Menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani tentu menjadi dambaan semua orang. Itu sebabnya berbagai cara untuk menjadi sehat ditempuh. Ada yang melakukannya dengan cara sederhana dan mendasar yaitu mengatur pola makan dan berolah raga dan ada juga yang menempuh cara instant dan konsumtif dengan mengkonsumsi food supplement. Semua sah-sah saja untuk dilakukan, tergantung dengan selera, waktu yang tersedia dan tentunya juga dana pendukung.
Menjadi sehat, bisa murah, bisa juga menjadi mahal dan bahkan sangat mahal, tergantung bagaimana kita melihatnya. Kalau mau cara yang murah, cukup dengan mengkonsumsi makanan, sayur dan buah segar produk lokal sebagai sumber serat, tahu tempe sebagai sumber protein nabati. Lalu dilengkapi dengan olah raga berupa jalan cepat ataupun lari. Tidak perlu modal besar, cukup dengan setelan pakaian dan sepatu olahraga.
Atau, kalau mau sedikit bergengsi, menjadi anggota klub olah raga di hotel-hotel, mall atau di komplek perumahan menengah ke atas. Kemudian melengkapi diri dengan food supplement dan vitamin-vitamin dari luar negeri. Inilah gaya hidup golongan menengah ke atas.
Namun ada yang dilupakan, gaya hidup kota besar yang mencekam, stress atas ketatnya persaingan dunia kerja, stress akibat kemacetan di perjalanan, pola makan “enak” yang kurang sehat, turut memberikan sumbangan pada kondisi kesehatan kita. Apalagi meningkatnya usia, secara alamiah akan mempengaruhi kinerja organ tubuh manusia. Penurunan fungsi pencernaan akibat “fatique” karena usia, akan mempangaruhi pasokan energi bagi tubuh. Mungkin ini pula yang membuat industri food supplement berkembang pesat.
Salah satu penyakit degeneratif sebagai akibat dari pola makan dan gaya hidup manusia kota besar, yang sering diidap adalah penyakit jantung, darah tinggi, gagal ginjal dan diabetes mellitus – DM.
*****
Menjadi orang sakit di Indonesia, itu dilematis. Untuk sedikit golongan masyarakat, yaitu golongan atas, yang memiliki dana cukup dan atas asuransi kesehatan, sakit mungkin tidak menjadi masalah yang terlalu serius. Golongan miskin, insya Allah, dengan adanya asuransi khusus untuk keluarga miskin yang konon kabarnya sering disalahgunakan oleh para kerabat pejabat kelurahan, tidak akan mengalami kesulitan mengakses fasilitas kesehatan sejauh mereka “sabar” mengurus dokumen yang dibutuhkan. Namun tidak demikian dengan masyrakat “golongan tanggung”, Tidak cukup berduit untuk mendukung pengobatan jangka panjang, dan tidak cukup miskin untuk memperoleh dukungan asuransi kesehatan bagi keluarga miskin.
Usai dengan masalah dukungan dana untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang baik di rumah sakit, ternyata berhubungan dengan para praktisi kesehatan juga memerlukan “keberanian” untuk “mengkontrol” prosedur pengobatan yang diberikan kepada pasien. Dan fungsi “kontrol” ini bukanlah hal yang mudah. Selama ini, dokter terlanjur diposisikan sebagai “manusia setengah Tuhan” yang mampu menyembuhkan penyakit secara instant. Itu sebabnya, ada dokter “manjur” yang setiap obat yang diberikan dengan cepat menyembuhkan pasien. Dokter seperti ini diburu para pasien dan mereka terpaksa berpraktek hingga jauh larut malam setiap hari. Dokter-dokter laris ini kadang memperlakukan pasien sebagai nomor belaka. Memeriksa pasien secara simultan di ruang praktek. Tidak ada interaksi dengan pasien untuk mengetahui keluhan pasien. Entah bagaimana cara mereka mendeteksi penyakit pasien, kalau pemeriksaan dilakukan secara simultan. Namun anehnya, dengan perlakuan seperti itupun, pasien tidak kunjung surut.
