Rabu, 25 April 2018

ISLAM TAPI TIDAK ISLAMI

Saya mendapat kiriman artikel ini, namun sayangnya tidak mencantumkan siapa penulisnya. Jadi pengantar ini sekaligusa permohonan maaf dan permintaan ijin untuk menyebarkan tulisan yang sangat bermanfaat untuk introspeksi 


SYAIKH Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Renan, filosof Prancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya. Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur itu mengatakan :

“Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran.Tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam."

Dan Abduh pun terdiam. 

Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran ( shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW. 

Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai  'islamicity index' mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut. Hasilnya ? 

Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami..!
Indonesia .........? 
Harus puas di urutan ke 140. 
Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di 'ranking' 100-200.

Apa itu islam ? 
Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami ? 
Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa : 

“Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya."
Itu indikator. 

Atau hadits yang berbunyi :
“Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat."
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... hormati tamu."
"Bicara yang baik atau diam."

Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara. 

Dengan indikator-indikator diatas tak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis akhirnya dia berkomentar :
“Saya tidak melihat Muslim disini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam,
sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam."

Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling islami no 5. Beliau heran melihat penduduk disana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya :
“mengapa harus dikunci ?”

Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah. 

Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata  “iman” sama akar katanya dengan aman. Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman. 

Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman ditengah orang-orang yang (mengaku) beriman. Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah :

“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan,hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda."

Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib. Mengapa kontradiksi ini terjadi ? 

Syaikh Basuni, ulama Kalimantan, pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir.  Suratnya berisi pertanyaan :

“Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum ?”
("Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?") 

Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha, Islam mundur karena umat meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju juga karena meninggalkan ajarannya.

Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran 'iqro' (membaca) dan cinta ilmu. Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca. 

Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori 'low trust society' yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga. 

Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya. Siapa yang salah ?

Mungkin yang salah yang membuat 'survey'... 
Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya pastilah Indonesia ada di ranking pertama.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

***

Saudara-saudariku tercinta, mari kita berbenah...
mulai dari diri kita sendiri...
mulai dari sekarang.... 
Jadilah kita seorang muslim yang islami oke?

Selasa, 03 April 2018

SISI LAIN DARI PERJALANAN HAJI DAN UMROH

Hampir setiap kaum muslimin selalu mengidamkan untuk melakukan perjalanan ibadah haji atau umroh. Karenanya sangat tidak mengejutkan bila minat melakukan ibadah haji dan umroh, sangat tinggi. Apalagi karena saat ini, masa penantian untuk mendapatkan “kursi” melakukan ibadah haji baik dengan ONH reguler maupun ONH Plus, sangat panjang. Konon kabarnya, di beberapa daerah yang peminatnya banyak, bila mendaftar tahun 2018 ini, paling cepat baru akan mendapatkan jatah terbang pada tahun 2030. Pengecualiannya adalah bila kita termasuk manusia lanjut usia alias manula yang berumur di atas 60 tahun, penantiannya bisa diperpendek. Seberapa lama? Wallahu’alam. Masih sebatas kabarnya.

Itu sebab, perjalanan umroh yang masuk kategori Sunnah menjadi “seolah wajib”, mengalahkan ibadah haji yang sesungguhnya wajib bagi yang mampu. Mampu biaya, fisik dan pengetahuan tata cara ibadah, walau kemampuan yang terakhir ini bisa diperoleh melalui kelompok bimbingan ibadah haji alias KBIH yang mengorganisir keberangkatan haji ONH reguler atau travel biro yang mengurusi keberangkatan haji swasta alias ONH plus. Plus fasilitasnya, minimal jumlah hari nya namun plus–plus biayanya. Minimal 2x dari ONH reguler. Bahkan ada yang biayanya hingga 5 atau 8x ONH reguler. Biarlah …. Mereka mendaftar sesuai dengan kemampuan finansialnya yang mau tak mau, secara tak langsung, menunjukkan status sosialnya di masyarakat.

Apa yang membedakan perjalanan haji pada tahun 1994, serta perjalanan umroh yang dilakukan pada akhir tahun 1995, tahun 2002, 2008, 2010 dan 2018 yang baru lalu?

