Wed Oct 24, 2018
6:22 pm (PDT) .
Posted by: "Satria
Dharma" satriadharma2002
Umat Islam memang tidak pernah mau belajar dari sejarah, meski pun itu dari
sejarahnya sendiri. Mereka terus menerus terjebak dalam kesalahan yang sama dan
dengan bebalnya mengira mereka sedang memperjuangkan kebenaran agama mereka.
Sungguh menyedihkan. :-(
Kasus pembakaran bendera HTI oleh Banser kemarin jelas-jelas menunjukkan betapa mudahnya umat Islam, tidak terkecuali beberapa ulama di MUI, terjebak dalam politisasi symbol–symbol agama. Mereka dengan penuh kemarahan mengutuk Banser yang membakar bendera HTI yang mereka bela sebagai Bendera Rasulullah, Bendera Tauhid, Bendera Umat Islam. Padahal kalau mereka tidak terbawa emosi dan mau membaca sedikit penjelasan dari banyak ulama yang benar–benar paham maka mereka akan sadar bahwa mereka memang sedang dikecoh dengan politisasi simbol agama.
Kasus pembakaran bendera HTI oleh Banser kemarin jelas-jelas menunjukkan betapa mudahnya umat Islam, tidak terkecuali beberapa ulama di MUI, terjebak dalam politisasi symbol–symbol agama. Mereka dengan penuh kemarahan mengutuk Banser yang membakar bendera HTI yang mereka bela sebagai Bendera Rasulullah, Bendera Tauhid, Bendera Umat Islam. Padahal kalau mereka tidak terbawa emosi dan mau membaca sedikit penjelasan dari banyak ulama yang benar–benar paham maka mereka akan sadar bahwa mereka memang sedang dikecoh dengan politisasi simbol agama.
Yang mengherankan saya adalah beberapa ulama, bahkan anggota MUI, yang juga terjebak dengan permainan sandiwara ala ‘Pasukan Pemberontak Muawiyah’ yang dilakukan pada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Apakah mereka tidak pernah membaca kisah politisasi Alquran sebagai simbol agama yang pernah dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan dan pasukannya pada Perang Shiffin? Pada sebuah peperangan di mana mereka, sebagai pasukan pemberontak terhadap kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sudah nyaris kalah.
Mereka sudah hampir dikalahkan oleh
pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tapi lalu muncul siasat licik mereka untuk
mengecoh Sahabat Ali bin Abi Thalib dengan mengangkat Al Quran di ujung tombak
mereka untuk mengajak berdamai. Karena terdesak pasukan Ali bin Abi Thalib,
Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sufyan meminta salah satu pasukan
perangnya untuk menaruh mushaf al-Quran di ujung tombak. Ketika pasukan
Muawiyah mengangkat mushaf setinggi–tingginya, pasukan Ali mulai terbelah
sikapnya.
Umat Islam tentu sangat menghormati mushaf Alquran. Sebagian ada yang
ingin menghentikan perang karena tidak ingin ‘memerangi’ Alquran, sebagian lagi
ingin terus berperang karena mereka menduga mengangkat mushaf itu hanya akal–akalan
Muawiyah agar tidak “dihabisi” pasukan Ali. PasukanAli bin Abi Thalib akhirnya benar–benar
pecah. Dan selanjutnya adalah sejarah getir di mana Khalifah Ali bin Abi Thalib
ditipu dalam perundingan damai sehingga beliau harus turun dari jabatannya
sebagai khalifah dan diganti oleh Muawiyah.
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
begitu tulus menginginkan adanya perdamaian di antara umat Islam yang melakukan
perang saudara akhinya harus terjungkal. Kekhilafahan Islam yang semula
berdasarkan pemilihan pada sosok sahabat terbaik berubah menjadi kekhilafahan
berdasarkan keturunan. Itu adalah sejarah atau Tarikh Islam yang semestinya
sudah diajarkan pada anak–anak sejak Madrasah Ibtidaiyah.
Kembali pada masalah bendera HTI.
Apakah umat Islam Indonesia masih
belum sadar bahwa mereka sedang dikecoh oleh sebuah organisasi politik
terlarang bernama HTI dengan sebuah bendera yang dinarasikannya sebagai
‘bendera Islam’, ‘bendera tauhid’, dan bahkan ‘bendera rasul’? Apakah mereka
sedang menyorongkan kepala mereka untuk terkecoh kembali oleh siasat ala
‘Pemberontak Muawiyah’ yang jelas-jelas hanya menginginkan kekuasaan?
Apakah umat Islam Indonesia sudah lupa betapa taktik yang sama sudah diulangi oleh kelompok organisasi Islam internasional juga yang bernama ISIS yang sangat keji dengan menggunakan BENDERA YANG SAMA meski pun berbeda desain? Bendera HTI dan bendera ISIS itu pada hakikatnya SAMA kontennya, yaitu kalimat tauhid, dan hanya berbeda desain.
