Konflik Israel dan Palestina itu sangat kusut dan njlimet. Jauh lebih kusut, njlimet, dan tidak masuk akal ketimbang drama Korea, India, dan telenovela digabung menjadi satu. Apa pun upaya kita untuk menyederhanakannya pasti akan diketawai (atau dikecam) oleh orang lain yang merasa lebih tahu soal konflik ini (dan kok ya Alhamdulillah ada sangat banyak orang yang merasa lebih tahu soal konflik ini ketimbang Gus Yahya meski pun mungkin belum pernah membaca sedikitpun sejarah tentang konflik kedua negara ini).
Bagaimana tidak kusut lha wong konflik ini sudah berlangsung puluhan tahun dan melibatkan begitu banyak negara dan kepentingan. Selain itu ada juga perang saudara antara dua faksi politik yang berbeda di Palestina, yaitu antara Hamas dan Fattah.. Jadi selain berperang melawan Israel rakyat Palestina juga berperang satu sama lain di bawah dua kekuatan politik dan militer yang berbeda yaitu Hamas dan Fattah yang telah berlangsung puluhan tahun.
Jadi kalau kita mau tahu sebenarnya ada ‘Dua Palestina’ disana, yaitu Palestina Fattah dan Palestina Hamas. Jadi kalau kita membela Palestina maka kita akan ditodong dengan pertanyaan politis faksi mana yang kita bela, Palestina a la Hamas atau Palestina a la Fattah? Lha wong meski sama-sama mewakili rakyat Palestina mereka punya aspirasi politik dan wilayah yang berbeda. Ada faksi yang bersedia berdamai dengan Israel dengan solusi ‘Dua Negara’ dan ada faksi yang tidak mau damai dan mau tetap melenyapkan Israel dari muka bumi. Dua faksi ini selama belasan tahun juga berperang satu sama lain. Jadi kalau sampeyan bilang membela Palestina sebenarnya sampeyan membela Palestina yang mana? Palestina yang Fatah atau yang Hamas? Palestina yang mau berdamai dengan Israel atau Palestina yang mau melenyapkan Israel dari muka bumi?
Konflik Israel dan rakyat Palestina sendiri kalau dirunut sudah berusia 70 tahunan dan bahkan sudah muncul sebelum Perang Dunia I. Tapi saya tidak akan bicara sejauh itu. Kuatir kebablasan dan gak bisa kembali karena jauhnya saya pergi. Sila buka referensi sendiri tentang konflik ini di internet yang bisa dibaca pelan-pelan sambil nyruput kopi.
Meski kusut bukan main tapi satu hal yang pasti dari konflik ini yaitu bahwa Israel, yang sebelumnya adalah bangsa yang menderita karena genosida kini telah menjelma menjadi negara penjajah yang melakukan pencaplokan tanah dan pengusiran bangsa lain, yaitu bangsa Arab, di Palestina. Dulu mereka datang sebagai pengungsi dan sekarang mereka mengusir penduduk Palestina yang telah lebih dulu tinggal disana.
Secara sederhana, konflik ini intinya adalah perebutan wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, yang dalam hal ini adalah orang-orangYahudi yang datang ke daerah tersebut sebagai pengungsi dan bertikai dengan para penduduk Arab yang sudah lama menempati daerah tersebut. Akhirnya mereka berkonflik dan berperang berkali-kali yang terus dimenangkan oleh Israel. Hal ini membuat Israel merasa bahwa sebagai pemenang perang ia berhak mengakuisi tanah yang dimenangkannya. Mereka lalu mengusiri orang-orang Palestina yang sudah lama ada di sana.
Tentu saja kelakuan Israel ini kurang ajar. Israel terus menerus berupaya untuk menganeksasi tanah orang-orang Palestina. Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahkan mengeluarkan kecaman terhadap langkah Israel mengesahkan permukiman ribuan rumah di tanah Palestina yang diduduki Israel di Tepi Barat. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan tindakan Israel tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan akan menyebabkan konsekuensi hukum bagi Israel. Mengapa Israel begitu adigang, adigung, adiguna? Ya karena selalu dibela oleh Amerika Serikat yang merupakan sekutu setianya dan juga karena terpecahnya Palestina itu sendiri.