Ibadah haji tahun 1994, dengan ONH regular seharga sekitar 8 jutaan, bisa dilaksanakan tanpa daftar tunggu. Bayar di bank penerima ONH, daftar, lalu tinggal tunggu kabar, masuk keloter alias kelompok terbang mana.  Begitu mudahnya sehingga kita bisa memilih KBIH alias kelompok bimbingan ibadah haji manapun yang kita inginkan. Dengan sedikit biaya tambahan, KBIH ini akan mengurus segala sesuatu agar anggotanya bisa berangkat bersama serta mengatur apakan akan berangkat pada kloter awal, yang berarti memiliki waktu yang panjang untuk adaptasi dengan suasana dan cuaca tanah Arab yang ganas, lalu pulang beberapa hari saja setelah ibadah haji selesai. Atau memilih kloter di tengah namun menuju Madinah terlebih dahulu sehingga memiliki waktu untuk penyesuaian disbanding yang langsung terbang ke Makkah, yang berarti langsung berjibaku dengan kepadatan kota Makkah di tengah kelelahan perjalanan dari tanah air ke Jeddah, tetapi harus langsung melakukan umroh untuk, beberapa hari kemudian berwukuf di padang Arafah. Bagaimana kondisi perjalanan haji saat ini terutama untuk ONH reguler? Entahlah … Berharap jauh lebih baik.

Perjalanan umroh pertama pada akhir tahun 1995, dilakukan dengan “gaya eksekutif muda”. Tahu maksudnya? Mencari fasilitas wah, hotel bintang 5, tak peduli harga mahal, walau ternyata kegiatan banyak dilakukan di dalam masjid. Namun pada tahun 1995, biro perjalanan umroh memang masih terbatas, termasuk juga tentunya, peminatnya. Mungkin itu sebabnya, maka fasilitas yang ditawarkannya memang serba wah, apalagi dilengkapi dengan perjalanan terusan ke Jerusalem. Kalau tidak salah dengan biaya USD 2.850 yang saat ini setara dengan hampir 40 juta rupiah untuk 2orang/kamar. Jadi kalau dibandingkan dengan biaya umroh sekarang yang konon hanya 15 juta sd 18 juta untuk 4 orang sekamar, untuk ongkos umroh dengan sebutan promo, sepertinya ada penurunan biaya. Tapi memang, harga sebesar 15 juta hingga 18 juta sangat minim untuk memberikan pelayanan yang baik …. Biaya Umroh dengan fasilitas 5* untuk 2 orang/kamar tetap saja di atas 30 juta. Namun apapun juga, kalau dihitung dalam mata uang USD, biaya umroh kali ini lebih murah dibandingkan dengan tahun 1990an. Mungkin karena biro perjalanan umroh sudah terlalu banyak, jadi walau peminatnya banyak tetap saja ada persaingan tidak sehat untuk meraih sebanyak mungkin jamaah melalui berbagai program. Ada program back packer, program promo dan seterusnya.

Bicara mengenai kondisi di Makkah dan Madinah, ada banyak perbaikan menyolok terutama di sekitar masjid utama yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Berbagai fasilitas ditambahkan seperti hotel dan toilet umum, walau untuk itu kemudian menghilangkan sebagian situs bersejarah. Sebut saja sumur zamzam yang pada tahun 1990 bisa dimasuki dari pelataran tawaf, sekarang sudah tidak terlihat lagi dan nyaris terlupakan dimana lokasi tepat dari sumur zamzam tersebut.

Begitu juga dengan toilet yang sekarang sudah diperbanyak, terutama di luar al Haram. Ada pertanyaan menggelitik ….., mengapa dari puluhan bilik toilet umum, hanya ada sekitar 10% sampai 15% saja yang berbentuk kloset duduk, sementara sebagian besar berbentuk kloset jongkok. Memang …. Ditinjau dari sudut pandang kesehatan, konon penggunaan kloset jongkok, jauh lebih menyehatkan dibanding dengan penggunaan kloset duduk.

