Senin, 30 Januari 2006

Apa yang kita cari dalam hidup ini ???


“Aku mau mengundurkan diri (lagi)”.
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, kala makan pagi di minggu pertama awal tahun ini. Tersentak juga mendengar pernyataan itu. Nggak ada hujan, nggak ada angin badai, lagi-lagi mengundurkan diri … Ini kali yang kedua, dia mengundurkan diri dari jabatan structural yang dipegang, sebelum masanya berakhir.

“Kapan?”
“Siang ini aku mau bicara dengan Deputy. Setelah itu, baru menulis surat resmi”
“Lalu … mau kemana? Balik ke uni? Rasanya dulu kamu pernah bilang … sekali keluar dari Uni … maka tidak sepantasnya kembali lagi dan sebaiknya berkecimpung  terus di luar.”
“Ya …, seperti biasa saja. Ke Uni untuk kegiatan rutin mengajar dan membimbing tugas akhir. Itu saja karena kegiatan itu tetap harus berjalan. Lainnya ... ada proyek yang sedang dirintis dan perlu perhatian penuh”
“Lalu, alasan apa yang mau diberikan ke kantor, nanti?”
“Baca saja surat pengunduran dirinya nanti, … sekalian bantu koreksi ….!”
***

Mengundurkan diri secara sukarela dari suatu jabatan, di Indonesia, apapun motivasinya, belum menjadi suatu tradisi. Jabatan struktural, dimanapun, baik di perusahaan swasta, kalangan lembaga swadaya masyarakat, apalagi di lembaga pemerintahan dan seberapapun tingginya pangkat yang disandang, merupakan idaman hampir setiap orang. Banyak orang berlomba-lomba meraih jabatan setinggi mungkin dan sedapat-dapatnya mempertahankan apa yang sudah diraih. 

Tidak heran, banyak yang bertikai baik secara halus maupun terang-terangan, menghalalkan segala cara untuk meraih suatu jabatan. Lihat saja kasus yang pertikaian antara pasangan Badrul Kamal - Syihabuddin dan Nurmahmudi Ismail - Yuyun Wirasaputra dalam perebutan jabatan Walikota Depok yang baru saja tuntas. Kekalahan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), kotamadya Depok, tidak lantas menyurutkan ambisi mereka untuk meraih jabatan Walikota.

Upaya menjegal pemenang Pilkadapun lantas dirancang dan melibatkan instansi hukum pula, sehingga pelantikan pemenang pilkadapun menjadi tertunda-tunda. Penyelesaian sengketa memang akhirnya terjadi. Namun ini baru terlaksana, setelah kedua pasangan yang bertikai, bertarung habis-habisan, gugat menggugat hingga pada tahap keputusan Mahkamah Agung dan baru berakhir setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung sudah final.

Mengapa ada orang yang dengan sukarela mengundurkan diri sementara yang lain bertahan mati-matian mempertahankan jabatannya, walaupun berbagai masalah menerpa dan berbagai cara sudah dilakukan orang untuk menurunkannya. Apa yang menyebabkan ada segelintir orang dengan sukarela meninggalkan posisinya sementara yang lain berkebalikan?

Mengundurkan diri dari satu jabatan biasanya terjadi bila:
  • Umumnya, yang mengundurkan diri, sudah mendapatkan posisi atau jabatan lain yang lebih baik dengan penghasilan dan fasilitas yang tentu saja lebih baik pula.
  • Tidak cocok dengan atasan. Hal ini sangat jarang terjadi, karena bawahan, biasanya cenderung menerima saja kondisi seperti ini. Atau kalau tidak, dia cenderung kasak-kusuk agar dipindah-posisikan.
  • Merasa tidak lagi berkembang atau bosan dengan pekerjaan rutin di tempat lama.
  • Tersangkut kasus terutama kasus kategori pidana, sehingga mengundurkan diri dapat dianggap sebagai upaya kompromi agar kasusnya tidak diperpanjang lagi.

Dari ke empat alasan tersebut di atas, kecuali pada kasus nomor 4, kita hanya akan berani mengundurkan diri atas permintaan sendiri (sukarela), apabila sudah memiliki jabatan atau pekerjaan (baru) lainnya, sudah memiliki modal yang cukup untuk menopang hidup selama belum mendapat pekerjaan/jabatan baru atau memulai usaha sendiri. Di luar semua itu, hanya sedikit orang yang berani mengambil keputusan melepaskan jabatan dan atau pekerjaan yang sudah dipegangnya.

Sementara itu, keengganan orang untuk melepaskan jabatan bisa disebabkan karena :

  • Salah satu tujuan utama manusia bekerja adalah untuk mendapatkan imbalan, yang merupakan bukti prestasi kerja, baik secara immaterial (berupa jabatan struktural) maupun materi  (gaji, tunjangan, fasilitas dll) yang umumnya mengikuti jabatan yang disandang.
  • Masyarakat Indonesia masih memandang jabatan sebagai salah satu symbol status sosial. Jangankan pejabat tinggi Negara yang memang jelas terlihat sangat mentereng. Lihat saja, bagaimana seorang ketua RT atau RW sangat dihormati oleh warga setempat. Bahkan, seorang yang baru pulang menunaikan ibadah haji, menjadi begitu terhormat di lingkungannya. Kondisi inipun terangkat dalam iklan atau acara yang sering kita lihat dalam tayangan televisi. Bapak dan ibu RT, atau bapak dan ibu RW menjadi panutan dan tempat bertanya warga. Dengan kondisi sosial masyarakat seperti ini, tidak heran bila maka jabatan menjadi salah satu tujuan dan dambaan setiap pekerja, bahkan serendah apapun jabatan itu.
  • Memegang suatu jabatan merupakan akses pada “kekuasaan” dan “wewenang” yang mungkin sangat dinikmati. Bukan saja oleh si pemegang jabatan itu sendiri, tetapi juga oleh istri, melalui aktifitas di organisasi para istri dan karyawati di instansi yang sama, dan anak-anaknya. Sehingga tidak jarang terjadi ekses terhadap penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh beberapa gelintir orang.

Kecenderungan takut kehilangan jabatan dan pekerjaan memang dapat dimaklumi. Jaminan sosial bagi kelompok pekerja di Indonesia memang sangat minim, untuk tidak dikatakan sama sekali tidak ada. Orang yang kehilangan jabatan/pekerjaan menjadi sangat gamang menghadapi hidup, karena hal itu berarti; dia kehilangan sumber penghasilan rutin untuk menghidupi keluarganya. Jangankan bantuan tunjangan “pencari kerja” dari pemerintah sebagaimana yang dikenal di banyak negara maju, pesangon dari perusahaanpun saat mengundurkan diri, belum tentu diberikan. 

Kalaupun akhirnya pesangon diperoleh, maka jumlahnya sangat tidak mencukupi untuk menunjang hidup sampai memperoleh pekerjaan baru, apalagi di tengah tingginya tingkat pengangguran di negeri ini. Maka sangat dapat dimengerti, seberapa beratnya pekerjaan dan berapapun tingginya kadar ketidaknyamanan dalam pekerjaan yang dihadapi, maka kita akan tetap bertahan dalam suasana pekerjaan semacam itu. 

Di samping itu, di kalangan masyarakat, penghormatan terhadap orang yang memiliki jabatan, terutama jabatan struktural di pemerintahan, terasa begitu berlebihan. Bukan saja kepada si pemegang jabatan tersebut, tetapi juga kepada keluarganya. Penghormatan dan pelayanan luar biasa yang diterima, tidak jarang menempatkan mereka dalam kehidupan yang penuh dengan mimpi-mimpi indah. Itu sebabnya, kala kehilangan jabatan, maka seringkali timbul perasaan ”kehilangan” yang mendalam. Ini yang sering dikatakan orang sebagai ”post power syndrome”.

