Kamis, 28 September 2006

Arok dan Dedes


Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: History
Author:Pramoedya Ananta Toer
Buku Arok Dedes ini menurut saya lebih "cantik" daripada "Tetralogi". Kita dibawa bertualang dalam percaturan intrik-intrik para elite politik hingga lupa apakah kita yang berkelana ke jaman Singosari ataukah justru peristiwa ini terjadi pada jaman sekarang.
Ini buku pertama Pram yang menggugah pikiran saya dan semakin mengagumi kepiawaian Pram dalam mengolah kata dan peristiwa.
--------

Arok Dedes Pramoedya
Menafsir Sebuah Kudeta Politik
Judul : Arok Dedes
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Tempat : Jakarta
Waktu Terbit : 1999
Tebal : x + 418 halaman

Buku Pramoedya Ananta Toer , Arok Dedes, merekonstruksi sejarah kudeta Arok atas Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Setting sejarah yang kuat dan premis dasar kudeta politik yang masuk akal membuat bangun karya ini kokoh sebagai sebuah "fiksi sejarah politik" yang tak sekedar novel biasa. Pram membuktikan kembali kepiawaiannya dan laku keras.

Pramoedya dikenal sebagai sastrawan yang bicara tentang sejarah. Sesudah karya masterpisnya, "Trilogi Pulau Buru", dia telah mengajukan sebuah versi sejarah. Kepiawaiannya adalah kemampuannya menilai sejarah dalam karya sastra. Apapun yang terjadi sebenarnya tidaklah penting, karena bagaimanapun juga, karyanya tetaplah sebuah karya sastra, bukan penelitian sejarah.

Dengan kebebasan yang sangat luas yang diberikan kesastraan, seorang
pengarang lebih bebas menafsir sebuah sejarah. Apalagi sebuah sejarah politik yang umumnya sarat dengan kepentingan, data yang kabur, pengakuan bermakna ganda, dan gelapnya waktu itu sendiri. Namun, kekaburan itu akan jadi begitu terang benderangnya di mata seorang pengarang, tanpa mengabaikan kerumitan yang sesungguhnya tetap terkandung dalam pelbagai peristiwa sejarah.

Dalam "Arok Dedes" ini, Pram menafsir siapa sesungguhnya sosok seorang Ken Arok dan Ken Dedes yang terlanjur melegenda di masyarakat itu. Dengan referensi yang kuat, Pram bak seorang sejarawan yang sedang menyuguhkan sebuah disertasi tentang sejarah kudeta pertama di tanah Jawa yang diperankan oleh anak keturunan Sudra yang tak bernama dan tak juntrung asal usulnya, Arok.

Pram melukiskan bagaimana keberhasilan penggulingan kekuasaan seorang Akuwu Tumapel bisa terjadi tanpa menyandarkan diri pada daya-daya magis yang dimiliki seorang Arok seperti dikenal dalam legendanya. Kekuatan utama yang menjadi dasar keberhasilan kudeta Arok adalah dukungan yang kuat dari kaum Brahmana pemuja Wisnu yang pada masa itu telah tersingkirkan dalam peta politik tanah Jawa. Kekuatan lain adalah kecerdasannya yang luar biasa dalam menghapal naskah-naskah rontal yang dianggap suci dan bahasa Sansekerta yang dianggap bahasa para dewa.

Digambarkan juga bagaimana pertarungan kepentingan di tingkat elit politik masa itu, antara kepentingan kerajaan pusat Kediri, Gerakan Mpu Gandring yang berkoalisi dengan kasta satria, para resi Brahmana, dan Tunggul Ametung yang ingin mempertahankan status quonya. Semuanya berada di bawah bayang-banyang bangkitnya perlawanan rakyat pimpinan Arok. Dan ketika kaum Brahmana memihak Arok, gempuran pasukan Arok yang bergerilya di wilayah Tumapel tak tebendung lagi dan kudeta pun terjadi.