Dilihat dari sudut pandang kebersihan, dengan menggunakan kloset jongkok, tidak ada bagian tubuh kita (kecuali kaki) yang bersentuhan dengan kloset, sehingga kuman tidak akan masuk dan bersentuhan dengan organ intim, terutama organ intim perempuan. Lalu, posisi jongkok menyebabkan tekanan pada perut, sehingga saat BAB, seluruh kotoran dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan tuntas. Namun …. bagi orang dengan postur tubuh besar apalagi sudah berumur, kloset jongkok menyulitkan untuk berdiri, termasuk walaupun sudah dilengkapi dengan pegangan untuk membantu kita berdiri.

Perbaikan fasilitas yang hampir menyeluruh ini dilaksanakan di area masjidil Haram termasuk perluasan area shalat yang konon diharapkan selesai pada tahun 2020 untuk menampung 10 juta jamaah saat shalat fardhu. Mungkin nantinya akan membingungkan kalau berbicara soal fadillah atau pahala shalat 100.000 kali di area perluasan Masjidil Haram yang jelas-jelas lokasinya jauh dari Kabah. Lha wong …. Bukit Safa dan Marwa yang lokasinya sangat dekat dari Kabah saja sudah terhitung berada di luar area al Haram. 

Ah biarlah ….. Allah semata jualah yang akan menilai sah atau tidaknya ibadah manusia. Ikhlaskah kita dalam menjalankan ibadah tersebut atau semata-mata hanya menjadi pemburu pahala? Ini mungkin yang perlu ditanamkan pada para jamaah. Beribadah itu, apalagi di al Haram, hendaknya dilaksanakan karena keikhlasan menjalankan perintahNya … bukan berdasarkan transaksi dagang …. yaitu beribadah karena mengharapkan imbalan pahala. Wallahu’alam.

Dari semua perubahan-perubahan tersebut, ada satu hal yang tidak terlihat banyak perubahan, yaitu soal kebersihan toilet dengan konsekuensi, tentunya bebauan yang mengudara di seantero area toilet. Mengapa terjadi begitu …..?

Kalau boleh jujur …. harus diakui dengan rendah hati bahwa sebagian besar jamaah Haji maupun Umroh adalah mereka yang berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka yang memupuk mimpi ingin berkunjung ke Baitullah dengan menabung sedikit demi sedikit penghasilannya, bahkan menabung hampir sepanjang hidupnya. Mengiringi kondisi itu, tentu tata cara hidupnya berbeda dengan mereka yang berasal dari strata sosial di atasnya. Begitu juga dengan standar kebersihan yang dianutnya.  Jangankan penggunaan kloset duduk, penggunaan kloset jongkok yang memiliki tangki bilaspun menjadi suatu hal yang aneh bagi mereka. 

Mereka tidak mengerti bagaimana membersihkan kotorannya. Apalagi kalau menggunakan kloset duduk lengkap dengan kertas toilet. Walhasil …… kerap kali kotoran manusia masih berada dalam kloset ditinggalkan begitu saja. Sama sekali tidak higienis dan pasti menguarkan bebauan tak enak. Kasihan sesungguhnya kepada petugas kebersihan. Tapi apa mau dikata? Lack of communication ….. petugas kebersihan yang berasal dari negara–negara miskin seperti Pakistan dan Bangladesh (untung belum menemukan orang Indonesia) tidak mampu berbahasa Inggris kecuali mungkin bahasa Arab sekedarnya. Sama juga dengan jamaah dari golongan bawah yang tidak mampu berbahasa asing kecuali Bahasa daerah atau Bahasa nasionalnya.

kompartemen toilet di pesawat
Sampai saat ini, saya mengalami trauma berat akan kebersihan toilet di Wilayah Timur Tengah ini. Rasa waswas manakala harus menggunakan toilet selalu mengiringi dan sialnya hal yang selalu dihindari justru dijumpai … Ya .. itu tadi … kloset penuh kotoran atau kalaupun tidak ada kotoran, tetapi bebauan yang aneh bin ajaib membuat perut mual. Ini masalah yang sangat umum dalam perjalanan di area Timur Tengah. Walau Saudi Arabia adalah Negara kaya dan tentunya mampu memberikan pelayanan kebersihan dan peralatannya yang prima, namun karena mayoritas pengguna fasilitas umum tersebut berasal dari golongan bawah maka upaya tersebut menjadi terlihat sia–sia.