Demikianlah manusia memandang suatu jabatan yang disandangnya, walaupun masih ada manusia yang sama sekali tidak mempermasalahkan jabatan bagi dirinya. Itu sebabnya, kehilangan jabatan biasanya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi bisa juga dirasakan oleh seisi rumah; yaitu istri dan anak-anaknya. Bahkan para kerabat dekat yang sering memanfaatkannya. Apalagi bila jabatan yang dilepas itu merupakan jabatan terhormat yang banyak memberikan keamanan serta kenyamanan materi dan non materi bagi seisi rumah dan seluruh kerabat.
*****

Masih takjub dengan keputusannya itu, malam hari menjelang tidur sambil mengkoreksi surat pengunduran diri, kutanyakan sekali lagi :

“Sudah bicara dengan Deputy, tadi?”
“Ya, ... sudah”
“Ke staff juga….?”
“Belum ….. Nanti saja kalau sudah resmi mengundurkan diri.”
“Kapan ... ?”
“Satu dua hari sesudah surat pengunduran diri diserahkan kepada Deputy”.
“Apa komentar Deputy?”
“Hm … apa ya…? Biasa saja. Tidak ada yang istimewa … Dia cuma tanya, kenapa pengunduran diri ini dilakukan saat dia memegang jabatan tersebut” (Beliau baru saja 1 bulan memegang jabatan Deputy)
“Lalu …. ?”
“Kan, memang nggak ada masalah … Cuma waktunya saja yang kebetulan ….Buatku ini momentum yang paling pas. Tahun baru … semangat baru ….. rencana kerja yang baru…”
“Ya…. Tapi bagi orang yang tidak mengerti masalahnya, ada kesan seperti menelikung beliau.”
“Sudah dijelaskan seperti yang tertulis di dalam surat pengunduran diri dan beliau bisa menerima”

“Kamu tahu, nggak …..,? Ada banyak orang di Indonesia yang memimpikan gambar burung garuda terpampang di kartu namanya. Ada banyak orang yang memimpikan jabatan itu. Apalagi mereka yang sudah bertahun-tahun meniti karier di tempat itu …. Jabatan eselon 2 di suatu kementerian bukanlah suatu jabatan yang rendah walaupun juga bukan jabatan tertinggi, dan …. kamu sudah melepaskan begitu saja. Pasti akan banyak orang mencibir … sombong sekali kamu, melepaskan punai di tangan”
“Biar saja…….”
“Tapi, bukankah kita sepakat bahwa bila kita ingin berbuat banyak bagi negeri ini, maka kita harus masuk ke dalam sistem, sehingga seluruh ide kita bisa tersalurkan melalui jalur yang tepat, dilaksanakan untuk kemudian dinikmati dan bermanfaat bagi banyak orang”
“Ya … tapi tidak selamanya begitu. Tidak dipungkiri, saya sudah belajar banyak di sana, tapi saya merasa sudah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Mungkin di tempat lain, saya bisa berbuat lebih banyak dan mudah-mudahan hasilnya bisa lebih bermanfaat bagi orang banyak”.

Senyap ……
Tidak ada guna lagi berbantahan. Selalu begitu .... Akupun mulai mencorat-coret, mengkoreksi surat pengunduran diri agar enak dibaca …. Sementara dari ruang keluarga terdengar suara flute mengalun, seperti biasa…………….., melantunkan lagu Said Effendi …

Aku pulang ……Dari rantau …..
Bertahun-tahun di negeri orang … Oh Malaysia ……

Begitulah caranya memandang hidup. Beruntung selama lebih dari 25 tahun mendampinginya, aku tidak pernah terjun dalam kegiatan organisasi para istri dan karyawati di instansi tempatnya bekerja. Jadi, walaupun sedikit sebal, setiap kali menghadapi pengunduran dirinya, tak ada rasa kehilangan « kenyamanan dan previlege » dari jabatan yang disandangnya. I have my own pride  … j’ai la mienne…. !!!

Ini tentu bertentangan dengan apa yang selalu dianjurkan oleh mantan tetanggaku, istri salah satu deputy di Biro Pusat Statistik. Aktifitas istri di instansi suami, akan sangat mendukung dan sangat berpengaruh pada karier suami, katanya. Entahlah …., aku masih sangat percaya, kemampuan seseorang dalam pekerjaan, menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Seorang pemimpin yang baik akan memilih mitra kerjanya sesuai dengan kualifikasi dan kualitas manusianya. Bukan karena embel-embel aktifitas istri atau kasak-kusuk perempuan di belakang layar. Lalu …. Apalagi yang harus kita cari dalam hidup ini....???

Lebak bulus 27 Januari 2006.

Selasa, 17 Januari 2006

Reuni ……


Reuni, kalau gak salah dicomot dari re dan uni yang diartikan secara bebas sebagai bersatu kembali. Apa yang disatukan kembali ….? Tentu banyak … dari mulai penyatuan kembali saudara serumpun yang terpisah karena ideologi politik seperti Jerman Barat dan Jerman Timur, sampai dengan pernikahan antar anak dari sebuah trah untuk menyatukan kembali garis keturunan yang sudah terpencar jauh. Reuni yang terlihat begitu sederhana, ternyata bukan hanya menyentuh aspek emosional, tetapi juga berbagai aspek lainnya.

Reuni memang menjadi kecenderungan bagi para alumni suatu sekolah atau universitas, tentu tidak akan habis-habisnya. Namun, reuni bisa menjadi "pisau bermata dua". Alih-alih menjadi perekat yang telah terserak, Reuni yang tidak direncanakan secara bijak malah bisa menjadikan yang terserak itu menjadi lebih menjauh.

Kala mempersiapkan reuni 0475 kemarin, beberapa orang ditugaskan untuk menghubungi teman, sambil menjajagi seberapa besar animo untuk menghadiri acara reuni tersebut. Ini bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai macam kendala, antara lain; 0475 terdiri dari 5 jurusan dengan jumlah mahasiswa +/- 250 orang. Alumni terakhir yang lulus dari Fakultas adalah lulusan tahun 1985. Jadi, secara rata-rata, sudah sekitar 20 – 25 tahun berpisah, dan terserak ke berbagai penjuru negeri. Beberapa alumni jurusan memang kerap berkumpul, namun jumlah yang hadir tidak mencapai 50% dari jumlah mahasiswa yang terdaftar 30 tahun yang lalu. Jadi kalau 5 jurusan disatukan, jangan harap angka 50% itu juga yang akan dipegang. Jadi, disepakatilah untuk menghubungi sebisa mungkin melalui sms saja. Ini "sentuhan" pribadi, diharapkan si penerima sms, mengetahui pasti siapa pengirimnya dan karenanya diharapkan mau hadir.

Kendala kedua adalah mencari "elemen" universal yang mampu menggelitik semua alumni untuk hadir. Teringat pada sebuah sms yang masuk ke penggagas acara Reuni 0475 "Reuni …? Sorry … gue nggak punya nyali untuk hadir …. Nggak berani…!!" Jawaban itu cukup menohok kita semua. Ada apa sebenarnya di balik sebuah reuni? Apakah ini ungkapan naïf seorang pecundang? Tidak …, ini adalah fenomena yang terjadi dimana-mana saat menghadapi reuni.

Konon, seorang alumnus SMA terkenal di Jakarta tidak pernah mau hadir di acara reuni angkatannya. Minder ….? Bagaimana mungkin …? Dia adalah banker dan jabatan terakhirnya adalah direktur utama di salah satu bank syariah. Selain itu, saat duduk di bangku SMA, dia merupakan salah satu lelaki yang menjadi idola para gadis. Teman-temannya hanya bisa menduga-duga mungkin karena merasa ada yang "kurang", yaitu pernah gagal dalam rumah tangga. Tapi, apa karena itu, lalu pertemanan yang pernah terjalin bertahun-tahun lalu menjadi pupus? Mungkin ada hal-hal lain yang sulit dijelaskan dan diterima orang. Reuni memang sering ditakutkan menjadi ajang pamer keberhasilan.

