---
Ini cerita pengalaman pribadi berurusan dengan rumah sakit. Semoga.... gua nggak dituntut seperti Prita Mulyasari ... makanya gua nggak bakal nyebut nama RS nya deh.
Sudah lebih dari 5 tahun, alhamdulillah, saya tidak pernah berurusan dengan rumah sakit. Terakhir kali... ya lebih dari 5 tahun itupun karena terpaksa.
Seperti biasa, penyakit yang mampir di badan, biasanya cuma batuk atau pilek dan tanpa obat-obatan kimiawi, batuk atau pilek itupun hilang dengan sendirinya, Biasanya dibantu dengan pijat/refleksi, minum rebusan jahe+gula batu+perasan jeruk nipis setiap malam. Tapi ada kejadian yang menyebabkan saya harus berurusan dengan rumah sakit....
Saat itu, karena lendir dalam hidung agak bandel sehingga untuk mengeluarkannya harus menggunakan "tenaga" dorong yang kuat. Akibatnya ... ada kebocoran dari lubang hidung sebelah kiri ke telinga kanan. Gimana kejadian dan rasanya?
Nah, hari itu usai makan siang dan shalat dhuhur.... sambil ngetik di notebook... tiba-tiba terasa seperti ada korsleting listrik di telinga kanan. Betul-betul bunyinya seperti kalau ada dua kabel "telanjang" tersambung. Nggak sampe satu menit... terasa ada cairan mengalir dari telinga yang "korslet" tadi. Saya ambil tissu untuk melapnya.... terlihat basah oleh cairan bening. Tapi si cairan... walau hanya sedikit tapi tetap mengalir dan lama kelamaan warnanya berubah menjadi kekuningan dan akhirnya agak kemerahan.
Saat melihat cairan berubah warna menjadi kemerahan, saya segera sadar bahwa betul-betul ada yang nggak beres dengan telinga kanan saya. Untungnya .... supir kantor ada yang sedang "menganggur" sehingga saya bisa minta antar ke sebuah RS, tidak jauh dari kantor.
Maka... sayapun ditangani oleh dokter THT, yang dengan sedikit "mengomel", membersihkan telinga saya lalu memberikan resep dengan pesan harus kembali lagi 1 minggu kemudian setelah obat habis.
Kenapa dia ngomel..... Karena ... saya dianggap bandel... Batu/pilek tapi nggak mau berobat ke dokter. Si dokter kali nggak tahu kalau..... sumpah mati... saya termasuk golongan orang yang tidak percaya dengan pengobatan kedokteran "modern" yang menjejali pasien dengan obat2an kimiawi.
Tapi, ya sudahlah... dokter mau ngomong apa, toh saya sebagai pasien punya hak sendiri, mau nurut atau nggak. Jadi telan aja tu omongan... hehehe... Jadi kembalilah saya ke kantor dengan sekantong obat-obatan kimiawi yang amit-amit... kalo nggak kepaksa banget, pasti udah saya buang ke selokan di pinggir jalan.
Hari pertama, untungnya Sabtu... jadi saya bisa istirahat di rumah sambil berusaha mendisiplinkan diri minum obat yang harganya mahal.... Konon begitulah maunya dokter... Ngasi obat paten buat pasien, supaya komisi dari pabrik obat makin gede.... Yang ini sudah jadi rahasia umum-lah...
Hari ke 3, Senin... ternyata kondisi saya bukan malah lebih baik.... tetapi saya malah "terkapar" nggak bisa bangun. Terpaksalah telpon ke kantor, minta ijin nggak masuk... lalu telpon adik saya ... menceritakan segala sesuatu yang terjadi sambil menyebutkan nama obat yang dikasih dokter THT itu.
"Gila ...." teriak adik saya di telpon.
"Mau bunuh nyamuk aja pake bom...!!!" begitu komentarnya saat saya menyebutkan merek dagang antibiotik yang saya minum selama 7x.
