Satu lagi
tulisan yang sangat INDAH dan MENYENTUH dari Fahd
Djibran atau Fahd Pahdepie
***
“Kiai,
maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku
memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku
sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan
saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.
Dua
tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku
sudah memaafkanmu.”
“Tapi,
Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang
berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”
Kali ini
Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,”
katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
Dengan
lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah
itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.
Kiai
Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari
semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah
apapun dari diriku.”
Aku terus
menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa
minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara
membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah,
kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah
keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia
menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa
menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.
Aku
menatap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di
ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan
memfitnahnya hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda
denganku? Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu
agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan
ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan
banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan
kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?
***
“Kiai,
ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha
menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung
perasaannya.
Kiai
Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku
menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya
benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Kiai
Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah
doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa
kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku,
atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan
dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang
benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—
“Apakah
kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru
menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf,
Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain.
Kiai
Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit
terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah
sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya
Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah
kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Kiai
Husain tersenyum.
“Besok
pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil
mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu,
ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau
lalui.”
Aku hanya
bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain
adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan
bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur
diterbangkan waktu…
“Kau akan
belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang
di wajahku.
***
Keesokan
harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki
sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada
beliau.
“Ini, Kiai,
bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan.
Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat
semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya
fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak
orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”
Kiai
Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari
raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali
kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus
belajar seusatu…,” katanya.
Aku hanya
terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini
pulanglah…” kata Kiai Husain.
Aku baru
saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain
melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh
jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”
Aku
terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat”
berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu
kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa
banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Aku
terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain.
“Kau akan
mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.
***
Sepanjang
perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi
kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.
Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin,
atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau
tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku
harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke
gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus
berjalan.
Setelah
berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat.
Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng
yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari
sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam
perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di
perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
***
Hari
berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan
lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang
berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada
Kiai Husain.
Kiai
Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.
Aku
mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak
mengerti.
“Tentang
fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain.
Tiba-tiba
aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu
yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang
kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha
memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan
entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke
mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai
wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”
Tiba-tiba
aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan
pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau
yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin
mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan
salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri…
Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa
bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak
tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu!
Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar
kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur
dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu
telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah
itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama
menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali
pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun
saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus
mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun
kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu
telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak
fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku
benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim…
Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi
istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari
saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya!
Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku
perbuat.
Kiai
Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu
setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah
mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan
kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia…
InnaLlaha tawwabur-rahiim...”
Aku
disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin
mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan!
Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau
telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih
basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan
seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu
lebih kejam dari pembunuhan...”
Astaghfirullah
al-adzhim!
Melbourne,
17 Juli 2014
*Cerpen
ini diinspirasi oleh sebuah ceramah ba’da tarawih di Masjid Westall, Westbank
Avenue, Calyton South, Victoria, Australia.
Fahd Pahdepie atau dikenal
juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of
Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini
tinggal di Melbourne. Dapat ditemui di twitter @fahdisme.