Rabu, 29 Oktober 2014

Hipokrisi masyarakat Indonesia


Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga abad ke 21 ini ternyata masih sangat feodalis dan hipokrit. Senang memakai "topeng" tatkala tampil ke hadapan publik. Tapi ..... mungkin bukan hanya masyarakat Indonesia saja, masyarakat duniapun terhinggapi "penyakit" hipokrit. Itu sebabnya dikenal adanya manner dan etiket dalam pergaulan internasional.

Akan halnya di Indonesia, topeng-topeng ini berdampak pada beragam "kriteria" yang seakan "wajib" disematkan dan dilakukan oleh "pejabat publik" sosialita dan selebriti.
Lihat saja penampilan para pejabat maupun istri/keluarganya, para sosialita dan selebriti. Yang lelaki, harus terlihat gagah dan rapi. Berpakaian "mewah" kalau perlu pakai jas sambil memamerkan merek di bagian pergelangan tangan, memakai jam merek terkenal seharga ratusan juta bahkan hingga milyaran rupiah serta berkendaraan mewah. Punya hobi main golf atau mengendarai motor gede.
Sementara yang perempuan seperti merasa "wajib" mengecat warna rambut serta menyasak tinggi2 rambutnya hingga berbentuk seperti sarang burung dan karenanya harus memiliki "hair stylist" yang mengurusi rambutnya setiap hari. Padahal menyasak rambut, memakai foam untuk menjaga "sasakan" rambut malah akan merusak kesehatan rambut dan gatal. Sementara itu, wajah dipoles dengan make up tebal, atau melakukan minimal botox, kalau kebetulan tidak memiliki waktu atau keberanian melakukan operasi plastik agar kisut dan kerut wajah menghilang .... Pakaian harus rapih buatan perancang mode terkenal. Kalau bisa dari Paris atau Milan. Tas bermerek terkenal, baik dari dalam maupun luar negeri sama seperti bajunya .... dan memakai perhiasan berkilauan. Seringkali nggak jelas mau kerja, rekreasi atau pesta ... Ingat kan, saat pelantikan anggota legislatif yang baru lalu?
Dari sisi pendidikan, semua orang rasanya, minimal harus memiliki pendidikan S1 kalau bisa malah S2 atau S3/Doktor. Pokoknya ada deretan gelar akademis di depan maupun di belakang namanya, supaya terlihat intelek. Setelah itu harus memiliki gelar profesor. Apalagi kalau jabatan Menteri jadi incaran... Ini akan lebih dihargai. Lupa bahwa profesor itu bukan gelar akademis tapi profesi sebagai guru ... pengajar/pendidik. Maka ramailah para pejabat publik mengejar gelar-gelar akademis. Nggak peduli lagi apakah pendidikan lanjutan tersebut sesuai dengan minat/kebutuhan pekerjaan atau apakah universitas tempat memperoleh gelar tersebut memang terakreditasi atau universitas abal-abal.

Maka tatkala pejabat tidak memiliki pendidikan mumpuni, ramailah orang mencibir dan berkomentar negatif. Padahal manusia diciptakan Tuhan dengan beragam kemampuan. Bahasa kerennya multiple intelligent. Lihatlah .... betapa orang-orang sukses dalam bisnis di negara maju dan bahkan di Indonesia sendiri, banyak dari golongan "putus sekolah". Kenapa ....? Karena ternyata sekolah itu membelengu kreatifitas. Pendidikan mengajarkan terlalu banyak resiko. Segalanya dianalisa dari sudut pandang "negatif"nya dulu. Faktor resikonya. Sementara peluang yang menciptakan kreatifitas tanpa batas, seringkali dilupakan.
Belum lagi urusan asal-usul keluarga. Bobot - bibit - bebet. Seperti ada kasta dalam kehidupan sosial ... Anak pedagang "harus" jadi pedagang .... Nggak boleh jadi pejabat tinggi. Anak pejabat tinggi pasti dan pantasnya harus jadi pejabat tinggi lagi .... Padahal... ada banyak anak dari kalangan "atas" yang terjerumus pada perilaku buruk .... dan untuk mereka ada "maaf dan permakluman....". Tapi kalau orang-orang dari kalangan biasa berperilaku tidak sesuai dengan "topeng2 dan imaji" masyarakat, maka cacian dan cercaan ditebar .... Persis perilaku feodalistis.

