Minggu, 19 Februari 2012

Salah Kaprah Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak


Minggu ini, beberapa rekan kantor berangkat ke Malang untuk Rapat Kerja sambil meninjau Proyek. Saya nggak ikut .... (alhamdulillah....),  sebab ... ssttt jangan bilang-bilang ya... Anak saya marah besar, saat saya bilang bahwa ibunya harus ke Malang selama 1 minggu. Ini dilematis perempuan yang sok jadi super woman dan berperan ganda. Karenanya saya terpaksa mencari alasan yang valid untuk menghindar acara rapat di Malang ini. Toh saya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan proyek tersebut. Jadi ketidak hadiran saya, tidak akan mempengaruhi acara rapat (hikhik.. mencari pembenaran ....) . Itu alasan resmi .... karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.dan memang benar, saya harus monitor proyek yang langsung saya pegang dan ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.

Salah satu rekan kantor yang pegang proyek di Malang dan akan dipindahtugaskan ke Jogja, meminta pendapat saya mengenai rencananya untuk mengambil cuti selama 2 minggu pada pertengahan bulan April ini agar dapat mendampingi anak lelaki sulungnya yang duduk di bangku SMP menghadapi ujian nasional - UN. Dia agak khawatir, anaknya tidak bisa berkonsentrasi dalam menghadapi UN, karena prestasinya dalam berbagai try out yang diikutinya pada kelas bimbingan belajar, sangat tidak stabil. Konon, kondisi ini sangat mengkhawatirkan terutama dikaitkan dengan masa depan si anak.

Jujur saja, saya agak terperangah mendengar masalah yang dihadapinya. Mungkin saya memang sangat beruntung punya anak lelaki yang "sangat mandiri" dalam belajar. Atau mungkin juga karena kekhawatiran saya "diredam" dengan sangat keras oleh suami yang sangat menafikan prestasi akademis. Kondisi ini semua, dengan berbagai argumentasi dan perdebatan ibu-anak, telah menjadikan anak sulung saya akhirnya menjadi sangat "bebas" menentukan, apa maunya. Tetapi, diluar itu semua, prestasi akademisnya dari SD hingga menyelesaikan SMU memang luar biasa.

Nah, kembali dengan teman saya ini, dan lagi-lagi menurut ceritanya, setiap malam dia harus "membimbing" anak sulungnya dalam hampir seluruh mata pelajaran terutama matematika dan fisika. Kalau tidak, maka hasil ulangannya akan jeblog habis. ***

Konon, jaman dahulu kala .... orang tua murid relatif "tidak pernah" bersinggungan dengan sekolah. Bahkan saat dibagikan raport sekolahpun, kehadiran orangtua tidak dibutuhkan karena guru langsung membagikan raport kepada murid. Saat tamat SD dan pindah ke SLTP dan SLTA, semua murid mendaftarkan diri dan menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran sekolah tanpa didampingi orang tua. Penyerahan raport langsung kepada murid memang memiliki dampak "buruk".

Murid-murid "nakal" yang isi raportnya "kebakaran" dengan bantuan teman-temannya, seringkali mengganti angka-angka merah itu menjadi biru agar tidak diketahui orangtua. Entah bagaimana cara mereka mengelabui orangtua/guru saat raport itu harus kembali ke sekolah. Mungkin juga murid-murid tersebut akan memalsukan tandatangan orangtua di raport dan membuang semua surat panggilan dari sekolah kepada orangtua. (Alhamdulillah... saya tidak termasuk murid nakal...).

Buku pegangan setiap mata pelajaran disediakan sekolah. Setiap awal tahun ajaran baru, murid dibagikan setumpuk buku yang harus di sampul baik-baik untuk digunakan selama tahun pelajaran berlangsung  dan baru dikembalikan bersamaan dengan pembagian raport. Seingat saya, POMG apalagi model Komite Sekolah, sama sekali tidak terdengar keberadaannya. Jadi model sumbangan ini itu untuk kegiatan sekolah sama sekali tidak ada. Entah bagaimana caranya sekolah memenuhi biaya kegiatan-kegiatan tersebut. Tanpa permintaan sumbangan dari orang tua apalagi dengan dalih sumbangan rutin POMG, kegiatan ekstra kurikulum tetap berlangsung. Itu memang cerita kuno yang terjadi, mungkin hingga paruh tahun 1970 an. 

Entah sejak kapan keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dimulai. Yang teringat adalah pada akhir tahun 1970, raport tidak lagi dibagikan kepada murid sehingga saya kerap diminta orangtua mewakilinya untuk mengambil raport adik. Mungkin kenakalan murid sekolah mulai tak tertangani oleh sekolah atau ada alasan lain yang melatar belakangi keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Yaitu dimulai dengan pengambilan raport, lalu adanya lembaga POMG yang kemudian "diberdayakan" menjadi salah satu sumber dana kegiatan ekstra kurikulum. Mungkin juga "entry point" ini menjadikan keterlibatan orangtua ke dalam pendidikan sekolah semakin lama semakin dalam. 

Lama kelamaan, bahkan dalam berbagai kegiatan ekstra kurikulum, orangtua murid terlibat menjadi panitia aktif. Semakin jauh dan semakin jauh. Bahkan melalui pengamatan di salah satu SD tempat anak saya bersekolah, melalui Komite Sekolah, campur tangan orangtua semakin dalam dan mulai memasuki wilayah akademis. Beruntung bila orangtua yang campur tangan memiliki kompetensi atau kepedulian dalam arah pendidikan yang benar. Yang seringkali terjadi, campur tangan tersebut lebih didasarkan kepada snobisme/ikut-ikutan atas model pendidikan "gaya luar" yang diterapkan oleh sekolah lain yang menjadi referensi, demi gengsi semata. Bukan atas kepentingan dan masa depan anak didik.