Kendala ke tiga adalah dana. Bila mengingat perjalanan panjang 30 tahun dan rata-rata masa kerja antara 20 – 25 tahun, bisa dipastikan seorang insinyur dari UI, rata-rata memiliki kehidupan yang cukup baik. Bahkan beberapa di antaranya, mungkin sudah menjadi pejabat atau pengusaha yang berhasil. Tetapi dengan lugas dan tegas, sang kepala suku menyatakan reuni ini tidak akan mengandalkan satu atau dua orang donator, walaupun itu sangat mungkin dilakukan. Ini akan merusak kebersamaan, karena sang donator dikhawatirkan "merasa lebih" dari yang lain. Ini acara bersama, jadi mari berhitung cermat biaya yang harus disediakan, baru dipikirkan bagaimana mengumpulkan dana talangannya. Kalaupun ada sumbangan, maka itu harus dilakukan dengan ikhlas, dan bukan karena diminta. Nah ini tantangan yang menarik……………

Maka dibuatlah "rambu-rambu" acara Reuni, yaitu ; lokasi harus mempunyai ikatan emosional dengan 0475 agar mampu membangkitkan keinginan semua peserta untuk mengunjunginya. Makanan yang disajikan adalah makan a la mahasiswa jaman dulu, namun dengan penyajian yang lebih bersih. Hiburan harus mampu membangkitkan gairah semua yang hadir, pembawa acara adalah rekan yang supel dan kenal betul dengan "medan" nya jaman mahasiswa dulu and last but not the least … acara harus dibuat mengalir seperti air, tanpa aturan protokoler dan meminimalkan yang bersifat seremonial. Ini adalah acara yang, betul-betul terasa "dari kita untuk kita", semua menjadi pemain …. bukan sebagai pelengkap penederita semata, walau tanpa aturan, agar semua bisa menyalurkan "bakat dan naluri yang terpendam karena jabatan dan posisi". Agar semua bisa melepaskan segala ketegangan "duniawi".

Kala aturan main reuni disepakati secara aklamasi, tidak berarti, semua yang mempunyai komitmen menyelenggarakan acara Reuni merasa lega. Masih banyak kendala-kendala non teknis yang menghambat. Rabu 4 Januari 2006, saat koordinasi terakhir memang ada tanda-tanda positif. Ada tanda-tanda bahwa target hadir minimal 20 orang per jurusan, bisa tercapai. Jujur saja …. Waktu persiapan dan data awal alumni memang relatif minim. Acuan yang digunakan adalah buku alumni FTUI, yang tentu saja sudah banyak berubah. Tapi momentum tidak bisa ditunda, acara harus berlangsung sebelum Dies Natalis 2006.

Walau sudah ditata dengan hati-hati dan diperketat dengan segala macam aturan yang bertujuan "membebaskan" kita dari belenggu dan syahwat "jorjoran", acara ini belum tentu memuaskan bagi seluruh yang hadir.

Kini … pesta sudah usai … kemana langkah kemudian terarah??? Kalau kita ibaratkan Reuni sebagai "Rujuk Agung dari orang-orang yang telah terserak", maka akankah Rujuk Agung ini berumur panjang dan menghasilkan ikatan yang lebih erat demi masa depan bersama. Ataukah, ini hanya salah satu bentuk euphoria, yang kemudian secara perlahan akan kembali terserak???

Mata hati dan nurani kita yang paling dalamlah yang mampu menjawabnya … : Akankah kita meneguhkan tali silaturahmi yang sudah terentang kembali.... Atau akankah kita campakkan kembali karena ternyata silaturahmi hanya akan membebani dan secara materi tidak menguntungkan. Bukankan, kekayaan yang paling hakiki adalah kekayaan batin yang ada di dalam hati dan persepsi kita sendiri..

Akan kemana ujung dari perjalanan hidup kita ….
Berakhir dengan iringan nada kehilangan yang dalam dari teman-teman kita………
Atau
Berakhir dalam kesunyian ....

Kamis, 12 Januari 2006

Kok nggak diundang sih…?????


Kalau saat reuni 0475 ternyata hadir beberapa senior, ini tentu bukan karena seksi repot reuni ini pilih kasih, dengan hanya mengundang senior tertentu saja. Jawabnya sekali lagi, tentu saja, tidak . Acara reuni 30 tahun – 0475, sejak semula memang direncanakan oleh angkatan 75 untuk angkatan 75 saja, dengan cara sederhana.

“Sederhana” memang jadi kunci acara ini. Boss acara ini, wanti-wanti berpesan untuk tidak mencari sponsor (“nodong”) ex mahasiswa angkatan 75 yang dianggap sudah berhasil. Tetapi kalau mereka dengan ikhlas memberikan bantuan material, tentu tidak ditolak, sejauh bantuannya “tidak mengikat” dalam arti kata, tidak ada titipan dan aturan acara harus begini atau begitu sesuai selera sang sponsor. Karena terbatasnya "dana awal", maka komunikasi antar kawan juga dilakukan via sms, mailing list alumni FTUI atau mailing list jurusan. Siapa yang sempat ... dan mereka semua melakukannya dengan tulus. 

Lalu mengapa ada beberapa senior hadir dalam acara itu? Ternyata, sebaran rencana reuni melalui mailing list Alumni FTUI yang terbaca oleh “umum” menggelitik sebagian alumni yang merasa “satu” dan terutama terkait secara “emosional” dengan 0475. Jadi, setelah rencana reuni di posting ke mailing list alumni ftui, … beberapa orang seksi repot mulai menerima email, sms atau telpon. Langsung menanyakan, apakah mereka diperkenankan hadir. Entah ini pertanyaan basa-basi atau pertanyaan serius … yang pasti, ada beberapa pertanyaan sejenis yang masuk. Namun demikian, ada juga yang menyambut rencana reuni dengan skeptis “Gue gak punya nyali untuk datang”, katanya. Entah apa yang menyebabkannya menjawab dengan nada seperti itu. Padahal, jelas ditulis bahwa yang direncanakan 0475 adalah acara silaturahmi, bukan acara adu nyali….

Terus terang saja, melihat sambutan seperti itu, semua merasa bingung untuk memutuskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena agak “menyalahi” rencana. Namun demikian, apapun tanggapan yang ada, harus disikapi dengan positif. Tanggapan "ada" karena mereka “peduli” pada 0475. Apapun motifnya.

Runding sana- runding sini, semua akhirnya sepakat … mempersilakan “mereka”, terutama yang terkait langsung pada hari-hari pertama 0475 menginjakkan kaki di bangku kuliah; yaitu …. Para Ketua SMFTUI, ketua POSMA 75 dan wadya balad nya … untuk hadir. Tanpa undangan resmi … hanya dari mulut ke mulut atau melalui sms informal … Kalau dengan cara ini mereka, kemudian, hadir, ini akan membuktikan “rasa” dan “kedekatan” mereka kepada 0475. And will be highly appreciated.

Ini tentu juga berlaku bagi 0475 itu sendiri … Reuni tidak dimaksudkan untuk “adu nyaIi”, pamer keberhasilan atau jorjoran. Acara ini diadakan untuk membangkitkan kembali rasa kebersamaan kita yang sudah pupus ditelan waktu. Yang telah sirna tersaput kesibukan dan kehidupan materialistis kota besar.

Jangan merasa tersinggung bila “tidak diundang” baik melalui email pribadi, sms ataupun telpon langsung. Tentu akan ada yang luput, karena data yang sangat minim atau contact person yang ditugasi lupa menghubungi anda karena kesibukannya. 30 tahun perpisahan dan 3 minggu persiapan reuni tentu tidak cukup untuk menyatukan yang telah terserak di setiap pojok dunia. Tapi, ini mungkin sekaligus menjadi ajang untuk menguji “kebersamaan” kita semua.

