Penampilan presiden RI ke 7Joko Widodo alias Jokowi dan ibu negara alias first lady Iriana yang apa adanya sebagaimana layaknya masyarakat biasa, selalu mengundang pro dan kontra. Ada yang suka melihat kesederhanaan yang mereka tampilkan, tetapi tidak kurang pula yang menganggap penampilan mereka sebagai pencitraan belaka.
Masyarakat Indonesia memang terlalu biasa dengan pola pikir feodalisme. Citra bahwa seorang ksatria atau raja, pastilah gagah, tampan dan pandai sementara seorang sekar kedaton dan permaisuri sangat cantik, lembut. Penampilan mereka pastilah sangat mewah dan tentu berbalut pakaian kelas atas lengkap dengan perhiasan emas permata yang berkilauan.
Pada era modern image tersebut diterjemahkan bahwa para penguasa negara dan pejabat lainnya yang berjenis kelamin lelaki harus gagah dan berwajah tampang sementara yang perempuan pastlah cantik kemayu dengan penampilan "berkelas" baik baju maupun tatanan rambut. Ibaratnya .... pakaian kalau tidak atau belum mampu membeli karya adibusana kelas dunia, maka karya adibusana kelas nasional pastu diburu habus. Tas harus bermerek yang harganya aduhai. Belum lagi jam tangan, tas, sepatu dan lainnya. Di luar dari itu semua, sesuatu yang sangat khas adalah .... si perempuan akan menata rambutnya dengan disasak tinggi serta melebar seperti sarang burung. Entah bagaimana cara tidur mereka ...... atau bisa jadi, mereka memiliki penata rambut sendiri yang siap sedia melayani setiap pagi hari
Era kepemimpinan Jokowi, menjungkirbalikkan segalanya .... Wajah dan penampilan Jokowi yang ndeso, caranya saat mengunjungi dan berdialog dengan masyarakat yang tanpa canggung, yang kemudian populer dengan istilah mblusukan, menunjukkan bahwa Jokowi memang pemimpin rakyat yang siap sedia melayani. Itulah yang sebenarnya layak dilakukan seorang pemimpin untuk menyerap kondisi riel masyarakat. Namun di sisi lain ada pula yang menganggapnya sebagai pencitraan yg tidak perlu.
Padahal ... mari bandingkan mblusukan ala Jokowi dengan setting dialogis pemimpin dengan masyarakat yang diatur dan diselenggarakan di pendopo kabupaten . Apa yang akan diperoleh oleh pemimpin dari 2 situasi yg berbeda bagai langit dan bumi tersebut ....? Mendatangi dan berdialog langsung di tempat masyarakat beraktifitas, atau mengumpulkan masa di sebuah pendopo yang .... ah... kok seperti jaman raja-raja dahulu? Sepertinya, akan tetap ada yang menganggap bahwa apa yang dilakukan Jokowi tidak lebih dari pencitraan
Belum lagi penampilan Iriana sebagai ibu negara yang sangat jauh dari stereotype istri pejabat yang kinclong dan menor ... Pakai kerudung/jilbab seperti yang pernah dilakukannya saat periode kampanye.... salah.....!!! Kemudian saat dia membuka kerudung/jilbabnya... lebih salah lagi , karena memang pada dasarnya Iriana bukanlah perempuan berhijab.Tapi .... bukankah banyak juga perempuan berjilbab dengan cara asal cantol .... Seolah berjilbab, namun jambul masih nongol...., atau lehernya masih terlihat. Masih tergiur memamerkan giwang berlian yang gemerlap di telinga. Belum lagi pakaiannya. Walau menggunakan gaun panjang, tapi tetap dengan model dan gaya sexy berwarna warni sehingga menarik perhatian orang.
Mungkin itu sebabnya, seorang teman pernah bercerita bahwa konon kabarnya, teman-teman lama Iriana berusaha keras membujuknya untuk mengubah penampilannya sebagai first lady. Agar penampilan Iriana menjadi agak lebih "berkelas". Nggak ndeso seperti saat ini. Padahal ... ndeso atau berkelas ... mewah ataupun sederhana sesungguhnya bergantung pada kenyamanan pribadi.
Gaya sederhana ini juga akhirnya terbawa pada penampilan para menteri perempuan. Mereka semua nyaris tampil berbeda dengan menteri perempuan pada kabinet-kabinet terdahulu. Mungkin hanya Nila Moeloek saja yang bergaya à la pejabat sebagaimana yang diinginkankan masyarakat. Maklum juga karena yang bersangkutan adalah istri mantan menteri jaman lalu.
Jadi ..... apakah kita memang masih memandang penampilan wah para pejabat masih menjadi suatu keharusan? Jangan lupa .... kemewahan yang mereka tampilkan sebetulnya dibebankan pada masyarakat. Bukankah kita sering membaca berita betapa besarnya anggaran pakaian/rumah tangga pejabat daerah. Apakah stereotype pejabat & keluarga harus tampil berkelas dan kinclong lebih penting daripada kinerjanya?.