Mungkin itu juga sebabnya esensi pendidikan anak mulai bergeser. Bila dulu anak murid "tidak mengenal" les ini itu yang berkaitan dengan mata pelajaran dan cukup percaya diri menempuh ujian akhir bahkan untuk menempuh ujian masuk universitas. Sekarang, les dan kursus yang bertalian dengan mata pelajaran bertebaran dimana-mana. Anak-anak (atau jangan-jangan orangtua mereka) merasa tidak percaya diri bila si anak tidak diikutsertakan pada les atau kursus-kursus tersebut. Dan cengkeraman pengaruh les/kursus sangat luar biasa. Bila dua dekade lalu, kursus atau sekarang populer dengan sebutan bimbingan belajar/BIMBEL hanya diikuti oleh anak-anak yang akan menempuh ujian akhir saja. 

Sekarang, anak-anak "dipaksa" orangtua mengikuti bimbel pada setiap jenjang kelas. Ikut sibuk mencarikan sekolah-sekolah favorit, ikut cawe-cawe menentukan kegiatan (terutama kegiatan ekstra kurikulum) anak-anak di sekolah. Bukan itu saja... konon katanya cara belajar di kelas 3 disebuah sekolah unggulan nasional, bukan lagi belajar "normal" untuk memahami ilmu pengetahuan tetapi latihan soal a la bimbingan belajar untuk ujian masuk universitas. Yang sangat mengejutkan, beberapa waktu yang lalu di koran ibukota ramai diberitakan bahwa BIMBEL telah masuk secara resmi ke sekolah-sekolah melalui kerjasama. Lalu... apa dong fungsi guru sekolah? Kalau tujuan sekolah hanya sekedar mendapat ijasah atau lulus masuk PTN, yang nggak usah bikin sekolah yang esensinya mendidik (akademis dan moralitas), bikin aja kursus-kursus.

Keleluasaan pemerintah/DikNas kepada sekolah dan daerah untuk turut me"warnai" kurikulum melalui muatan lokal turut menambah carut-marut profil mata pelajaran dan pada akhirnya menambah beban anak. Banyak mata pelajaran yang tumpang tindih atau terkesan "diadakan" agar sekolah dapat masuk dalam kategori sekolah favorit dan tidak dipandang sebelah mata oleh kalangan berpunya. Bahkan di salah satu tayangan televisi, ada seorang ibu yang dengan bangga memamerkan anaknya atau lebih tepat dikatakan BAYI berumur 9 ... baca SEMBILAN bulan yang sudah bersekolah. Entah sekolah macam apa yang diikuti bayi tersebut dan entah pula apa latar belakang dan maksud pendidikan super dini itu. Saya hanya masih membayangkan bahwa anak atau bayi berumur 9 bulan, lebih membutuhkan belaian dan perlindungan orang tua daripada hiruk pikuk sekolah bayi. 
Memang betul bahwa pendidikan anak bukan semata tanggung jawab guru, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Tapi kan ada bagian-bagiannya. Kalau semua mau cawe-cawe melampaui batas wewenang dan kemampuannya ... ya repot. Akhirnya tujuan akhir pendidikan jadi kabur ... semua tergantung dari uang dan pengaruh. Siapa yang kuat dan ber"uang", itu yang menang ... Jadi nggak salah ya... ber"uang" dan beruang, setali tiga uang. Cakarnya memang tajam menancap
Halah....... mau kemana sih pendidikan anak-anak Indonesia ini?

Yang GRATIS


Ini peristiwa sekitar 5 tahun yang lalu, saat melintas jalan Kyai Maja, di perempatan Kejaksaan Agung, saya melihat ada mobil box yang melayani pesan antar. Makanan yang dijajakannya adalah kopi dan donut. Donat? itu sih biasa....! Tapi dia menjadi unik karena bentuknya bukan ring, tetapi persegi. Wah... lumayan juga nih buat menu sarapan kalau lagi ada rapat di pagi hari. Berbekal dengan niat tersebut, maka saya menghubungi nomor telpon yang tercantum di mobil tersebut.

Resepsionis yang melayani telpon cukup ramah dan komunikatif. Dari niat saya hanya ingin mendapatkan brosur berisi daftar harga dan produk yang di layani, resepsionis menawarkan untuk segera mengirim 2 lusin sampel. Tawaran yang sangat tidak layak ditampik tentunya.

Keesokan harinya, hari yang dijanjikannya untuk mengirim sampel donut ke kantor, ternyata lewat begitu saja. Begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Sampai minggu lalu, kebetulan harus memintasekretaris kantor menyiapkan menu sarapan pagi saat rapat, saya teringat kembali  donut persegi itu. Jadi saya telpon kembali menanyakan kiriman brosur untuk mengetahui produk yang dijual. 

Resepsionis yang masih ingat dengan nama dan alamat yang saya sebutkan, meminta maaf karena saat dia mengirimkan sampel terdahulu, ternyata sudah di luar jam kantor sehingga sampel tidak bisa ditinggalkan. Saya hanya bisa mengatakan bahwa, lokasi kantor kami memang di daerah perumahan sehingga bila akan mengirim sampel harus pada jam kantor.

" Kirim brosur melalui fax sajalah..., kalau tidak memungkinkan mengirim sampel"
"Ya ... segera kami tindaklanjuti..." Begitu jawabnya. Tetapi satu, dua, tiga hari terlewati ... brosur tidak juga datang baik melalui kurir atau facsimile. Sampai kemarin, saat menjelang makan siang, resepsionis kantor memberitahu saya ada kiriman donut ..... Tidak tanggung-tanggung ..... 5 lusin alias lima box. Walah.... kenyang deh seisi kantor.......!

Bagaimana rasanya? Standard donut-lah.... Nggak kalah dengan Jco atau Krispi Kreme. Walaupun tidak semanis Krispi Kreme, bagi saya masih terlalu manis. Harga per 2 lusin - 2 boxes nya relatif  lebih murah dari keduanya (baik yang reguler maupun assorted). Nah... saya berbagi gambarnya saja ya..... Yang lapar, bayangin aja lagi menikmati lembutnya donut ini.....