Anak dokter biasanya akan "dipaksa" orangtuanya menjadi dokter pula, karena sang ortu  melihat hanya profesi dokterlah yang bisa menjamin kehidupan si anak kelak. Jadi alasan jadi dokter, bukan pengabdian. Kalau orangtuanya dulu kerja di bank, mati-matian pula dia akan menganjurkan si anak kerja di bank. Seakan tidak ada profesi lain yang menjanjikan hidup "mapan" selain kerja di bank.
Itu sebabnya ..... tatkala wajah ndeso memasuki istana, maka banyak orang yang belum rela ... karena sepertinya istana hanya diperuntukan "kalangan atas". Bukan untuk kalangan dan wajah ndeso ..... Manakala seorang perempuan berpendidikan "rendah", bertato, perokok dan nyeleneh diangkat menjadi pejabat tinggi negara, orang ramai mencaci. Sementara koruptor lalu lalang sambil tersenyum simpul melambaikan tangan tanpa malu. Sepertinya, kita ..... lebih menghargai kosmetika dan hipokrisi berseliweran di muka kita, di media cetak maupun layar kaca.

Sedih dan sangat ironi.
Padahal ....
Katanya, kita seringkali dianjurkan untuk "harus bermimpi setinggi langit..."
Meraih kehidupan yang lebih baik ...
Dan seharusnya semua wajib dan punya hak bermimpi yang sama...
Atau ....
Adakah perbedaan antara langit masyarakat kalangan atas dengan langitnya kalangan bawah...?

Senin, 27 Oktober 2014

siswa, sekolah dan orangtua

Hari Sabtu 25 Oktober 2014, bertepatan dengan libur tahun baru Hijriah, saya terpaksa membatalkan acara keluar kota untuk menghadiri resepsi pernikahan staff kantor. Pembagian raport tengah semester yang semula dijadwalkan pada hari Jum'at, diundur menjadi Sabtu. Apa boleh buat ..., mengambil raport sekolah jauh lebih penting, apalagi si anak sudah duduk di kelas XII.

Kami tiba di sekolah, jam 08.20. tempat parkir di area sekolah sudah relatif penuh. Beruntung masih ada tempat di depan kantin. Jadi .... nggak perlu jalan terlalu jauh. Ini kebiasaan dari kebanyakan orang Indonesia..., malas jalan hehe....... Daftar dan ambil nomor untuk pengambilan raport, lalu masuk aula untuk bincang-bincang dan tanya jawab dengan direktur sekolah dan kepala sekolah. Acara ini biasanya diawali dengan paparan direktur sekolah mengenai kegiatan sekolah, kondisi anak-anak, hubungan orangtua dengan sekolah dan banyak lagi.

Ibu Al .... sang Direktur Sekolah memang "cerewet" dalam banyak hal, terutama dalam menjaga "perilaku anak muridnya". Anak-anak remaja ini pasti jengkel banget dengan kecerewetan ibu Al .... Bahkan tidak bisa dipungkiri sebagian orangtua juga tidak terlalu suka dengan ketatnya aturan sekolah. Contohnya saja kebijakan sekolah untuk melarang siswa membawa smartphone ke sekolah. Jadi siswa sekolah ini hanya diperkenankan menggunakan telpon genggam standard yang fungsinya hanya untuk menelpon dan mengirim sms saja. Cameraphone...? No way... Apalagi smartphone.

Jadi ... sebagaimana apa yang dikatakan ibu Al, banyak siswa dan orangtua yang merasa "terjebak" memasukkan anaknya bersekolah di SMA di bilangan Sawangan ini. Rasanya ... begitu juga kami ....
***
Perkenalan kami dengan sekolah yang menamakan diri Global Islamic School ini dimulai beberapa bulan sebelum anak kami (yang sekarang sudah duduk di kelas XII ... Jadi tepat 6 tahun yang lalu) duduk di kelas 6 SD. Si anak, sebagaimana kakaknya dulu, memang tidak kami masukkan ke sekolah negeri. Alasannya cukup sederhana ... si anak keberatan masuk sekolah jam 06.30 sementara kami orangtua yang kebetulan keduanya bekerja, ingin agar hari Sabtu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bersama, setelah 5 hari kerja relatif tidak memiliki waktu yang nyaman untuk bercengkerama.

Ada banyak sekolah swasta - SMP yang saat itu kami jadikan alternatif pilihan, walau dengan beberapa catatan. Yang terutama tidak kami rekomendasikan adalah sekolah-sekolah yang baik orangtua maupun murid-muridnya memiliki kecenderungan hedonisme/borjuis. 

Pilihan utama kami adalah sekolah yang mau menghargai kemampuan anak, bukan sekedar dari nilai akademis tetapi penghargaan sekolah pada bidang non akademis. Memang ada banyak sekolah-sekolah yang menproklamirkan diri sebagai sekolah sebagaimana yang kami inginkan. Tapi ..... biaya sekolahnya itu lho .... extraordinary expensive dan pada akhirnya kami bisa terjebak pada perilaku borjuis. 