Pesan moral yang tampaknya ingin disampaikan dalam novel yang digarapnya sekitar tiga bulan (1 Oktober-24 Desember 1976) sewaktu ditahan di Pulau Buru ini adalah betapa kompleks sebenarnya sebuah kudeta terjadi, dan betapa licik para aktornya untuk bersegera mengambil kesempatan, memenangkannya, dan mengaburkan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, hingga halaman terakhir, tak begitu jelas, siapa pembunuh Tunggul Ametung sebenarnya, sementara Kebo Ijo yang jadi tertuduh menyanggah telah membunuhnya.

Demikianlah, Pram menggunakan sepenuhnya kelebihan yang diberikan kesusastraan dalam menafsir peristiwa sejarah yang tetap meninggalkan misteri itu.

Rabu, 27 September 2006

a father's affair


Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Karel Glastra Van Loon
see resume below and or buy at http://www.amazon.com/gp/product/1841954217?tag2=highwaygoldph-20

Saat Armin yang telah memiliki Bo (13 tahun) dan teman hidupnya Ellen ingin memilik lagi anak, dia mendapati bahwa ternyata dirinya MANDUL. Kalau begitu siapa ayah Bo? Menanyai Monika, istri dan ibu Bo, sangatlah tidak mungkin. Monika meninggal saat Bo berumur 3 tahun.
Perjalanan mencari siapa sesungguhnya ayah Bo, sangat menarik dan lucu.

Cerita ini mengingatkan saya pada larangan ibu untuk tidak mengajak perempuan atau lelaki lain tinggal bersama di rumah pasangan suami istri, walaupun lelaki/perempuan itu masih terglong keluarga.

Editorial Reviews
From Publishers Weekly
Dutch novelist Van Loon's American debut is a whodunit with an irresistible twist: Armin Minderhout, a widower in his 30s with a 13-year-old son, learns that he has been sterile all his life. A doctor breaks the news to Armin after he and his girlfriend, Ellen, endure a battery of tests to find out why she can't get pregnant. The revelation is numbing; Armin's late wife, Monika, who died suddenly 10 years ago at the age of 25, was the love of his life. After deciding not to tell his son, Bo, Armin tries to figure out who could have been Bo's father. The first suspect, a former boyfriend and fatuous consultant named Robbert Hubeek, taunts Armin by describing his interlude with the pregnant Monika in detail. Armin gets enough information to eliminate Robbert from his list, and he also rules out Monika's doctor as a suspect. He seemingly hits pay dirt when he tracks down one of Monika's friends, Niko Neerinckx, and finds a photo of Monika in Niko's family album. But his meeting with Niko's wife touches off a fierce fight with Ellen, leading Armin deep into his own family history and eventually to an even more shocking discovery. Van Loon tells the story through dialogue and flashbacks as Armin retraces his courtship and marriage to Monika; his romance with Ellen, who had been a friend of Monika's; and his close relationship with his parents throughout the upheaval. The inventive story line and the stunning ending combine to make this book a winner.
Copyright 2003 Reed Business Information, Inc.

Book Description
What happens to the father of a thirteen-year-old boy when he discovers that he has been infertile all his life? That intriguing question is the starting point of A Father's Affair. Still reeling from the sudden death of his wife, the one person who could answer his questions, the protagonist, Armin Minderhout, begins a quest to discover the biological father of his son. The reader joins him on an extraordinary journey, one in which he is forced to reconsider everything and everyone he has ever believed in. With the page-turning suspense of a whodunit, A Father's Affair probes the eternal question of how well we know the ones we love. Touching, at times extremely funny, and erotically playful, it is a story of universal appeal -- a stylish, acutely insightful, and utterly captivating read.

Selasa, 26 September 2006

Inside the Kingdom - my life in Saudi Arabia


Rating:★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Carmen bin Ladin
see resume in english at http://www.bookbrowse.com/reviews/index.cfm?book_number=1448 or below.

Sekitar 3 bulan yang lalu, salah seorang guru bahasa di Pusat Kebudayaan Perancis - CCF memberi kami sebuah artikel berbahasa Perancis berkenaan dengan terbitnya buku tersebut. Dua minggu yang lalu, saya berkesempatan membaca buku tersebut karena suami menemukan buku tersebut dan membelinya.

