Bulan Sya'ban/September 2006 ini memang bulan pilihannya masyarakat untuk menyelenggarakan pernikahan. Jadi jangan heran, kalau dalam satu minggu, kita akan menerima 2 sampai dengan 3 undangan resepsi pernikahan. Itu berarti unpredictable cost. Coba kita hitung deh berapa besar pengeluaran tambahannya. Buat "nyecep" - kata orang Sunda, terus buat bikin baju baru ... . Perempuan kan biasanya nggak mau pake baju yang sama untuk acara yang sama (pernikahan) takut ketemu orang yang sama .... (tapi nggak termasuk gue lho ....). Belum lagi buat sanggul dan make up di Salon .... Belum lagi kalo undangannya di luar kota. Wuaduh .... bayangin aja kalo setiap minggu selama bulan Sya'ban ada undangan dan mesti hadir ... Alamat, akan ada krisis di dapur.
Hari minggu 10 September 2006 yang lalu, gue dapet undangan pernikahan dari Padang. Ini kenalan lama waktu tinggal di Stains 1981-1984. Keluarga dosen dari Universitas Andalas. Saat mengikuti suaminya ke Perancis, uni Tjul (begitu sama memanggilnya) sudah punya 2 anak perempuan. Yang besar, Dhini (dia ini yang menikah) kira2 umur 7 tahun dan Lydia berumur 1 1/2 tahun. Baru tinggal 1 bulan di Stains, uni Tjul langsung hamil anak ke 3. Kehamilan yang berat secara psikologis maupun fisik, harus dilaluinya. Sampai2 PMI (protection Maternelle et Infantile) mengirimkan femme au foyer, yang membantu uni Tjul untuk mengerjakan urusan rumah tangga (masak, cuci, ke pasar dll). Kehamilan itu juga dilalui dengan harap-harap cemas, menginginkan kehadiran anak lelaki dalam keluarga. Maklum, punya anak perempuan saja, bagi orang Minang itu costly.
Saya yang kebetulan secara bersamaan hamil anak pertama dan tahu kekhawatiran uni Tjul, sering mengganggunya. Apalagi saat dari hasil USG, diketahui bahwa bayi saya berkelamin lelaki sementara uni Tjul ... lagi-lagi perempuan.
Kembali ke Jakarta tahun 1984, saya sempat bertemu lagi dengan uni di Jakarta dan di Padang saat ada perayaan hut REI. Saat itu, uni Tjul sudah punya anak ke 4, masih perempuan dan terakhir. Putus asa juga rupanya ..... 4 anak perempuan pasti bisa bikin pusing keluarga Minang.
Dalam perkawinan adat Minang, keluarga perempuan wajib "manjapuik marapulai" dengan sejumlah hantaran dan "uang panjapuik". Inilah sumber kekhawatiran Uni.
" Bayangkan Lin .... berapa kilo "ameh" yang mesti uni sediakan untuk manjapuik marapulai" bila anak uni berjodoh dengan urang awak...? Onde.... indak tabayang, jo uni....!" Saat itu, Dhini sudah kuliah di Unpad dan ketiga adiknya masih tinggal di Padang.
"Doakan uni supaya bisa menyekolahkan anak-anak di Jawa ya..."
"Kenapa ni....?"
"Biar anak-anak mendapat jodoh orang Jawa. Biar putus kewajiban uni menyediakan "ameh" tu!"
Duh .... kasihan si Uni!! gue inget banget, saat di Stains, uni cerita bahwa saat menikah dengan uda, beberapa keluarga si uda memaksakan untuk meminta "panjapuik marapulai" yang sesungguhnya diluar kesanggupan keluarga uni. Untungnya, diam-diam uda sudah punya simpanan yang cukup besar sehingga demi cinta dan terlaksananya pernikahan, simpanannya itu direlakan untuk digunakan dalam acara "manjapuik marapulai".