Mereka yang hadir, tentu karena ada panggilan nurani untuk menikmati kembali denyut-denyut kebersamaan, kesederhanaan dan keniscayaan yang dulu sekali pernah kita lalui bersama-sama, tanpa sekat … tanpa prasangka …. Dan semoga “rasa” ini akan terus melekat dan mempersatukan kita.

Yang belum bisa hadir, tentu bukan karena tidak ada rasa kebersamaan. Mungkin Allah SWT memang belum mengijinkannya untuk menikmati kebahagiaan "bernostalgia". Jangan kecil hati ataupun kecewa. Berdoa saja, semoga masih diberi umur panjang ...agar suatu saat nanti kita masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi. 

Rabu, 11 Januari 2006

Ensemble 75

Indonesia
Merah darahku ………
Putih tulangku ……….

Tulisan di atas adalah sebagian syair lagu Gebyar-gebyar, karya fenomenal Gombloh yang sempat dipekikkan dengan lantang oleh Andy untuk kemudian ditingkahi suara lembut Conny, Sita dan Lina menjelang acara reuni 0475 pada hari Sabtu 7 Januari 2006 yang baru lalu. Gelegar suaranya masih sangat lantang, mengalun cantik sesuai dengan nada dan semangat yang terkandung dalam lagu itu… Andy masih mampu menangkap semangat dan jiwa yang terkandung didalamnya …. Lengkingan suara yang bulat, jernih dan menggelegar nada-nada lagu tersebut, membuat bulu kuduk merinding serta mampu membuat ingatan saya terlontar pada masa-masa kuliah dulu.

Nyanyian rakyat dan lagu perjuangan adalah bagian dari musik kampus tahun 70 an.  Slogan Buku, Pesta dan Cinta menjadi keseharian mahasiswa saat itu. Kehidupan kampus era tahun 70 an memang lekat dengan napas perjuangan. Kita mungkin tidak akan pernah lupa dengan peristiwa 15 Januari 1974, demonstrasi besar-besaran yang melanda Jakarta menyambut kedatangan PM Jepang, Tanaka. Atau juga demonstrasi tahun 1978 untuk menentang NKK-BKK, konsep kehidupan kampus a la Daoed Yoesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu yang mengakibatkan beberapa aktifis mahasiswa UI terpaksa menjadi penghuni kampus di komplek yon 202 Bekasi.

Tidak itu saja, aktifitas “hura-hura” a la kampuspun berjalan meriah. Di samping Dekan Cup atau Rektor Cup, kita tidak akan lupa dengan kegiatan Student Night tempat di mana mahasiswa beradu cantik dalam membawakan lagu rakyat atau lagu ciptaan mereka, bahkan sempat juga mengundang Guruh Sukarnoputra, yang saat itu baru kembali dari Belanda untuk turut dalam kegiatan ini di student center Salemba 4 (semoga mantan mahasiswa era 70 an, masih ingat lokasi student center kita di salemba 4 itu). Acara dibuat sederhana dan merakyat ... khas kehidupan mahasiswa. Bukan di gedung-gedung mewah yang dipertontonkan dalam acara-acara mahasiswa jaman sekarang.

Ada satu vocal group mahasiswa, yang kiprahnya begitu menonjol, jauh menembus kampus mereka yang terletak di ranah Parahyangan. Tanahnya para dewa (Hyang = dewa). Masih ingat Group Pencinta Lagu dari Unpad? Group yang dikomandani oleh Iwan Abdurrahman (dedengkot Wanadri) yang beranggotakan 40 orang ini memang fenomenal sekali. Pentasnya di Taman Ismail Marzuki selalu dipenuhi penonton dari kalangan mahasiswa. Semua orang pasti mengenal Iwan Abdurahman lewat rekaman lagu-lagu Bimbo era tahun 70 an seperti Flamboyan, Melati dari Jayagiri dan lain-lain.

Keberadaan GPL Unpad, rupanya menggelitik “Komandan seksi Kesenian POSMA 75” untuk membuat vocal group kolosal dari FTUI yang penampilan perdananya adala Malam Inaugurasi 75. Usai POSMA, para mahasiswa baru, usai kuliah, berkumpul di aula lantai 3 Gedung C Salemba 4 untuk dilatih setiap hari. Bukan hal mudah untuk melatih mahasiswa dalam jumlah besar, apalagi belum tentu semuanya memiliki minat dalam musik/bernyanyi. Dengan penuh kesabaran Desmond Tobing dari Arsitektur 72 mengajari lagu-lagi yang bernuansa sangat heroik. Ada 3 buah lagu yang disajikan saat itu, Havanagilla, Yellow submarine dan satunya lagi, saya lupa …. Maklum, sudah hampir  31 tahun berlalu.

Begitulah …. Bali room Hotel Indonesia, satu-satunya Ballroom yang cukup representatif saat itu menjadi saksi penampilan perdana Ensemble 75.

Havanaranana … havanaranana … havanaranan, henesmahem …
Hurrahem … hurrahem ……
Hurrahem hurasamea…

Dipandu oleh Desmond Tobing, suara nyanyian rakyat dari wilayah timur tengah ini menggelegar, tinggi ….. lalu menukik turun ditingkahi suara lembut wanita dan Flute yang ditiup oleh Raldiartono. Atau,… dengarlah lagu yang pernah dipopulerkan oleh the beatles ;

We all live in the yellow submarine ….
Yellow submarine… yellow submarine…

Sayangnya, kesibukan kuliah dan minat yang kurang terfokus, membuat Ensemble 75 tidak berkembang dan mati sebelum bersemi. Tapi, tak apalah …. Itu memang bagian dari pengalaman hidup manusia, tak ada yang perlu disesali. Namun demikian tentu masih patut dan indah untuk dikenang.

Senin, 09 Januari 2006

Life begins @ 30 years after


Ini adalah thema yang akhirnya terpilih untuk acara REUNI AKBAR Angkatan 75 Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada hari Sabtu tanggal 7 Januari 2006. Thema sederhana yang rasanya sangat mengena bagi semua yang hadir, tanpa kecuali.

Sehari sebelumnya, usai shalat Jum’at, seksi repot mulai membenahi ruang yang akan digunakan. Menggelar karpet biru, menata back drop dan lay out perlengkapan acara. Semua berbagi tugas sesuai kesepakatan, yang bisa dating, silakan … yang berhalangan, jangan kecil hati ... Namun komunikasi melalui sms terus berjalan, mengecek persiapan yang menjadi tugas masing-masing.

D-day …, mentari Jakarta cerah berawan. Jadi cukup nyaman dan tidak terlalu terik. Ini kendala yang membuat orang malas keluar rumah. Pada H-hour, tempat acara yang memakai ruang terbuka di gedung A, masih terlihat sepi. Kecuali kami yang menjadi seksi repot, belum terlihat tamu yang datang. Agak kecut juga, hati rasanya. Sambil menunggu kehadiran teman-teman, Sita dan Conny meluruskan dan melemaskan pita-pita suaranya yang mungkin sudah mulai kaku dimakan usia. 

Buku catatan lagu lama jaman tahun 70 an, dikebet … seperti kebetan akordeon jaman ujian dulu …. Cari lagu sana-sini, lalu mengalunlah beberapa lagu nostalgia diiringi organ tunggal dan flute dari Raldiartono, salah satu senior yang hadir. Senior yang satu ini, dari jaman mahasiswa memang gak pernah bisa lepas dari alat musik!! Semua sudah sepakat bahwa acara baru akan dibuka pada jam 10.30 untuk memberikan kesempatan bagi yang telambat datang. Kita sudah sama-sama maklum, di Indonesia, jarang ada acara, kecuali acara kenegaraan yang sangat rigid dengan aturan protokoler, yang bisa berlangsung tepat waktu.

