Selasa 9 Februari 2021, anak saya kebetulan bisa tiba di rumah sebelum jam shalat Ishaa, sehingga kami memutuskan untuk makan malam lebih dulu, sambil menunggu adzan.Suami hanya masuk kantor 3 hari dalam seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jum'at. Hari lainnya dia bekerja dari rumah, apakah itu mengajar, konsultasi tugas atau kadang webinar. Sementara saya dan anak masuk setiap hari walau dengan jam kantor yang sedikit berkurang.... Cuma berkurang selama 1 jam tepatnya.
Sore itu, saya melihat suatu yang tidak biasa. Suami saya melapisi mulut/hidungnya dengan tissue. Saya tahu... itu berarti dia menghirup minyak kayu putih untuk membantu pernafasannya. Saat itu, saya tidak ingin bertanya lebih banyak. Tak elok kalau harus berdebat di meja makan. Kami makan malam seperti biasa, sambil ngobrol.
Rabu 10 Februari 2021, jam 07.00 seperti biasa, anak saya berangkat ke kantor diantar supir. Biasanya setelah supir kembali ke rumah, si bapak akan berangkat ke kantornya. Sekitar jam 09.00. Namun pagi itu, alih-alih sarapan pagi, dia malah tidur di sofa, tanpa bisa diajak komunikasi sama sekali. Saya akhirnya sarapan sendiri dan bersiap berangkat ke kantor. Sebelum berangkat, saya ingatkan kembali untuk sarapan, namun dia malah menyampaikan akan tinggal di rumah saja, alias tidak masuk kantor.
Sejujurnya, sejak pandemi covid19 merebak, setiap ada perubahan kondisi tubuh sesedikit apapun juga, saya selalu sudah secara otomatis mencurigai adanya virus covid19 mampir. Saya memang tidak mau terlalu paranoid sehingga tidak berani keluar rumah. Tidak ....., setiap malam minggu, saya masih mengajak anak dan suami untuk makan malam di luar rumah. Biasanya ke PIM atau Gandaria City. Tentu dengan tetap waspada .... memakai masker, memilih resto yang relatif ketat dengan standar prokes dan memilih tempat makan yang lebih terbuka. Maka .... kondisi suami yang "layu" seperti itu, mau tidak mau menerbitkan sedikit rasa curiga.
Tiba di kantor, ternyata ada sedikit kehebohan. Salah satu staff keuangan yang bermaksud berlibur (long week end - imlek) mengunjungi suaminya yang tinggal di Jogja, diketahui positif covid19 saat memeriksakan diri sebagai syarat pembelian tiket perjalanan. Akhirnya ... hari itu, HRD memutuskan untuk melakukan swab-antigen dan swab pcr untuk supir yang berinteraksi intens dengan staff tersebut. Dari semua yang mendapat giliran hari itu, diketahui ada 1 satpam positif, sementara lainnya negatif, termasuk saya. Alhamdulillah ... lega rasanya.
Sambil bekerja, saya mencoba melakukan komunikasi telpon maupun melalui whatsapp dengan suami, tanpa hasil. Dari ART, diketahui bahwa suami sama sekali tidak bergeming dari sofa. Bahkan makan malampun dilakukan dengan susah payah.
Kamis 11 Februari 2021, setelah mengantar anak ke kantornya, saya memutuskan untuk memaksa suami melakukan swab antigen di RS dekat rumah. Ke kantor, saya sampaikan hal tsb. Bila keadaannya baik-baik saja, maka usai mendapat hasil antigen, saya akan masuk kantor.
Usai mengantar suami melakukan swab-antigen, saya mempersiapkan diri untuk zoom meeting. Sepertinya, saya tidak mungkin lagi berangkat ke kantor. Sudah terlalu siang. Sekitar jam 11.00, saya menanyakan apakah suami mampu mengambil hasil antigennya sendiri. Dia yang merasa kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari hari sebelumnya, menyanggupinya untuk pergi mengambil hasilnya...