Mengintip Kekayaan melalui Marmer


Jangan bilang saya arsitek ya …. karena profesi ini cuma  sempat saya jalani selama 3 tahun pertama di awal masa bekerja. Setelah itu, walaupun bekerja di bidang real estate, dunia arsitektur menjadi ”agak” menjauh dari tugas keseharian. Saya lebih banyak bergelut dengan angka, cashflow dan berbagai istilah kelayakan investasi lainnya. Walaupun ternyata tidak juga bisa dikatakan total ”bercerai” dengan dunia arsitektur, karena evaluasi master plan/site plan maupun rancangan rumah masih juga harus lewat dari meja kerja saya. Eh ... tapi bukan ini yang mau dibicarakan......

Sejak enam bulan yang lalu, pekerjaan rutin saya bertambah dengan mengawasi pembangunan kembali kantor kami. Berkaitan dengan itu, saya terpaksa bergaul kembali dengan dunia arsitektur, walaupun dalam hal ini mewakili pemilik proyek. Nah, sekitar satu bulan yang lalu, untuk mencari bahan finishing bangunan yang sejak awal sudah dimasukkan ke dalam kategori ”owner supply”,, saya mengunjungi gudang marmernya Fagetti di bilangan Cibitung - Bekasi.

Sejujurnya, pengetahuan saya tentang bahan bangunan sudah sangat ketinggalan. Bahkan berbagai istilah arsitektur yang biasa digunakan juga sudah banyak hilang dari perbendaharaan kosakata di dalam batok kepala. Jadi saat ditawarkan marmer slab seharga 400 ribu rupiah per meter persegi, saya tidak bisa ”meraba” ada di posisi mana kualitas marmer tersebut. Itu sebabnya, tatkala ditawari mengunjungi gudang untuk melihat koleksi Fagetti yang ada, kesempatan itu tentu tak layak ditolak.

Bagian penjualan Fagetti mengetahui bahwa penggunaan marmer itu hanya untuk kantor saja, maka saat kunjungan pertama, kami diantar untuk melihat-lihat koleksi marmer yang biasa digunakan untuk kantor. Jadi tidak terlalu mahal. Walaupun demikian, untuk orang awam, tetap saja terasa mahal harganya, yaitu antara US$ 40 sampai US$ 200  saja atau sekitar 375 ribu hingga dua juta rupiah per m2.

Koleksi Fagetti, luar biasa banyaknya, walau terasa monoton karena 80% koleksinya berwarna dasar creme. Warna dasar umum marmer yang banyak diketahui masyarakat.

Dua minggu kemudian, kami kembali berkunjung ke Cibitung untuk memilih secara definitif koleksi marmer yang akan digunakan. Ketika kami bermaksud untuk ”menggelar” gambar rencana lantai dan mendiskusikannya, kami diajak masuk ke ”boutique”, untuk menikmati makan siang sambil diskusi. Begitulah cara Fagetti menjerat kliennya. Melayani hingga hal kecil. Bahkan menu yang ditawarkan untuk makan siang, bukan main-main. A la carte, mulai dari sup buntut hingga NZ steak. Sayangnya, saya kebetulan sedang puasa, sehingga tidak bisa merasakan apakan masakannya juga cukup lezat.

Boutique tersebut ternyata merupakan gudang ”khusus” untuk very high quality marble, yang berharga antara 200 – 1800 Euro. Jadi, harganya bukan lagi dalam US$. Kalau mudahnya 1 euro setara dengan 10.000 rupiah, maka itu berarti bahwa harga marmer yang menjadi koleksi boutique dijual seharga antara dua juta hingga 18 juta rupiah per m2.

Harga yang sangat luar biasa mahal ini mengundang rasa keingintahuan saya, siapa konsumennya. Usai menjelaskan kebutuhan marmer yang akan dipesan kepada penanggung jawab gudang dan sambil menunggu rekan yang sedang menikmati sup buntut, saya beranjak melihat-lihat koleksi termahal, yaitu marmer seharga 1.800 euro per m2 yang berwarna biru. Entah dimana indahnya marmer tersebut yang untuk mendapatkannya saja, ternyata si pemesan, yang konon pemilik salah satu pabrik rokok di Jawa Timur, harus indent selama 18 bulan. Padahal dia hanya membutuhkan marmer seluas 60m2 untuk .......... kamar mandinya.  Bayangkan, kalau lantainya saja berharga 18 juta per m2, bagaimana dengan sanitary fixture nya seperti bath tube, kran air dan asesoris lain yang melengkapi kamar mandi tersebut. Bukan tidak mungkin akan berlapis emas 24 karat.

Lebih jauh lagi .... bila kamar mandinya, yang tidak akan pernah dilihat tamu saja sudah sedemikian mewahnya, bagaimana dengan ruang lainnya yang selalu ”dipamerkan” kepada tamu untuk menunjukkan kekayaannya?

Lepas dari si biru yang aduhai mahalnya, saya beranjak melihat-lihat marmer yang diberi label merah. Label yang menurut penanggung jawab gudang, menunjukkan bahwa pemesan sudah membayar lunas pesanannya. Ternyata cukup banyak pemesan yang sudah melunasi marmer mahal tersebut. Sebagian besar pemesan, menilik dari nama dan lokasi tempat tinggalnya, saya duga berasal dari etnis Tionghoa. Namun demikian ternyata, ada juga nama Indonesia asli yang terselip. Salah satunya tercantum nama seorang perempuan yang dikenal sebagai pelukis. Konon beliau juga memiliki rumah mewah di Paris dan Nice Perancis. Konon pula, menurut cerita seorang teman, rumahnya yang super luas di Jakarta dan terletak di kawasan Kemang di manajeri oleh seorang expatriate. Bayangkan ..... seorang expatriate asal Perancis (develop country) bekerja sebagai kepala rumah tangga keluarga Indonesia (under develop country). Duh ... dunia memang terbalik-balik.