Cerita dibuka dengan dampak peristiwa 11 September 2001 terhadap Carmen dan ketiga anak gadisnya yang ketika itu sudah lepas dari “jerat” tradisi kehidupan keluarga besan bin Laden dan sudah menikmati kehidupan di “alam bebas” Carmen tinggal di rumahnya di Swiss sedangkan anak-anaknya bersekolah di USA.

Setting cerita berlangsung antara 1973 hingga 1984 di Swiss – Jeddah/Saudi Arabia dan Amerika Serikat. Carmen berkenalan dengan Yeslam bin Laden – kakak Osama, di Swiss, ketika keluarga besar bin Laden menyewa rumah milik ibu Carmen. Sebagaimana keluarga Arab kelas atas lainnya, penampilan Yeslam tidak jauh berbeda dengan lelaki Eropa lainnya. Ganteng, kaya, terpelajar dan tentu saja modern. Tidak mengherankan bila pertemuan dua sejoli ini kemudian berlanjut menjadi semakin akrab. Pernikahannya dengan Yeslam, membawa Carmen ke dalam kehidupan dan intrik-intrik keluarga besar bin Laden. Termasuk juga pergulatannya dengan perubahan sikap hidup Yeslam yang pada akhirnya membawa pernikahannya kepada perpisahan.

Saya yang mengunjungi Saudi Arabia untuk pertama kali pada tahun 1994, 20 tahun sesudah pernikahan Carmen dengan Yeslam melihat bahwa kondisi Arab Saudi tidak seperti apa yang diceritakan oleh Carmen. Perempuan sudah banyak terlihat di luar rumah terutama di Jeddah. Bahkan saat shalat di Nabawi saya bertemu dan berbicara banyak dengan perempuan Saudi berumur kira2 40 tahun yang bercerita bahwa dia sering berkunjung ke Indonesia. Jadi agak sukar untuk membayangkan suasana Saudia tahun 1974 an.

Mungkin juga, perempuan yang “berkeliaran” tersebut hanya perempuan dari kalangan biasa, bukan dari keluarga terpandang (kerajaan dan orang kaya). Namun jangan dilupakan, Carmen terlahir dari keluarga kaya Persia, yang walaupun mengaku muslim tetapi “abangan/sekuler”. Seperti laiknya sebagian besar kelas atasnya Iran saat itu, Carmen sangat terobsesi dengan kebebasan a la Amerika – maklum jamannya Shah Reza Pahlevi. Tentu saja pola pikirnya westernized dan cenderung merendahkan akar budaya timur (Persia)nya.

Hal yang menarik yang diungkap dalam buku Inside the Kingdom dan sampai sekarang masih terjadi adalah perilaku lelaki arab (Timur Tengah) yang menurut saya agak kontradiktif dan cenderung munafik. Di negeri mereka yang berpaham Wahabi, mereka seolah-olah begitu “memegang” teguh ajaran agama Islam. Perempuan menutup rapat-rapat tubuhnya dari pandangan lelaki, membatasi interaksi lelaki dan perempuan. Tetapi begitu keluar dari tanah Arab, maka semua sontak berubah. Seolah seperti kuda lepas dari kendali, liar dalam segala hal termasuk menghalalkan segala cara dalam kehidupan seksual.

Buku ini pasti sangat menarik bagi para ”feminis”. Selamat membaca.
--------------

From the Jacket

On September 11, 2001, Carmen Bin Ladin heard the news that the Twin Towers had been struck. She instinctively knew that her brother-in-law was involved in these horrifying acts of terrorism, and her heart went out to America. She also knew that her life and the lives of her daughters would never be the same again.

In 1974 Carmen, half-Swiss and half-Persian, married into the Bin Laden family. She was young and in love, an independent European woman about to join a complex clan and a culture she neither knew nor understood. In Saudi Arabia, she was forbidden to leave her home without the head-to-toe black abaya that completely covered her. Her face could never be seen by a man outside the family. And according to Saudi law, her husband could divorce her at will, without any kind of court procedure, and take her children away from her forever.