Gue juga inget, keponakan suami (Jawa+Sunda) beberapa tahun yang lalu terpaksa putus dengan pacarnya yang anak dokter asal Minang. Konon ibu si pacar keberatan anaknya menikah dengan non Minang, karena anak lelaki (sarjana bo .... nilainya sama dengan BMW) mereka tidak akan menerima "panjapuik".
Beberapa tahun kemudian, selesai mendapai ijasah S1, Dhini mulai kerja di Jakarta. Uni yang kebetulan berkunjung ke Jakarta, lagi-lagi berpesan....
"Carikan jodoh orang Jawa untuk Dhini ya Lin...", Gue gak bisa ngomong apa-apa .... Haree geenee ngejodohin anak orang .... Ngeri skalee....!!!
Jadi, saat menerima undangan dari uni Tjul ....buru-buru gue telpon dia ke Padang. Ngobrol agak lama, gak ngitung pulsa telpon lagi deh.
"Uni ..... selamat ya. Menantu uni; tepat dan sesuai dengan idaman uni ya.... ! Ketemu dimana tuh?"(keluarga calon suami Dhini, tinggal di Kediri - Jatim)
"Tetangga sebelah rumah kost di Depok, sewaktu Dhini ambil S2"
"Syukurlah ....Maaf nggak bisa hadir ya, ni..., kami di Jakarta juga banyak dapat undangan pernikahan! Maklum, menjelang puasa".
"Sayang ya, nggak bisa hadir. Mohon doanya ya .... Masih berat tanggungan uni nih .... masih ada 3 anak gadis lagi yang belum menikah...!"
Waduh si uni....! , masih itu aja yang dipikirin....!
Semua anak gadisnya "diusir" dari Padang agar mendapat jodoh non Minang. Lydia, selesai kuliah di univ Andalas, lalu kerja di kantor akuntan Jakarta. Irma ... yang lahir di St Denis - France, baru selesai S1 dan sudah dikirim di Jakarta untuk cari kerja. Tinggal si bungsu yang baru masuk kuliah, tinggal bersama mereka di Padang.
Apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup? Ternyata mempertahankan adat istiadat yang sakral dan katanya bernilai budaya yang sangat tinggi dalam berbagai aspek ternyata membebani masyarakat.
Hari minggu 10 September 2006 yang lalu, gue dapet undangan pernikahan dari Padang. Ini kenalan lama waktu tinggal di Stains 1981-1984. Keluarga dosen dari Universitas Andalas. Saat mengikuti suaminya ke Perancis, uni Tjul (begitu sama memanggilnya) sudah punya 2 anak perempuan. Yang besar, Dhini (dia ini yang menikah) kira2 umur 7 tahun dan Lydia berumur 1 1/2 tahun. Baru tinggal 1 bulan di Stains, uni Tjul langsung hamil anak ke 3. Kehamilan yang berat secara psikologis maupun fisik, harus dilaluinya. Sampai2 PMI (protection Maternelle et Infantile) mengirimkan femme au foyer, yang membantu uni Tjul untuk mengerjakan urusan rumah tangga (masak, cuci, ke pasar dll). Kehamilan itu juga dilalui dengan harap-harap cemas, menginginkan kehadiran anak lelaki dalam keluarga. Maklum, punya anak perempuan saja, bagi orang Minang itu costly.
Saya yang kebetulan secara bersamaan hamil anak pertama dan tahu kekhawatiran uni Tjul, sering mengganggunya. Apalagi saat dari hasil USG, diketahui bahwa bayi saya berkelamin lelaki sementara uni Tjul ... lagi-lagi perempuan.
Kembali ke Jakarta tahun 1984, saya sempat bertemu lagi dengan uni di Jakarta dan di Padang saat ada perayaan hut REI. Saat itu, uni Tjul sudah punya anak ke 4, masih perempuan dan terakhir. Putus asa juga rupanya ..... 4 anak perempuan pasti bisa bikin pusing keluarga Minang.