Saya jadi teringat pada ipar suami saya yang bekerja sebagai direktur eksekutif suatu lembaga non profit yang bekerja sama dengan Prince Wales Foundation – UK. Suatu saat, dia bercerita bahwa lembaga yang digawanginya mendapat kesulitan untuk memperoleh dukungan internasional, saat mengajukan program pengentasan kemiskinan berbentuk bantuan (langsung) pangan. Rakyat Indonesia dianggap sudah tidak lagi layak mendapat bantuan pangan sebagaimana rakyat Afrika walaupun nyatanya, saat ini busung lapar juga banyak ditemui di Indonesia. Bisa jadi.... selain karena pemerintah Indonesia selalu menutup-nutupi kasus busung lapar agar tidak terekspos ke luar terutama di dunia internasional.

Saya juga teringat pada seorang rekan yang bercerita bahwa suatu saat dia melihat ada tagihan kartu kredit yang bernilai 1,2 milyar rupiah. Bayangkan ..... satu milyar dua ratus juta rupiah untuk membayar 4 (empat) buah telepon gengam bermerek Vertu. Dan satu lagi senilai sembilan ratus juta hanya untuk membayar satu buah tas tangan. Kedua transaksi itu dilakukan di luar negeri. 

Begitu juga saat melihat betapa orang-orang Indonesia yang ikut tour ke luar negeri lebih suka menghabiskan waktu untuk berburu barang-barang bermerek, menghabiskan uang puluhan ribu dolar bahkan hingga ratusan ribu dolar demi berburu barang-barang bermerek, dibandingkan dengan mencermati obyek wisata yang dikunjungi. Sungguh luar biasa kayanya orang-orang tersebut. 

Mungkin transaksi internasional itu yang menyebabkan negara-negara donor bisa memantau dan mengetahui bahwa ada banyak kalangan atas – pejabat atau mantan pejabat dari Indonesia, negara yang masih digolongkan ke dalam under develop country, namun sebagian rakyatnya memiliki harta baik berupa aset property atau rekening bank yang jumlahnya sangat luar biasa. Yang mampu membuat dunia internasionalpun menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika tahu jumlah kekayaan tersebut. Dan mereka semua memiliki kebiasaan berbelanja yang sangat luar biasa tak terkontrol.
Wallahu’ alam

Minggu 4 maret 2007 jam 22.30 - reedit 19 Februari 2012

Selasa, 14 Februari 2012

Pemalsuan di segala bidang


Setiap akhir minggu, saya memiliki sedikit waktu untuk menonton acara televisi sore hari yang biasanya agak hingar bingar dengan infotainment. Walaupun berbau gosip yang mengobok-obok wilayah pribadi, bolehlah acara ini dimasukkan ke dalam kategori “berita”. Tapi bukan acara infotainment  yang menarik perhatian saya dari acara Trans-tv sore, tetapi acara REPORTASE SORE yang berdurasi selama 30 menit. Produser Trans-tv cukup jeli untuk menyajikan acara yang isinya cukup berani, tetapi sangat berguna bagi masyarakat.

Pemalsuan merek terkenal di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Dari mulai DVD – CD (baik yang berlabel compact disk maupun celana dalam) hingga barang bermerek yang biasa dikonsumsi kaum berada. Bagi penduduk Jakarta, tidak perlu jauh-jauh ke Glodok. Pergilah ke berbagai pertokoan, maka dengan sangat mudah akan dijumpai DVD-CD bajakan yang dijual bebas dengan harga sekitar 15% - 20% dari harga DVD asli. Atau, bila suatu saat berwisata ke Jawa Timur, mampirlah Tanggulangin di Sidoarjo (semoga tidak tenggelam oleh lumpur Lapindo Brantas). Tempat berbagai tas bermerek dipalsukan dan dijual dengan harga yang sangat murah. Begitu juga dengan industri pakaian jadi a la home made yang bertebaran di sentra-sentra industri kecil, tak segan-segan memalsukan merek-merek terkenal sehingga golongan masyarakat berpenghasilan sederhana turut pula “mencicipi rasa” menggunakan pakaian bermerek.

Kini pemalsuan tidak lagi melulu pada barang-barang sekunder, tetapi sudah memasuki wilayah makanan. Suatu hari, saya melihat reportase pemalsuan ikan kakap merah. Tengoklah, bagaimana para reporter berhasil mengungkap penipuan yang dilakukan para pedagang ikan kakap merah; yaitu melumuri ikan kakap hitam dengan pewarna merah (dari pewarna tekstil?!) agar dapat dijual lebih mahal.  Di lain waktu diungkap juga adanya pemalsuan air minum kemasan baik berupa teh manis, maupun yang berwarna semacam coca-cola, fanta dan lain-lain. Kesemuanya dalam kemasan asli sehingga orang awam sulit membedakannya.

Pemalsuan beras kedaluwarsa ex Bulog yang kemudian di”putih”kan dengan mengalirkan cairan pemutih dan kemudian menjemurnya kembali hingga kering dan dikemas sebagai beras “putih”. Bahkan telur ayam kampungpun dipalsukan dengan melumuri telur ayam negeri dengan suatu cairan yang mampu memudarkan warna telur ayam negeri yang kemerahan menjadi keputihan seperti telur ayam kampung. Menggelikan juga, yang satu ini…. Biasanya, kita memalsukan yang “kampung” agar terlihat berkelas  dan berlabel “negeri”, ini malah yang “berkelas dan negeri” dipalsukan agar menjadi “kampung”….

