sekolah memang sudah menciptakan suasana dan sistem yang membuat komunikasi antara guru-komite-yayasan menjadi terputus. Bahkan untuk urusan mengangkat telpon pun, dia yang menanganinya.
”Pantas... setiap kali saya menelpon sekolah, selalu saja pak SA yang mengangkat...”
”Ya, begitulah .... tapi Alhamdulillah sudah terselesaikan ... Komite dan Yayasan sudah bertemu hari Senin yang lalu. Semua persoalan sudah dibeberkan dengan sejelas-jelasnya. Yayasan berjanji untuk menutupi segala kerugian keuangan sekolah akibat penyalahgunaan kepala sekolah tersebut”.

”Syukurlah ... Ibu, selamat juga bahwa ibu ditunjuk sebagai kepala sekolah pengganti. Semoga ibu mampu memegang amanah ini untuk kebaikan sekolah, guru-guru dan anak-anak didik. Selamat Mudik ya... semoga selamat diperjalanan, Minal Aidin wal Faidzin”
”Terima kasih ... mohon doanya ya...”

Duh ... lega rasanya, persoalan itu bisa terselesaikan dengan baik. Cuma.... lagi-lagi keperihan menyelinap di dalam hati ....Saya teringat sekelumit isi surat yang saya layangkan kepada kepala sekolah tersebut saat memprotes AC ruang kelas yang tidak juga diperbaiki selama 2 bulan ....
”Kegiatan pengajaran/pendidikan dan administrasi yang dikelola oleh Yayasan/Sekolah sekaligus merupakan ajang pembelajaran bagi anak murid untuk menghargai waktu, komitmen dan integritas dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.”

Bayangkanlah ... Sekolah Dasar Islam ... yang mengajarkan nilai dan norma agama kepada anak muridnya, ternyata disusupi oleh orang-orang yang berniat busuk untuk memperkaya diri sendiri.... Apa yang sudah terjadi dengan moralitas sebagian dari para pendidik di Indonesia?

Catatan :A-A bukan perguruan Al Azhar, hanya kebetulan ada kesamaan inisial

Kamis, 12 Oktober 2006

Kalau Bigboss berulangtahun ...!!!


Kalo bigboss berulang tahun ...., Kami semua di kantor antara senang dan sebel.... Senangnya karena ... agak sedikit santai. Yang dikerjain para sekretaris ... paling mendata bunga/kiriman kue yang datang supaya nggak ada yang kelewatan dikirimi uccapan terima kasih dari doi.  Bagian umum+personalia biasanya ngurusin makanan, dari menu sampai ke jumlahnya. Memastikan padanan menu yang kita susun dengan "sumbangan-sumbangan" makanan dari anak perusahaan. Semua udah ada bagian-bagiannya. Khusus untuk menu, biasanya sang istri ikut campur. Maklum aja, tastenya untuk makanan yang enak cukup dipujikan. Pilihan si ibu nggak pernah ada yang "kepleset" deh, pasti selalu enak.

Hari ini acara akan dimulai jam 17.30 ... ini teorynya. Kenyataannya pasti lebih dari itu. Maklum yang diundang orang proyek dari Bekasi yang super macet itu lho. Menunya, kalo gak salah Korean Barbeque. Wah... menu yang satu ini ... uenaaakkk banget... Sudah pernah dicoba, saat bigbos bikin acara ulang tahunnya 3 tahun yang lalu dan terakhir, untuk menyambut pasangan karyawan yang baru menikah, dalam suatu acara di rumahnya awal tahun lalu. Entah dimana si ibu nemuin catering khusus Korean Barbeque itu.


Saat acara itu, saya cuma makan sayurannya saja+kimchie ... nggak sempat makan barbequenya. Udah kekenyangan duluan sih ... Apalagi, saya memang sudah mulai mengurangi makan makanan bernyawa. Kecuali aklau betul-betul sedang tidak kuasa melawan godaan...  Selain Korean Barbeque, saya nggak tahu lagi apa yang akan disajikan. Maklum saja, karena pola makan saya yang agak nyeleneh itu, pilihan saya pati akan bertentangan dengan pilihan banyak orang. Jadi lebih baik ... diam saja... karena percaya pilihan orang-orang kantor ini pasti enak2.