Dalam perkawinan adat Minang, keluarga perempuan wajib "manjapuik marapulai" dengan sejumlah hantaran dan "uang panjapuik". Inilah sumber kekhawatiran Uni.
" Bayangkan Lin .... berapa kilo "ameh" yang mesti uni sediakan untuk manjapuik marapulai" bila anak uni berjodoh dengan urang awak...? Onde.... indak tabayang, jo uni....!" Saat itu, Dhini sudah kuliah di Unpad dan ketiga adiknya masih tinggal di Padang.
"Doakan uni supaya bisa menyekolahkan anak-anak di Jawa ya..."
"Kenapa ni....?"
"Biar anak-anak mendapat jodoh orang Jawa. Biar putus kewajiban uni menyediakan "ameh" tu!"
Duh .... kasihan si Uni!! gue inget banget, saat di Stains, uni cerita bahwa saat menikah dengan uda, beberapa keluarga si uda memaksakan untuk meminta "panjapuik marapulai" yang sesungguhnya diluar kesanggupan keluarga uni. Untungnya, diam-diam uda sudah punya simpanan yang cukup besar sehingga demi cinta dan terlaksananya pernikahan, simpanannya itu direlakan untuk digunakan dalam acara "manjapuik marapulai".
Gue juga inget, keponakan suami (Jawa+Sunda) beberapa tahun yang lalu terpaksa putus dengan pacarnya yang anak dokter asal Minang. Konon ibu si pacar keberatan anaknya menikah dengan non Minang, karena anak lelaki (sarjana bo .... nilainya sama dengan BMW) mereka tidak akan menerima "panjapuik".
Beberapa tahun kemudian, selesai mendapai ijasah S1, Dhini mulai kerja di Jakarta. Uni yang kebetulan berkunjung ke Jakarta, lagi-lagi berpesan....
"Carikan jodoh orang Jawa untuk Dhini ya Lin...", Gue gak bisa ngomong apa-apa .... Haree geenee ngejodohin anak orang .... Ngeri skalee....!!!
Jadi, saat menerima undangan dari uni Tjul ....buru-buru gue telpon dia ke Padang. Ngobrol agak lama, gak ngitung pulsa telpon lagi deh.
"Uni ..... selamat ya. Menantu uni; tepat dan sesuai dengan idaman uni ya.... ! Ketemu dimana tuh?"(keluarga calon suami Dhini, tinggal di Kediri - Jatim)
"Tetangga sebelah rumah kost di Depok, sewaktu Dhini ambil S2"
"Syukurlah ....Maaf nggak bisa hadir ya, ni..., kami di Jakarta juga banyak dapat undangan pernikahan! Maklum, menjelang puasa".
"Sayang ya, nggak bisa hadir. Mohon doanya ya .... Masih berat tanggungan uni nih .... masih ada 3 anak gadis lagi yang belum menikah...!"
Waduh si uni....! , masih itu aja yang dipikirin....!
Semua anak gadisnya "diusir" dari Padang agar mendapat jodoh non Minang. Lydia, selesai kuliah di univ Andalas, lalu kerja di kantor akuntan Jakarta. Irma ... yang lahir di St Denis - France, baru selesai S1 dan sudah dikirim di Jakarta untuk cari kerja. Tinggal si bungsu yang baru masuk kuliah, tinggal bersama mereka di Padang.
Apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup? Ternyata mempertahankan adat istiadat yang sakral dan katanya bernilai budaya yang sangat tinggi dalam berbagai aspek ternyata membebani masyarakat.
Salam kenal..Menarik nih tulisannya...bener sih ya..Pusingnya jadi orang Minang ..:)
BalasHapusjadi matriarkhat ala Padang juga sebetulnya memberatkan pihak perempuan ya?
BalasHapusIya ....
BalasHapusRepotnya, keluarga perempuan Minang yang mau "manjapuik marapulai" karena dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang akan dianggap kaumnya sebagai "Tidak Beradat" ... Repot ya...