Sebetulnya, masalah penggunaan toilet sudah dimulai sejak jamaah naik pesawat. Seperti sudah dikatakan, sebagian besar jamaah haji dan umroh adalah mereka dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang rendah pula pengetahuan umum, kemampuan berkomunikasi/bahasa dan standar kebersihannya. Bukan tidak mungkin, sebagian dari mereka adalah orang–orang yang baru pertama kali naik pesawat, jarak jauh pula. Rasanya selain manasik tentang ritual ibadah, untuk menyempurakannya, selain tata cara tayammum, calon jamaah haji dan umroh perlu juga dibekali dengan pengetahuan; mengapa untuk salat, kita harus melakukan tayammum selama perjalanan di atas pesawat, bukan menggunakan air untuk berwudhu di toilet pesawat. Dalam pengertian mereka selama ini, “haram bertayammunm” bila masih bisa dijumpai air, walau sedikit air di toilet pesawat. Ini menyebabkan toilet di pesawat seringkali basah dan tentu saja memancing “kegeraman” awak pesawat.

Peralatan yang ada di dalam toilet pesawatpun kerap kali menjadi masalah. Dari hal sederhana, bagaimana mengunci pintu toilet, menggunakan flush/pembilas kotoran, anjuran membersihkan wastafel setelah menggunakannya, tempat pembuangan kertas yang telah digunakan, sering tijdvak dimengerti. Akhirnya kertas seringkali dibuang begitu saja di lantai toilet pesawat.

Kamar mandi hotel Bintang 4
Bayangkan saja … manakala, kita duduk dekat toilet, lalu ada seorang lelaki tua, tanpa mengunci pintu lalu mengangkat tinggi-tinggi gamisnya untuk kemudian menurunkan celana panjangnya lalu melakukan hajatnya tanpa merapatkan pintu  toilet sehingga bagian tubuhnya terlihat dari luar. Terpaksalah meminta bantuan orang lain untuk merapatkan/menutup pintu toilet agar auratnya tidak terlihat dari luar oleh lawan jenis pula.…. 

Astaghfirullah ….. diberitahupun, ternyata dia tidak mengerti dan curant berkenan … Sudah dibantu untuk menutup pintunyapun, dia merasa terganggu, terlihat dari wajahnya yang terlihat marah manakala dia keluar dari restroom.  Mungkin ketakutan tidak bisa keluar dari restroom atau apalah …., Yang pasti… orang yang sama melakukan kesalahan yang sama berulang kali selama perjalanan.

Penggunaan kamar mandi hotelpun seringkali bermasalah. Mereka yang tidak terbiasa menggunakan kloset duduk, bath tube lengkap dengan hand atau head shower, pengatur suhu air dan sebagainya. Kebiasaan mandi dengan air berlimpah dan gayung ditangan, tidak bisa dilupakan. Akibatnya, alih–alih masuk bath tube dan menggunakan hand shower atau fixed shower, sebagian orang justru memfungsikan bath tube sebagai bak mandi, mengisinya lalu mandi di luar bath tube dengan air yang sudah ditampungnya. Jadilah kamar mandi yang seharusnya kering, menjadi basah penuh air.


Kiranya … agar ibadah haji/umroh jamaah lebih sempurna dan mengurangi hal–hal buruk yang terjadi, rasanya dalam manasik/pertemuan yang biasanya dilakukan menjelang keberangkatan, jamaah perlu juga dibekali juga dengan tata cara menggunakan toilet di pesawat lengkap dengan pembekalan atas peralatan yang ada dalam pesawat. Let says pengetahuan tentang “the DO and DON’T” dalam pesawat, lengkap dengan penjelasan “MENGAPA”nya. 

Tata cara ibadah bisa dilaksanakan dengan sangat baik karena ada bimbingan muthowif, namun selama di pesawat, di peturasan alias bilik toilet umum atau dalam penginapan, mereka harus mandiri dan mengetahui tata cara penggunaan peralatan yang ada. Dengan demikian kita bisa berharap bahwa perjalanan dan ibadah yang dilakukan bisa lebih sempurna.