Ngomong-ngomong ... hotel Mulia ngirim apa ya? Biasanya mereka selalu ngirim dimsum, mie hongkong dan chocolate cake ukuran satu meja...(a real big size... hehe) lengkap dengan pelayan hotelnya. Hari ini, kelihatannya nggak ada kabar beritanya... Mungkin orang-orangnya sudah ganti, jadi nggak begitu kenal dengan doi.

Gak apa-apa deh ... Lho, ngomongin makanan ya...? Nah ... ini sebagian kecil foto bunga-bunga ulangtahunnya tahun lalu. Usai acara, biasanya ada cara bungkus-bungkus... Apalagi kalo bukan makanan. Wah itu pasti yang paling seru ... Maklum aja makanannya OK punya.. Jadi banyak orang yang ingin berbagi dengan keluarga di rumah. Saya biasanya kebagian potong2kue ....Nah ini cerita senangnya.

Cerita sebelnya ...., belakangan ini, karena puasa, acara dilangsungkan malam hari. Pasti pulang terlambat... Gak bisa buka dengan keluarga... gak bisa shalat tarawih .... Kalaupun tarawih, ya harus sendiri dirumah .. itu kalo gak kecapean ....

Senin, 09 Oktober 2006

Sulit ambil keputusan untuk Menikah?

Jum'at kemarin, seusai shalat ashar, YM saya ada yang manggil, walaupun statusnya invisible.


"Madame .., ngganggu?"
"Nggak ... ada apa oom?"
Ini pasti Yudi, temanku yang agak “bawel” terutama untuk urusan hubungan antar jenis.


“Apa pantas kalo perempuan itu berlaku kasar…?”
Lho ...lho ... ada apa lagi ni orang? Belum apa-apa sudah menyergah dengan pertanyaan yang menyudutkan perempuan...


“Tergantung keadaan ....! Orang selalu berharap perempuan selalu bersikap halus, lemah lembut ... ya ... yang begitu-begitu deh...! Tapi kan, itu tergantung dari pembawaan dan mungkin juga dari suku bangsanya... Ada apa sih...?”
”Aku tuh suka sebel  ... cewe yang lagi deket sama aku itu, kok kasar banget ya...? Pernah suatu saat dia bilang gini ... dasar orang gak punya otak!! Kan nggak pantes perempuan ngomong begitu...!!”
”Ya kalo kamu ngerasa nggak suka dengan sikap, sifat atau kebiasaannya ... ya tinggalin ... cari yang lain...!, Kok susah banget sih?”


”Sudah ....!”
”Nah, kalo sudah ... terus kenapa lagi...?”
”Ya tapi gak bisa ....?”


”Lho ... kamu ini gimana sih? Sudah putus, tapi gak bisa... Maksudnya apa?”
”Ya sudah berulang kali putus. Kalo sudah berantem, putus... tapi akunya balik lagi sama dia....”
”Oalah ....! itu karena kamu gak mau, makanya kamu nggak bisa!”
”Apa maksudnya...?
”Hati kecil kamu sebetulnya ”nggak mau” putus, makanya kamu nggak bisa putus... bolak-balik terus...! Au fond du coeur, kamu itu follement amoureux d’elle!!! Kalo gitu sih .... udahlah ... kawinin aja dia, beres kan....!”


”Gak bisa .... gak bakalan cocok sama ibuku...!”
”Eh .. denger baik-baik ... Gak ada sejarahnya perempuan yang cocok dengan mertua perempuannya. Kalaupun ada, jarang banget...! Jadi itu persoalan biasa ... Lagipula, yang kawin, kamu ...!”
”Tapi ... dia sudah pernah menikah ... dan pernikahannya nggak berumur panjang, gak sampe 1 tahun...!”
”So ... what...?”
”Gue gak mau nasib gue kayak gitu...!”