Sekolah bagus tetapi "murah" memang sukar ditemukan, apalagi semua sekolah "ideal" itu umumnya sekolah swasta dan pasti identik sekolah mahal. Mahal atau tidak, tentu relatif ... tapi kalau sekolahnya sudah menawarkan olahraga seperti berkuda...., rasanya ini juga terlalu berlebihan.


Maka .... setelah berdiskusi panjang lebar di meja makan, kami memutuskan untuk memilih sekolah (Global Islamic School) di bilangan Margasatwa ini. Sebetulnya, sekolah ini sudah masuk "radar" untuk kami pilih sebagai tempat pendidikan anak kedua kami sejak si anak masuk pendidikan SD. Namun lokasi sekolah (SD) di Cinere terlalu jauh, 12km dari rumah, menyebabkan kami mengurungkan niat tersebut. Baru pada jenjang SMP itulah kami masukkan anak ke sekolah yang sebelumnya, lokasi tersebut kami ketahui sebagai sekolah tingkat TK/SD dengan label lain.

Pendek kata .... 3 tahun di SMP berlalu dengan baik, tanpa halangan. Tentu kami merasa tidak aneh dan sama sekali tidak keberatan bila si anak ingin meneruskan SMA yang sama. Apalagi, saat acara perpisahan sekolah, kepala sekolah menyebutkan bahwa SMP tersebut mendapat peringkat akreditasi tertinggi se Jakarta Selatan dan menjadi salah satu dari 2 SMP di Jakarta Selatan yang meluluskan siswanya tanpa kecurangan sedikitpun. Prestasi ini tentu sangat membanggakan dan mengharukan. Bukan saja buat sekolah, tapi juga buat orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya disana. 

Seperti 3 tahun sebelumnya, usai ujian tengah semester pertama di kelas IX, kami mulai mendiskusikan ke sekolah mana si anak melanjutkan SMA nya. Tentu lengkap dengan beragam alternatif sekolah swasta yang kami anggap baik.  Seingat saya, ada 4 sekolah yang kami rekomendasikan. 2 SMA berada sekitar 500m - 1km dari kantor. Harapannya adalah agar si anak bisa berangkat dan pulang bersama ibunya. Terkontrol kegiatannya... begitulah mau si orangtua. 2 sekolah lagi justru berada sekitar 2 km dari rumah. Bisa dijangkau dengan kendaraan umum.

"Nggak mau ... aku nggak mau masuk sekolah itu...!", sahutnya saat kami menyodorkan nama 2 sekolah yang berada tidak terlalu jauh dari kantor saya.
'Kenapa...? Kan bisa berangkat sama2 setiap hari...", saya membujuk si anak agar masuk ke sekolah yang memiliki label sama dengan sekolah kakaknya dulu
"Kalau nggak mau sekolah itu ... Sekolah Islam itu aja deh... Kan ada teman SDmu dulu, di sana...!"
"Nggak ....!"
"Lho .....??? Ya sudah..... yang dekat rumah aja deh, kalau begitu... Pilih salah satu... Sekolah A atau sekolah B!"
"Nggak dua-duanya..."
"Kenapa ....?"
"Kan mama sudah bilang, sekolah A itu sekolah borju... gimana sih...?"
Hehe .... si emak lupa, kalau 3 tahun yang sebelumnya memang tidak merekomendasikan sekolah itu.

"Ya sudah .... yang B aja deh....!"
"Nggak .... nggak dan nggak ....!"
"Adooooh ..... kenapa sih...."
"Ma ...aku gak suka sama anak2nya..."
"Hm .... sok tahu! Gaul aja enggak, mau sok menilai siswa sekolah lain lagi..!"
"Aku kan diceritain teman2 ...., anak2nya tuh ma... suka foto2an sexy dan norak ... terus di upload... Emang mama mau anaknya masuk ke sekolah yang begitu...? Nggak deh....!"

"Jadi, kamu maunya kemana ...?"
"Ya ke sekolah yang sama....", sahutnya merujuk sama sekolah dengan label yang sama dengan SMPnya.
"Masya Allah .... jauh banget ......!!! Nggak sanggup, aku kalau harus antar jemput kesana tiap hari. Sudah uzur nih. Kamu juga nanti akan terlalu cape dan stress...! Cari yang dekat aja deh...!"
"Nggak ....!"
"Ampun deh .... kaya nggak ada sekolah lain aja..."
"Biarin ...."