*****
Adik perempuan saya yang terkecil, sudah lebih dari 5 tahun menderita DM. Seharusnya, walaupun tidak dapat disembuhkan, DM mudah diatasi. Dalam berbagai literature, penderita DM dapat hidup secara normal asalkan mampu mengkontrol kadar gula darahnya dengan memperhatikan konsumsi makanannya dan rutin berolahraga. Berlainan dengan penderita DM lainnya, DM yang diderita adik saya ternyata tidak mudah diatasi, malah semakin menjadi-jadi dan menyerang organ pencernaan dan kandung kemih. Melalui endoskopi, diketahui bahwa seluruh saluran pencernaan, ususnya, penuh dengan parut-parut merah dan perlukaan seperti sariawan. Kandung kemihnyapun penuh bakteri. Kalau saja terlambat buang air kecil, maka bakteri itu akan bereaksi “naik” sehingga dia muntah tak terkendali dan berakhir di ruang perawatan rumah sakit. Begitu selalu berulang-ulang. Konon kabarnya, kadar amilasenya sangat tinggi. Dokter menyebutnya bahwa adik saya mengalami komplikasi DM berupa pankreatitis.
Suatu kali, saat di rawat di RSPC, dia sempat terjatuh dan pingsan. Dokter kemudian memintanya untuk dilakukan MRI dan CT scan. Dari hasil keduanya diketahui bahwa ada tumor sebesar 27cm3 tersembunyi di antara otak dan simpul syaraf matanya.
Mendengar hasil MRI dan CT scan tersebut, adik saya yang lainnya, kebetulan dokter, walaupun hanya spesialis anak, sempat bicara pada si Arab (demikian kami memanggil suami adik yang sakit itu), bahwa satu-satunya “itis”, maksudnya misalnya bronchitis, meningitis, yang tidak disebabkan oleh virus atau bakteri adalah pancreatitis, karena posisi kelenjar pancreas tidak berhubungan “dunia luar” Jadi, kalau terjadi pankreatitis, maka penyebabnya ada di dalam tubuh itu sendiri. Adik saya menduga bahwa posisi tumor tersebut menekan syaraf pusat pengendali kelenjar tubuh sehingga mengacaukan fungsi seluruh kelenjar tubuh, di antaranya kelenjar pancreas. Dia menyarankan si Arab untuk mengkonsultasikan hal ini pada tim dokter yang menangani adik. Meminta agar tim dokter RSPC yang menanganinya mulai memperhatikan keberadaan tumor tersebut sebagai penyebab tidak terkendalinya DM yang diderita adik.
Namun sayang sekali, tim dokter menampik dengan tegas perkiraan adik saya itu.
“Tidak ada hubungan sama sekali antara atas (maksudnya tumor di kepala) dengan DMnya.Pankreatitis yang diderita, semata-mata sebagai komplikasi dari DM. Nah itu yang akan kami tangani”
Begitulah, bertahun-tahun adik saya tidak henti–hentinya keluar – masuk RSPC. Anak-anaknya mengistilahkan RSPC sebagai pesantren tempat ibunya mondok. Semua orang stress dibuatnya. Masuk dan keluar rumah sakit menjadi berita rutin yang membuat kami menjadi tidak sensitive lagi mendenganrnya dan malah menjadi semakin “sebal”. Sebal tentu saja, karena usul untuk mencari second opinion dan bahkan pindah rumah sakit, terutama ke RSCM dengan pertimbangan disini banyak dokter ahli dan pusat rujukan RS se Indonesia atau minimal ke Bandung agar bias dirawat di RS bawah pengawasan adik saya E, selalu ditampik si Arab dengan berbagai dalih. Mempengaruhi adik untuk mengikuti keinginan kami agar dia bersedia pindah rumah sakit juga tidak berhasil.
