Senin, 02 April 2007

Salah Kaprah Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak

Minggu ini, beberapa rekan kantor berangkat ke Malang untuk Rapat Kerja sambil meninjau Proyek. Saya nggak ikut .... (alhamdulillah....),  sebab ... ssttt jangan bilang-bilang ya... Anak saya marah besar, saat saya bilang bahwa ibunya harus ke Malang selama 1 minggu. Ini dilematis perempuan yang sok jadi super woman dan berperan ganda. Karenanya saya terpaksa mencari alasan yang valid untuk menghindar acara rapat di Malang ini. Toh saya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan proyek tersebut. Jadi ketidak hadiran saya, tidak akan mempengaruhi acara rapat (hikhik.. mencari pembenaran ....) . Itu alasan resmi .... karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.dan memang benar, saya harus monitor proyek yang langsung saya pegang dan ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.

Salah satu rekan kantor yang pegang proyek di Malang dan akan dipindahtugaskan ke Jogja, meminta pendapat saya mengenai rencananya untuk mengambil cuti selama 2 minggu pada pertengahan bulan April ini agar dapat mendampingi anak lelaki sulungnya yang duduk di bangku SMP menghadapi ujian nasional - UN. Dia agak khawatir, anaknya tidak bisa berkonsentrasi dalam menghadapi UN, karena prestasinya dalam berbagai try out yang diikutinya pada kelas bimbingan belajar, sangat tidak stabil. Konon, kondisi ini sangat mengkhawatirkan terutama dikaitkan dengan masa depan si anak.

Jujur saja, saya agak terperangah mendengar masalah yang dihadapinya. Mungkin saya memang sangat beruntung punya anak lelaki yang "sangat mandiri" dalam belajar. Atau mungkin juga karena kekhawatiran saya "diredam" dengan sangat keras oleh suami yang sangat menafikan prestasi akademis. Kondisi ini semua, dengan berbagai argumentasi dan perdebatan ibu-anak, telah menjadikan anak sulung saya akhirnya menjadi sangat "bebas" menentukan, apa maunya. Tetapi, diluar itu semua, prestasi akademisnya dari SD hingga menyelesaikan SMU memang luar biasa.

Nah, kembali dengan teman saya ini, dan lagi-lagi menurut ceritanya, setiap malam dia harus "membimbing" anak sulungnya dalam hampir seluruh mata pelajaran terutama matematika dan fisika. Kalau tidak, maka hasil ulangannya akan jeblog habis. ***

Konon, jaman dahulu kala .... orang tua murid relatif "tidak pernah" bersinggungan dengan sekolah. Bahkan saat dibagikan raport sekolahpun, kehadiran orangtua tidak dibutuhkan karena guru langsung membagikan raport kepada murid. Saat tamat SD dan pindah ke SLTP dan SLTA, semua murid mendaftarkan diri dan menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran sekolah tanpa didampingi orang tua. Penyerahan raport langsung kepada murid memang memiliki dampak "buruk".

Konon, murid-murid "nakal" yang isi raportnya "kebakaran" dengan bantuan teman-temannya akan mengganti angka-angka merah itu menjadi biru agar tidak diketahui orangtua. Entah bagaimana cara mereka mengelabui orangtua/guru saat raport itu harus kembali ke sekolah. Mungkin juga murid-murid tersebut akan memalsukan tandatangan orangtua di raport dan membuang semua surat panggilan dari sekolah kepada orangtua. (Alhamdulillah... saya tidak termasuk murid nakal...).

Buku pegangan setiap mata pelajaran disediakan sekolah. Setiap awal tahun ajaran baru, murid dibagikan setumpuk buku yang harus di sampul baik-baik untuk digunakan selama tahun pelajaran berlangsung  dan baru dikembalikan bersamaan dengan pembagian raport. Seingat saya, POMG apalagi model Komite Sekolah, sama sekali tidak terdengar keberadaannya. Jadi model sumbangan ini itu untuk kegiatan sekolah sama sekali tidak ada. Entah bagaimana caranya sekolah memenuhi biaya kegiatan-kegiatan tersebut. Tanpa permintaan sumbangan dari orang tua apalagi dengan dalih sumbangan rutin POMG, kegiatan ekstra kurikulum tetap berlangsung. Itu memang cerita kuno yang terjadi, mungkin hingga paruh tahun 1970 an. 

Entah sejak kapan keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dimulai. Yang teringat adalah pada akhir tahun 1970, raport tidak lagi dibagikan kepada murid sehingga saya kerap diminta orangtua mewakilinya untuk mengambil raport adik. Mungkin kenakalan murid sekolah mulai tak tertangani oleh sekolah atau ada alasan lain yang melatar belakangi keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Yaitu dimulai dengan pengambilan raport, lalu adanya lembaga POMG yang kemudian "diberdayakan" menjadi salah satu sumber dana kegiatan ekstra kurikulum. Mungkin juga "entry point" ini menjadikan keterlibatan orangtua ke dalam pendidikan sekolah semakin lama semakin dalam. 