Aduh duh .... pusing juga untuk memenuhi permintaan itu, walau dalam hati terselip rasa syukur yang sangat besar bahwa penolakan anak kami masuk sekolah yang kami usulkan adalah karena alasan moralitas. Dia tidak suka dengan perilaku siswa-siswa sekolah tersebut.

"Ok ... kalau hanya sekolah itu yang jadi pilihan, apa boleh buat, tapi dengan satu syarat!"
"Apa ..."
"Harus mau masuk asrama. Bukan karena kami membuang anak karena tidak memenuhi permintaan untuk sekolah di Jakarta, tapi ini demi keamanan dan kenyamanan semua. Pertama, jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Minimal 2-3 jam terbuang setiap hari untuk perjalanan pergi dan pulang. Ini pasti melelahkan, apalagi kalau ada PR. Kamu pasti gak bisa belajar lagi begitu sampe rumah. Kemudian kalau bapak tidak bisa menjemput ke sekolah berarti ada kesulitan besar, bagaimana kamu pulang ke rumah. Kami sama sekali tidak mau kamu naik taxi/angkutan umum di sore/menjelang malam, apalagi sendiri. Nggak ada cerita deh! Jadi kalau tetap mau masuk sekolah itu, tidak ada pilihan lain kecuali masuk asrama!"
"OK .... siapa takut...?", tantangnya....


Begitulah kejadian 3 tahun yang lalu, sebelum dia mengikuti test masuk SMA, berhasil diterima, masuk asrama dan bersekolah hingga sekarang duduk di kelas XII. Tidak terasa 3 tahun begitu cepat berlalu.

Tentu tidak mudah menjalaninya baik bagi orang tua maupun si anak. Pada bulan-bulan pertama, kami mengalami kesulitan membujuknya kembali ke asrama. Dia merasa terbuang ketika kami memintanya bersiap kembali ke asrama .... Memang ada rasa sedih melihatnya begitu tertekan harus kembali ke asrama. Apalagi, anak kami yang 2 orang itu relatif hidup seperti 2 anak tunggal. Hidup "sendiri" pada masanya, mendapat perhatian penuh dari ke dua orangtuanya pada saat kecil hingga masa remaja. Sehingga kamipun relatif merasa kehilangan dengan absennya keberadaan anak di rumah. Tapi anak manja ini memang harus konsisten dengan pilihannya. Dia harus memegang teguh dan konsekuen dengan pilihan sekolahnya.

Kami mungkin sedikit beruntung, bahwa dibandingkan dengan kakak lelakinya, si gadis lebih terbuka. Jadi kami relatif bisa memantau kegiatan, masalah-masalah yang dihadapinya, baik masalah di sekolah maupun masalah pribadi. Tentu pada koridor yang ingin dia ceritakan kepada kami, orangtuanya.
***

"Ibu/bapak jangan terkejut kalau sekolah menerapkan kebijakan sidak ke kelas seperti yang baru2 ini kami lakukan di kelas X" sayup-sayup terdengar suara ibu Al menceritakan tentang kegiatan sidak ponsel siswa, hingga grup diskusi orangtua yang berisi "keberatan" atas sidak yang dilakukan guru-guru karena dianggap melanggar privasi siswa.

Tenang bu Al .... saya juga melakukan inspeksi isi sms/wa/bbm di smartphone anak saya, begitu dia meninggalkan smartphonenya saat kembali ke asrama. Dengan demikian kami bisa mengetahui apa saja isi pembicaraan si anak dengan teman2nya. Jadi sidak ponsel di sekolah, juga kami lakukan kok ...