Salam kenal juga
Dalam pernikahan ya ... Tapi, konon kalau suatu saat nanti, menjelang uzur si suami sakit2an ... si istri bisa meminta keluarga suami "mengambil" kembali "anak mereka" untuk dirawat keluarganya. Benar atau nggak ... wallahu alam. Ini sekelumit cerita saat ibu saya "ribut" dengan ipar perempuannya.
BalasHapusrefoot juga ya mba jadi wanita minang ^_^
BalasHapusdiluar adat 'panjapuik marapulai' sebenarnya saya demen banget deh
dengan kekayaan budaya minang
Banyak orang menganggap ada "manjampuik marapulai" itu merupakan adat yang dipakai oleh semua orang Minang, padahal sebenarnya tidak. Adat ini tuamanya hanya dipakai di salah satu daerah kabupaten di sumatera Barat, namanya Padang Pariaman, sementara di Pariaman sendiripun adat ini sekarang sudah banyak penyesuaian, seperti cerita siuni dengan suaminya yang main 'akal-akalan'.
BalasHapusdidaerah lain "uang panjampuik" ini lebih sekedar simbbol, misalnya di daerah Bukittinggi hanya beberapa belas ribu rupiah (namanya pangkal emas, saya lupa jumlah persisnya) yang dimasukkan ke dalam amplop, dan amplop ini di bungkus dengan kain sarung bugis. Dalam prosesi meminang, ketika di "pasambahan" (sejenis berbalas pantun) uang dalam kain sarung bugis ini yang diberikan.
Jadi...ngak perlu rame-rame cari suami Jawa, cari aja Bukittinggi misalnya, niscaya semuanya bisa dirundingkan....hehehe...
Kalo yang kaya' gini hukumnya dalam Islam gimana tuh? Kaya'nya dosa bukan menghalang-halangi orang yang mau berbuat baik.
BalasHapusMinangkabau itu memang unik kok ....
BalasHapusKalau ada waktu, jalan2 ke sana...
Alamnya indah dan bersih ...
Untuk pariwisata, Minangkabau lebih bersih dari Bali.
Jadi kita sangat nyaman mengunjunginya.
Nah ini si Uda Edward yang asli Minang berkomentar....
BalasHapusBetul da.... Beberapa keluarga yang sudah agak "modern" memang mau merundingkan masalah panjapuik marapulai. Tetapi banyak juga keluarga yang merasa "tinggi kedudukkannya" walaupun modern justru semakin mati2an mempertahankan adat. Apalagi kalau ninik mamak sudah turun tangan.
Ibu saya sudah seringkali di"cacimaki" oleh mamaknya sebagai "indak baradek" karena saat anak perempuannya menikah, tidak mau "manjapuik marapulai" Padahal, dari 3 anak perempuannya, hanya adik saya terkecil yang menikah dengan orang Minang.
Jadi, mungkin jalan pintasnya memang ... seperti Uni Tjul itu .... Mencari menantu orang Jawa.... Maaf da.... hehehe
Iya nih .....
BalasHapusAdat "manjapuik marapulai" yang meninggikan posisi perempuan (superior) terhadap lelaki pada saat menikah, menurut saya agak bertentangan dengan hukum Islam yang mewajibkan lelaki memberikan mahar perkawinan bagi perempuan.
Saya kadang berpikir, lelaki di Minang itu " seperti "pejantan" yang untuk menentukan jodoh anak2nya saja tidak diperkenankan. Karena ninik mamaknya - adik lelaki ibunya yang lebih berhak. (sorry Uda Edward - kalau penafsiran saya salah).
Lalu bagaimana dengan pegangan orang Minang bahwa "Adat basandi syara' dan syara' basandi kitabullah" (adat bersendikan agama dan agama bersendikan kitab Allah - Al Qur'an) Wallahu alam.