Lama kelamaan, bahkan dalam berbagai kegiatan ekstra kurikulum, orangtua murid terlibat menjadi panitia aktif. Semakin jauh dan semakin jauh. Bahkan melalui pengamatan di salah satu SD tempat anak saya bersekolah, melalui Komite Sekolah, campur tangan orangtua semakin dalam dan mulai memasuki wilayah akademis. Beruntung bila orangtua yang campur tangan memiliki kompetensi atau kepedulian dalam arah pendidikan yang benar. Yang seringkali terjadi, campur tangan tersebut lebih didasarkan kepada snobisme/ikut-ikutan atas model pendidikan "gaya luar" yang diterapkan oleh sekolah lain yang menjadi referensi, demi gengsi semata. Bukan atas kepentingan dan masa depan anak didik.

Mungkin itu juga sebabnya esensi pendidikan anak mulai bergeser. Bila dulu anak murid "tidak mengenal" les ini itu yang berkaitan dengan mata pelajaran dan cukup percaya diri menempuh ujian akhir bahkan untuk menempuh ujian masuk universitas. Sekarang, les dan kursus yang bertalian dengan mata pelajaran bertebaran dimana-mana. Anak-anak (atau jangan-jangan orangtua mereka) merasa tidak percaya diri bila si anak tidak diikutsertakan pada les atau kursus-kursus tersebut. Dan cengkeraman pengaruh les/kursus sangat luar biasa. 

Bila dua dekade lalu, kursus atau sekarang populer dengan sebutan bimbingan belajar/BIMBEL hanya diikuti oleh anak-anak yang akan menempuh ujian akhir saja. Sekarang, anak-anak "dipaksa" orangtua mengikuti bimbel pada setiap jenjang kelas. Ikut sibuk mencarikan sekolah-sekolah favorit, ikut cawe-cawe menentukan kegiatan (terutama kegiatan ekstra kurikulum) anak-anak di sekolah. Bukan itu saja... konon katanya cara belajar di kelas 3 disebuah sekolah unggulan nasional, bukan lagi belajar "normal" untuk memahami ilmu pengetahuan tetapi latihan soal a la bimbingan belajar untuk ujian masuk universitas. 

Yang sangat mengejutkan, beberapa waktu yang lalu di koran ibukota ramai diberitakan bahwa BIMBEL telah masuk secara resmi ke sekolah-sekolah melalui kerjasama. Lalu... apa dong fungsi guru sekolah? Kalau tujuan sekolah hanya sekedar mendapat ijasah atau lulus masuk PTN, yang nggak usah bikin sekolah yang esensinya mendidik (akademis dan moralitas), bikin aja kursus-kursus.

Keleluasaan pemerintah/DikNas kepada sekolah dan daerah untuk turut me"warnai" kurikulum melalui muatan lokal turut menambah carut-marut profil mata pelajaran dan pada akhirnya menambah beban anak. Banyak mata pelajaran yang tumpang tindih atau terkesan "diadakan" agar sekolah dapat masuk dalam kategori sekolah favorit dan tidak dipandang sebelah mata oleh kalangan berpunya. Bahkan di salah satu tayangan televisi, ada seorang ibu yang dengan bangga memamerkan anaknya atau lebih tepat dikatakan BAYI berumur 9 ... baca SEMBILAN bulan yang sudah bersekolah. Entah sekolah macam apa yang diikuti bayi tersebut dan entah pula apa latar belakang dan maksud pendidikan super dini itu. Saya hanya masih membayangkan bahwa anak atau bayi berumur 9 bulan, lebih membutuhkan belaian dan perlindungan orang tua daripada hiruk pikuk sekolah bayi. 

Memang betul bahwa pendidikan anak bukan semata tanggung jawab guru, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Tapi kan ada bagian-bagiannya. Kalau semua mau cawe-cawe melampaui batas wewenang dan kemampuannya ... ya repot. Akhirnya tujuan akhir pendidikan jadi kabur ... semua tergantung dari uang dan pengaruh. Siapa yang kuat dan ber"uang", itu yang menang ... Jadi nggak salah ya... ber"uang" dan beruang, setali tiga uang. Cakarnya memang tajam menancap

Halah....... mau kemana sih pendidikan anak-anak Indonesia ini?

15 komentar:

  1. barangkali itu karena kita terlalu mendewakan prestasi sekolah mbak? seolah2 angka2 di raport itu yg akan menentukan masa depan anak? akhirnya muncul bisnis bimbel2. akhirnya kemandirian belajar anak jadi merosot. ya, saya juga perlu siap2 memikirkan bgmn pendidikan yg baik untuk anak nih.

    BalasHapus
  2. iya ya mbak..Sekarang banyak temenku yang mules mikirin urusan sekolah anaknya. Dari urusan masuk sekolah sampai padakeberlangsungan pendidikan itu sendiri. Sementara gue dulu, dilepas aja ama emak-babe

    BalasHapus
  3. semuanya sudah bergeser ya, mbak
    tulisan di atas bisa jadi renungan untuk kita semua.