Bu Al masih melanjutkan banyak cerita tentang beragam kenakalan dan perilaku kebablasan siswa yang .... sungguh mati bikin hati saya "mencelos" .... Ngeri membayangkan kalau hal itu terjadi.Saya teringat beberapa kali pembicaraan kami di rumah;
"Aku sebel ma ...., teman-teman juga ternyata sama aja tuh .... Ada juga yang suka macam2", keluhnya suatu hari...
Atau di hari lain .... si anak juga mengeluh...
"Sebel ah... guru-guru rese banget.... kepo deh ..."
"Eits... gak boleh menduga yang buruk .... gimana kamu tahu mereka kepo?"
"Ye ..., mereka tuh canggih-canggih urusan sadap menyadap isi sms... Bayangin aja, masa aku pernah disangka bawa hp ,,, padahal mama tahu kan, hpku kan pasti ditinggal di mobil, kalo aku balik ke asrama...."
"Ya bilang aja ke gurunya... kalau perlu minta konfirmasi ke mama. Jangan dibikin susah lah...! Kamu mesti inget deh ... perilaku remaja itu dimana aja, sama. Maunya bebas ... nggak mau dilarang dan selalu merasa benar. Merasa terlalu dikekang... Kamu beruntung, sekolah/ibu dan bapak guru punya komitmen kuat menjaga anak muridnya supaya tidak tergelincir. Jadi buka karena kepo... Sebetulnya guru-guru itu ketakutan anak muridnya tergelincir ...Di dunia, itu jadi tanggung jawab mereka kepada orangtua dan masyarakat. Nah... nanti di akhirat diminta pertanggungjawaban juga lagi ...! Kasihan kan? Jadi beruntung kamu sekolah disitu ... Kalau gurunya cuek, nah seperti sekolah B itulah jadinya" 
***
Malam minggu setelah penerimaan raport tengah semester itu, kami keluar rumah untuk makan malam. Sebetulnya si anak menerima undangan peringatan ulang tahun ke 17 dari salah satu teman sekolahnya yang diselenggarakan di sebuah hotel di bilangan Depok. Sempat juga kami tawarkan si anak untuk hadir...

"Emang mama mau antar ke sana? "
"Kalau kamu mau hadir, boleh aja kami drop, nanti dijemput lagi"
"Mama nggak konsisten ih ...!
Eits ..... kaget juga dengar komentarnya ...
"Maksudnya...?"
"Dulu mama bilang nggak boleh hadir acara ulang tahun di hotel...!"
"Sebetulnya, bukan nggak boleh hadir acaranya. Boleh aja sih, karena kamu kan mesti gaul juga, asal tahu batas dan tahu waktu. Hidup juga nggak bisa steril banget. Ini yang jadi dilema buat orangtua."
"Ya sudah .... aku kan sudah mutusin gak hadir..."
"Ya ...., asal tahu aja, yang dilarang bukan acara ulang tahunnya. Tapi perayaan berlebihan apalagi diselenggarakan di hotel. Rasanya kurang pantas deh buat siswa sekolah..."

Ihwal perayaan ulang tahun secara berlebihan di hotel, pernah juga disinggung oleh bu Al, pada pertemuan, mungkin tahun yang lalu. Namun ternyata, walau hanya satu atau dua orang saja, tetapi masih selalu ada saja yang merayakan ulang tahun ke 17 anaknya secara berlebihan.
*** Pendidikan anak termasuk memilih tempat pendidikan anak yang kita anggap baik, rasanya tidak serta merta melepaskan seluruh tanggung jawab pendidikan anak terutamadalam hal moralitas kepada sekolah. Apalagi untuk pendidikan anak remaja yang penuh gejolak. Harus ada kesatuan visi dan misi dan tujuan pendidikan itu antara sekolah dan orangtua. 

Seperti yang disampaikan ibu Al ... sekolah tidak bisa dijadikan "musuh" tetapi harus jadi mitra dalam mendidik anak. Orangtua harus percaya bahwa sekolah memberlakukan beragam peraturan untuk kebaikan si anak. Kalau visi, misi dan tujuan pendidikannya dan sekolah dianggap kurang sesuai dengan gaya hidup keluarga siswa, mungkin orangtua tersebut telah salah memilih sekolah buat anak-anaknya.

Wallahu alam 





Sabtu, 25 Oktober 2014

Pesan untuk Presiden dan wakilnya

20 Oktober 2014, acara pelantikan presiden RI ke 7 dan wakilnya membuka sejarah baru.
Belum pernah terjadi selama ini, bahwa masyarakat secara spontan dan sukarela menyelenggarakan acara penyambutan pelantikan presiden. Apakah hal ini karena sosok, penampilan dan perilaku Joko Widodo yang sangat merakyat, baik asal-usul, profesi sebelumnya sampai pada wajahnya yang sangat "ndeso"..... sehingga "memancing" simpati masyarakat untuk "habis-habisan" mendukungnya ... Tentu sebagian lagi masih mencibirnya ... ya sudahlah ... Faktanya sekarang, Jokowi sudah dilantik dan resmi jadi presiden RI.
Sambutan meriah yang disampaikan masyarakat usai pelantikan dan harapan yang tinggi kepada presiden dan wakilnya, sesungguhnya beban dan pesan dari masyarakat buat pemimpinnya... Jadi ... sang presiden dan wakilnya, jangan terburu-buru senang atas sambutan tersebut. Simaklah hal yang tersirat di balik pesta rakyat yang meriah itu...... Ini adalah bentuk "peringatan" pada presiden RI dan wakilnya yang baru dilantik:
"Jangan macam2 ya pak .....
Bapak sudah bersumpah untuk menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya
Di hadapan wakil - wakil kami ....
Walau wakil2 kami tersebut belum tentu mampu menyerap segala keinginan dan harapan kami..."
"Karenanya pak ......
Jangan Korupsi/memperkaya diri dan kelompok
Jangan ingkar janji, tepati semua....
Seperti yang bapak katakan ...
Bapak dipilih untuk memajukan Indonesia....
Maka .....
Mari kita kerja ... kerja dan kerja ...
Untuk Indonesia yang lebih baik ..."