Fatah dan Hamas muncul sebagai dua kekuatan politik utama dalam gerakan kemerdekaan Palestina. Tetapi ada perbedaannya. Misalnya dalam strategi, dalam hal penentuan nasib dan status kemitraan politik mereka. Hamas dan Fatah memang berbeda pandangan dalam menyikapi perlawanan terhadap Israel. Tujuannya sama, yaitu penentuan nasib sendiri bagi Palestina tapi dengan cara yang berbeda.
Fatah didirikan oleh Yasser Arafat pada tahun 1964 sebagai representasi berbagai faksi yang ingin menentukan nasib sendiri. Fatah jadi kekuatan utama dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Fatah berarti "kemenangan" organisasi ini dipimpinnya hingga meninggal pada tahun 2004. Partai sekuler ini awalnya berupaya mendirikan negara Palestina lewat gerilya. Fattah setujui solusi Dua Negara dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Sebaliknya Hamas tidak mau menerima eksistensi Israel dan menyerukan penghancurannya. Perbedaan ini semakin tajam ketika Fatah dan PLO bersedia berunding dengan Israel, bahkan mengakui eksistensi Israel (meskipun sering dikhianati oleh Israel).
Hamas adalah organisasi militan. Hamas singkatan dari Harakatal-Muqawamah al-Islamiyyah yang berarti Gerakan Perlawanan Islam. Organisasi militan ini didirikan Sheikh Ahmed Yassin pada tahun 1987 dengan sokongan Ikhwanul Muslimin dan anggota PLO yang religius. Partai keagamaan ini mulai naik pamornya pada tahun 1993, ketika menolak Kesepakatan Oslo, di mana PLOyang dipimpin Fatah setuju bahwa Israel punya hak untuk eksis, sedangkan Hamas tidak sudi mengakui Israel.
Sebenarnya ada banyak upaya untuk melakukan perdamaian antara Israel dan Palestina. Diantaranya adalah perundingan PLO-Israel yang dimediasi oleh AS, yaitu Perundingan Oslo yang hasilnya adalah berdirinya Otoritas Nasional Palestina (PNA) pada tahun 1994. Otoritas Palestina ini dipimpin langsung oleh Yasser Arafat. Sayang sekali kesepakatan damai yang telah diteken olehYasser Arafat dan Yitzhak Rabin ini ditentang oleh kelompok Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang tetap ingin melakukan perjuangan melalui perang bersenjata.
Januari 2005, diadakan pemilihan Presiden Otoritas Palestina. Hamas memboikot pemilu ini, dimana pemilu ini dimenangkan Mahmoud Abbas, pemimpin Fatah pasca Arafat. Tapi Hamas kemudian berubah pikiran dan ikut dalam pemilu Legislatif bulan Januari 2006 dan berhasil meraup 42,9% suara. Hal inimembuktikan perjuangan Hamas juga didukung oleh mayoritas penduduk Palestina..
Kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif mengakibatkan terpilihnya Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri Palestina. Namun karena Hamas tidak pernah menghentikan serangan-serangan kepada Israel, negara-negara Barat telah menempatkan Hamas sebagai organisasi teroris. Terlebihi setelah pernyataan Ismail Haniyah yang menyatakan bahwa mereka tetap tidak akan mengakui keberadaan Israel. Ini jelas berbeda dengan Fattah yang mengusulkan solusi mengakui negara Israel agar Palestina juga dapat berdiri sebagai negara merdeka berdampingan dengan Israel.
Israel dan Hamas saling serang dengan saling melemparkan roket ke wilayah masing-masing. Jadi yang berperang di Gaza itu sebenarnya pasukan Israel dan pasukan Hamas. Fatah sendiri menentang tindakan Hamas karena dengan terus memerangi Israel akan membuat perdamaian tidak akan mungkin tercapai. Perang antara keduanya meletus dan menewaskan ratusan orang. Puncaknya pada 14Juni 2007, Presiden Otoritas Palestina membubarkan kabinet dan memecat Ismail Haniyah. Hamas menolak keputusan itu dan tetap menganggap Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri. Hingga kini Gaza dikuasai Hamas dan Tepi Barat dikuasai Fatah. Sejak bulan Juni 2007 pula Israel memblokade Gaza. Dan di Gaza inilah kekejaman Israel terus berlanjut karena provokasi yang tiada henti dari milisi Hamas.