Yang dibakar oleh orang Banser
itu benderanya HTI dan ini sudah dikonfirmasi oleh Kapolda Jabar. Tapi beberapa
umat Islam, tidak terkecuali beberapa ulama menggoreng isu ini menjadi
"bendera tauhid dibakar". Tujuannya jelas untuk mengecoh umat Islam
sebagaimana para pemberontak Muawiyah mengecoh pasukan Ali bin Abi Thalib.
Dulu ketika bendera ISIS dibakar
ada juga upaya untuk menggoreng isu seperti ini oleh orang dan kelompok
tertentu. Tapi berhubung kekejaman ISIS sangat di luar batas dan semua
orang sudah tahu karena mendunia, maka gorengan “bendera tauhid dibakar” untuk
membela ISIS jadi mlempem. ISIS terlalu jahat dan kejam untuk dibela meski
mereka membawa–bawa bendera tauhid juga.
Bagi mereka yang ngotot bahwa bendera HTI itu pada hakikatnya adalah bendera Rasul sebaiknya lebih banyak membaca lagi. Ini kata Prof Nadirsyah Hosen, PhD. “Secara umum hadits–hadits yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas shahih. Riwayatnya pun berbeda–beda: ada yang bilang hitam saja, ada yang bilang putih saja, ada riwayat yang bilang hitam dan putih, malah ada yang bilang merah dan juga kuning. Riwayat lain bendera itu gak ada tulisan apa–apa. Jadi gak ada tulisan tauhidnya, cuma kosong saja. Riwayat lain bilang ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian. Secara umum tidak berkualitas sahih. Hadits riwayat Thabrani dan Abu Syeikh yang bilang bendera Rasul hitam dan panjinya putih itu dhaif. Mengapa demikian? Riwayat Thabrani ini dhaif karena ada rawi yang dianggap pembohong yaitu Ahmad bin Risydin. Bahkan kata Imam Dzahabi, dia pemalsu hadits. Riwayat Abu Syeikh dari Abu Hurairah itu dhaif karena kata ImamBukhari rawi yang namanya Muhammad bin Abi Humaid itu munkar.”
Sama sekali tidak ada contoh yang otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits–hadits yang tidak sahih. Dan kini kita umat Islam Indonesia dengan mudahnya dikecoh oleh mereka.
HizbutTahrir Indonesia (HTI) adalah organisasi gerakan separatis yang secara tegas telah dilarang oleh pemerintah. Merekalah yang selalu membawa–bawa bendera yang diakuinya sebagai bendera Rasulullah atau bendera umat Islam tersebut untuk mengecoh umat Islam Indonesia yang tidak pernah belajar dari sejarahnya sendiri. Untuk itu Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Tanbihatal–Wajibat menjelaskan:
اَنَّاسْتِعْمَالَ مَا وُضِعَ لِلتَّعْظِيْمِ فِيْ غَيْرِ مَحَلِّ التَّعْظِيْمِحَرَامٌ
“Sesungguhnya menggunakan sesuatu
yang diciptakan untuk diagungkan, untuk difungsikan padahal yang tidak diagungkan
adalah hal yang haram“.
Jadi berdasarkan penjelasan di
atas, mengalih–fungsikan kalimat tauhid untuk kepentingan organisasi yang
terlarang adalah bentuk perbuatan yang secara tegas diharamkan oleh syariat.
Perbuatan ini dipandang menghina terhadap kalimat tauhid itu sendiri. Bendera yang
bertuliskan kalimat tauhid pada konteks ini hakikatnya bukan merupakan lambang
yang mewakili umat Islam secara keseluruhan, bahkan merupakan lambang yang
dijadikan pemicu berbagai perpecahan bangsa, dan telah difungsikan sebagai
lambang golongan tertentu yang telah dilarang oleh pemerintah.
Bagaimana sikap Rasulullah jika ada upaya penggunaan simbol dan bahkan tempat suci sebagai tempat untuk memecah belah umat? Rasulullah tidak akan segan–segan menghancurkannya demi menyelamatkan umat Islam dari perpecahan. Peristiwa ini bisa dilihat dari penghancuran Masjid Dhirar yang dibakar oleh Rasulullah saw setelah beliau tahu bahwa ternyata masjid tersebut dibuat oleh kaum yang berupaya memecah belah umat Islam.
Dengan melihat apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah sendiri maka kita bisa simpulkan bahwa hukum membakar bendera yang berisi kalimat tauhid yang digunakan untuk kepentingan politik memecah belah umat adalah hal yang diperbolehkan, bahkan merupakan cara yang paling utama bila hal tersebut lebih efektif untuk menghentikan provokasi dari gerakan terlarang di negeri ini.
Wallahu a’lambisshowab.
Surabaya, 24Oktober 2018
Salam
Satria Dharma
Satria Dharma