Gua HIRA - MISSION ACCOMPLISHED

Mercu Suar Pulau Lengkuas
Sama sekali tidak pernah terbayangkan untuk "naik gunung" walaupun untuk sebuah gunung yang kalau di Indonesia hanya pantas dinamakan bukit. Tapi bukit atau gunung ini memang sangat fenomenal dan bersejarah terutama dalam kaitan dengan turunnya ayat pertama al Qur'an yang menandakan awal turunnya agama wahyu yang berasal dari Allah SWT serta dalam perkembangan agama Islam selanjutnya terutama saat menjelang hijrahnya Rasulullah SAW ke Yastrib, yang sekarang dikenal sebagai Madinah al Munawaroh.

Adalah cerita tentang perjalanannya naik Jabal Nur serta mengunjungi gua Hira yang selalu diomongkan di meja makan atas lebih tepatnya semacam "provokasi" dari suami  manakala setiap dia pulang umroh sendiri, back pack bermodal tiket dan visa saja. Cerita "keseruan" mengunjungi gua Hira lengkap dengan cerita tentang nenek-nenek Turkish gemuk yang walau kepayahan berhasil mendaki gunung alias bukit setinggi 565m di atas permukaan laut tersebut. Kalau dikurangi dengan ketinggian permukaan tanah tempat start menaiki tangga, entah berapa ketinggian Jabal Nur. Mungkin sekitar 400 meter sampai dengan 550 meter saja.
Starting point

Begitulah hingga 3 atau 4 kali cerita tersebut masuk dan keluar telinga, saya tidak pernah tergerak untuk mendaki Jabal Nur, begitu nama resminya. Tempat dimana, di salah satu puncaknya terdapat gua Hira... 

Namun ketidak acuhan terhadap Jabal Nur dan gua Hira berubah total. Semuanya bermula pada acara family gathering ke Belitong, tempât tujuan wisata yang saat ini sedang happening, yang diselenggarakan oleh DTM-FTUI sekitar hampir 2 tahun yang lalu. Kala itu, salah satu tujuan wisatanya adalah mengunjungi pulau Lengkuas dimana terdapat mercu suar yang dibangun, kalau tidak salah, pada abad ke 19. Entah mengapa, saat itu ada dorongan untuk naik tangga mercu suar setinggi 18 lantai. Kalau satu lantai terdiri dari 21 anak tangga, berarti ada sekitar 378 anak tangga yang harus didaki. 

Maka pendakian mercu suarpun dimulai ..... Satu demi satu lantai dicapai, dengan beberapa kali perhentian untuk beritirahat dan mengatur nafas. Bimbang antara terus mendaki atau menyerah kalah lalu turun teratur. Suami saat itu tinggal di bawah menikmati kelapa muda dengan rekan-rekannya. Hanya anak gadis saya yang ikut naik ke platform mercu suar. Itupun dilakukan sendiri. Rupanya dia tidak sabar menunggui ibunya yang tertatih-tatih naik tangga. Sampai akhirnya platform mercu suar pun tercapai. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus perlahan, saya mengambil berbagai spot foto dan puncak mercu suar pulau Lengkuas di Belitong .  


Zamzam Tower mengintip dari balik gunung batu
Keberhasilan mencapai puncak mercu suar di pulau Lengkuas, menimbulkan keinginan dan niat... Andai suatu kali Allah SWT masih mengijinkan saya menginjakkan kaki ke tanah Haram, maka saya akan berusaha untuk mengunjungi gua Hira. 

Bukan untuk suatu kesombongan, tetapi untuk melakukan napak tilas perjalanan spiritual Rasulullah SAW yang selama sekitar 2 tahun sebelum beliau menerima wahyu dari malaikat Jibril berupa ayat pertama "IQRA BISMIRABBIKAL LADZI KHALAQ". Ingin merasakan bagaimana perjalanan beliau mencapai lokasi tersebut sekitar lebih dari 14 abad yang lalu.