Hamas yang dicap sebagai kelompok teroris oleh negara-negara Barat berkuasa di Jalur Gaza menyusul perang sipil selepas pemilihan. Sementara Fatah yang diakui negara-negara Barat mengelola daerah pendudukan Israel di Tepi Barat melalui Otoritas Palestina. Serangan-serangan Israel yang terus meningkat dan menimbulkan ribuan korban jiwa di Gaza menyadarkan kedua kekuatan soal perlunya rekonsiliasi. Kedua pihak sepakat membentuk pemerintahan bersatu pada 2014 meski pelaksanaannya terus tertunda.
Pada September 2017 lalu, Fatah dan Hamas sepakat merundingkan rekonsiliasi yang disponsori Pemerintah Mesir. Sebagai langkah awal rekonsiliasi tersebut, Hamas sepakat menyerahkan pengelolaan Gaza pada pemerintahan bersama. Ini jelas sebuah langkah maju.
Setelah lebih dari satu dekade bertikai, faksi Hamas dan Fatah yang membelah Palestina menjadi dua wilayah dengan administrasi berbeda akhirnya mencapai kesepakatan dalam sebuah rekonsiliasi di Kairo, Oktober 2017 kemarin. Pemerintahan bersama yang mengawasi seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza ditargetkan selesai terbentuk selambatnya pada Desember 2017.
Salah satu poin kesepakatan kemarin adalah kedua pihak sepakat menyerahkan pengamanan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah kepada pemerintah bersama Palestina dengan pengawasan Badan Perbatasan Uni Eropa (EUBAM). Kedua kubu juga menyepakati penyerahan secara penuh kendali administrasi di Gaza kepada pemerintahan bersama pada 1 Desember 2017. Selain itu, disepakati juga Palestina akan menggelar pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen setahun sejak kesepakatan rekonsiliasi ditandatangani. Alhamdulillah, semoga mereka akan terus berdamai dan bersepakat dalam kepemerintahan Palestina yang satu.
Setiap bangsa dan negara akan melihat konflik ini dari perspektif dan kepentingan bangsanya masing-masing tentu saja. Nah, karena mayoritas orang Indonesia itu umat Islam sedangkan Israel itu mayoritas Yahudi maka mereka selalu mengambil angle PERANG AGAMA antara agama Yahudi dan agama Islam dalam melihat konflik ini. Mereka tidak mau tahu jika diberi narasi bahwa konflik ini bukan konflik antar agama. Siapa pun yang mencoba untuk bersikap sok bijaksana, sok Gus Yahya, sok damai akan ditentang. Mereka akan dianggap tidak punya ghirah dalam membela sesama umat Islam. Setelah itu tudingan akan meningkat menjadi munafik bin pengkhianat agama jika coba-coba sok wise dalam urusan konflik ini.
Mari kita menarik napas dulu dan bertanya pada diri kita sendiri. Apa sih yang kita harapkan dari konflik Israel dan Palestina ini? Mosok kita masih terus berharap lenyapnya Israel dari muka bumi padahal orang Palestina sendiri sudah setuju untuk hidup berdampingan dengan damai dengan Israel yang mekithik itu? Sekarang pun Hamas sudah mulai bosan berperang dengan Israel dan sekaligus berperang dengan saudaranya sendiri. Lha mosok kita yang hidup di negara yang aman damai dan sentosa ini justru berharap terjadi peperangan terus menerus disana dan berkata ‘Jangan ada Gus Yahya di antara kita’. Kalau Donald Trump sudah gandengan tangan dengan Kim Jong Un, mari kita berharap Presiden Palestina Mahmoud Abbas bisa bergandengan tangan dengan Benyamin Netanyahu untuk menuju dunia yang lebih aman, damai, sentosa.