"Tentu lambungmu nggak tahan... kamu yang nggak pernah minum obat dikasih bom antibiotik. Sudah ganti dengan ini...., minum 3x sehari sampai habis!", begitu katanya sambil menyebutkan merek antibiotik pengganti.
Maka, sang suami terpaksa pergi dulu ke apotik sebelum berangkat ke kantor dan setelah mengganti antibiotik itu saya bisa tidur dengan nyaman dan keesokan harinya sudah bisa masuk kantor lagi dan sejak saat itu .... saya tidak pernah mau lagi minum obat kimiawi kecuali dalam keadaan terpaksa, dimana rasa sakit betul-betul sudah tak tertahankan lagi. Alhamdulillah hal tersebut sudah berjalan lebih dari enam tahun hingga..... tibalah kejadian sekitar hampir 4 minggu yang lalu.
Nah... saat itu, suami pulang dari Johor Bahru/Singapore membawa oleh-oleh batuk dan pilek. Sebetulnya... tidur dengan suami yang kena batuk/pilek sudah biasa. Kalau saya sudah merasa "bakal kena", biasanya saya minta dibuatkan ramuan khusus dalam mug super besar untuk diminum sepanjang malam. Apalagi kalau bukan rebusan jahe+gula batu+perasan jeruk nipis. Lalu pagi-pagi setelah anak pergi ke sekolah, saya akan tidur lagi 1 jam, baru mandi dan berangkat ke kantor. Itu sudah cerita klasik, yang sekretaris kantor sudah hafal betul karena sudah berjalan hampir 6 tahun dan dengan cara itu relatif saya tidak pernah "bolos" kantor karena sakit.
Kali ini... entah karena virusnya made in Johor Bahru/Singapore atau mungkin Allah SWT ingin menyentil saya karena "kejumawaan" saya atas kondisi kesehatan yang relatif prima untuk orangyang sudah berumur hampir balak lima, kiat-kiat yang biasanya manjur ternyata bablas...... 4 hari saya terkapar di rumah. Kalau hanya sekedar batuk/pilek saja, saya masih berani berangkat ke kantor. Tapi untuk kali ini, dibarengi dengan sakit kepala yang amat sangat dan deman setiap malam dan pagi hari. Bahkan saking nggak tahannya dengan rasa sakit kepala, saya sempat masuk UGD untuk mendapat 2 flacon cairan infus termasuk 1 flacon paracetamol.
Setelah sempat nggak masuk selama 4 hari kerja, minggu kedua, karena sakit kepala sudah reda, maka saya mulai masuk kantor. Berangkat sedikit lebih siang dan pulang lebih cepat karena kondisi terasa masih belum 100% pulih.
Nah... lagi-lagi, di hari jum'at setelah makan siang, terasa ada yang mengalir dari telinga kanan. Persis di tempat yang dulu lagi. Memang ... sejak mulai batuk pilek, saya sudah agak waswas dengan "kelemahan" hidung-telinga akibat "kebocoran" yang telah terjadi + 6 tahun yang lalu. Apalagi setiap lendir keluar dari hidung, terlihat warna yang berbeda. Lendir yang keluar dari hidung sebelah kanan berwarna kecoklatan seperti tercampur darah. Mungkin sedikit mimisan.
Sayangnya Jum'at malam itu, saya tidak bisa ke RS, kali ini yang ada dekat rumah, karena dokternya sudah pulang. Jadi baru keesokan paginya saya kembali ke RS.
Dokter THT, perempuan, yang menangani cukup baik walau agak "sebel", kali ya... karena saya tidak mencatat antibiotik yang 6 tahun lalu menyebabkan saya terkapar serta antibiotik pengganti yang diresepkan oleh adik saya. Tapi... siapa sih yang ingat dengan obat yang diminum 6 tahun lalu, apalagi buat saya yang nggak suka obat-obatan kimiawi?