Huihihihihi....kalo baca smua yang kaya gini, ribet juga yak jadi orang padang....Mudah2an ga dapet pacar padang deh ya....
BalasHapusSemakin menghindar, nanti semakin mendekat lho dan kualat .... Suamimu malah orang Minang atau malah dapat orang Jambi lho ....
BalasHapusKan mendekati keluarga kakekmu yang Jambi itu ... wakakakak
Maaf, tidak semua orang minang begitu........setahu saya itu hanya terjadi didaerah Pariaman. Maaf kurang paham juga, tapi dalam keluarga besar saya tidak ada tradisi begitu, lagi pula Rasulullah berkata " wanita yg paling baik adalah yg paling mudah/murah maharnya " ( aduh...maaf lagi lupa2 ingat ttg hadits ini....)
BalasHapusHehehe... jarang marah dong... Ibu saya juga orang Minang kok. Orang-orang Minang banyak yang sudah meninggalkan adat "manjapuik marapulai" dengan membawa bawaan. Tapi ada juga yang masih memegang adat istiadat. Yang saya ceritakan di atas itu beneran lho dan teman saya itu tinggal di Padang (kota)... Bukan di karang-karang.
BalasHapussaya pernah dengar dari seorang teman yang orang minang juga bahwa itu cuma berlaku di daerah pariaman, tapi tetap saja budaya seperti itu memberatkan dan sepertinya memperjual belikan anak ya? Mohon maaf kalo saya salah kata tapi harusnya adat yang bertentangan dengan Islam (minang kan terkenal dengan slogan adat basandi syara', syara' basandi kitabullah) bukanlah adat yang harus dipertahankan terus, apalagi terlihat seperti menghalang2i sebuah tujuan baik. Buat yang suku minang mohon maaf bila terlalu lancang dalam berbicara.
BalasHapusMestinya begitu ... Hal yang bertentangan dengan agama hendaknya dikalahkan. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Ada kebanggaan tersendiri dari para pelakunya bila mampu "melestarikan adat istiadat"
BalasHapusadat wanita membeli lelaki sih sebenarnya berasal dari padang pariaman. lha di sana, padang pariaman malah ada tadisi tabuk, yg merupakan ciri khas syiah.
BalasHapusgimana bisa terjadi mixed seperti ini ?
matrilineal - ciri khas yahudi
padang yg corenya sunni namun agak kental sedikit wahabinya sejak jaman imam bonjol
dan tabuk - ciri khas syiah
Mungkin, kita mesti mempelajari sejarah masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Sebagaimana umumnya orang Indonesia, saya mengetahui sejarah bangsa ini sejak awal hingga kemerdekaan.
BalasHapusSaya orang Minang, dan juga Pariaman. Namun tidak ada tuh masalah seperti di atas muncul di keluarga saya. Mungkin keluarga Uni ini sudah lupa adat Minang yg selalu mengemukakan Musyawarah dan Mufakat. Segala hal bisa dibicarakan dan dicari kata sepakat. Saya dan adik laki2 saya sudah menikah, dan tidak satupun yg mau dikasih "uang penjemput". Jangankan saya, Ayah saya saja yg masih produk jaman dulu nggak mau uang penjemput kok.
BalasHapusMungkin masalahnya bukan Minang atau bukan, tapi masalahnya adalah mencari jodoh yg tepat atau tidak :)
Silungkang, Kotamadya Sawahlunto ga begitu. Bisa patungan, bisa pria saja. tidak memaksa. Sederhana hayo, meriah hayooo ... Ga ada uang jemput. Fleksibel ...