“Terserah abang saja”, begitu selalu jawabnya. Jawaban yang membuat kami, kakak-kakaknya yang menginginkan kesembuhannya, menjadi sebal. Kami betul–betul kehilangan akal dibuatnya.
Bulan Mei 2007, YY dirawat lagi di RSPC selama satu bulan. Sudah habis–habisan semuanya. Semuanya betul–betul lelah lahir batin. Bukan saja anak dan suaminya saja yang merasakannya, tapi seluruh keluarga besar. SI Arab masih juga keras kepala tidak mengijinkan istrinya pindah ke RSCM. Entah bagaimana caranya mengubah pikirannya.
Sampai suatu malam, saya teringat, ada suatu rencana yang pernah terucap namun sudah satu tahun berlalu, rencana tersebut belum juga terlaksana. Usai menjenguk adik di rspc, dalam perjalanan pulang saya membicarakan kembali rencana tersebut dengan suami. Harus segera dilaksanakan, sekaligus memohon doa kesembuhan bagi ibu dan adik saya yang sama-sama menderita DM. setelah menghitung-hitung biaya, kami menelpon adik bungsu, lelaki di Bandung, meminta bantuannya agar rencana tersebut dapat dilaksanakan sekaligus prasyarat mendoakan kesembuhan ibu dan adik saya
Begitulah, rencana tersebut sudah terlaksana. Kami berbaik sangka saja dan tentunya sangat percaya bahwa Allah SWT akan menunjukkan cara dan jalan bagi kesembuhan keduanya terutama adik saya yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Bayangkan saja, tahun 2007, dari Januari hingga akhir Agustus ini saja rata-rata 1x per bulan dia di rawat di RSPC dengan rata masa inapnya 3 minggu. Jadi. Setiap masa rawatnya, hanya ada jeda 1 minggu saja dia tinggal di rumah.
Awal September 2007, adik saya masuk lagi ke RS. Saya sudah merasa “muak” dengan berita seperti itu. Jenuh dengan blunder yang diciptakan oleh dokter-dokter termasuk juga oleh adik dan suaminya. Sukar untuk “memecahkan” keterikatan satu sama lain agar adik bisa keluar dari rs tersebut dan ditangani oleh tim dokter dari rs yang lain.
Entah apa yang terjadi, setelah dua minggu di rs, pada awal-awal bulan Ramadhan, si Arab mengabarkan bahwa secara coincidence, saat harus konsultasi kepada dokter mata karena penglihatannya semakin mengabur, dokter matanya absent sehingga dia ditangani oleh dr Rita. Si dokter ini dengan santai mengatakan bahwa penglihatan adik akan kembali normal apabila tumor diangkat. RSCM, di bawah supervisi Prof Padmo Santjojo telah berhasil menangani 3 pasien, kesemuanya berhasil. Bahkan salah satu pasien adalah dokter yang kemudian bisa berpraktek kembali dengan baik.
Mendengar kabar ini, adik saya begitu antusias dengan kesempatan untuk meraih kesembuhan. Kesembuhan yang terjangkau. Sebetulnya operasi tumor sempat menjadi rencana. Namun dokter rspc menyebutkan angka antara 600 – 800 juta untuk biaya operasi tersebut termasuk operasi plastic untuk menyamarkan bekas sayatan luka operasi. Itulah yang menyebabkan operasi pengangkatan tumor tidak pernah terlaksana. Apalagi dokter rspc sudah tegas-tegas menyatakan tidak ada hubungan antara keberadaan tumor dengan pankreatitis. Sementara adik saya E sangat yakin bahwa pankreatitis dan rusaknya luas pandang adik saya disebakan oleh tumor tersebut.
Si Arab kemudian meminta dukungan kami atas rencana operasi tumor di rscm dan berusaha agar seluruh rangkaian prosedur operasi tersebut berada di bawah kendari Prof Padmo. Tinggal lagi menunggu kondisi adik sedikit membaik agar cukup mampu melaksanakan perjalanan transfer dari rspc di ujung selatan Jakarta ke rscm.