Pada saat yang sama, anak saya menanyakan hasil antigen bapaknya. Ketatnya aturan prokes di kantornya, menyebabkan dia dan beberapa rekan kerja yang intens bersamanya untuk melakukan wfh, sampai hasil swab si bapak diketahui dengan pasti.
Di tengah zoom meeting, suami yang baru kembali dari RS mengambil hasil antigennya dengan tenang bilang..."hasil antigennya positif"
Kaget dan jujurnya, agak shock, saya tidak bisa lagi mengikuti zoom meeting dengan penuh konsentrasi. Melalui jalur pribadi, saya minta bantuan salah satu rekan untuk mendaftarkan Swab-pcr drive thru yang berada di kawasan perkantoran jalan MH Thamrin. Kami berangkat setelah makan siang.
Kembali dari melakukan Swab-pcr, saya minta suami untuk menghubungi kantornya agar bisa mendapatkan akses isolasi mandiri di kampus. Saya memintanya isolasi di luar rumah agar kondisi kesehatannya bisa terpantau dengan baik apalagi saya yakin tempat isolasinya pasti terkoneksi dengan RSUI. Isolasi di luar rumah saya pikir juga menjadi jalan keluar yang lebih baik, karena kalau isolasi dilakukan di rumah, saya pesimistis bisa dilakukan dengan baik terutama untuk pelayanan makan/minum dan hal-hal pribadi lainnya.
Jumat 12 Februari 2020, siang hasil pcr keluar dan suami terkonfirmasi positif covid19. Anak saya langsung diwajibkan untuk melakukan swab-pcr pada hari sabtu. Semua temannya tidak boleh masuk sampai hasil pcrnya terbit. Saya juga akhirnya minta bantuan untuk didaftarkan pcr pada hari sabtu itu juga, supaya waktu pengambilan sample saya dan anak, sama.
Jumat sore, suami saya antar ke wisma Makara UI untuk melakukan isolasi mandiri. Saya juga menyampaikan berita ini ke beberapa orang di kantor yang saya anggap perlu tahu mengenai hal ini. Bigboss yang mendengar berita tersebut langsung mengusulkan agar, apabila hasil pcr anak saya negatif, dia diisolasikan saja di hotel milik kantor di kawasan Kelapa Gading. Alhamdulillah ... mungkin itu memang jalan keluar yang terbaik, agar dia tidak terkontaminasi.
Sabtu 13 Februari 2021 siang, usai melakukan pcr di di Cilandak-KKO dan kawasan MH Thamrin, saya masih sempat mengantarkan berbagai pesanan perlengkapan yang diperlukan suami selama masa isolasi dan beraktivitas seperti biasa. Malam minggu itu, saya dan anak juga masih jalan berdua, cari tempat makan sambil ngobrol daripada hanya bengong di rumah.
Minggu 14 Februari 2021 siang .... hasil pcr saya terbit dan ...... POSITIF terpapar covid19 dengan CT-ORF 32,74 dan CT-N tidak terdeteksi. Apapun dan berapapun angka CT yang tertulis, hasilnya tetap sama ... saya terpapar covid19. Darimana .......? Tentu sucpect yang terdekat adalah tertular dari suami .... Mau darimana lagi....? Sedih dan shock .....? Sudah pasti .... apalagi pekerjaan kantor yang saya tangani sedang masuk dalam tahap penyelesaian yang sangat kritis. Melepaskan dan meminta rekan-rekan lainnya melanjutkan pekerjaan tersebut, terasa seperti berkhianat. Terasa betul seperti saya sudah melakukan perbuatan yang sangat tidak bertanggung-jawab.
Senin 15 Februari 2021 siang, hasil pcr anak saya terbit dan dia dinyatakan negatif. Seperti yang dianjurkan oleh bigboss, hari itu juga saya minta si anak segera berkemas dan berangkat ke kawasan Kelapa Gading. Entah bagaimana kebijakan kantornya atas kondisi seperti itu. Apakah dia akan masuk kantor dari Kelapa Gading atau melakukan WFH - work from hotel, biarlah itu menjadi urusannya.