“Setiap pernikahan itu adalah judi…Kesalahan kita adalah saat berpendapat bahwa pernikahan adalah tujuan dari persatuan dua hati anak manusia. Jadi pernikahan adalah final dari perjalanan cinta! Padahal .. itu salah besar, karena pernikahan adalah starting point of an open-ended problems. Akan ada berbagai macam masalah yang datang silih berganti dan kita sudah menandatangani kontrak (yang diharapkan) berjangka panjang. Yang perjalanannya sama sekali unpredictable. Apa bukan berjudi, namanya? Perlu effort untuk memeliharanya. Sejauh ada kesamaan visi, saling menghormati dan punya komitmen yang sama, apalagi yang ditakuti?”
”Sifatnya itu. ...”
”Kenapa harus melihat segala kekurangannya? Memangnya kamu sudah sempurna? Coba hargai segala kelebihannya sebagaimana kamu berharap dia juga mau menghargai kelebihanmu diantara banyak kekurangan yang ada di kamu...!”


”Aku nggak suka, dengan sikapnya yang arogan...!”
”Duh ... bolak-balik kesitu ....! Gini deh ... pilihannya kan Cuma dua... kawin atau putus...! Nah pilih salah satu ...”
”Aku udah coba putus sama dia, tapi gak bisa, selalu balik sama dia...”
”Ya sudah. .. kawin aja sama dia...”
”Tapi ... kalo ternyata nggak cocok ...?”


” Udah deh .... Sekarang ini kan kamu cinta buta banget, jadi kamu kawin aja sama dia ... Ntar, kalo udah kawin, mata hati kamu jadi terang benderang ... bisa melihat dengan jernih segala kekurangan-kekurangannya”
”Memang, kalau sudah menikah, perasaan cinta bisa hilang...?”
”Nggak juga sih ... tapi nuansa dan suasananya sudah berbeda. Kamu bisa mengambil keputusan dengan lebih jernih, yang tidak ditutupi perasaan cinta menggebu-gebu. Nah, kalau memang dirasa susah untuk dipertahankan. ya cerai aja ....... Kok susah banget sih?”


”Duh, madame ... kok jahat amat sih?”
”Lha.... kamu ini gimana sih? Disuruh putus..., kamu bilang gak bisa! Disuruh kawin... kamu bilang, gak suka sama sifatnya...! Kalo begini terus... sumpah mati deh ... sampe kapanpun kamu nggak akan pernah menikah ...!”


(duh ... maaf Yudi ... kok lagi puasa gini, omonganku ”jahat” banget ya....? Sungguh mati, aku nggak bermaksud jahat sama kamu, cuma gregetan aja! Umur kamu sudah pantas untuk memiliki 2 orang anak balita.... lho! Keburu kiamat ...!!!)

Rabu, 04 Oktober 2006

Hari-hati ...!!! Rampok menjelang lebaran

Pagi ini, saat datang ke kantor, saya merasa ada yang agak aneh dengan penampilan Ina, sekretaris bos. Jadi saya mampir ke mejanya...!

"Ada apa Na, kok gak seperti biasanya..?
“Ada rampok mbak …..!!”
“Hah ….? Dimana …, kapan?”
”Masuk ke rumah..., semalam...!”

Walaupun belum pernah mampir ke rumah Ina, tapi saya bisa membayangkan bahwa rumah Ina yang besar dengan halaman yang luas, bisa jadi, selalu jadi incaran rampok. Apalagi , kalau dengar deskripsi Ina mengenai rumahnya, banyak celah yang memungkinkan rampok menyelinap masuk. Ditambah lagi, saat ini menjelang lebaran. Kebutuhan rumah tangga meningkat sementara harga meningkat luar biasa dan banyak pengangguran lagi. Kontradiktif juga ya, alih-alih memperbanyak ibadah dan bertaubat, eh malah cenderung mengingat kebutuhan duniawi!

Sejak saya tinggal di kawasan lebak bulus 6 tahun lalu, rumah kami sudah 2 kali kemasukan rampok. Untung mereka tidak masuk kamar kami yang selalu tidak terkunci dan hanya mengambil sedikit barang yang berada di ruang keluarga. Bayangkan kalau sampai masuk kamar dan mengancam kami ... hiiiiii, ngeri, pastinya.