Pada pemalsuan pakaian, tas dan lain-lain yang tidak dikonsumsi masyarakat, hanya produsen aslinya yang dirugikan. Bayangkan bagaimana kerugian yang juga diderita oleh konsumen yang memakan ikan kakap merah palsu serta beras berpemutih yang dibaluri pewarna kimiawi non makanan maupun minuman kemasan yang jauh dari sayrat-syarat kesehatan. Bukankah kesemuanya, bila dikonsumsi secara tidak sadar dalam jangka waktu panjang akan mencetuskan penyakit kanker.

Penipuan ini tidak lagi hanya menyentuh masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Akhir minggu kemarin, Repotase Sore meliput berita mengenai pemalsuan jam tangan bermerek yang bukan saja dijual murah di toko-toko sembarangan. Toko yang sudah pasti bisa “dicurigai” tidak mungkin menjual jam tangan bermerek apalagi dengan harga murah, kecuali bila barang tersebut palsu. Tetapi… jam tangan bermerek palsu itupun dijual di pertokoan mewah. Bayangkan, seorang Inul Daratista yang konon mengaku sebagai kolektor jam bermerek dan mahal pernah tertipu, membeli jam bermerek yang palsu berharga puluhan juta rupiah.

Upaya para reporter dan cameraman merekam reportase tersebut dan entah bagaimana mereka “membujuk” para narasumber untuk membagi cerita yang kesemuanya berisi PENIPUAN terhadap konsumen, patut dipuji. Inilah kerja keras yang patut diacungi jempol.

Anehnya, dengan reportase yang “terang-benderang”, walaupun pada kenyataannya sang pelaku dikamuflase, tidak sekalipun terdengar upaya aparat penegak hukum membekuk para pelaku. Kalau saja aparat mau, mereka toh bisa meminta data dari pihak Trans TV. Atau apakah aparat kesulitan mengakses para pelaku karena pihak Trans-TV menerapkan azas perlindungan terhadap narasumber. Lebih buruk lagi bila keengganan aparat mengungkapkan dan membekuk para pelaku karena ada “kerjasama” antara para pelaku dengan aparat.

Menyedihkan sekali … Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam…. Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama yang secara tegas dan jelas melarang adanya bentuk penipuan saat berniaga/berdagang. Ternyata para pelaku perniagaan banyak yang melakukan penipuan. Adakan mereka lupa akan ajaran agamanya… Ataukah, keinginan memperkaya diri dan menumpuk harta membuat mereka lupa diri…? Wallahu alam.

Jumat, 10 Februari 2012

SUKARNYA MERAIH PAHALA


Sosok bungkuknya tertatih-tatih saat berjalan di pagi hari. Bukan saja dikarenakan beratnya beban yang disandang. Yaitu beban berat dari sekitar 10 lembar keset anyaman perca kain. Tetapi usianya memang terlihat sudah tidak muda lagi walaupun sukar untuk menerka usia sebenarnya. Kesulitan dan penderitaan dalam mempertahankan hidup di tengah keganasan ibukota, bisa membuat orang terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Tetapi, melihat postur tubuhnya yang sudah membungkuk, bisa diduga bahwa usianya sudah lebih dari 60 tahun. Entah seberapa tinggi badannya saat muda dulu. Yang pasti, kini tingginya tidak lebih dari batas pinggang saya..... Tidak lebih dari satu meter saja.

Kakek tua itu, entah siapa namanya, biasa ditemui pada pagi hari sekitar jam 07.00 – 08.00. Biasa berjalan terbungkuk-bungkuk, menyusuri sepanjang jalan lebak bulus I, jalan H. Nasihin, jalan lebak bulus 2 atau jalan lebak bulus 4. Di bagian salah satu dari ke empat jalan itulah kami biasa berpapasan dengannya saat mengantar anak sekolah. Kalau tidak salah dia tinggal di kawasan Cilandak Barat. Begitu jawabnya saat kami menanyakan tempat tinggalnya. Cukup jauh perjalanan dan ruang edarnya saat menjajakan dagangan. Sayangnya kami selalu luput dan merasa tergesa-gesa untuk sekedar menanyakan secara detil, lokasi tempat tinggalnya itu. Atau jujurnya... tidak mau meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk seorang tua biasa ...

Tanpa terasa, ternyata sudah beberapa tahun ini kami tidak melihatnya lagi. Entah apakah dia sehat atau sedang dalam keadaan sakit. Badannya yang ringkih. Pekerjaannya yang berat tanpa asupan makanan yang baik, tentu akan dengan mudah terserang penyakit. Kemungkinan yang terburuk adalah ... kakek tua itu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa?. Ah ...... Semoga dia masih sehat dan absennya menjajakan keset hanya dikarenakan hujan lebat yang akhir-akhir ini melanda Jakarta. Ingin sekali kami membantu meringankan bebannya. Apa saja yang mampu kami lakukan untuk itu,

Ternyata mewujudkan keinginan tersebut tidaklah mudah. Kesempatan bertemu dengannya bagaikan menunggu undian keberuntungan yang entah kapan bisa mendatangi kami. Sangat sukar diduga. Pada kenyataannya, seringkali kami berpapasan dengannya saat sedang tergesa-gesa mengantar anak yang kesiangan bangun sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk menyapanya. Beberapa kali kami berpapasan dalam kepadatan jalan, sehingga kami merasa sukar berhenti untuk sekedar menyapanya. Atau mungkin, ada rasa enggan, yang malu untuk kami akui, untuk sekedar menyapa orang kecil. Ah .... kami memang berusaha menepis rasa enggan itu.

Di lain waktu, pertemuan itu terjadi saat kami sedang dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk menghentikan kendaraan. Bahkan yang paling sial adalah saat kami sama sekali tidak membawa dompet, sementara di kotak penyimpan koin/uang di mobilpun tidak tersisa sedikit uang yang bisa diberikan padanya. Jadi hilanglah kesempatan meraih pahala.....