Begitulah ..... setelah berdebat "keras" mengatur jadwal yang tepat untuk melaksanakan ibadah umroh, pada hari Senin 26 Maret 2018, usai shalat subuh, pada harı ke 2 keberadaan kami di Makkah, kami tidak kembali ke hotel untuk sarapan, tapi menikmati kopi dan roti di mall yang berada di lantai dasar zamzam tower. Sekedar mengisi perut saja. Perjalanan ke Jabal Nur ini memang tidak diketahui oleh tour leader maupun Muthowif, karena sadar belum tentu diizinkan. Selain tidak termasuk dalam program perjalanan, mendaki jabal Nur, bukanlah hal yang biasa dilakukan oleh jamaah umroh/haji dari Indonesia.

Berbekal masing-masing 1 botol air zamzam, kami memesan taxi uituk mengantar ke kaki Jabal Nur, tempat dimana jamaah memulai pendakian, dengan biaya 20SAR. Perjalanan dari area masjidil Haram ke kaki Jabal Nur, lokasi yang beraad di Tengah pemukiman setempat, mungkin dicapai dalam waktu sekitar 15 menit saja. Dengan mengucap bismillah tepat jam 07.00 ksa kami memulai pendakian. 

Dari jauh, pada pemandangan ke arah Jabal Nur ... iring-iringan jamaah yang beringt mendaki, mulai terlihat mengular. Area pendakian terdiri dari untaian tangga selebar sekitar 2 hingga 3 meter yang dibatasi oleh tembok batu setinggi 50cm, sehingga mereka yang kelelahan, bisa beristirahat dan duduk di atas tembok tersebut. Di sebagian lokasi, bisa ditemukan tangga railing/pembatas tembok, namun hanya sedikit sekali yang menggunakan railling besi, itupun ala kadarnya.


Jamaah yang berniat menuju gua Hira
Yang terasa berat, adalah karena anak tangga yang ada tidak memiliki ketinggian standar. Sepertinya dibuat penduduk yang kemudian dimanfaatkan sekaligus sebagai sarana mengharapkan sedekah dari pengunjung. Dengan demikian, ada anak tangga yang nyaman diinjak, tetapi ada juga yang relatif tinggi, sekitar 30cm sehingga sukar dicapai, apalagi kalau ditambah dengan lebar anak tangga yang minim.  

Setelah hampir 2 jam mendaki dengan beberapa kali berhenti, mengambil nafas dan beristirahat, tibalah kami di puncak Jabal Nur..... Selesaikah? ..... Oh, ternyata belum .... kami masih harus menuruni bukit yang kali ini padat manusia, karena jaraknya hanya sekitar 20m saja dari gua Hira. Sudah kepalang tanggung ...... bukit dituruni dan masya Allah ... untuk memasuki gua Hira, kami harus melewati celah batu yang hanya bisa memuat satu orang saja. Itulah satu-satunya jalan masuk dan keluar gua Hira. Riuh dan sesak karena orang yang mau masuk dan keluar seringkali tidak ada yang mau mengalah. Betis dan paha saya mulai terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk, entah kenapa. Apakah karena aliran darah menderas atau signal lainnya.

Buat orang yang bukan termasuk golongan pendaki gunung, pendakian ke puncak gunung batu bernama Jabal Nur adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Udara kering gurun dan lingkungan bebatuan tanpa pepohonan sama sekali, menambah beratnya perjuangan menuju puncak. Beberapa kali kami menjumpai jamaah yang berasal dari Indonesia, yang mengatakan tidak sanggup lagi mencapai puncak dan memutuskan turun kembali. Sekali kami melihat seorang perempuan muda cantik, mungkin berasal dari negara Maghrib atau Iran, yang dipapah keluarganya. Paras cantiknya pucat berkeringat dan tanpa tenaga. Mungkin hampir pingsan dia, kalau tidak ditopang di sisi kiri dan kanannya.


Makkah dari puncak Jabal Nur
Dengan perjuangan berat karena sempitnya celah bebatuan ditambah dengan rendahnya bagian atas celah tersebut, akhirnya kami bisa mencapai muka gua Hira. Alhamdulillah ....
Usai berdoa dan istirahat sejenak, kami akhirnya memutuskan turun kembali lagi, melalui celah yang sama. Keinginan untuk sekedar duduk di area gua yang hanya bisa memuat 1 orang saja (mungkin hanya selebar 1x1,50m) harus ditepis habis-habis. Terlalu banyak antrian dan area sempit di muka mulut gua semakin dipadati orang yang umumnya berasal dari negeri Maghrib, Turki dan Pakistan.