Begitulah, Jum’at 5 Oktober 2007 menjadi “hari bersejarah”. Perjalanan transfer dari rspc ke rscm berjalan baik, Prof Padmo menyediakan waktu yang cukup untuk memperhatikan kondisi adik yang sudah sangat kritis dan langsung “memerintahkan” seluruh jajarannya untuk segera menangani rencana operasi.
Week end pertama di bulan Oktober 2007 menjadi hari yang sibuk bagi tim dokter yang ditunuk prof Padmo untuk operasi adik saya. Serangkaian persiapan pra operasi dilaksanakan. Berbagai test laboratorium, MRI, CT scan, transfusi darah dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu. Hari Senin seluruh hasil laboratorium sudah tersedia untuk dianalisa. Dokter sempat menawarkan bila adik ingin berlibur dulu sebelum melaksanakan operasi karena bila operasi segera dilaksanakan, maka adik tidak akan berlebaran di rumah.
Entahlah… apakah tawaran tersebut memang untuk memberikan adik kesempatan berlebaran dengan keluarga. Atau karena mereka tahu bahwa operasi tersebut merupakan operasi besar yang sangat beresiko dan tim dokter kahwatir adik tidak mampu melewati masa kritis. Maklum saja, sebelum transfusi darah, kadar HBnya di bawah 8 dan PH darahnya asam sehingga ada resiko perdarahan yang hebat. Gula darahnya masih cukup tinggi, untuk itu pula adik harus dibekali dengan obat anti perdarahan yang harganya 3,5 juta per ampul.
Namun kami sudah bersepakat, ditundapun tidak menjamin bahwa kondisi adik akan lebih baik. Mengingat perjalanan penyakitnya selama ini, malah bukan tidak mungkin kondisi adik malah akan memburuk. Jadi, lebih baik melakukan operasi pengangkatan tumor sesegera mungkin.
Selasa 9 Oktober jam 10.00, adik masuk ke ruang operasi di rscm dan baru keluar pada jam 16.30. Usai melewati masa kritis selama 8 hari di ICU, sekarang dia sudah kembali ke ruang perawatannya di paviliun Cendrawasih. Pandangannya yang semula kabur ( 5% dan 45% saja) sudah berangsur kembali jelas. Dia sudah bisa melihat tv kembali. Pola diet ketat yang semula dilakukan selama dalam perawatan di rspc, di rscm dijungkir-balikkan. Apa-apa yang dilarang untuk dimakan, sekarang malah dianjurkan untuk dimakan. Pola makan seimbang. Begitu katanya. Semoga ini menjadi akhir dari segala penderitaannya. Tinggal lagi mengatur pola hidup dan pola makannya agar DM bisa terkendali dengan baik.
*****
Apa yang diperoleh dari semua pengalaman ini? Ternyata kita tidak bisa mengandalkan pada diagnosa dan prosedur pengobatan yang dilakukan dokter. Pasienpun harus pro aktif dan kritis terhadap seluruh tindakan yang dianjurkan dan akan diambil oleh dokter.
Ada dokter yang kritis dan mau belajar dari kasus-kasus yang ditanganinya untuk memperluas wawasan sekaligus mengasah dan mempertajam ketrampilannya dalam menangani penyakit. Namun kebanyakan dokter terutama yang berpraktek di rumah sakit swasta di Jakarta sudah menjadi robot-robot ekonomi yang tidak lagi sensitif terhadap penderitaan pasien. Merekapun seakan lupa pada janji dan etika profesinya.
Atau mungkin karena patient (orang sakit) juga berarti patient (sabar). Jadi, patient must be patient ….. orang sakit harus sabar. Nggak boleh protes, mesti pasrah.
Tuesday, October 16, 2007, 5:27:13 PM