“Ma …., jangan pergi ke Jogja ya…!”, begitu pinta gadis kecil saya saat kami mengantarnya ke sekolah.
”Ya sudah, banyak doa aja......... doa’in supaya mama nggak jadi ke Jogja”, menenangkannya.
Itulah cuplikan pembicaraan kami pada hari Kamis pagi.
***
Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, kami mengantar gadis kecil kami ke sekolah di bilangan Karang Tengah Jakarta Selatan. Pulangnya, dia diantar dengan kendaraan dari sekolah.
”Oh ... bagus deh .... dan saya nggak perlu membuat anak saya bersedih ditinggal ibunya”
***
”Mau ngomong ke ibu Mei”
”Ada apa?”
”Ah... mau tau aja...”
”Ih mama, pake rahasia lagi....”
”Mau bilang ... mama nggak jadi ke Jogja!, Jadi nggak perlu jemputan lagi”
”Bener ma....? Asyikkkkk... aku nggak perlu dijemput bang Dharma!!!”
lebak bulus 26 Januari 2007 jam 22.25
”Kenapa...? Kan sudah bilang sama bu Mei, selama mama dan bapak pergi, kamu berangkat sekolah dijemput sama bang Dharma atau bang Munir. Kan cuma tiga hari. Nanti hari Senin sudah diantar mama dan bapak lagi”, jawab saya
”Aku sebetulnya lebih suka diantar sama mama dan bapak daripada sama bang Dharma atau bang Munir”.”Ya sudah, banyak doa aja......... doa’in supaya mama nggak jadi ke Jogja”, menenangkannya.
Itulah cuplikan pembicaraan kami pada hari Kamis pagi.
***
Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, kami mengantar gadis kecil kami ke sekolah di bilangan Karang Tengah Jakarta Selatan. Pulangnya, dia diantar dengan kendaraan dari sekolah.
Akhir bulan ini, suami saya harus ke Ciloto, ada raker jurusan. Sementara saya, pada waktu yang sama diminta untuk ikut training mengenai perminyakan selama 4 hari di Jogja. Itu sebabnya, minggu lalu secara hati-hati kami sudah meminta pengertiannya untuk bersedia berangkat sekolah dengan mobil jemputan dari sekolah.
Dulu, saat masih seumurnya, saya dan adik-adik sering ditinggal orangtua keluar kota untuk beberapa hari hingga 1 minggu. Sebelum berangkat, ibu saya akan mengeluarkan bajunya dan meminta saya untuk dijadikan alas kepala saat 2 orang adik terkecil tidur.
”Supaya nggak nyariin ibunya saat malam”, begitu kata ibu saya.
Tapi, jaman itu, orangtua rata-rata memiliki banyak anak. Orangtua saya memiliki 6 orang anak yang umurnya masing-masing hanya berbeda 1½ tahun saja dan mertua saya memiliki 11 orang anak dengan perbedaan umur yang sama. Jadi kalaupun orangtua tidak ada, suasana di rumah bisa dipastikan selalu riuh rendah. Apalagi akan selalu ada anggota keluarga lain (salah satu adik orangtua kami atau sepupu) yang dengan senang hati menemani kami di rumah.
Jaman sekarang, setiap orangtua hanya memiliki maksimal 3 anak saja dan jarang ada anggota keluarga yang bersedia menemani anak-anak. Mungkin ada pengasuh, tapi kedua anak saya tidak pernah ditangani pengasuh. Itu sebabnya, dia tidak pernah merasa nyaman bila orangtuanya tidak berada di rumah.
Memang agak berbeda dengan anak lelaki saya. Dulu, walaupun saat bayi hingga umur 1½ tahun saya asuh sendiri, namun saat kembali ke Indonesia, saya tinggal bersama orangtua (sebelum pindah ke rumah sendiri) selama 5 tahun. Selama waktu itu, ada ”banyak tangan” yang ikut mengasuhnya, yaitu adik-adik saya yang semuanya belum menikah. Semua memanjakannya. Jadi dia dengan sangat nyaman berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain dan bergaul ditengah lingkungan orang dewasa. Bahkan setiap akhir minggu, dia meninggalkan kami orangtuanya untuk pergi berlibur ke Bandung dengan kakek/nenek dan oom/tantenya. Maklumlah... cucu pertama di keluarga.
Sedangkan anak kedua lahir sebagai cucu ke 9 dari 12 orang cucu ibu saya. Sejak kecil dia tidak mengenal pengasuhan orang lain selain ibunya. Apalagi selama 13 bulan dia ikut kekantor dan baru ditinggal di rumah saat sudah berumur 15 bulan. Itupun, saat pulang kantor, dia sepenuhnya saya urus sendiri. Itu sebanya dia tidak merasa nyaman bersama ”orang asing”
***
Jum’at pagi, Yana menelpon saya;
”Mbak ... kata bu Ana, trainingnya akan dibikin ”in house” dan ”taylor made” aja. Jadi bisa lebih banyak orang yang ikut, materinya juga kita pilih sesuai dengan kebutuhan saja dan ibu-ibu itu nggak perlu meninggalkan kantor terlalu lama””Oh ... bagus deh .... dan saya nggak perlu membuat anak saya bersedih ditinggal ibunya”
***
Tadi pagi, saat mengantarnya sekolah, saya turun dari mobil untuk menemui ibu Mei, membatalkan permintaan jemputan.
”Tumben, kok mama ikut turun?””Mau ngomong ke ibu Mei”
”Ada apa?”
”Ah... mau tau aja...”
”Ih mama, pake rahasia lagi....”
”Mau bilang ... mama nggak jadi ke Jogja!, Jadi nggak perlu jemputan lagi”
”Bener ma....? Asyikkkkk... aku nggak perlu dijemput bang Dharma!!!”
lebak bulus 26 Januari 2007 jam 22.25
doanya terkabul... training apa si mbak? :)
BalasHapuswakakak.... pasti penasaran gara-gara baca training perminyakan ya...? KAlo gak salah mengenai POD dan Financial aspect of AFE, WP & and Report system. Kamu jangan tanya singkatannya ya.... Sungguh mati saya nggak ngerti.. Mestinya saya yang tanya kamu...
BalasHapushehehehe... boleh training ama aku aja :D
BalasHapusharga temen dehhh
wakakak.... pasti penasaran gara-gara baca training perminyakan ya...? KAlo gak salah mengenai POD dan Financial aspect of AFE, WP & and Report system. Kamu jangan tanya singkatannya ya.... Sungguh mati saya nggak ngerti.. Mestinya saya yang tanya kamu...
BalasHapusBoleh ....., cuma yang ngurus bukan saya... Saya sih ikut aja, namanya dapet tambahan ilmu. Walaupun aneh aja.... nggak cocok sama bidang yang selama ini aku geluti...
BalasHapusanak memang paling nyaman dengan orangtua sendiri ya mbak!
BalasHapusBetul sekali. Hanya saja orangtua seringkali melupakannya dengan dalih supaya anak menjadi mandiri. Nah bagaimana "melepaskan anak" supaya mandiri dengan cara yang bijak, itu yang terpenting. Saya sendiri masih try and error terus untuk masalah ini.
BalasHapussama seperti yg saya alami, anak2 saya selalu nyaman klo segala urusannya di handle oleh ibu atau ayahnya walaupun ada kakek/nenek ataupun om/tante...
BalasHapusSetuju sekali ... cuma kebanyakan orang, kurang sensitif dengan hal ini.
BalasHapus