Keluar dari area gua Hira melalui celah batu, ternyata menjadi masalah buat saya. Rupanya, untuk keluar  ada 2 celah batu sepanjang 1 meter untuk kemudian bertemu lagi dengan jalan masuk gua. Setelah suami berhasil keluar dari celah, saya ternyata gagal melakukannya. Rupanya celah batu itu tidak bisa mengakomodir besarnya paha. Ingin keluar melalui jalan masuk, sepertinya mustahil karena arus masuk begitu deras. Akhirnya pasrah membiarkan orang di belakang mendahului. Setelah melihat ada perempuan dengan postur tubuh lebih besar dari saya berhasil melewati celah batu, bangkit juga semangat untuk mencoba lagi. Bismillah .......... Horeeeee .... berhasil ... Tapi tunggu dulu .. perjalanan turun bukan juga hal mudah untuk perempuan dengan usia di atas 60 tahun.


menerobos celah batu
Bayangan bahwa menuruni bukit menjadi lebih mudah, ternyata salah besar. Saya pernah membaca suatu artikel bahwa sesungguhnya menuruni tangga menjadi jauh lebih berbahaya bagi struktur tulang manusia. Alamak ....... membayangkan yang buruk .... Ah semoga saja tidak terdapat osteoporousis yang bisa meretakkan struktur tulang tatkala menuruni bukit.

Konyolnya ... suami yang menjadi tumpuan untuk menuruni bukit, malah melesat turun sendiri. Terlalu ....... Baru 1/3 jarak dia menunggu, setelah puas menikmati jeniper alias jeruk nipis peras yang banyak dijual di sepanjang jalan.

Bila dihitung, total perjalanan mendaki Jabal Nur memakan waktu sekitar 3 jam, yaitu 2 jam saat mendaki dan saat menuruninya memakan waktu 1 jam saja. Semua perjalanan tersebut termasuk beberapa kali istirahat, manakala kaki dan semangat mulai menurun. 

Tepat jam 10.00 pagi, kami tiba kembali di area start dan mulai tawar menawar taxi. 30 SAR, tidak bisa curant dari itu, seperti dugaan. Pengemudi taxi tahu betul bahwa semua yang baru turun dari Jabal Nur sangat tergantung pada mereka. Para pendatang alias jamaah umroh, tentu sama sekali tidak tahu dimana bisa mendapatkan taxi lagi kecuali pada area tersebut. Dengan mengucap Alhamdulillah, kami tiba kembali di hotel, beristirahat sebentar, mandi .... lalu tidur.


bersujud di petilasan Rasulullah SAW
Saya sendiri lalu membalur bagian tubuh yang nyeri dengan salonpas cream untuk meredakan rasa sakit dan pegal, sebelum istirahat. Selama 2 harı setelahnya, pegal di betis dan paha masih terasa, sehingga untuk shalatpun terasa sangat menyakitkan. Namun kondisi tersebut, alhamdulillah tidak mengurangi keinginan untuk shalat berjamaah di masjidil Haram dan melakukan tawaf sunnah pengganti tahiyatul masjid.

Apa yang didapat dari perjalanan ke gua Hira? Minimal adalah menghargai dan menghayati perjalanan batin Resulullah SAW selama masa hidupnya di Makkah. Tidak terbayangkan bagaimana perjalanan naik ke gua Hira lebih dari 14 abad lalu. Tentu bukan tangga yang didaki, tetapi bebatuan gunung yang tajam yang harus didaki. HAnya orang-orang yang memiliki mental kuat yang mampu mendaki gunung batu tersebut. Gua Hira memang lokasi yang sangat ideal untuk berkontemplasi .... introspeksi diri dan menjauhkan diri dari godaan duniawi

Semoga perjalanan ini menjadi introspeksi, bahwa tidak ada yang mudah untuk mencapai apa yang diinginkan terapi juga segalanya bisa dicapai manakala kita teguh dan ikhlas berjuang untuk meraihnya,


BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...