Jumat, 24 Oktober 2014

KONTES MENTERI

Entah siapa yang memulai .....
Mungkin sejak pemerintahan babak pertama Susilo Bambang Yudoyono, penentuan menteri kabinet digelar seperti pelaksanaan fashion show parade. Satu demi satu calon menteri dipanggil ke kediamannya di Cikeas. Entah apa yang diperbincangkan di "dalam", yang pasti, usai bertemu dan di "interogasi" presiden terpilih, sang calon konon diminta menandatangani pakta integritas. Entah apa isi sebenarnya dari pakta integritas. Pada kenyataannya, pada masa pelaksanaan tugas, pakta integritas yang telah ditandatangani itu juga tidak "berbunyi" apa-apa.....

Kemudian .... sang calon dengan "agak canggung ... entah ge-er atau jaga image alias jaim, dikerubuti wartawan di tanya ini-itu dan menjawab basa-basi bilang cuma diajak omong ini itu tanpa arah .... Dan jawaban ini tentu saja basa basi yang benar-benar basi dan nggak bermutu. 

Sementara di media massa, baik televisi yang sekarang jumlahnya seabreg-abreg, maupun media cetak para pengamat politik dan elemen masyarakat lainnya berkomentar panjang lebar, tentang calon menteri maupun tata cara presiden menentukan menterinya ... Sok kritis, sok analitis ... tapi mungkin lebih banyak dan lebih tepat disebut sok tahu ... Sok tahu masalah, sok tahu kondisi internal dan banyak sok-sok lainnya. Begitu juga yang terjadi di kalangan netizens. 

Persis seperti laiknya penonton sepak bola .... Banyak komentar, teriak-teriak, mencaci maki pemain maupun pelatihnya.... Padahal, belum tentu si penonton bisa main sepak bola dengan benar. Jangankan bermain sepak bola..., lari 1 kali putaran lapangan bola saja belum tentu sanggup. Apalagi lari sambil mengamati larinya tendangan bola, memposisikan diri di arah operan teman atau merebut bola dari lawan serta menyelamatkan gawang dari serbuan tendangan bola lawan. 

Para kritikus dadakan itu, termasuk juga para netizen mungkin lupa bahwa ada makna yang tersirat atas sambutan dukungan masyarakat yang luar biasa usai pelantikan presiden. Yaitu ... masyarakat berharap banyak pada presiden dan mereka akan mengamati siapa yang dipilih sebagai menteri dan bagaimana kinerja pemerintahan mendatang. Tidak ada makan siang yang gratis ..... maka tidak ada pula sambutan tanpa harapan yang besar.

Kerja pemerintah mendatang pasti sangat berat. Belum lagi hambatan teknis dan non teknis yang menyertai "luka" pertarungan pemilihan presiden yang baru lalu. Walau sang kompetitor sudah meraih simpati publik kembali dengan penampilan dan kehadirannya saat pelantikan presiden terpilih. Namun aroma persaingan masih belum luntur baik di kalangan masyarakat maupun di arena "lembaga legislatif". Di bilang menjegal kelancaran pemerintahan, pasti mereka tidak sudi... Tapi gestur tubuh, mimik muka maupun susunan pilihan kata sudah menunjukkan segalanya. 

Apalagi sang presiden juga "mengacak-acak" nomenklatur-penamaan kementeriannya. Walau maksudnya baik, untuk menyesuaikan dengan program kerja, akan selalu ada ketidaksukaan yang bisa jadi ada dasarnya namun bisa juga sekedar bermain-main untuk mengetest "kemampuan" presiden menangani "konflik kepentingan ini. Tapi begitulah yang namanya penonton .... termasuk kita sebagai penonton/masyarakat yang menunggu susunan kabinet Presidensial 2014-2014.

Sepertinya, penentuan dan penetapan menteri kabinet pada era pak Harto dulu, jauh lebih baik ... "Kontes" menteri dijalankan dalam senyap, tidak banyak melibatkan orang lain. Atau mungkin juga karena yang dilibatkan oleh pak Harto dalam penentuan menteri sangat menjaga "mulut" mereka. Tinggallah mereka yang merasa "gede rasa alias ge-er" dan yang sangat berambisi menjadi menteri kasak-kusuk mencari celah agar nama dan kemampuannya masuk "radar cendana". 