BalasHapusOh...begitu! wah menarik nih
BalasHapusBukan keluarga di Bukittinggi loo yang udah fleksibel. Keluarga saya dari Pagaruyung, batusangkar selalu sangat fleksibel. baik utk menikahkan anak laki2, maupun anak perempuan. Baik dengan sesama Minang, maupun sesama Jawa. Insya Allah saya sebentar lagi menikah dengan si Mas (alias Jawa). Keluarga di Minang dan keluarga di Jawa udah cincai-cincai lah...(istilahnya urang cino di padang)...Alias udah sama2 ngerti aja. Kita sama2 jauh...ga usah saling merepotkan dengan adat2...hehehhe.....Doain saya ya....:D
BalasHapusBukan keluarga di Bukittinggi loo yang udah fleksibel >> maksudnya bukan keluarga bukittinggi aja. Udah banyak daerah Minang yg fleksibel. Tgt keluarganya.
BalasHapusTapi ada cerita menarik utk sesama Minang. Se fleksibel nya org tua saya, duluuuuu (sekarang udah ga lagi).......keluarga saya itu masih menitipkan pesan: Kamu boleh gak sama org Minang, tp kalau bisa jangan Sunda. Kalau sama org Minang, jangan cari urang pasisie (orang pesisir, spt Padang, Pariaman, Painan). Carilah urang darek (org darat spt Bukittinggi, PadangPanjang, batusangkar, dll). Karena katanya org pesisir adatnya ribet. Bikin pusing. Untuuunggg sekarang ga gitu lagi. Syarat mereka udah: Asal Islam dan tau sama shalat....8mungkin karena anaknya dah ketuaan belum kawin2 juga kali ya...hehehehe....:d)
Yang pasti.... keluhan si Uni pada saya, begini...; tolong carikan jodoh buat anak gadis uni. Kalo dia dapat jodoh orang Minang, berat di uni..."
BalasHapusMasalahnya... ada beberapa keluarga/kaum yang merasa "kurang bermartabat" kalau harus patungan, dan menghilangkan adat istiadat.
BalasHapusAnda beruntung memiliki keluarga yang fleksibel.
BalasHapusYa, begitulah orang tua.... Maunya sih supaya anaknya hidup bahagia. Walaupun ukuran bahagia itu sangat absurd. Lebih cocok syarat yang terakhir ya.... Orang yang mengerti akidah agamanya, akan menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarga
BalasHapusIya juga sih. Kadang seseorang itu memang tidak selalu mengambil kesimpulan yg benar dari masalah yg dihadapinya.
BalasHapusSeperti kata pepatah,"Buruk Muka, Cermin dibelah"
wah..terlalu didramatisir itu mah...mengada2, jangan sampai tulisan ini membuat interpretasi yang salah dengan adat minang..saya sebagai orang Pariaman merasakan tidak gitu2 amat..dikeluarga saya 7 orang laki2 yang sudah menikah, ga satupun memakai "uang jemputan" apalagi disebut berkilo2 emas...
BalasHapusbahkan ditempat saya, dianggap Aib kalo menikah dengan orang jawa dan sunda.
berarti ada 2 kemungkinan : tidak bangsawan/ningrat or bangsawan yang telah berubah mengikuti perkembangan zaman
BalasHapusBisa jadi si Uni memang mendramatisir.... Tapi begitu kenyataannya. Sejak saya kenal dia 26 thn yang lalu, sampai ketemu terakhir tahun 2007, kalau topik pembicaraan sudah menyinggung masalah pernikahan anak2nya.... dia selalu "mengeluhkan" masalah yang sama... Ketakutan untuk menyediakan dana yang besar untuk "manjapuik marapulai". Adik saya sendiri juga menikah dengan orang Pariaman, ibu saya dari Batusangkar dan alhamdulillah, saat adik menikah, kami tidak menemui masalah.
BalasHapusass.
BalasHapussebenarnya saya pingin sekali mencoba untuk meluruskan stereotipe ato interpretasi spt ini, agar semua orang tau dan tidak mengartikan sesuai pemahaman individual saja tanpa melihat kelengkapan adat dan budaya itu secara menyeluruh.. tapi saya yakin dikolom comment ini tidak akan cukup..
mudah2an nantinya akan saya postingkan lebih rinci.
wass.
kalo tabuik itu adalah budaya yang sudah menjadi icon pariwisata. jangan sampai dikaitkan dengan kepercayaan. Pesta Budaya Tabuik itu terkait dengan sejarah masuknya Islam ke Sumatera.