Carmen was an outsider among the Bin Laden wives, their closets full of haute couture dresses, their rights so restricted that they could not go outside their homes-not even to cross the street-without a chaperone. The author takes us inside the hearts and minds of these women-always at the mercy of the husbands who totally control their lives, and always convinced that their religion and culture are superior to any other. And as Carmen tells of her struggle to save her marriage and raise her daughters to be freethinking young women, she describes this family's ties to the Saudi royal family and introduces us to the ever loyal Bin Laden brothers, including one particular brother-in-law she was to encounter-Osama.

In 1988, in Switzerland, Carmen Bin Ladin separated from her husband and began one of her toughest battles: to gain the custody of her three daughters. Now, with her candid memoir, she dares to pull off the veils that conceal one of the most powerful, secretive, and repressive countries in the world--and the Bin Laden family's role within it. Inside The Kingdom is shocking, impossible to put down, and a must-read for anyone who wishes to understand the events of today's world.

Media Reviews

Publishers Weekly
Addicted to the "I-married-the-Mob" genre? Try this variation: smart women who marry Islamic fundamentalists....The gravity of the events Carmen writes of, her insider's perspective and her engaging style make this memoir a page-turner.

The New York Times
Makes a fiery case against what its author calls the oppression and fanaticism that dominates much of Saudi society. Her unabashed conclusion: 'The Saudis are the Taliban, in luxury.'

Le Figaro
Takes us into the heart of the ruling class of Saudi Arabia, and into the Bin Laden tribe...The Middle Ages in the desert with dollars added...she fled the clan, fought to save her children, publicly condemned Osama, and criticized Saudi Arabia: that's a lot.

International Herald Tribune
Carmen Bin Ladin chronicles her nine years of married life in a puritanical, male-dominated community where 'women are no more than house pets'....the book is a diary-style account of her struggle to cope with rules and strictures as suffocating as the desert climate.

Paris Match
Tells how she fell in love with the rich Saudi Arabian that she met in Geneva, and how, after the early days of happiness, she had to face the reality of life within a powerful Saudi family...Today she has chosen to tell the truth...For her it is the only way to fight against the terror.

USA Today - Carol Memmott
Bin Ladin's story is a courageous one. To stand up as a woman and share her personal experiences and feelings, although quite subjectively, about the Bin Laden family's daily life in Saudi Arabia is surely a bold and possibly consequential act.

Rabu, 20 September 2006

Rame-rame cari suami JAWA

Bulan Sya'ban/September 2006 ini memang bulan pilihannya masyarakat untuk menyelenggarakan pernikahan. Jadi jangan heran, kalau dalam satu minggu, kita akan menerima 2 sampai dengan 3 undangan resepsi pernikahan. Itu berarti unpredictable cost. Coba kita hitung deh berapa besar pengeluaran tambahannya. Buat "nyecep" - kata orang Sunda, terus buat bikin baju baru ... . Perempuan kan biasanya nggak mau pake baju yang sama untuk acara yang sama (pernikahan) takut ketemu orang yang sama .... (tapi nggak termasuk gue lho ....). Belum lagi buat sanggul dan make up di Salon .... Belum lagi kalo undangannya di luar kota.  Wuaduh .... bayangin aja kalo setiap minggu selama bulan Sya'ban ada undangan dan mesti hadir ... Alamat, akan ada krisis di dapur.

Hari minggu 10 September 2006 yang lalu, gue dapet undangan pernikahan dari Padang. Ini kenalan lama waktu tinggal di Stains 1981-1984. Keluarga dosen dari Universitas Andalas. Saat mengikuti suaminya ke Perancis, uni Tjul (begitu sama memanggilnya) sudah punya 2 anak perempuan. Yang besar, Dhini (dia ini yang menikah) kira2 umur 7 tahun dan Lydia berumur 1 1/2 tahun. Baru tinggal 1 bulan di Stains, uni Tjul langsung hamil anak ke 3. Kehamilan yang berat secara psikologis maupun fisik, harus dilaluinya. Sampai2 PMI (protection Maternelle et Infantile) mengirimkan femme au foyer, yang membantu uni Tjul untuk mengerjakan urusan rumah tangga (masak, cuci, ke pasar dll). Kehamilan itu juga dilalui dengan harap-harap cemas, menginginkan kehadiran anak lelaki dalam keluarga. Maklum, punya anak perempuan saja, bagi orang Minang itu costly.