Lalu, diberikanlah sekantong obat, berupa clavamox (amoxillin sang antibiotik) - mucopec untuk batuk dan Rhino untuk pilek. Antibiotiknya dihabiskan..... Ini SOP standar penggunaan antibiotik. Ya sudah.... terpaksa manut.... Cuma sebalnya... saat diperiksa... "kebocoran" itu tak terdeteksi, apalagi cairannya juga sudah berhenti mengalir. Jadi bu dokter nggak ngasi obat telinga.
Apa yang terjadi...? sore harinya, kepala saya sebelah kanan dari ubun-ubun sampai tempurung otak di atas tulang tengkuk sakit bukan kepalang dan ini berlangsung selama 3 hari sehingga hari Senin saya kembali nggak masuk kantor. Ampyun deh.....
Hari ini .... antibiotik sudah habis. Batuk walaupun sudah tidak ada lagi, tapi saya merasa masih ada sisa batuk yang "mengganjal" rongga dada sehingga napas saya terasa pendek.
Telinga saya hanya berfungsi 50%, sehingga suara di sekitar terdengar sayup-sayup.
Itu sebabnya, hari ini saya pulang agak cepat setelah dibuatkan janji untuk kembali ke ruang praktek bu dokter. Maka, usai shalat ashar saya bergegas meninggalkan kantor agak tidak terlambat. Apalagi terlihat mendung mulai menggayuti langit di selatan Jakarta.
Tiba di RS, di tempat pendaftaran... sang petugas bilang begini :
"Maaf bu .... dokternya baru keluar. Ada panggilan dari RS."
Disebutkannya nama sebuah RS yang jaraknya sekitar 5km dari RS tempat saya akan berobat. Tapi... pada jam sore tersebut yang pasti akan sangat macet, jarak 5km bisa ditempuh dalam waktu 1 jam.
"Berapa lama dia akan berada disana?", tanya saya
"Entah bu, kami belum bisa memastikannya. Tapi kalau mau ibu bisa menunggu..."
Hah.....Nunggu tanpa kejelasan berapa lama.... Yang bener aja? Apalagi di luar terlihat hujan sudah mengguyur tanah dengan deras.
Saya berhitung waktu ... Saat itu jam 17.00 dan dokter baru 20 menit berangkat untuk menangangi pasiennya di RS lain yang sedang gawat. Jarak 5 km di Jum'at sore dengan kondisi hujan deras, pasti akan memakan waktu 1 jam atau 2 jam pergi pulang. Kalau bu dokter mampu menangani pasiennya dalam waktu 1 jam, maka berarti 3 jam waktu yang digunakannya. Kalau saya menunggu, artinya paling cepat jam 19.00 dia baru kembali. Padahal jelas-jelas jam prakteknya hanyasampai jam 18.00.
Nggak peduli tas kerjanya masih ada di ruang praktek, siapa yang bisa menjamin dokter akan kembali ke RS di luar jam prakteknya untuk menangani pasiennya? Soal tas...? gampang saja kan.... Tinggalkan saja di RS, toh Sabtu pagi dia akan kembali praktek. Tinggal telpon ke perawat untuk memintanya menyimpan tas..... dan pasien yang menunggu....? silakan gigit jari....dan pulanglah....
Mungkin saya terlalu berburuk sangka, tapi cerita dokter lari kesana-kemari, dari warung (ini istilah umum untuk menyebut tempat praktek) yang satu ke warungnya yang lain, sudah jadi cerita klasik khas kota besar di Indonesia. Kenapa untuk "menghidupi" dirinya secara layak, dokter harus berpaktek disana-sini sehingga menerlantarkan pasien-pasiennya di satu tempat prakteknya. Apakah tidak mungkin mereka mendapatkan penghasilan yang cukup besar sehingga tidak perlu "buka warung" di setiap pojokan?
Semoga, para dokter tidak termasuk golongan kaum hedonis di Indonesia yang tak pernah terpuaskan naluri kebendaannya, sehigga seberapa besarpun penghasilan, tidak pernah akan mencukupi.
Entah kapan hak-hak pasien terlayani dengan baik ...