    BalasHapus
  4. iya ... itu salah satunya. Padahal... coba deh lihat, orang2 yang "berhasil" umumnya mereka yang saat sekolah dulu "bandel"2 lho... karena mereka terbiasa menghadapi tantangan dan tidak pernah takut menghadapinya

    BalasHapus
  5. Bener tuh ... akhirnya anak2 jadi super manja... segala macem diurusin emak-babenye. Atau ... mungkin emak-babe aje yang renyem ... sok ngatur dan nggak rela anaknya mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan pada ortu. Ortu takut kehilangan peran kalo anaknya terlalu mandiri

    BalasHapus
  6. Maklumlah... dunia semakin sempit dan jarak semakin dekat, semua campur baur gak tahu lagi batas-batasnya. Ortu akhirnya jadi over protective

    BalasHapus
  7. Complicated sudah masalahnya Mbak Lina. Semua jadi serba salah. Ada UN bikin guru ngajar untuk tes (abis mo gimana lagi, gak ada cukup waktu buat ngajar "normal" plus bantu anak lulus ujian). karena ngajarnya nggak bikin anak belajar dan punya "skills" gimana belajar yang efektif, akhirnya anak-anak jadi nggak mandiri (kecuali bikin contekan, wuih canggih-canggih sudah). kalau saya perhatikan anak-anak sekarang cendrung mengartikan belajar sebagai "apa sih jawaban pertanyaan nomor sekian" bukan lagi prosesnya gimana sampai pada satu hasil atau kesimpulan, jadi sangat cetek.
    Akhirnya demi anak, terpaksa orang tua turun tangan, mula-mula dalam bentuk materi dg mengirim anak ke bimbel. tapi lama-lama itu saja tidak cukup. Orang tua masih harus lagi membimbing anak dirumah, kalao masih belum mempan kasih lagi les private. Sekarng kalo ada anak punya masalah disekolah (pelajaran), guru bukan bantu dg cara mengajar, tapi menasehati "Coba deh ikut les di sini atau di situ."
    Bukan cuma anak yg frustrasi Mbak, tapi juga ortu dan guru.

    BalasHapus
  8. Padahal... konon katanya... pelajaran hidup yang terbaik, bukan diperoleh dari sekolah/akademis tetapi dari masalah yang ada dalam kehidupan sosial sehari-hari

    BalasHapus
  9. Kagetnya aku waktu dapat undangan rapat orang tua dari rektor ITB saat penerimaan mahasiswa baru (anakku masuk ke ITB tahun lalu). Lha seingatku dulu waktu baru jadi mahasiswa mana ada orang tua diundang untuk rapat dengan rektor dan dekan. Rupanya kemajuan teknologi yang membuat mahasiswa baru banyak Drop Out gara-gara banyak main game!! Jadi Rektor mengingatkan para orang tua supaya jangan kaget kalo waktu anaknya SMA pandai dan setelah jadi mahasiswa setahun langsung DO. Aku rasa karena anak sekarang kurang punya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang tua. Coba jaman kita dulu dilepas begitu saja tapi kita kan tahu diri. Alhamdulillah aku tidak pernah sampai nemani anak belajar tiap malam. Mereka kalo ada kesulitan baru menanyakan jalan keluarnya kekita. Yang penting ada komunikasi antara anak dan orang tua sehingga sewaktu anak kesulitan belajar mereka akan datang ke orang tua.

    BalasHapus
  10. Rasa tanggung jawab yang hilang mungkin juga kesalahan orang tua jaman sekarang yang terlalu "suka memenuhi" kebutuhan anaknya terutama materi, sebagai penebus kurangnya waktu akibat kedua orangtua bekerja. JAdi si anak menjadi manja. Semua tersedia

    BalasHapus
  11. Ada teman saya yang kerjanya sebagai pengajar di bimbel. Menurut dia seorang pengajar bimbel harus siap untuk dimintai mengerjakan PR anak bimbingannya. Jadi anak sekolah sekarang cuma datang ke sekolah, duduk ngobrol-ngobrol, gak pernah nyatet karena dapat fotokopi catatan, PR dikerjakan guru bimbel, mau ujian cuma ngapalin cara menjawab soal pilihan ganda, Bahkan dalam ujian akan ada guru yang menyiapkan soal jawaban untuk disalin. Keluar sekolah dapat apa? Tapi tentunya tidak semua dong. Yang benar juga ada, dan ini nantinya yang jadi penerus ilmu.

    BalasHapus
  12. inilah carut marut pendidikan di Indonesia. Kita inginnya hasil yang instant. Pengajar bimbel sangat komersial. Mereka hanya berpikir uang dan uang... tidak ada "sense" sebagai pendidik, akibatnya ya begini inilah..... les sana-sini, bimbel sana-sini... tetep aja nggak ngerti...

    BalasHapus
  13. boleh, asal sumbernya tetap dicantumkan dan sy diberitahu apakah copas utk blog atau apa, ya...

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...