Saya yang kebetulan secara bersamaan hamil anak pertama dan tahu kekhawatiran uni Tjul, sering mengganggunya. Apalagi saat dari hasil USG, diketahui bahwa bayi saya berkelamin lelaki sementara uni Tjul ... lagi-lagi perempuan.

Kembali ke Jakarta tahun 1984, saya sempat bertemu lagi dengan uni di Jakarta dan di Padang saat ada perayaan hut REI. Saat itu, uni Tjul sudah punya anak ke 4, masih perempuan dan terakhir. Putus asa juga rupanya ..... 4 anak perempuan pasti bisa bikin pusing keluarga Minang.

Dalam perkawinan adat Minang, keluarga perempuan wajib "manjapuik marapulai" dengan sejumlah hantaran dan "uang panjapuik". Inilah sumber kekhawatiran Uni.

" Bayangkan Lin .... berapa kilo "ameh" yang mesti uni sediakan untuk manjapuik marapulai" bila anak uni berjodoh dengan urang awak...? Onde.... indak tabayang, jo uni....!" Saat itu, Dhini sudah kuliah di Unpad dan ketiga adiknya masih tinggal di Padang.  
"Doakan uni supaya bisa menyekolahkan anak-anak di Jawa ya..."
"Kenapa ni....?"
"Biar anak-anak mendapat jodoh orang Jawa. Biar putus kewajiban uni menyediakan "ameh" tu!"

Duh .... kasihan si Uni!! gue inget banget, saat di Stains, uni cerita bahwa saat menikah dengan uda, beberapa keluarga si uda memaksakan untuk meminta "panjapuik marapulai" yang sesungguhnya diluar kesanggupan keluarga uni. Untungnya, diam-diam uda sudah punya simpanan yang cukup besar sehingga demi cinta dan terlaksananya pernikahan, simpanannya itu direlakan untuk digunakan dalam acara "manjapuik marapulai".

Gue juga inget, keponakan suami (Jawa+Sunda) beberapa tahun yang lalu terpaksa putus dengan pacarnya yang anak dokter asal Minang. Konon ibu si pacar keberatan anaknya menikah dengan non Minang, karena anak lelaki (sarjana bo .... nilainya sama dengan BMW) mereka tidak akan menerima "panjapuik". 

Beberapa tahun kemudian, selesai mendapai ijasah S1, Dhini mulai kerja di Jakarta. Uni yang kebetulan berkunjung ke Jakarta, lagi-lagi berpesan....

"Carikan jodoh orang Jawa untuk Dhini ya Lin...", Gue gak bisa ngomong apa-apa .... Haree geenee ngejodohin anak orang .... Ngeri skalee....!!!

Jadi, saat menerima undangan dari uni Tjul ....buru-buru gue telpon dia ke Padang. Ngobrol agak lama, gak ngitung pulsa telpon lagi deh.

"Uni ..... selamat ya. Menantu uni; tepat dan sesuai dengan idaman uni ya....  ! Ketemu dimana tuh?"(keluarga calon suami Dhini, tinggal di Kediri - Jatim)
"Tetangga sebelah rumah kost di Depok, sewaktu Dhini ambil S2" 
"Syukurlah ....Maaf nggak bisa hadir ya, ni..., kami di Jakarta juga banyak dapat undangan pernikahan! Maklum, menjelang puasa".

"Sayang ya, nggak bisa hadir. Mohon doanya ya .... Masih berat tanggungan uni nih .... masih ada 3 anak gadis lagi yang belum menikah...!"

Waduh si uni....! , masih itu aja yang dipikirin....!

Semua anak gadisnya "diusir" dari Padang agar mendapat jodoh non Minang. Lydia, selesai kuliah di univ Andalas, lalu kerja di kantor akuntan Jakarta. Irma ... yang lahir di St Denis - France, baru selesai S1 dan sudah dikirim di Jakarta untuk cari kerja. Tinggal si bungsu yang baru masuk kuliah, tinggal bersama mereka di Padang.

Apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup? Ternyata mempertahankan adat istiadat yang sakral dan katanya bernilai budaya yang sangat tinggi dalam berbagai aspek ternyata membebani masyarakat. 

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...