”Gimana kejadiannya..?”
”Tadi pagi ... pembantuku gedor pintu kamar. Aku pikir ’mbangunin sahur. Jadi aku jawab iya.. begitu aja. Tapi dia nggedor makin keras ... sambil teriak-teriak ... ibu ... buka...., ibu... buka pintunya..., begitu berulang kali. Jadi kubuka pintu, sedikit .. Untung pintu kamar pake slot dan gelap. Jadi begitu dia masuk, langsung kututup lagi. Di dalam ... dia langsung ngomong ... rampok bu .. rampok ... rampok..., begitu nggak putus2, sambil gemetar ketakutan”
”Untung, rampoknya nggak ikut masuk kamar”
”Kelihatannya dia nunggu di lantai bawah ...., jadi aku berteriak ... rampok...rampok ...!!! Tapi, mbak, namanya gugup dan ketakutan ... suaraku nggak keluar ...., aku meraba-raba seisi kamar sambil gemetaran, cari intercom untuk hubungi adikku di kamar lain ..., sialnya kabelnya lagi dicopot.”

”Lampu nggak dinyalain...?”
”Nggak berani ... untung aja, senter dikamar selalu ada ditempatnya. Jadi, aku suruh Wina ambil senter. Sementara aku pake intercom, kusuruh dia nelpon satpam komplek”
”Beruntung, satpam cepat datang ya....!!”
“Nggak juga …, gimana mau datang, yang keluar dari mulut Wina Cuma … rampok pak, rampok pak… gitu aja berulang kali … maklum ketakutan…! Aku juga begitu, … waktu aku intercom adikku … gugup banget.”

“Terus…?”
“Adikku berhasil lolos keluar rumah dan teriak … rampok … rampok ….!!!”
“Tertangkap dong…?
“Nggak … karena sebelum keluar kamar, adikku teriak-teriak dulu. Mungkin si rampok ngedenger teriakan … jadi, dia sempat kabur ….”

“Aduh … alhamdulillah, kamu selamat …….”
“Iya nih … aku masih ngaderekdek, sampe sekarang ... masih terasa lemesnya…!”
“Iyalah … ngerti, saya juga pernah ngalamin tuh…!”

Ina, lalu bercerita,, bahwa usai sahur yang sama sekali tidak nikmat, karena seisi rumah masih tercekam perasaannya, mereka menyusuri halaman rumah dan menemukan peralatan rampok yang tertinggal serta melihat jalan masuk  ke rumah.
“Jadi sebetulnya, gimana asal muasal si rampok masuk ke rumah….?”
“Mungkin ... mereka berdua masuk dari teras samping ..., lalu masuk ke garasi, dan membangunkan pembantu, minta uang satu juta...! Menantu pembantuku disandera di garasi, sementara yang satu lagi, sambil mengeluarkan golok panjang mengancam pembantu. Jadi pembantuku bilang ... tunggu saya minta ke ibu, terus dia buka pintu masuk rumah utama”

“Kenapa si pembantu bilang gitu ya...?”
“Ya... maklumlah... dia juga takut di bacok, kan ...... Jadi begitulah, si pembantu naik ke lantai atas, nggedor kamarku...!”
“Untung rampoknya nggak naik ke atas ya ....!!”
“Iya... duh, lemes... lemes banget deh ...!”
“Bersyukur sama Allah deh … sudah selamat dari bahaya. Hati-hati ya…!”
***

Duh ….. rampok lagi .. rampok lagi … Sepertinya negeri kita ini dipenuhi rampok deh. Yang ngerampok kerumah-rumah begitu sudah jelas karena mereka miskin dan butuh uang untuk makan dan mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi yang tak kalah bejatnya adalah ... mereka yang berdasi, bermobil bagus, tempat tinggal mentereng di kawasan elite, dan toh masih juga merampok ...uang negara, ... uang rakyat yang seharusnya mereka layani!

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...