gersang |
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengenang Kalimantan Timur yang kaya dengan batubara. Masih terbayang dengan jelas di pelupuk mata, bahwa dalam perjalanan naik mobil dari Balikpapan ke Samarinda menempuh jalan yang mulus melintasi Kawasan Hutan Raya Bukit Suharto yang... saat itu memang sudah terlihat gundul, namun bongkahan hitam batubara masih terlihat menyembul disana-sini di antara pepohonan. Beberapa di antaranya malah terlihat berasap, terbakar karena gesekan alang-alang kering yang tertiup angin di bawah terik matahari bulan Juli. Titik-titik api dan asap bisa diduga sebagai petunjuk lokasi adanya bongkahan batubara. Kesan itulah yang terpatri dalam benak saya.
Mengharapkan bertemu hutan hujan tropis selama perjalanan memang tidak diharapkan, kecuali kalau kita mau berpayah-payah masuk hutan. Tetapi, kala itu, puluhan ikatan gelondong kayu berdiameter lebih dari 75cm masih banyak terlihat terapung di atas permukaan sungai Mahakam yang jarak terlebarnya bisa mencapai 800 meter (aduh .... sungai di pulau Jawa betul-betul nggak ada artinya, deh...).
Pabrik pengergajian kayu beroperasi penuh ... Pengusaha pemilik kerajaan kayu tebang masih bisa tersenyum lebar membayangkan rupiah dan dolar mengalir ke dalam rekening yang sengaja dibuka tidak saja di dalam negeri tetapi juga d luar negeri, minimal Singapura. Begitu juga apa yang saya temui saat awal abad ini, diberi kesempatan untuk mengunjungi Banjarmasin. Masih terlihat ikatan gelondongan kayu mengapung di sepanjang sungai Martapura.
Itulah bayangan Kalimantan Timur yang saya bawa saat menginjakkan kaki di bandara Sepinggan - Balikpapan. Apalagi, secara sepintas kawasan bandara memang tertata rapi sehingga sejenak hati terasa sangat terhibur, dapat lepas dari jeratan kesibukan Jakarta.
Pesawat mendarat sekitar jam 9 waktu setempat dan staff kepercayaan mantan raja kayu Kalimantan Timur sudah menunggu dan kami langsung dibawa menuju Samarinda dengan mobil berlambang grup hotel miliknya. Beruntung sempat tidur di pesawat, saya bisa menikmati pemandangan selama perjalanan.
Jalan mulus nyaris tanpa lubang menghubungkan Balikpapan - Samarinda. Di sepanjang jalan, banyak pedagang durian hutan yang menurut saya agak unik. Besarnya hanya sebesar mangga harumanis jenis suluhan yang besar. Kalau kulit durian yang kita temui di Jakarta/Jawa berwarna hijau ke-abu2an, maka durian hutan yang unik ini berwarna kuning dan begitu juga warna dagingya. Kuning mulus.... tapi nggak tahu deh rasanya. Denger2 sih.... nggak "sekeras" bau dan rasa durian yang biasa kita kenal. Nah si kuning dari Kalimantan ini dikenal sebagai LAI.
Sambil menikmati pemandangan yang menurut saya sama sekali tidak indah, terutama bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali, perjalanan Balikpapan - Samarinda hanya disuguhi dengan lahan-lahan kosong yang susah untuk digambarkan lagi, apakah itu hutan atau bekas ladang atau padang ilalang terutama bila dibandingkan dengan hutan jati di wilayah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur atau perkebunan kelapa sawit yang teratur. Pantas kalau kalangan pecinta lingkungan selalu berteriak..... telah terjadi penyusutan luar biasa atas luas hutan hujan tropis di pulau Kalimantan.
Jangankan melihat hutan hujan tropis Kalimantan, bayangan melihat bongkahan batubara yang menyembul dari dalam tanah di sela-sela pokok tanaman, yang selalu lekat dalam ingatan sayapun pupus sudah. Entah apakah karena memang sudah diekploitasi orang atau memang sudah terbakar habis saat terjadi kebakaran hebat di hutan-hutan Kalimantan beberapa tahun yang lalu, pendeknya .... selama dalam perjalanan tersebut saya terpaksa menelan ludah ... pahit. Mungkin diperlukan upaya yang lebih panjang lagi untuk menikmati hutan hujan tropis. Kita harus menyusuri sungai-sungai lebar di Kalimantan selama berjam-jam menuju hulu untuk sekedar menikmati keindahan hutan tropis yang masih perawan.
Memang ada terlihat pembangunan infrastruktur. Rencana pembangunan trans Kalimantan (?!), jembatan-jembatan bentang panjang yang menyeberangi sungai-sungai seperti di Samarinda namun entah untuk tujuan apa pembangunan tersebut dilaksanakan. Satu yang pasti, di balik kehebohan isu illegal logging, industri pengolahan kayu sudah tamat riwayatnya. Banyak industri penggerjajian yang sudah merumahkan buruh-buruhnya termasuk juga industri kayu lapis. Kalaupun masih ada yang beroperasi, merekapun merasakan betapa pasokan kayu semakin berkurang.
Kini, industri di Kalimantan beralih dari industri kayu menjadi ekspoitasi batubara. Meski berbeda apa yang diambilnya dari alam, tetapi tetap ada kesamaannya. Keduanya hanya mengekploitasi kekayaan alam. Menguras kandungan bumi untuk kemudian menjualnya entah kemana tanpa ada nilai tambahnya sedikitpun.
Bumi kemudian dikupas habis tanpa ada upaya rehabilitasi atau kalaupun ada, minim sekali. Tidak heran bila disana-sini terlihat kupasan bukit berwarna kuning, menambah kegersangan bumi Borneo. Bila dulu hutang ditebangi dan dieksploitasi habis-habisan dengan upaya reboisasi yang minim, maka menurut saya kondisi saat ini malah lebih mengerikan. Ekploitasi batubara dengan sistem open pit tidak saja menghilangkan hutan hujan tropis tetapi juga mendeformasikan susunan tanah. Ngeri membayangkan bahwa humus hutan hujan tropis yang biasanya memiliki sifat menyuburkan tanah semakin hari semakin terkikis hilang. Bukit-bukit gundul yang susunan tanahnya telah terdeformasi tentu tak sanggup lagi menghidupi sepokok pohon. Entah bagaimana nasib dan masa depan paru-paru dunia ini. Ngeri membayangkannya.