Jam 10.30, daftar undangan baru terisi 35 orang saja, termasuk beberapa senior. But  ... the show must go on. Seksi repot sudah sama sepakat, kalaupun jumlah yang hadir tidak sesuai dengan harapan, mereka tidak akan kecewa. Itu sudah hasil maksimal yang bisa dicapai.  Bukan kuantitas kehadiran yang ingin dicapai, tetapi kualitas pertemuan yang lebih ingin dikedepankan.

Sesuai rencana, Agus Kabul dari Jurusan Mesin dan Conny Mewengkang dari Arsitektur membuka acara, berbasa basi sedikit dan mempersilakan Andy, sang penggagas acara Reuni 30 tahun 0475 bicara. Seperti biasa, memang agak sukar untuk melepaskan diri dari ritual seremonial, yaitu acara sambutan-sambutan. Beruntung Andy cukup konsisten dengan ”aturan main” acara reuni yang sudah disepakati, yaitu .... mengalir apa adanya, nostalgia kehidupan kampus 30 tahun yang lalu, melepaskan diri dari ”jubah keakuan” yang selalu disandang setiap hari kerja. Maka sambutan dari senior, mantan Ketua Senat Mahasiswa 74-75, yaitu Gunawan Hadisusilo, maupun Ketua Iluni FTUI, Aswil Nasir mengalir apa adanya bahkan cenderung ”ger-geran” penuh nostalgia. 

Album nostalgia angkatan 75 saat POSMA 75, Inaugurasi maupun camping di desa Rarahan – Cibodas ditayangkan. Walaupun kualitas gambar agak buram. Maklum, itu adalah reproduksi foto hampir 31 tahun yang lalu.  Sampai acara doa yang secara spontan dipimpin oleh Wirya Murad, senior kami dari Sipil 71 dan jauh-jauh datang dari Jambi, semua acara masih terjalin dengan rapi, walaupun celetukan pembawa acara dan seluruh yang hadir terdengar disana-sini, membaurkan sekat-sekat keakuan yang mungkin masih melekat dalam keseharian. Beruntung pembawa acara juga cukup mampu dan tanggap akan nuansa yang ingin dihadirkan. Suasana riuh rendah, celetukan, teriakan kangen, jabat tangan erat bahkan peluk cium mewarnai pertemuan tak terduga.

Orang bilang, acara mengalir tak terkendali ..... Tapi siapa peduli, ... ini naluri alamiah dari alam bawah sadar mahluk ciptaan Tuhan, yang selama ini terbungkus rapih dalam jubah dan topeng jabatan yang disandangnya. Di sini, di lobby tengah gedung Pasca Sarjana FTUI Salemba 4, topeng-topeng itu telah ditanggalkan .... Kita semua kembali ke masa-masa 30 tahun yang lalu, kala basa basi belum dikenal, kala materi belum menjadi penghalang keakraban. Yang ada hanya teriakan-teriakan keras yang akrab dan bersahabat, membahana dari segala sudut, celetukan-celetukan penuh nostalgia yang  tak kalah hingarnya. Tak ada sakit hati, tak ada gundah, semua senang ... semua ceria, kadang haru menyelimuti hati, Jangan bicara bisnis di sini .... yang ada hanya tatap haru dan senang kala kita masih mengenali nama dan wajah-wajah yang pernah akrab pada masa POSMA 75 di tempat yang sama. Mungkin juga perasaan hangat yang menyusup perlahan ke dalam relung hati, tatkala dari kejauhan terpandang wajah-wajah yang 30 tahun lampau pernah mengisi keseharian serta angan-angan di malam hari.

Ini juga yang membuat para penggagas acara reuni membuat ”aturan ketat” ... ”Jangan bawa keluarga”, kalau tidak ingin terjadi ”perang dunia ketiga” setelah reuni ...... Semua maklum ...., biarkan hati dan pikiran kita masuk ke lorong waktu 30 puluh tahun lampau dan berkeliaran dengan bebas tanpa beban untuk sehari saja ... Sehari yang hanya akan dapat dikenang dan tidak mungkin lagi dapat diulang.

Tanpa terasa, waktu merangkak menuju kulminasi hari, di pojok lain, luapan emosi kegembiraan dilontarkan dalam teriakan membahana dari lagu-lagu tahun 70 an, satu demi satu, mantan ”penyanyi” vocal group jurusan di jamannya, menguji kemampuannya. Ruang mulai terasa sesak oleh kehadiran satu persatu teman-teman yang datang susul menyusul. Perut kroncongan yang dulu hanya mampu diganjal dengan tahu+tempe, sekarang terlihat membuncit. Rambut lebat yang dulu bergaya gondrong atau kribo telah menipis ditingkahi jalinan warna putih disana-sini. Akordeon tulang iga yang terekam dalam kamera saat acara POSMA 75 sudah terselimuti dengan lemak-lemak kemakmuran. Tapi tentu bukan karena itu, maka ajakan makan siang seakan tak bersambut. Tentu saja, bukan juga karena makanan yang terhidang hanya berupa nasi langgi berbungkus daun pisang, soto mie dan empek-empek yang dicangking Wirya Murad langsung dari Jambi. Tetapi emosi kebahagian yang tak terbendung kala berjumpa kawan lama, mampu meredam nyanyian sumbang dari perut buncit yang bukan karena busung lapar yang saat ini kerap melanda negeri ini.

Mungkin, pemilihan tempat pertemuan di gedung A Pasca Sarjana Salemba 4 memiliki daya magis yang luar biasa untuk mengembalikan semangat kebersamaan yang dulu ..... 30 tahun lampau pernah mengisi hari-hari pertama di bangku kuliah. Kesederhanaan tata ruang, kewajiban ”lesehan” di karpet berwarna biru polos mampu menebarkan aura nostalgia dan kebersamaan serta meruntuhkan topeng duniawi yang selalu disandang setiap hari, bagi seluruh yang hadir. Di balik keriuhan itu Andy sempat mengingatkan agar ”para mantan vocalist tahun 70an” melepaskan mike dan beranjak makan siang,  untuk memberi kesempatan penyanyi dan organ tunggalnya beraksi. Namun akhirnya, dia meralat kembali ucapannya .... seakan maklum, dia hanya mampu bergumam ... ”Biarlah semua menikmati kebebasannya, biarkan semua mengalir apa adanya. Kita tidak pernah tahu lagi, kapan kita diberi kesempatan untuk berkumpul lagi. Semoga ini menjadi moment penting dalam kehidupan mereka yang hadir disini  untuk menjalin kembali kebersamaan yang selama ini telah hilang”.

Menjelang jam 13.30, acara, semula dijadwalkan untuk meninjau area ex Kampus FTUI Salemba 4. Namun Andy cukup tanggap membaca situasi untuk tidak meneruskannya, karena acara basa-basi a la kunjungan pejabat/birokrat ini bisa menjadi antiklimaks Reuni. Jadi, sigap sekali Andy dan Agus Kabul memandu acara mengulang adegan penutupan POSMA 75, yaitu ”mengeluarkan unek-unek” dari semua yang hadir.

Kesempatan pertama tentu diberikan kepada mantan Ketua SMFTUI, yang menceritakan sekilas cerita dibalik penerimaaan Mahasiswa Angkatan 75, yang menjadi satu-satunya angkatan di FTUI yang memiliki 2 gelombang penerimaan mahasiswa. Rupanya mas Gunawan tanpa sadar sedang ”merancang” masa depannya sendiri .... Sang nyonya yang dinikahinya hampir 30 tahun yang lalu adalah mahasiswa Arsitektur gelombang ke 2. Berangkat dari cerita itu, alih-alih unek-unek yang keluar, malah celetukan dan cerita penuh nostalgia bagi hampir semua yang hadir. Cerita nostalgia perburuan pasangan dari para senior maupun sesama mahasiswa angkatan 75 mengalir penuh canda dan tawa. Riuh rendah, haru senang, .... seakan terlintas kembali suasana keakraban mahasiswa. Rekan-rekan yang kebetulan saat ini menjadi pejabat/birokrat di instansinya malah menjadi sasaran celetukan dan saling balas celetukan ....., Suasana yang tidak mungkin ditemukan pada hari-hari kerja biasa. Namun, siapa peduli ...??? Sita bilang : No hard feeling, man!! ....