BalasHapusiya, sekarang memang sudah jadi budaya yg as is. tapi kan bisa dicari jejak sejarahnya yg berpengaruh pada adat istiadat di masyarakat. misalnya yah sistem matrilineal ini.
BalasHapusaq ci sebenarnya masih ragu ni....coz calon suami aq orag pariaman tepatnya Lubuk alung...sedangkan aq sendiri org palembang...tar masih pake adat beli ga ya????????apalagi amaknya masih dipariaman ..aduh.tolong dong gmn mesti menyikapinya...hbisnya aq sering di takuti oelh keluarga dan temen aq bhw kl nikah ma org pariaman itu mesti beli laki2............
BalasHapusKalau memang sudah sangat serius, coba jajaki pandangan calon suami tentang adat istiadat mereka. Kalo sang calon dan anda sudah sepaham, jajaki pandangan ibunya. KArena walau bagaimana ibu dan keluarga ibunya sangat memegang peran.
BalasHapuskl dy nya ci ga mau dibeli...dan dy juga bilang bnyk sepupunya yang nikah ma wnita bukan dari minang dan mereka tidak menjalankan itu....tapi aq masih ragu ni....aduh pusing mana bentar lagi....
BalasHapustapi kl di palembang baik keluarga ibu mapun ayah keduanya memegang peran panting...knp diminang hanya klrga ibu saja yang begitu....truz kmn peran ayah sebagai kepala keluarga?
BalasHapusmakanya coba dekati calon mertua perempuan. ajak bicara mengenai ritual adat tersebut. supaya jelas apa maunya.
BalasHapusitulah sistem matriachat - yang menganut paham peran keluarga pada garis ibu. Jadi keluarga dari garis ibu yang menentukan termasuk paman-paman (adik dan kaka dari pihak ibu) yang disebut sebagai ninik-mamak. Jadi si bapak memang tidak berperan disini. Tetapi saat keponakannya menikah (anak dari saudara perempuannya) maka si bapak berperan sebagai ninik mamak.
BalasHapusBukankah perempuan seringkali ingin berperan lebih dari lelaki? Nah di Minang inilah contohnya. Baik atau buruk.. ya tergantung bagaimana kita menilainya
trz kl sang ibu mnt adat beli itu diharuskan,sedangkan sang wanita ga bisa krn suatu dan lain hal apa msri maksa....itu kan sama ajah menghalangi niat baik org yang akan menjalankan sunah Rasul...apa lagi di agama ga ada yg begitu....
BalasHapusSemua tergantung niat kamu. Kalo memang sudah mantap mau menikah dengan sang calon, ya ditempuh seperti cerita di atas. Bilang sama calon suami, pake uangnya untuk "memenuhi tradisi" yang diminta ibunya.
BalasHapusKalau anda memang merasa tidak cocok dengan prinsip tersebut dan merasa "didzalimi" ya ambil resiko lain. Yang pertama menikah tanpa "restu" keluarga suami (yang tetap berkeras dengan adat istiadat) atau berpisah dengan menganggap bahwa sang calon memang bukan jodoh yang tepat.
Dalam setiap masalah sebetulnya terkandung "niat baik dan petunjuk" Allah SWT. Hanya kita saja yang seringkali lupa bahwa Allah Maha Tahu akan apa2 yang baik buat umatNya. Wallahu'alam
Assmwrb. Salam kenal...nama saya Sari, sudah setahun ini berpacaran dgn orang Pariaman. Dari awal sudah saya bahas perbedaan kita, yaitu: saya muslim suku sunda & cina, usia lebih tua, janda cerai beranak satu. Tapi pacar saya tetap yakin karena kita saling mencintai. Lalu tiba2 sebulan lalu dia mohon ijin nikah dgn jodoh dari mamaknya di kampungnya di Pariaman. Katanya jika dia menolak jodoh akan dikeluarkan dari keluarga dan adat. Dia bilang perasaannya kini sangat menderita, tapi dia tetap akan mengikuti tradisi perjodohan tersebut. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana karena saya mencintainya. Apakah pria Pariaman tidak pernah berjuang untuk meraih cintanya dan betul2 tunduk pada tradisi keluarga? tolonglah sedikit pencerahan dari teman teman sekalian, sekedar meringankan beban batin yang menyesakkan ini, wassalam.