Setelah itu mari kita pikirkan bagaimana caranya mendamaikan Sunni danSyiah.. Ini tampaknya lebih sulit karena usia konfliknya sudah belasan abad danmelibatkan lebih banyak negara.
Surabaya, 25 Juni 2018
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/
Bagaimana tidak kusut lha wong konflik ini sudah berlangsung puluhan tahun dan melibatkan begitu banyak negara dan kepentingan. Selain itu ada juga perang saudara antara dua faksi politik yang berbeda di Palestina, yaitu antara Hamas dan Fattah.. Jadi selain berperang melawan Israel rakyat Palestina juga berperang satu sama lain di bawah dua kekuatan politik dan militer yang berbeda yaitu Hamas dan Fattah yang telah berlangsung puluhan tahun.
Jadi kalau kita mau tahu sebenarnya ada ‘Dua Palestina’ disana, yaitu Palestina Fattah dan Palestina Hamas. Jadi kalau kita membela Palestina maka kita akan ditodong dengan pertanyaan politis faksi mana yang kita bela, Palestina a la Hamas atau Palestina a la Fattah? Lha wong meski sama-sama mewakili rakyat Palestina mereka punya aspirasi politik dan wilayah yang berbeda. Ada faksi yang bersedia berdamai dengan Israel dengan solusi ‘Dua Negara’ dan ada faksi yang tidak mau damai dan mau tetap melenyapkan Israel dari muka bumi. Dua faksi ini selama belasan tahun juga berperang satu sama lain. Jadi kalau sampeyan bilang membela Palestina sebenarnya sampeyan membela Palestina yang mana? Palestina yang Fatah atau yang Hamas? Palestina yang mau berdamai dengan Israel atau Palestina yang mau melenyapkan Israel dari muka bumi?
Konflik Israel dan rakyat Palestina sendiri kalau dirunut sudah berusia 70 tahunan dan bahkan sudah muncul sebelum Perang Dunia I. Tapi saya tidak akan bicara sejauh itu. Kuatir kebablasan dan gak bisa kembali karena jauhnya saya pergi. Sila buka referensi sendiri tentang konflik ini di internet yang bisa dibaca pelan-pelan sambil nyruput kopi.
Meski kusut bukan main tapi satu hal yang pasti dari konflik ini yaitu bahwa Israel, yang sebelumnya adalah bangsa yang menderita karena genosida kini telah menjelma menjadi negara penjajah yang melakukan pencaplokan tanah dan pengusiran bangsa lain, yaitu bangsa Arab, di Palestina. Dulu mereka datang sebagai pengungsi dan sekarang mereka mengusir penduduk Palestina yang telah lebih dulu tinggal disana.
Secara sederhana, konflik ini intinya adalah perebutan wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, yang dalam hal ini adalah orang-orangYahudi yang datang ke daerah tersebut sebagai pengungsi dan bertikai dengan para penduduk Arab yang sudah lama menempati daerah tersebut. Akhirnya mereka berkonflik dan berperang berkali-kali yang terus dimenangkan oleh Israel. Hal ini membuat Israel merasa bahwa sebagai pemenang perang ia berhak mengakuisi tanah yang dimenangkannya. Mereka lalu mengusiri orang-orang Palestina yang sudah lama ada di sana.
Tentu saja kelakuan Israel ini kurang ajar. Israel terus menerus berupaya untuk menganeksasi tanah orang-orang Palestina. Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahkan mengeluarkan kecaman terhadap langkah Israel mengesahkan permukiman ribuan rumah di tanah Palestina yang diduduki Israel di Tepi Barat. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan tindakan Israel tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan akan menyebabkan konsekuensi hukum bagi Israel. Mengapa Israel begitu adigang, adigung, adiguna? Ya karena selalu dibela oleh Amerika Serikat yang merupakan sekutu setianya dan juga karena terpecahnya Palestina itu sendiri.