Tanpa terasa, jam 14.00 sudah, sudah waktunya pulang, kembali ke pangkuan keluarga yang sudah menunggu di rumah. Dengan berat hati, acara ditutup dengan permintaan maaf akan kekurangan yang terjadi di sana-sini baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Beberapa rekan mulai membenahi peralatan dan merapikan ruangan, namun rupanya, seakan tak puas dengan pertemuan yang baru saja usai, hampir di seluruh sudut gedung terisi kelompok antara 5 – 15 orang yang masih asyik bercengkerama, melepas rindu. Masih riuh rendah, penuh teriakan, canda dan tawa.

Jam 15.30, Gedung Pasca Sarjana sudah bersih kembali. Sudah waktunya bersiap pulang, namun ternyata di halaman parkir masih berkumpul kelompok sekitar 20 orang yang dengan ”gaya asli jaman mahasiswa” dulu. Gaya bicara, gerak tubuh maupun gelegar tawa dan candanya, dan semua larut berbaur kembali dalam kelompok tersebut. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Noah Sembiring dari Mesin 75 .... ”Kami yang lelaki sudah dapat exit permit dari keluarga sepanjang hari, jadi rugi sekali kalau tidak dimanfaatkan sampai tuntas” Bukan main ..... 

Jam 16.00, mereka masih saja larut dalam canda dan tawa. Masih terdengar sayup suara canda tawa di kejauhan. Sambil menyenderkan tubuh di jok mobil yang semakin menjauhi kampus Salemba 4, Mendung mulai menggayuti menyelimuti Jakarta dan rintik hujan mulai menetes mengiringi langkah kembali ke rumah. Ada haru menyelimuti sepenuh dada .... tanpa terasa bening hangat mengalir di pipi ..... this was a great and precious moment I’ve ever had in my life.
----------------------
Terima kasih mas Gunawan Hadisusilo, Mas Anton Katili, Mas Arnold Lukman, Bang Teuku Iskandar, Uda Wirya Murad yang jauh-jauh datang dari Jambi dengan empek2nya yang gurih, Bang Benny Pangkerego, Mas Raldiartono, Mbak Meiske Widyarti, Aswil Nasir dan Wimala yang jauh-jauh dari Singapore mengantar istrinya Theresia yang ingin hadir di reuni 0475, Yvonne dari Tomohon dan tentunya seluruh yang hadir di acara Reuni 0475 FTUI yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih juga disampaikan untuk Prabowo, Bepe, Shariev serta rekan-rekan lain yang memberikan bantuan moril maupun materiel bagi terlaksananya acara ini. Percaya deh ….seluruh seksi repot acara reuni ini sangat menghargai kehadiran anda semua. Kita yang hadir di acara itu sudah membuktikan kebersamaan itu masih dan akan tetap ada. Tidak ada yang membedakan kita, tidak juga topeng-topeng duniawi yang melekat dan menemani kita sepanjang hari, kecuali perasaan yang datang dari dalam hati kita sendiri.

We are all and always be 0475 till our last breathing.

DARI BALIK ACARA REUNI 30 TAHUN ANGKATAN 75


DARI BALIK ACARA REUNI 30 TAHUN ANGKATAN 75

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

7 JANUARI 2006

Waktu merencanakan reuni angkatan 75 FTUI yang akhirnya terselenggara pada hari Sabtu tanggal 7 Januari 2006 di Salemba 4, kami semua bingung, apa thema yang layak untuk diangkat dalam reuni. Thema yang mengena dalam segala hal. Yang membumi dan tidak mengada-ada.

Mula-mula terpikir untuk memakai "back to Salemba 4 after 30 years". Angkatan 75 memang menghabiskan seluruh masa kuliahnya di Salemba 4 – Jakarta Pusat, karena UI baru pindah ke Depok pada tahun 1987 (kalau gak salah). Tapi, back to Salemba 4 tidak terlalu menyentuh perasaan karena suasana Salemba 4 tidak lagi menampakkan nuansa/ambience yang bisa mengingatkan kami ke masa-masa kuliah dulu. Terlalu banyak yang berubah. Kompleks Fakultas Teknik yang sekarang digunakan untuk Gedung Pasca Sarjana FTUI sudah banyak berubah. Orang yang tidak biasa ke Salemba 4, tidak lagi bisa mengingat-ingat dan menerka bahwa gedung Pasca Sarjana tersebut merupakan gabungan dua buah gedung lama yaitu Gedung A yang dulu digunakan untuk Dekanat dan gedung Arsitektur. Jangankan bedeng tempat anak-anak KAPA nongkrong, kantin tempat kami biasa ngobrol di sela-sela kuliahpun, sudah tidak lagi terlihat bentuk aslinya.

Warung tempat kami biasa beli "tahu telanjang" (ini istilah khusus, tahu yang digoreng tanpa adonan tepung. Karena, kalau hanya pesan tahu goreng, akan diberi tahu yang sudah diberi adonan tepung), soto mie, sate ayam/kambing, toko alat-alat tulis, di samping mesji ARH sudah hilang sama sekali. Apalagi bengkel di depan gedung UI Press tempat biasa kami memesan sate atau makan mie baso, sekarang sudah bertengger gedung bertingkat yang kokoh.  Bahkan di komplek Salemba 4, di lingkungan FMIPA dan FEUI sudah banyak dibangun gedung-gedung modern. Entah siapa yang menggunakannya sekarang... Jangankan alumni yang bekerja di luar kampus, alumni yang jadi dosen saja belum tentu tahu... Konon, mereka sibuk di Depok yang teduh, di balik rerimbunan pohon dan hutan kota. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk Jakarta. Bisa jadi, dosen dan mahasiswanya UI sekarang sudah tidak terlalu sensitif lagi dengan kejadian-kejadian faktual di masyarakat.

Selagi bingung-bingung mencari thema untuk spanduk/back drop, masuk BePe, yang satu ini alumni jurusan Teknik Mesin ... Semua orang menyalaminya... Maklum, dia baru sekitar 2 minggu keluar dari RS Mitra Keluarga karena mengalami gangguan jantung. Obrolan kemudian beralih pada acara "mengabsen" teman-teman seangkatan yang sudah "lewat" .... Di antaranya; Dade (May Singadaru) yang meninggal dunia karena kecelakaan di tol Jakarta - Merak, Hubaya Tamsil yang kena stroke saat mau berangkat main golf hingga beberapa teman yang masih dirawat di rumah sakit atau di rumahnya. Maka, obrolan meloncat kesana-kemari, Tanpa arah tujuan dan kata sepakat. Biar saja …!! Maklumlah, ternyata walaupun sama-sama tinggal di Jakarta, kami tidak pernah bertemu. Apalagi, kami memang ingin agar acara reuni mengalir apa adanya...

 Reuni ini bukan tempat mengumbar syahwat "jorjoran" memamerkan keberhasilan diri atau ajang untuk mentertawakan kekurangan orang. Ini forum silaturahmi ... Tempat untuk menapak tilasi perjalanan seorang anak manusia. Mengingat kembali pada kehidupan kampus... pada masa-masa susah dulu ..... Masa, saat menu makan setiap hari hanya berupa nasi + tahu/tempe dan sayur seadanya. Yang diperoleh dengan cara berhutang selagi menunggu kiriman dari kampung .... Saat itu, tidak terbayang steak, rib ataupun shashimi/shushi dan teppanyaki di restoran mewah hotel berbintang. Jangankan makan makanan sejenis itu. Namanya saja terasa asing di telinga. Mungkin hanya beberapa gelintir teman yang kebetulan bapaknya ”konglomerat” saja yang pernah mendengar dan mencicipinya. 