Mereka berharap cemas dan bisa jadi tidak bisa tidur berhari-hari. Menunggu telpon dari cendana ... Padahal ... bisa jadi dering telpon yang kemudian datang malah telpon debt collector atau dari orang-orang iseng mempermainkan mereka karena tahu persis betapa ngebetnya si dia menjadi menteri ...
Walau begitu ... 
Itulah simbol HAK PREROGATIF presiden sepenuhnya ...
Memang jaman berbeda ...
Presidennya juga berbeda ....
Harus diakui, Suharto memang powerful ...
Dan dia juga diktator yang bersembunyi dalam kelembutan etnis Jawa 
yang sangat menguasai medan pertarungan...
Di balik senyumannya yang lembut mengayomi

dari Sang jendral

Jumat, 17 Oktober 2014

NEW HOPE for all

Ada rasa haru, "surprise" dan bangga membaca berita bahwa rencana pelantikan presiden RI periode 2014 - 2019 kali ini melibatkan banyak elemen masyarakat dari mulai ibukota negara Jakarta hingga ke berbagai provinsi Indonesia. 

Tidak atau belum pernah terjadi, sepanjang pengetahuan saya, bahkan pada era pemerintahan Suharto sekalipun, pelantikan presiden diikuti dengan kirab budaya dan pesta rakyat. 

Mungkin juga belum pernah terjadi bahwa pelantikan presiden RI diminati dan diperhatikan oleh masyarakat dunia. Berbagai media internasional menaruh minat besar untuk meliput. 

Pemimpin negara bukan saja negara tetangga tetapi juga negara maju menyatakan akan hadir atau menunjuk wakilnya untuk menghadiri acara pelantikan ini .....

Di dalam negeri, ada yang menyambut acara ini dengan rasa senang dan bangga ... Namun di antaranya dan tidak dapat dipungkiri, ada tidak sedikit elemen masyarakat yang memandang dan menilai negatif fenomena ini. Luka akibat proses pemilihan presiden ternyata begitu dalam dan memang tidak mudah disembuhkan. 

Apapun alasannya ..., tentu akan lebih baik kalau kita berpikir positif ...
Bahwa perhatian yang besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri sekaligus merupakan "beban berat" bagi pemerintahan baru. Karena hal ini menandakan bahwa pemerintahan baru Republik Indonesia diperhatikan dan diharapkan oleh banyak orang ... Baik di dalam maupun luar negeri ...

Semua mata memandang dan akan menilai, mengkritisi segala sepak terjang pemerintah. Menguliti dan mungkin juga menjegal. Semua mata masyarakat akan meminta dan bahkan menuntut agar pemerintah terutama presiden dan wakilnya amanah dan memegang teguh kepercayaan yang sudah diraih ... 

Memastikan agar langkah mereka semata-mata ditujukan untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa dan negara ... Dan untuk keharmonisan kehidupan masyarakat dunia ...

NEW HOPE for ALL .....


Inshaa Allah .....

Rabu, 15 Oktober 2014

MENILAI DENGAN JUJUR

Era social media pada abad ke 21 dan ditunjang dengan era keterbukaan dan demokrasi di Indonesia menyuburkan keberadaan netizen. Masyarakat memiliki media untuk mengekspresikan segala yang ada di pikiran dan hatinya dalam bentuk tulisan yang bernada positif maupun negatif serta dalam bentuk foto. Tulisan tersebut juga mencakup kritikan pedas/pujian, saran, makian kasar terutama kepada pemerintah yang tidak disukai dan bahkan tulisan berupa fitnah keji. Hal terakhir ini banyak terjadi pada masa kampanye pilpres 2014 yang baru lalu. Yang bekas-bekasnya masih terasa hingga saat ini.

Tulisan berisi fitnah memang sudah mulai mereda ... untuk tidak atau belum bisa dikatakan berhenti. Yang belakangan ini menonjol adalah penolakan terhadap rencana pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta yang dilakukan oleh segelintir masyarakat dengan membawa label agama. Penolakan dengan alasan bahwa Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta beragama non muslim.

Tentu menjadi sangat menyedihkan bahwa hal ini terjadi di ibukota negara yang diandaikan bahwa penduduknya lebih berpendidikan, terbuka alias open minded, heterogen dan lainnya yang seharusnya mencirikan strata sosial-ekonomi-politik dan budaya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian wilayah manapun di Indonesia. tapi.... itulah yang terjadi.