Fatah dan Hamas muncul sebagai dua kekuatan politik utama dalam gerakan kemerdekaan Palestina. Tetapi ada perbedaannya. Misalnya dalam strategi, dalam hal penentuan nasib dan status kemitraan politik mereka. Hamas dan Fatah memang berbeda pandangan dalam menyikapi perlawanan terhadap Israel. Tujuannya sama, yaitu penentuan nasib sendiri bagi Palestina tapi dengan cara yang berbeda.
Fatah didirikan oleh Yasser Arafat pada tahun 1964 sebagai representasi berbagai faksi yang ingin menentukan nasib sendiri. Fatah jadi kekuatan utama dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Fatah berarti "kemenangan" organisasi ini dipimpinnya hingga meninggal pada tahun 2004. Partai sekuler ini awalnya berupaya mendirikan negara Palestina lewat gerilya. Fattah setujui solusi Dua Negara dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Sebaliknya Hamas tidak mau menerima eksistensi Israel dan menyerukan penghancurannya. Perbedaan ini semakin tajam ketika Fatah dan PLO bersedia berunding dengan Israel, bahkan mengakui eksistensi Israel (meskipun sering dikhianati oleh Israel).
Hamas adalah organisasi militan. Hamas singkatan dari Harakatal-Muqawamah al-Islamiyyah yang berarti Gerakan Perlawanan Islam. Organisasi militan ini didirikan Sheikh Ahmed Yassin pada tahun 1987 dengan sokongan Ikhwanul Muslimin dan anggota PLO yang religius. Partai keagamaan ini mulai naik pamornya pada tahun 1993, ketika menolak Kesepakatan Oslo, di mana PLOyang dipimpin Fatah setuju bahwa Israel punya hak untuk eksis, sedangkan Hamas tidak sudi mengakui Israel.
Sebenarnya ada banyak upaya untuk melakukan perdamaian antara Israel dan Palestina. Diantaranya adalah perundingan PLO-Israel yang dimediasi oleh AS, yaitu Perundingan Oslo yang hasilnya adalah berdirinya Otoritas Nasional Palestina (PNA) pada tahun 1994. Otoritas Palestina ini dipimpin langsung oleh Yasser Arafat. Sayang sekali kesepakatan damai yang telah diteken olehYasser Arafat dan Yitzhak Rabin ini ditentang oleh kelompok Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang tetap ingin melakukan perjuangan melalui perang bersenjata.
Januari 2005, diadakan pemilihan Presiden Otoritas Palestina. Hamas memboikot pemilu ini, dimana pemilu ini dimenangkan Mahmoud Abbas, pemimpin Fatah pasca Arafat. Tapi Hamas kemudian berubah pikiran dan ikut dalam pemilu Legislatif bulan Januari 2006 dan berhasil meraup 42,9% suara. Hal inimembuktikan perjuangan Hamas juga didukung oleh mayoritas penduduk Palestina..
Kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif mengakibatkan terpilihnya Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri Palestina. Namun karena Hamas tidak pernah menghentikan serangan-serangan kepada Israel, negara-negara Barat telah menempatkan Hamas sebagai organisasi teroris. Terlebihi setelah pernyataan Ismail Haniyah yang menyatakan bahwa mereka tetap tidak akan mengakui keberadaan Israel. Ini jelas berbeda dengan Fattah yang mengusulkan solusi mengakui negara Israel agar Palestina juga dapat berdiri sebagai negara merdeka berdampingan dengan Israel.
Israel dan Hamas saling serang dengan saling melemparkan roket ke wilayah masing-masing. Jadi yang berperang di Gaza itu sebenarnya pasukan Israel dan pasukan Hamas. Fatah sendiri menentang tindakan Hamas karena dengan terus memerangi Israel akan membuat perdamaian tidak akan mungkin tercapai. Perang antara keduanya meletus dan menewaskan ratusan orang. Puncaknya pada 14Juni 2007, Presiden Otoritas Palestina membubarkan kabinet dan memecat Ismail Haniyah. Hamas menolak keputusan itu dan tetap menganggap Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri. Hingga kini Gaza dikuasai Hamas dan Tepi Barat dikuasai Fatah. Sejak bulan Juni 2007 pula Israel memblokade Gaza. Dan di Gaza inilah kekejaman Israel terus berlanjut karena provokasi yang tiada henti dari milisi Hamas.