Walhasil, sambil ngobrol-ngobrol, kami berbagi tugas, tentu sambil bercanda. Saya kebagian membuat pemberitahuan melalui mailing list alumni. Ini tugas dan partisipasi yang paling ringan, gak pakai modal besar. Maklum istri PNS... belum mampu memberi donasi.... hehe, jadi cari tugas yang ringan dan gratisan karena akses internetnya bisa menggunakan fasilitas kantor... (korupsi kecil2an). Partisipasi yang memerlukan modal besar, biar buat yang lain saja ..... Ini baru pembagian kerja yang adil ….. Yang penting, dilaksanakan tanpa paksaan, sesuai kemampuan serta keinginan dan semua ikhlas.

Saat itu juga, secara aklamasi, Andy, yang satu ini bossnya tukang minyak, karena konon dia tukang kontrol distribusi BBM (kalo salah jabatannya, kamu diam saja ya, Dy) juga didaulat jadi ketua suku. Nggak boleh nolak .... ini kerja sosial, yang menuntut kepekaan akan kebersamaan di tengah egoisme, individualisme, materialisme khas kehidupan kaum yuppy di kota besar. Apalagi dia juga merupakan salah satu pengurus ILUNI – FTUI periode saat ini.

Konon, sebagai penggagas acara Reuni 30 tahun angkatan 75, Andy "wajib bertanggung jawab" atas terlaksananya acara reuni termasuk seluruh gagasan lainnya yang masih tersimpan di kepalanya untuk kebersamaan angkatan 75 hehe.... . Bukan lagi kepentingan angkatan 75 jurusannya (Elektro) .... tapi berpikir untuk angkatan 75 FTUI dan selanjutnya untuk Iluni FTUI. Kita, jangan lagi berpikir terkotak-kotak menurut jurusan. Kalau kaum intelektual Indonesia yang pernah mencicipi kuliah di universitas ... UI, lagi, masih berpikir untuk kepentingan sesaat bagi golongan atau kelompoknya saja. Bagaimana dengan rakyat kecil yang kurang berpendidikan sehingga hanya bisa mengandalkan otot? Tentu pikiran mereka lebih sempit dan tindakannya akan lebih parah lagi… Jadi jangan heran kalau bangsa Indonesia masih saja gontok-gontokan di segala lini. Tidak ada yang mau berpikir untuk kepentingan bersama, untuk kepentingan yang lebih besar … untuk kepentingan bangsa dan masa depan Negara.

Lalu… kenapa harus “Life begins at 30 years after”? Ini thema yang dicomot  asal-asalan dan numpang lewat, sebetulnya. Tapi, alasannya bisa juga dicermati.

Dulu …, saat kami kuliah, tidak ada batasan masa kuliah. Maklum saja, masih banyak dosen luar biasa mengajar. Jadi, tidak ada target. Segala istilah Indeks Prestasi, tidak dikenal sehingga banyak mahasiswa abadi, yang menyelesaikan kuliah di atas 10 tahun atau bahkan tidak menyelesaikan kuliahnya karena terlanjur menikah dan kemudian sibuk bekerja, menafkahi keluarga. Yang selesai tepat 5 tahun masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Selesai 6 tahun saja (telat satu tahun) sudah termasuk golongan yang hebat…. Yang paling umum adalah antara 8 s/d 10 tahun. Itu berarti, kuliah selesai saat kami berumur antara 24 – 28 tahun. Tua amat ya… dibanding dengan anak-anak sekarang yang rata-rata selesai kuliah di umur 21 - 22 tahun saja.

Kalau setelah itu para sarjana baru merintis pekerjaan atau bisnis … maka baru menjelang umur 40 tahun kelihatan hasilnya, yaitu setelah 10 – 15 tahun bergelut di bidangnya, baik sebagai pengusaha ataupun professional. Jadi, kehidupan mulai mapan, mulai mampu secara financial … mampu merealisasikan segala impian semasa mahasiswa, terutama impian jasmani/lahiriah. Mulai membeli mobil, rumah mentereng …, mencicipi main Golf, keluar/masuk restoran dan hotel mewah termasuk di dalamnya melakukan perjalanan wisata ke berbagai tujuan mancanegara.

Tanpa disadari, kita mulai masuk pada perilaku dan gaya hidup kelas atas yang mengundang resiko. Stress akan kehidupan kota yang serba materialistis. Makanan berkalori tinggi yang berpadu dengan menurunnya fungsi organ tubuh secara alamiah mengundang penyakit degeneratif seperti Diabetes Melittus yang manis, Jantung koroner, stroke dan berbagai turunannya. Jangan heran, kalo Bepe terpaksa ngendon di RS gara-gara jantungnya bermasalah. Rekan kita Tamsil, Irawanto. Hyandi Jonggala (ini maskotnya Posma 75) dan beberapa teman lainnya terpaksa menutup catatan hidupnya karena sang Pencipta sudah memanggil.

Last but not the least …. Effek samping penyakit yang paling ditakuti oleh lelaki ….. hayo apa ……. ??? Yang satu ini adalah DE alias disfungsinya sang jagoan …. Itu sebabnya Viagra dan Cialis laku keras. Coba deh sekali-sekali jalan-jalan malam hari ke kawasan jalan Gajah Mada. Di sepanjang jalan itu berderetan kios gerobak menjajakan alat pemuas nafsu syahwat, atau pijat urut ala JW Marriot (baca Ma’Erot). Duh para lelaki …. Jangan marah ya……!!!

Jadi, ucapkan Alhamdulillah … Puji syukur kepada Allah SWT yang masih menyambung nyawa kita yang hadir saat reuni …. , walau entah untuk berapa tahun ke depan lagi. Ini bonus kehidupan baru, yang selayaknya kita syukuri dan kita isi dengan hal-hal yang baik. Secara duniawi maupun rohaniah sebagai persiapan selama masa penantian, menunggu giliran panggilanNya, yang pasti akan datang.



BegItulah ceritanya, mengapa acara ini, Reuni Angkatan 75 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, kumpul-kumpul penyambung tali silaturahmi , diberi thema LIFE BEGIN AT 30 YEARS AFTER.

Kamis, 05 Januari 2006

Think Big and Think Global

Judul Think Big and Think Globally, terlihat bombastis sekali, sangat tidak sebanding dengan apa yang tertulis. Padahal, tulisan ini hanya sekedar pendapat kecil saja tentang persepsi yang ada di benak kita mengenai kebersamaan di antara sesama manusia.

Kira-kira satu bulan yang lalu, ada sms masuk berisi ajakan untuk berkumpul dengan teman-teman lama, merencanakan reuni. Agak terkejut juga menerimanya. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengan pengirim sms. Maklum, aku termasuk "bolot" dalam kuliah. Bayangkan saja... 10 tahun “ngendon” di kampus bukanlah waktu yang sedikit, walaupun yang 4 tahun itu kuhabiskan dalam bentuk cuti kuliah. Jaman sekarang, waktu kuliah 10 tahun sangat cukup untuk meraih gelar PhD yang serius dan bukan PhD cap “20 juta”. Jadi walaupun total waktu kuliahku hanya 6 tahun, kenyataan yang tercatat dalam arsip kemahasiswaan, aku termasuk kategori mahasiswa yang "nyaris" drop out.

