Rating: | ★★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Biographies & Memoirs |
Author: | Jean P. Sasson |
Princess adalah salah satu trilogy dari Jean P Sasson. Dua buku lainnya adalah Princess Sultana’s Daughters dan Princess Sultana’s Circle.
Jean P Sasson, pengarang buku Princess, bertemu dan berkenalan dengan Sultana (bukan nama sebenarnya) salah satu cucu King Abdul Aziz, pendiri dinasti Al Saud pada tahun 1983 dan berhubungan erat hingga tahun 1991, saat Jean P Sasson benar-benar meninggalkan Saudi Arabia. Keakrabannya dengan Sultana, telah menjadikannya sebagai tempat Sultana mencurahkan isi hati, mimpi-mimpi dan keinginannya untuk “memerdekakan” perempuan Arab dari “penjajahan” kaum lelaki bangsanya.
Ini buku yang bercerita tentang kisah nyata kehidupan para putri kerajaan Saudi Arabia dan tercermin dalam kehidupan putri Sultana, salah satu cucu King Abdul Aziz. Ayah Sultana adalah anak dari satu di antara 300 orang isteri King Abdul Aziz. Dari istri-istrinya tersebut, King Abdul Aziz memiliki tak kurang dari 50 anak lelaki dan 80 anak perempuan dan ayah Sultana merupakan satu di antara 50 anak lelaki Abdul Aziz. Dinasti Al Saud, hingga kini merupakan penguasa Kerajaan Saudi Arabia.
Sultana adalah anak bungsu dari isteri pertama ayahnya. Keluarga mereka hanya memiliki satu orang anak lelaki, Farouq, yang cepat menjadi "raja" di keluarga dimana segala titahnya wajib dituruti. Sebagaimana keluarga Arab, anak lelaki merupa "harta berharga". Anak lelaki merupakan kebanggaan sementara anak perempuan selalu merupakan "bencana keluarga" Paham dan tradisi ini masih lekat seolah mewarisi tradisi masa jahiliyah sebelum turunnya agama Islam.
Sultana kecil tumbuh dalam pemberontakan. Otaknya yang cerdas seakan meraba dan kemudian secara perlahan-lahan melihat berbagai "penyimpangan" ajaran agama Islam di dalam kehidupan keluarga Arab. Ajaran Islam yang meninggikan harkat perempuan di dalam masyarakat maupun keluarga serta memberikan perlindungan kepada perempuan diinterpretasikan dengan pemahaman patriarchat yang memutarbalikkan esensi ajaran agama.
Perbedaan perlakuan kepada anak perempuan dan anak lelaki, yang terjadi di rumahnya, sangat terasakan dengan kelahiran Farouq di dalam keluarga. Serentak, Farouq mendominasi kehidupan keluarga, menyisihkan kepentingan anak-anak lainnya yang terlahir lebih dahulu maupun terhadap Sultana. Apalagi, ternyata kelahiran Farouq merupakan kelahiran lekaki satu-satunya di dalam keluarga, menjadikan ibu Sultana terbelenggu rasa khawatir, bahwa kelak suaminya akan menambah dan menambah lagi isteri baru demi mendapatkan banyak anak lelaki sebagai “kekayaan dan kebanggaan” keluarga.
Sultana juga melihat dan merasakan kegetiran kehidupan kakak perempuannya Sarah, terutama saat kakaknya Sarah yang saat itu baru berumur 17 tahun, dipaksa menikah dengan pria yang berumur 62 tahun dan berstatus sebagai isteri ke tiga. Sarah sebagaimana perempuan Arab lainnya, telah mengenakan cadar saat berumur 15 tahun, yaitu ketika mendapatkan menstruasi, Sarah yang cantik dan pandai terpaksa mengubur cita-cita dan minatnya dalam bidang seni. Kegetiran dan ketidaksiapannya menghadapi pernikahan akhirnya membuat Sarah nekat mencoba menghabisi hidupnya.