Hamas yang dicap sebagai kelompok teroris oleh negara-negara Barat berkuasa di Jalur Gaza menyusul perang sipil selepas pemilihan. Sementara Fatah yang diakui negara-negara Barat mengelola daerah pendudukan Israel di Tepi Barat melalui Otoritas Palestina. Serangan-serangan Israel yang terus meningkat dan menimbulkan ribuan korban jiwa di Gaza menyadarkan kedua kekuatan soal perlunya rekonsiliasi. Kedua pihak sepakat membentuk pemerintahan bersatu pada 2014 meski pelaksanaannya terus tertunda.
Pada September 2017 lalu, Fatah dan Hamas sepakat merundingkan rekonsiliasi yang disponsori Pemerintah Mesir. Sebagai langkah awal rekonsiliasi tersebut, Hamas sepakat menyerahkan pengelolaan Gaza pada pemerintahan bersama. Ini jelas sebuah langkah maju.
Setelah lebih dari satu dekade bertikai, faksi Hamas dan Fatah yang membelah Palestina menjadi dua wilayah dengan administrasi berbeda akhirnya mencapai kesepakatan dalam sebuah rekonsiliasi di Kairo, Oktober 2017 kemarin. Pemerintahan bersama yang mengawasi seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza ditargetkan selesai terbentuk selambatnya pada Desember 2017.
Salah satu poin kesepakatan kemarin adalah kedua pihak sepakat menyerahkan pengamanan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah kepada pemerintah bersama Palestina dengan pengawasan Badan Perbatasan Uni Eropa (EUBAM). Kedua kubu juga menyepakati penyerahan secara penuh kendali administrasi di Gaza kepada pemerintahan bersama pada 1 Desember 2017. Selain itu, disepakati juga Palestina akan menggelar pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen setahun sejak kesepakatan rekonsiliasi ditandatangani. Alhamdulillah, semoga mereka akan terus berdamai dan bersepakat dalam kepemerintahan Palestina yang satu.
Setiap bangsa dan negara akan melihat konflik ini dari perspektif dan kepentingan bangsanya masing-masing tentu saja. Nah, karena mayoritas orang Indonesia itu umat Islam sedangkan Israel itu mayoritas Yahudi maka mereka selalu mengambil angle PERANG AGAMA antara agama Yahudi dan agama Islam dalam melihat konflik ini. Mereka tidak mau tahu jika diberi narasi bahwa konflik ini bukan konflik antar agama. Siapa pun yang mencoba untuk bersikap sok bijaksana, sok Gus Yahya, sok damai akan ditentang. Mereka akan dianggap tidak punya ghirah dalam membela sesama umat Islam. Setelah itu tudingan akan meningkat menjadi munafik bin pengkhianat agama jika coba-coba sok wise dalam urusan konflik ini.
Mari kita menarik napas dulu dan bertanya pada diri kita sendiri. Apa sih yang kita harapkan dari konflik Israel dan Palestina ini? Mosok kita masih terus berharap lenyapnya Israel dari muka bumi padahal orang Palestina sendiri sudah setuju untuk hidup berdampingan dengan damai dengan Israel yang mekithik itu? Sekarang pun Hamas sudah mulai bosan berperang dengan Israel dan sekaligus berperang dengan saudaranya sendiri. Lha mosok kita yang hidup di negara yang aman damai dan sentosa ini justru berharap terjadi peperangan terus menerus disana dan berkata ‘Jangan ada Gus Yahya di antara kita’. Kalau Donald Trump sudah gandengan tangan dengan Kim Jong Un, mari kita berharap Presiden Palestina Mahmoud Abbas bisa bergandengan tangan dengan Benyamin Netanyahu untuk menuju dunia yang lebih aman, damai, sentosa.
Setelah itu mari kita pikirkan bagaimana caranya mendamaikan Sunni danSyiah.. Ini tampaknya lebih sulit karena usia konfliknya sudah belasan abad danmelibatkan lebih banyak negara.
Surabaya, 25 Juni 2018
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/