Di lain kesempatan, saat kami keluar rumah pada jam-jam biasa dengan penuh niat untuk memberikan dan sudah menyiapkan segala sesuatu untuknya, maka dia lenyap bagai ditelan bumi, walau kami sudah berusaha menyusuri jalur yang biasa dilaluinya Tidak terlihat sosok bungkuknya yang tertatih-tatih dengan beban keset perca kain. Dan itu berlangsung hingga berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Seperti saat ini.... beberapa tahun kemudian, saat kusadari bahwa kakek tua itu lenyap tanpa bekas..

Itu sebabnya, ketika bersiap mengantar anak berangkat ke sekolah, saya dan suami saling mengingatkan untuk membawa dompet sambil bergurau .... ”Ayo..... siap-siap untuk menggapai pahala...”

Lebak bulus 6 februari 2007 jam 22.30 - reedit 10 Februari 2012

Selasa, 07 Februari 2012

KEIKHLASAN HATI ORANG KECIL


Hari Senin pagi 5 Februari 2007, perjalanan dari Lebak Bulus ke kawasan Blok M relatif lebih lancar daripada biasanya. Mungkin karena sebagian orang masih mendapat kesulitan untuk keluar rumah menuju kantor, akibat banjir besar yang melanda Jakarta sejak hari Kamis yang lalu.

Biasanya, saya berangkat dari rumah ke kantor melalui jalan Tebah, di belakang Pasar Mayestik lalu masuk ke jl Bumi dan Jalan Kerinci lalu keluar di Jalan Pakubuwono VI. Namun pagi ini, saya sengaja melintasi jalan Pati Unus untuk berbelok ke arah Jl. Paukubuwono VI karena ingin membeli pisang terlebih dahulu.

Di depan rumah makan Warung Daun ada penjaja pisang barangan. Di situlah saya biasa membeli pisang setiap minggu. Perempuan penjajanya sudah tahu bahwa saya akan membeli 3 sisir pisang. Satu sisir matang dan 2 sisir lainnya mengkal atau terkadang masih kehijauan. begitu juga rencananya pagi ini. Saat saya menghentikan mobil, dengan sigap dia memilih-milih pisang dan menyodorkannya kepada saya. Saya mengeluarkan uang selembar 50 ribu. Itulah lembaran yang ada di dalam dompet di samping beberapa lebar ribuan di dalam kotak uang untuk pembayar ongkos parker, yang tak cukup untuk membayar 3 sisir pisang. Agak ragu perempuan itu menatap saya ;

“Ibu … apa bisa diberikan uang pas saja?” tanyanya.
Saya melihat isi dompet dan tas... ternyata sama sekali tidak ada. Maklum awal bulan begini, isi dompet sedang sekarat. Kosong setelah digunakan kewajiban rutin, dari belanja bulanan, membayar gaji pembantu sampai dengan uang sekolah anak.
”Aduh maaf ... nggak ada uang pas...!”
”Saya tukar di warung dulu ya bu...” pintanya, meminta kesediaan saya menunggu. Saya melirik di sekitar jalan raya tersebut. Tidak ada warung sama sekali. Tentu saya harus menunggunya agak lama, sampai dia kembali dengan uang tukarannya. Dan saya merasa enggan menunggunya. Apalagi jalan Pakubuwono VI di pagi hari cukup ramai.
”Kalau nggak ada kembalinya, saya ambil dua sisir saja ya ... saya punya uang kecil untuk itu...”, usul saya menutupi keengganan menunggunya mencari tukaran uang. Cepat saya hitung uang receh di mobil yang terdiri dari uang kertas dan koin. Semuanya berjumlah enam belas ribu. Masih kurang dua ribu.
”Nah... lihat deh, uang saya nggak cukup. Saya ambil dua sisir saja ya...”
”Jangan bu .... , ambil saja semuanya. Ibu kan besok lewat lagi, jadi besok saja bayar kekurangannya!” begitu katanya, seraya mengembalikan lembar uang 50 ribu kepada saya.
”Aduh ... saya belum tentu lewat sini lagi lho besok. Jadi biar saya ambil 2 sisir saja. Saya bisa mampir kapan-kapan kesini.”
”Nggak apa-apa bu ... kapan ibu lewat saja, bayarnya......”, sahutnya.
Saya mengambil lembaran uang tersebut dan segera berlalu darinya. Di belakang sudah banyak mobil menunggu.

Tiba di kantor, sambil menunggu komputer menyala baru saya sadari, betapa lugu dan naifnya penjaja pisang itu. Dia rela mengambil resiko ”kehilangan” keuntungan sebesar dua ribu rupiah. Bayangkan seandainya saya tidak lagi lewat tempatnya berjualan. Dua ribu memang kecil nilainya dibandingkan dengan pengembalian uang sebesar 32 ribu yang harus diberikannya kepada saya. Tetapi saya yakin, uang dua ribu itu begitu besar artinya bagi seorang penjaja pisang di pinggir jalan. Toh dia rela dan ikhlas ”kehilangan” sementara uang tersebut dan begitu mempercayai saya, perempuan yang kebetulan secara rutin membeli dagangannya. Sementara saya, tidak ikhlas menunggunya menukarkan uang atau bersikap seperti yang dilakukannya Apalah susahnya mengatakan ....
”Ambil saja dulu uang itu. Besok saya lewat lagi dan kembalikan saja uang saya, besok”
Ternyata saya sama sekali  tidak memiliki keikhlasan dan kepercayaan kepadanya seperti apa yang diperlihatkannya kepada saya. Malu rasanya menyadari hal itu. Padahal dulu, sebelum pindah ke Lebak Bulus, saya selalu mempercayai penjaja sayur yang biasa datang ke rumah atau pembantu rumah. Setiap hari, saya selalu meletakkan uang di kotak yang tersimpan di atas lemari es, untuk belanja sehari-hari, yaitu sayuran dan bumbu dapur serta ongkos transport Muslimin ke sekolah. Tanpa sekalipun meminta rincian pengeluaran. Saya mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau pembantu mengadu bahwa Muslimin mengambil uang lebih dari jatahnya, saya dengan enteng berkata :
”Biar saja... uang itu tidak akan membuat Muslimin menjadi kaya raya mendadak atau saya menjadi jatuh miskin. Yang pasti, orang yang mengambilnya tidak akan mendapat berkah Allah SWT”