BalasHapusSari yang sedang gundah,
BalasHapusMasalah perjodohan, bukan masalah kesukuan. Ini masalah kepribadian si lelaki. Lelaki yang kuat kepribadiannya tidak akan gentar dengan ancaman "dikeluarkan secara adat" ,toh adat itu buatan manusia.
Lain halnya kalau perjodohan itu atas permintaan ibu. Jangan lupa, ada hadis yang meriwayatkan, tatkala seorang lelaki bertanya kepada Rasulallah : kepada siapa aku harus berbakti?" dan Rasulallah menjawab : kepada ibumu. Lalu setelah itu kepada siapa lagi? Rasulallah menjawab : kepada ibumu. Demikian jawaban tersebut hingga 3 kali dan jawaban ke empat, Rasulallah baru menjawab : kepada bapakmu.
Jadi andaikan ibu pacarmu itu memintanya untuk menikahi perempuan sekampung (biasanya anak pamannya), maka tentu pacarmu yang "taat" akan memenuhi permintaan ibunya. Demikianlah sebagian besar orang Minang dididik, apalagi dengan sistem matriachaart nya.
Bagi saya pribadi, pernikahan bukan sekedar penyatuan dua individu, tetapi bersatunya dua keluarga besar. Apa enaknya menikah tanpa restu? Anda yang pernah menikah tentu tahu persis bahwa menikah tidak mudah dijalani. Kalau pernikahan yang direstui saja sudah sedemikian "berat"nya dijalani. Bagaimana dengan pernikahan tanpa restu? Tantangannya pasti lebih berat.
Anyway... ambil hikmahnya saja, Allah SWT sejak awal sudah menunjukkan bahwa lelaki itu belum yang terbaik untuk anda. Kalau halangan "seringan" itu tidak mampu dilaluinya, bagaimana anda bisa yakin dia mampu menghadapi "badai" selama pernikahan yang kita harapkan berlangsung seumur hidup?
wallahu alam
pantas saja sudah 2tahun saya jalin hubungan dengan orang padang pariaman tidak jelas mau dibawa kemana,,karena ujungnya tidak akan pernah terjadi karena saya darah jawa sedangkan dia darah minang..
BalasHapusminang dengan minang
dan non minang cari yg lain ajalah yaa
sia2 loh 2thn cuma dipacari tapi tak dinikahi
to Ariany Ariesta
BalasHapusBanyak doa sajalah ... Minta pada Allah SWT agar diberikan yang terbaik dan dimudahkan jalannya walau yang terbaik itu bernama perpisahan
Suami saya orang pariaman...pribadinya orang pariaman yang saya tahu adatnya harus diikuti...seolah kita orang minang yang lain tdk punya adat saja...suami suka lepas tangan kalau lagi ga punya uang...tapi kalau lagi kaya nitipin uang sama saudaranya...makanya saya sarankan pikir berkali2 kalau mau menikahi orang pariaman ya..
BalasHapusSuami saya orang pariaman...pribadinya orang pariaman yang saya tahu adatnya harus diikuti...seolah kita orang minang yang lain tdk punya adat saja...suami suka lepas tangan kalau lagi ga punya uang...tapi kalau lagi kaya nitipin uang sama saudaranya...makanya saya sarankan pikir berkali2 kalau mau menikahi orang pariaman ya..
BalasHapus