Di lingkungan rumah, saya langsung melaporkan kondisi saya dan suami yang terpapar covid19 kepada ketua RT yang segera meneruskannya kepada satgas covid19. Wilayah rumah saya memang baru sekitar 1 atau 2 minggu dinyatakan bebas dari kategori zona merah. ART dan anaknya kemudian dijadwalkan untuk melakukan swab-pcr di puskesmas pada hari senin 15 Februari 2021. Keesokan hari, Petugas satgas covid19 di wilayah kecamatan Jagakarsa lalu mendatangi rumah kami, meminta saya mengisi dan melengkapi dokumen2, mulai dari ktp, kk, hasil swab, kartu bpjs/askes, pernyataan isolasi mandiri dan lain-lain. Setelah mengirimkan obat2an generik standard puskesmas, setiap 3 hari mereka mengirim pesan melalui whatsapp menanyakan perkembangan kesehatan saya.
Apa yang saya rasakan selama positif covid19? Jauh dari bayangan dan bacaan-bacaan mengenai ciri-ciri penderita covid19, suhu tubuh saya sama sekali tidak mengalami kenaikan. Masih berkisar antara 35,6C sd paling tinggi 36,7C. Daya penciuman masih normal, sama sekali tidak ada perubahan. Kalaupun ada terasa perubahan, ...... itu lebih kepada kondisi badan dan stamina tubuh. Terasa sangat lemas, tenggorokan berdahak setelah sebelumnya terasa agak panas. Panas tenggorokan ini biasanya akan segera hilang kalau saya minum air rebusan sereh yang dicampur jeruk nipis dan madu. Kepala juga terasa agak sakit, tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca sesuatu dalam waktu yang cukup lama, atau lebih dari 10 menit.
Minggu 21 Februari 2021, masa isolasi suami selesai dan si anakpun sepertinya sudah tidak betah berlama-lama di hotel. Akhirnya .... minggu sore itu, kami berkumpul kembali di rumah dengan kesepakatan, tetap wajib menghindari kontak lebih dekat dari 1,50 meter. Makan harus dilakukan secara bergiliran, Anak duluan, lalu suami dan terakhir baru saya yang makan.
Hari Selasa 23 Februari 2021, saya meminta bantuan lagi ke kantor untuk didaftarkan swab-pcr, untuk memperoleh kepastian kondisi kesehatan kami. Kali ini HRD di kantor mendaftarkan layanan swab-pcr ke rumah dan alhamdulillah .... hasil pemeriksaan kami berdua NEGATIF. Namun demikian, tidak berarti kondisi ini bisa disambut dengan euforia. Kami masih tidur di kamar yang terpisah, walaupun makan sudah mulai bisa dilakukan bersama dengan sesedikit mungkin berbicara selama berada di meja makan.
Recovery ternyata juga menjadi sangat individual. Bila suami bisa recover dengan relatif lebih cepat, namun saya masih merasakan kepayahan. Kaki saya, mulai dari telapak kaki hingga separo tulang kering, masih saja selalu terasa dingin seperti ditusuk-tusuk. Dahak masih belum hilang danbegitu juga rasa lemas di tubuh .....
Apapun yang terjadi dan akan terjadi, alhamdulillah kami sudah melewati periode terberat menghadapi covid19. Konon .... kondisi fisik penyintas covid19 tidak akan bisa kembali sama seperti sebelumnya. Akan halnya vaksin .... apakah kami akan melakukannya? Inshaa Allah .... namun entah kapan, karena kami masih harus mencari informasi lebih banyak bagaimana prosedur vaksinasi bagi penyintas covid19.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah Tetap waspada, jangan lengah ... karena kita tidak pernah tahu kapan celah kelengahan itu datang.