Jadi, kupikir wajar saja bila saat dihubungi, agak malas-malasan sms tersebut kujawab; bahwa aku selesai kuliah paling akhir. Jadi tidak banyak kontak dengan teman seangkatan. Kalau ditunjuk jadi "contact person" yang mewakili jurusan, pasti akan menambah kerepotan. (Fakultas tempatku kuliah, saat itu masih terdiri dari 5 jurusan. Sekarang kalo nggak salah sudah jadi 7 jurusan). Ini jawaban jujur dan bukan alasan yang mengada-ada. Tapi,... temanku itu, kusebut “Gadis Ranti” meyakinkan ... “datang aja deh ... bukan soal kapan lulusnya, tapi soal membantu mengurus reuni”. Jadilah ......

Tapi, apa boleh buat. Pada pertemuan pertama, aku tak hadir karena menembus kemacetan pada hari Jum’at sore, dari Kedoya (Metro TV) ke Salemba, tempat pertemuan berlangsung bukanlah hal yang mudah. Jadi aku memutuskan tidak menghadiri pertemuan tersebut dan langsung pulang. Baru pada pertemuan ke dua, satu minggu sesudahnya, kusempatkan hadir walaupun agak terlambat, itupun sambil menjemput suami yang mengajar di gedung yang sama.

Teman-teman yang hadir pada pertemuan pertama itu cukup gesit bekerja. Aku segera menerima sms berisi ajakan untuk mengirimkan donasi dana awal acara reuni. Sms ini segera kuteruskan ke beberapa teman.

Singkat kata, acara dan budget disusun, tugas dibagikan termasuk juga contact person setiap jurusan. Tanpa terduga, sehari setelah pertemuan itu, tiba-tiba masuk sederetan nomor telpon genggam teman-teman sejurusan. Entah memang ditujukan untukku atau mungkin salah kirim, karena kata pengantar sms tersebut tidak ditujukan untukku.

Berbekal sejumlah nomor telpon tersebut, aku berinisiatif mengirim sms ke beberapa teman jurusan secara acak, mengikuti irama hati. Seperti sudah diduga ... urusan mengirim sms yang kulakukan tidak berjalan mulus. Semua didahului dengan tanya-jawab yang buatku cukup membosankan, namun aku cukup maklum. Walau kusebut nama jelas, mereka belum tentu ingat. Aku memang tidak pernah hadir pada acara reuni jurusan. Pernah kuterima undangan reuni via sms, tapi acara tersebut berbarengan dengan tugas kantor ke Malang. Jadi, tentu saja tidak bisa hadir. Setelah itu, mereka tidak lagi menghubungiku. Mungkin memang belum ada acara reuni lagi atau aku lupa apakah pernah menerima undangan lagi.

Pada pertemuan berikutnya, tanpa suatu maksud apapun juga, kuceritakan pengalaman ini pada teman-teman. Beberapa di antaranya memintaku untuk menghubungi saja teman yang menjadi person in charge di jurusan. Minta bantuannya untuk menghubungi teman-teman lain agar bisa hadir saat reuni. Usul itu kutanggapi dengan baik … Mengapa tidak? Ini akan meringankan tugas. Apalagi orang yang harus dihubungi adalah satu-satunya teman yang masih memiliki kontak denganku. Namun demikian, di luar dugaan, saat dihubungi kudengar suara “dingin”, menjawab ...

"Ya, .. aku sudah baca sms mu, tapi nggak kujawab karena aku nggak bisa datang ke acara reuni itu."
"Kalau memang berhalangan, ya sudah ... Aku cuma minta bantuan untuk memberitahukan teman yang lain. Aku sudah coba, tapi mereka nggak kenal no hp ku, jadi agak repot. Teman lain juga menyarankan aku menghubungi kamu dan minta bantuanmu, karena biasanya kalo ada reuni, kamu selalu jadi seksi sibuknya..., so, please...."
" Tapi ... kenapa nggak ngurusin jurusan kita aja sih? Nggak usah melebar ke fakultas (angkatan) deh ...." jawabnya lagi. Aku agak heran dengan jawabannya.
"Apa maksudmu...?"
"Ya ... kita perkuat saja alumni angkatan di jurusan kita, banyak tuh yang membutuhkan bantuan kita... Aku nggak yakin apa teman-teman berminat"

Agak bingung mendengar jawaban tersebut. Namun segera kuingat sms yang kukirim sebelumnya ke beberapa teman, mengenai donasi reuni. Mungkin ini pangkal masalahnya. Wah … miscommunication …..!!! Ini pasti gara-gara meneruskan sms tanpa memperhatikan isinya dan tanpa memperhatikan benar maksud dan tujuan sms tersebut, sehingga membuat orang menjadi salah persepsi. Sudah setua ini, masih saja tidak mempedulikan etika.

"Duh ... ini nggak ada hubungan dengan uang .... Aku hanya minta bantuan memberitahukan acara reuni angkatan kepada teman-teman di jurusan kita. Ini acara angkatan dan kita kan bagian dari mereka. Aku hanya ingin teman-teman mengetahui acara ini. Mau datang atau tidak, serahkan saja sama mereka ... Yang penting kita sudah memberitahukannya"

Aku lupa, bagaimana akhirnya pembicaraan itu terputus. Tapi aku sangat yakin teman itu berbaik hati  dan mengirim sms ke teman seangkatan di jurusanku, seperti isi sms yang kuterima. Namun pembicaraan telpon yang pendek itu memberikan bekas yang dalam buatku.

Yang pertama adalah untuk tidak segera meneruskan pesan pendek (sms) berisi permintaan donasi  apapun juga kepada siapapun, kecuali menghubungi orang-orang dimaksud dan berbicara secara langsung. Mungkin ini akibat “keras”nya kehidupan di kota besar, sehingga kita cenderung untuk “menjaga jarak” dengan siapapun, kecuali dengan kelompok dekat. Kedua adalah nuansa penolakan yang berkaitan dengan “kelompok”. Kalau kita tidak sadar atau tahu pada kelompok mana kita berada maka jangan sekali-kali menyatukannya dengan kelompok lain tanpa pendekatan "personal dan persuasif". Alih-alih mendekatkan dua kelompok, malah akan menciptakan masalah baru. Ini bukan teory canggih dari manapun juga, tetapi dari pengalaman yang selalu saja kualami dalam peristiwa yang nyaris sama. Mungkin aku terlalu sensitif atau terlalu berburuk sangka.

Aku memang sedih mendengar "pengkotakan" antara alumni jurusan di dalam alumni fakultas dan begitu seterusnya ... Pengkotakan ini kemudian meluas dan berimbas telak kepada "pengkotakan" di berbagai bidang, golongan, suku, agama dan seterusnya .... "Anda bagian dari kami, dan mereka buka bagian dari kami...."

Kalau kita masih saja berpikir terkotak-kotak ...., memilah-milah golongan, kapan kita mampu berpikir besar untuk keseluruhan, kebersamaan dalam masyarakat. Berpikir untuk kemajuan, kebesaran seluruh elemen bangsa ini di masa depan. Bukan untuk kelompoknya sendiri .... Bukan untuk golongannya sendiri.

Kalau golongan intelektual (minimal yang mengecap pendidikan tingkat sarjana) saja berpikiran sempit ..., berpikir hanya untuk kepentingan sesaat bagi golongannya, apalah yang bisa kita harapkan dari golongan yang hanya mengandalkan otot semata. Tentu tidak mengherankan bila kita tidak pernah berpikir besar untuk kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Bangsa kita masih akan terus saja "berperang". Sekolah satu tawuran dengan sekolah lainnya. Alumni suatu perguruan tinggi membuat kelompok masing-masing di departemen atau sektor apapun, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi demi kepentingan kelompoknya ... Lalu kita melihat lagi perang antar sekte di dalam suatu agama, perang antar penganut agama, lalu perang antar suku. Lalu kapan kita akan memikirkan kepentingan yang lebih besar ..... Kepentingan yang harus kita lakukan dan perjuangkan dengan penuh keikhlasan, yaitu memajukan bangsa dan negara ini... 

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...