Sultana sendiri akhirnya beruntung memperoleh suami yang dapat memahami cita-citanya untuk membebaskan belenggu “kekuasaan” lelaki dalam kehidupan perempuan. Mereka hidup bahagia di tengah pergulatan hati Sultana melihat dan merasakan penderitaan para wanita disekitarnya, walau kebahagiaan tersebut akhirnya ternodai saat suami Sultana menyatakan akan mengambil istri kedua. Hal mana menyebabkan Sultana membawa anak-anaknya “kabur” dari Saudi Arabia, demi memprotes keinginan suaminya tersebut.
Buku ini semakin memperkuat dugaan bahwa kehidupan sosial di Saudi Arabia “masih” belum beranjak dari tradisi maskulinitas jaman jahiliyah yang sangat jauh dari ajaran agama Islam yang “meletakkan” perempuan pada posisi terhormat. Perempuan Arab masih menjadi obyek seksual dari para pria dan bahkan yang paling parah, persepsi pria Arab terhadap perempuan non Arab, yaitu bahwa perempuan non Arab adalah semata-mata obyek seksual/pelacur.
Lelaki Arab juga “mewajibkan” perempuan Arab menjaga keperawanannya hingga saat waktunya menikah. Namun, di lain pihak para lelaki Arab dengan bebas merdeka melakukan hubungan seksual dengan perempuan non Arab yang berprofesi sebagai pelayan rumah mereka.
Ketertutupan hubungan perempuan – lelaki di Arab membuat mereka, para lelaki dan perempuan Arab memiliki persepsi yang sangat “primitif” atas hubungan terbuka antara lelaki dan perempuan seperti yang terjadi di Negara non Arab. Ketidaktahuan mereka tentang hubungan lelaki dan perempuan di luar hubungan seksual membuat mereka seakan “tidak bisa menerima” adanya hubungan professional atau kesetaraan antar lelaki dan perempuan.
Itu mungkin yang menyebabkan para lelaki Arab selalu mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual saat berada di luar Arab dan bahkan tidak jarang dari mereka yang melakukan perjalanan setidaknya 4 kali setahun keluar Arab bahkan hingga ke Indonesia untuk mencari kesenangan duniawi (kawin kontrak atau bahkan hanya mengejar objek wisata seksual). Konon, ada kelompok keluarga kerajaan yang saat ini sudah melebihi jumlah 20.000 orang, setiap minggu mengirim satu pesawat ke Paris untuk membawa perempuan penghibur ke beberapa kota/klub tertentu di Arab untuk melayani mereka
Di samping itu, fakta bahwa Rasulullah SWT berasal dari tanah Arab membuat mereka “merasa” memiliki derajat yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain di dunia. Hal yang tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam yang secara tegas menyatakan bahwa yang membedakan manusia di mata Allah SWT adalah ketaqwaannya.
Buku ini memang layak dibaca agar kita mengerti, sebaiknya Indonesia segera menghentikan pengiriman TKI ke Timur Tengah. Namun membaca bukuini sekaligus menyisakan kepedihan karena ajaran Islam yang sesungguhnya sangat “human” dijungkir-balikkan justru oleh orang Arab. Orang-orang sebangsa dengan Rasulullah SWT. Penerbitan buku ini, bukan tidak mungkin menjadi entry point untuk melecehkan ajaran Islam.
faktanya getir bgt. mungkin ini yang jadi perhitungan mengapa turunnya agama Islam di sana. aku paling syok dengan pandangan orang Arab terhadap wanita non-Arab. ternyata seperti itu ya. pantes pelecehan terjadi dalam basis harian.
BalasHapuslebih tepatnya, kenapa seluruh agama samawi turun di Timur Tengah - termasuk Israel
BalasHapusSedih ya, aku juga baru baca meski belum sampe selesai... seperti kembali ke jaman jahiliyah memang
BalasHapus