Di luar isu agama, Ahok - panggilan Plt Gubernur DKI Jakarta ini, bersama Presiden RI terpilih Joko Widodo dilanda beragam isu negatif berkenaan (tentu saja) masalah pengelolaan pemerintahan mereka di DKI Jakarta yang ujung-ujungnya berkaitan dengan pengelolaan dana. Mereka dituduh korupsi .... Begitu bahasa jelasnya.

Saya tidak ingin menyoroti masalah tuduhan itu karena memang tidak memiliki bukti baik untuk membenarkan ataupun membantah tuduhan itu, tapi hanya ingin menuliskan pengalaman dan pengamatan atas perubahan yang terjadi di Jakarta selama masa pemerintahan pasangan Jokowi - Ahok yang baru mau memasuki tahun ke 3 ini.

Saya lahir di Jakarta namun besar di daerah. Masa kuliah saya lewati di Jakarta, namun setelah menikah saya keluar lagi dari Jakarta dan baru kembali masuk ke Jakarta pada tahun 2000. Jadi sudah masuk tahun ke 15 saya kembali bermukim di wilayah DKI Jakarta.

Jakarta tentu banyak mengalami perubahan fisik. Gedung bertingkat modern tumbuh memenuhi seluruh wilayah DKI Jakarta bahkan berimbas ke kota-kota/wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta seperti Bekasi-Tangerang dan Depok. Di balik semua perkembangan dan pertumbuhan tersebut, ada satu kehilangan yang mencirikan pembangunannya. Pada era pemerintahan ALI SADIKIN, perkembangan dan pembangunan kota ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Bang Ali membangun gelanggang remaja dan kolam renang di 5 wilayah Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pemindahan kebun binatang dari kawasan Cikini ke Ragunan, pembangunan TMII, Taman Impian Jaya Ancol, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Gelanggang Mahasiswa dan banyak lagi.  Itu hanya sebagian hasil kerja bang Ali Sadikin.

Pada masa itu beragam pembangunan fasilitas kota ditujukan bagi masyarakat umum non komersial. Kalaupun ada tiket masuk, maka harga tiketnya adalah minimal. Berbeda dengan era selanjutnya, pekembangan dan pembangunan fasilitas kota lebih banyak dilakukan oleh kalangan swasta dan tentunya dengan tujuan komersial. Bahkan ..... beberapa fasilitas umum milik Pemda DKI saat ini malah dikuasai dan dikelola swasta.

Selama masa 15 tahun tinggal di kawasan Jakarta Selatan, baru pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok saya melihat, merasakan dan menikmati mulusnya jalan raya dari rumah ke kantor serta beberapa jalan raya lainnya. Mengapa ...? Karena jalan rusak yang semula dan biasanya hanya diperbaiki secara sporadis dan setempat, sejak ditangani oleh Jokowi-Ahok diperbaiki dan dilapis ulang sepenuhnya. Bukan lapis ulang hotmix sekedarnya tetapi betul-betul lapisan ulang standard setebal 5cm. Darimana mereka memilik dana? Padahal kita sama tahu bahwa APBD DKI Jakarta sempat "dijegal" oleh DPRD.

Pemda DKI di bawah kepemimpinan Jokowi memang menuai banyak kritik misalnya karena penyerapan APBD rendah, tidak lagi memperoleh Adipura, penilaian "buruk" BPK atas audit keuangan, kegagalan proyek pemesanan bus transJakarta yang memupus keberhasilan program prorakyat lainnya yang dilaksanakan mereka.

Adalah suatu hal yang aneh, bagaimana pemda membiayai beragam programnya sementara penggunaan APBD, katanya terserap rendah. Ahok juga menyikapi dengan santai "kegagalan" Jakarta Pusat meraih Adipura untuk ke 3 kalinya karena dia menganggap bahwa seluruh wilayah DKI Jakarta memang belum layak menerima Adipura. Ini adalah jawaban yang sangat jujur ... karena memang, wilayah DKI yang layak dianugerahi Adipura hanyalah wilayah jalan protokol dan kawasan perumahan elite.

Jokowi dan kini Ahok yang belum juga dikukuhkan sebagai gubernur DKI Jakarta memang tidak luput dari kekurangan..... tapi saya percaya bahwa dia punya niat tulus membangun DKI Jakarta. Keberhasilannya kelak dalam membangun DKI Jakarta sangat mungki menjadi "tiket: buat Ahok merambah posisi lebih tinggi, sebagai presiden RI.... Kenapa tidak, kalau memang dia bisa dan mampu membuktikan keberhasilannya ....?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...