Sekarang, saat tinggal di Lebak Bulus, saya menitipkan uang belanja sayuran kepada ibu saya. Entah bagaimana beliau mengurusnya. Saya tidak lagi menaruh uang di atas kulkas untuk belanja. Mungkinkah karena hal kecil itu saya menjadi kehilangan sensitifitas untuk mempercayai orang kecil? Astaghfirullah ... betapa picik dan sombongnya saya.... Ampun Tuhan..... Sungguh saya menyesal hari ini... saya sudah terjerat pada fenomena low trust society .... tidak memberikan kepercayaan kepada lingkungan sekitar. Selalu memandang curiga kepada orang lain.

Besok saya harus lewat dan membayar kekurangan uang itu. Dua ribu yang relatif tidak bernilai buat saya, tapi betul-betul sudah membuat martabat saya ”terjerembab” ke dasar jurang... Sungguh saya malu... selama ini saya selalu berpegang teguh untuk selalu menjaga martabat diri. Selalu berusaha untuk tidak berlaku dzalim atau mencurangi orang lain. Ternyata apa yang saya lakukan masih sebatas artificial yang dengan sangat mudah dipatahkan oleh perempuan sederhana itu....

Kalaupun esok[1] saya ikhlas memberikan uang lebih besar daripada uang yang harus saya kembalikan, tetapi saya merasa yakin bahwa keikhlasan itu tidak lagi bernilai dimata Allah SWT. Saya sudah kehilangan momentum yang baik untuk meraih ”nilai positif” di mata Allah SWT. Pada hari ini, saya sudah menampik kesempatan untuk meraih pahala dan berkah Allah. Sungguh, kesempatan itu selalu datang dalam bentuk dan pada waktu yang sama sekali tak terduga.

Ampuni saya ya Allah.... Jadikan hal tersebut yang pertama dan terakhir. Sungguh, berikan saya kesempatan untuk selalu menjadi golongan orang-orang yang senantiasa rendah hati dan ikhlas serta dijauhkan dari kesombongan. Amien....!

Lebak bulus 5 februari 2007 jam 22.30  


[1] Hari ini, selasa, saya lewat Jl Pakubuwono dan berniat melunasi hutang saya. Seperti yang saya takuti sejak semalam, perempuan penjaja pisang itu tak terlihat. Dia tidak menggelar dagangannya. Duh … Itulah akibat dari “menampik kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk memperoleh pahala dan berkah.

Sabtu, 04 Februari 2012

BUAHNYA MANNAAA.....???


Suami saya pagi-pagi sudah komplain... maksudnya "ngadu", karena sejak hari rabu siang, saat makan siang sampai tadi pagi, dia nggak makan buah sama sekali. Maklum saja, dia tidak ada di rumah, tapi sedang ikut raker di Ciloto sampai hari Jum'at. Padahal kalo di rumah, buah-buahan dalam bentuk juice atau buah potong, pasti jadi makanan pembuka - appetizer, sebelum makan nasi dan lauk pauk.

Ini gara-gara teorynya food combining yang menyatakan bahwa buah-buahan itu akan habis dicernakan dalam waktu 15 menit setelah melewati tenggorokan. Sedangkan karbohidrat (nasi, kentang dll) dalam waktu 2 jam dan protein hewani dalam waktu 3-4 jam. Jadi kalau kita makan buah-buahan sebagai penutup, maka, dia harus menunggu giliran 3-4 jam dulu, baru mendapat giliran masuk lambung untuk dicernakan. Akibatnya ... buah-buahan yang sudah dikunyah dan bercampur enzym air liur akan membusuk sebelum mencapai lambung sehingga lama-kelamaan, tubuh kita akan teracuni dan timbul banyak masalah kesehatan. Itu teory yang di anut oleh food combining.

Mungkin ada benarnya juga. Kalau kita perhatikan dengan seksama, saat kita meminum juice buah yang dibuat lebih dari 15 menit sebelum disantap, apalagi kalau juice tersebut berada pada suhu ruang, suhu yang hampir sama dengan suhu tubuh manusia, maka rasa juice tersebut akan berubah. Menjadi sedikit basi... bahkan untuk buah-buahan tertentu, juice akan berbusa.

Sejak mengikuti cara makan a la food combining, urusan "ke belakang" menjadi lancar dan mulus. Padahal saya dulu termasuk penderita konstipasi dan suami penderita ambeien. Effek positif lainnya, berat badan relatif terkontrol, nggak gampang pusing dan merasa lebih sehat. Cuma repotnya, kalau sedang keluar kota dan ada perubahan pola dan menu makan, maka semuanya jadi kacau balau. Ya seperti suami saya itu .... mengeluh karena ritme biologisnya berubah total dan dia merasa sangat tidak nyaman.

Buah-buahan terlebih bila dikonsumsi 15 - 30 menit sebelum makan "berat" memang dipandang aneh oleh orang kebanyakan. Saya ingat, malam minggu lalu, saat menghadiri resepsi pernikahan, seorang kawan lama terheran-heran saat saya menyantap buah-buahan ...

"Lho ... kamu sudah selesai makan ya? Kok cepat sih ... udah makan buah ....? Memang datang jam berapa?", begitu katanya.. Saya hanya tertawa mendengarnya..
"Saya biasa makan buah dulu, supaya kenyang dan makan malamnya cukup dalam porsi yang kecil saja...". 

Ini jawaban logis yang masih bisa diterima orang banyak. Kalau ngomongin food combining di tengah pesta, bisa dipelototin....hehehe ... lagi enak-enak mencicipi makanan kok dikuliahi .....
yang mau ngintip apa itu food combining, silakan kunjungi web site nya http://www.foodcombiningways.com 
Siapa tahu cocok

Rabu, 01 Februari 2012

BERBAGI MALAM


Malam ini, seperti malam Jum’at lainnya saat tidak ada halangan atau acara, kami ”pisah ranjang” sementara. Saya tidur sendiri atau mengajak anak tidur di kamar kami mengisi bagian tempat tidur yang kosong. Sementara suami mengungsi ke rumah ibunya, menginap disana dan langsung berangkat ke kantor keesokan harinyanya, seusai menemani ibunya sarapan pagi.

Hal ini sudah berlangsung sekitar 4 tahun, yaitu sejak ibunya yang saat ini sudah berusia 85 tahun terkena stroke dan dirawat di RSCM. Jadi sejak itu, seluruh anak lelakinya yang berjumlah 6 orang bersepakat untuk secara bergantian menginap di rumah ibu mereka. Agar bila terjadi sesuatu di malam hari, ada lelaki yang ”bergerak” mengurusi berbagai hal yang diperlukan. Maklum saja, ibu mertua saya sekarang tinggal di rumah hanya dengan perawat  yang menemaninya selama 24 jam. Siang hari ada Nelly untuk membantu membereskan pekerjaan rumah. Sebetulnya ada Bayu cucunya yang ikut tinggal dengannya. Tapi ... mana ada anak muda yang betah di rumah menemani nenek-nenek pikun. Jadi seusai kuliah, yang entar sampai jam berapa itu, dia umumnya baru akan tiba di rumah menjelang tengah malam atau rata-rata sekitar jam 22.00..

Entah sampai kapan jadwal menginap itu akan berlangsung dan masih dipatuhi mereka karena ternyata, tidak selamanya berjalan dengan lancar. Lama kelamaan, beberapa dari istri-istri mereka mengeluh akan ”kewajiban” berbagi malam dengan ibu mertua. Maklumlah, jaman sekarang jamannya ”kemandirian keluarga inti”. Anak-anak yang sudah menikah, terutama yang hidup di kota besar, membentuk keluarga inti yang solid. Keluarga yang betul-betul melepaskan diri dari ”pengaruh” keluarga besarnya. Begitu pula adanya dengan kehidupan kami pada lima belas tahun pertama perkawinan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ada perubahan persepsi dalam melihat hubungan antara anak dan orangtua yang semakin lanjut usia. Suami saya, terutama, melihat bahwa menemani dan merawat orangtua saat mereka sudah tua dan pikun, ibarat mendapat kesempatan dari Allah SWT untuk meraih ”pahala surga”. Akankah kita kita raih dan dan genggam kesempatan itu atau kita tampik begitu saja. Itu sebabnya suami akan marah sekali kalau kami secara tidak sengaja ”salah ngomong” dan dianggap meledek rutinitasnya tidur di rumah ibunya.
”Nggak usah ngeledek!!! Bayangkan kalau kamu tua nanti dan anakmu sama sekali tidak mau merawat atau bahkan untuk sekedar menengok ibunya”, sahutnya ketus menanggapi ”kesalahan omong” itu. Padahal ledekan itu hanya karena keisengan kami saja. Bukan disebabkan karena kami (anak dan istrinya) berkeberatan.

Tapi... mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya itu. Saya selalu meyakini bahwa orangtua adalah cermin bagi anak-anaknya dan apa yang dilakukan orangtua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bahkan perhatian dan kasih sayang serta kedekatan hubungan antara orangtua dengan anak akan berbalas dengan hal yang sama saat kita tua nanti. Artinya, bila saat anak-anak masih kecil lebih banyak diasuh dan diurus oleh pengasuhnya, maka kelak saat kita tua nanti maka si anak akan lebih suka menempatkan orangtuanya ke rumah jompo dibandingkan dengan mengurus orangtuanya di rumah dengan alasan yang sebetulnya sangat logis. Supaya para manula memiliki kegiatan bersama di lingkungan yang terjamin. Padahal .. tidak semua orangtua suka berada di panti jompo. Mereka tentu akan lebih suka berada di tengah keluarga bersama anak dan cucu-cucunya serta tinggal di lingkungan yang familiar. Kita mungkin akan berdalih macam-macam untuk menghindari ”kewajiban” mengurus atau tinggal dengan orangtua di kala mereka tua. Yang paling umum adalah dalih ”kemandirian” keluarga dan menghindari konfllik antara menantu-mertua. Memang inipun bukan hal yang mudah untuk dijalani.

Ketika usia sudah mencapai ½ abad, saya seringkali tepekur, bagaimana kelak kami akan menghabiskan masa tua. Akankah kami menghabiskan masa tua di tengah anak – menantu dan cucu-cucu? Ataukah harus menghabiskan waktu dalam kesendirian. Bisa jadi kemungkinan kedua yang akan terjadi. Anak lelaki dan menantu saya sudah memastikan tidak bermaksud tinggal di Indonesia. Tapi, banyak rahasia hidup yang berada di dalam genggaman Allah SWT. Siapa tahu saat kami tua nanti, si anak hilang itu akan kembali tinggal di Indonesia bersama anak – istrinya. Untuk sementara, yah... jalani saja hidup ini sebagaimana adanya.

Dua minggu yang lalu, mertuaku akhirnya meninggal dunia dalam usianya yang hampir 90 tahun. Mungkin lebih baik begitu karena sudah hampir 1 tahun terakhir beliau hanya terbaring di tempat tidur. Sudah tidak mampu lagi berkomunikasi dengan anak-cucu dan cicitnya, apalagi untuk beribadah. Jadi... kualitas hidup seperti apalagi yang bisa diharapkannya? Semoga beliau mendapat tempat yang layak disisiNya.

Lebak bulus, 25 Januari 2007 jam 23.45
reedit 1 Februari 2012 @ Batu
reedit

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...