“Perempuan itu memang bukan perempuan baik-baik, bu…! Suami saya sekarang sudah tinggal sama dia dan malah saya denger sudah kawin siri”. Suara perempuan itu terdengar sangat berapi-api mencela kelakuan “madu”nya.
Agak terperangah, saya mendengar “kemarahan”nya, saat saya terpaksa memanggilnya ke ruang kerja. Atasannya “kurang nyaman” menegurnya. Dia tentu sudah mendengar bahwa saya yang “membawanya” masuk kerja di proyek. Ini kebiasaan di Indonesia, kalau seorang karyawan “dibawa” oleh seseorang dan kebetulan seseorang itu punya jabatan, maka bisa dipastikan tidak ada yang berani menegurnya bila yang bersangkutan melakukan kesalahan.
Sebetulnya saya enggan menegurnya. Bukan karena dia adalah “bawaan” saya, tetapi karena masalahyang dihadapinya adalah masalah keluarga. Perselingkuhan suami yang mengakibatkan semua rekan kerjanya berkeberatan atas perilakunya. Sering bolos untuk sekedar “menguntit” sang suami. Kalaupun masuk kerja, dia lebih sering melalaikan tugasnya, Menggunakan telpon hampir sepanjang hari, melamun atau “curhat” tak kenal waktu kepada semua orang sehingga akhirnya bukan lagi simpati yang diperolehnya, tetapi berbalik menjadi antipati.
“Jangan menyalahkan orang lain. Jangan melihat perempuan lain itu dari profesinya sebagai hostess. Kalau suamimu lelaki baik-baik, tentu dia akan mampu menjaga diri dari godaan duniawi”
“Tapi suami saya bilang, dia khilaf …..”
“Oh…? Ini perselingkuhan yang pertama kali? Lalu, dia minta maaf dan kemudian berjanji untuk kembali kepada keluarga dan menceraikan perempuan itu?”
“Nggak sih bu …. Dari dulu dia memang begitu….! Kan kerjaannya sering keluar kota….!”
“Nah…, kalau kamu tahu, suamimu memang sering main perempuan, kan cuma ada dua pilihan; telan atau minta cerai. Nggak perlu rebut-ribut kesana-kemari”
“Tapi bu, saya masih cinta! Lagipula kasihan anak-anak…!”
“Suamimu bagaimana? Kalau dia memang merasa khilaf dan kamu mampu memaafkan, ya ajak dia ngomong baik-baik agar mau kembali kepada keluarga dan melupakan perempuan itu”
“Dia nggak mau bu.. dia bilang, kalau putus sama perempuan itu, masih banyak yang ngantri!”
“Ya kalau begitu, pilihannya cuma dua; terima aja kalo kamu punya madu atau cerai! Kalau saya sih, mending cerai aja. Buat apa dipertahankan…? Biaya rumahtangga sudah nggak dikasih lagi, nggak pernah pulang dan dia juga nggak mau lepas kebiasaan main perempuan. Alasan apa lagi untuk mempertahankan.”
“Kasihan anak-anak bu…!”
“Anak-anak itu gimana ibunya. Sakit memang, tapi membesarkan anak dalam kemarahan bukan solusi yang baik. Lagipula, siapa tahu ini adalah jalan terbaik yang diperlihatkan Allah SWT. Kalau kamu bercerai, siapa tahu nanti dapat jodoh yang lebih baik.”
“Saya masih ingin kasih kesempatan buat dia…”
“Aduh… kamu ini gimana sih? Gini deh, ini urusan pribadi kamu. Saya cuma mau bilang bahwa semua orang complain atas kinerja kamu selama satu bulan ini. Sering bolos. Kalau di kantor lebih banyak telpon sana-telpon sini ngurusin perselingkuhan suami, curhat sehingga mengganggu teman kerja atau bengong membiarkan pekerjaan tertumpuk di atas meja. Saya menawarkan … ambil cuti di luar tanggungan perusahaan.”
“Maaf bu, saya janji nggak bolos-bolos lagi”
“OK, Buat saya juga enggak enak! Bulan puasa begini mesti ngomong keras sama kamu. Kita lihat ya… hari kerja menjelang libur Idul Fitri tinggal satu minggu lagi. Kalau ternyata tidak ada perbaikan, maka hari pertama masuk kerja nanti akan turun SP1 buatmu.”
Kepada managernya, saya sampaikan rencana itu untuk dijalankan.
*****
Ini nggak enaknya ngurusin personalia. Urusan rumahtangga orang jadi bagian dari pekerjaan. Tapi di luar hal tersebut, ternyata pernikahan menyebabkan ketergantungan perempuan kepada lelaki. Dan repotnya si perempuan menyembunyikan ketergantungan itu dengan berlindung di balik kepentingan anak-anaknya. Eh, benar nggak kesimpulan saya ini?
Agak terperangah, saya mendengar “kemarahan”nya, saat saya terpaksa memanggilnya ke ruang kerja. Atasannya “kurang nyaman” menegurnya. Dia tentu sudah mendengar bahwa saya yang “membawanya” masuk kerja di proyek. Ini kebiasaan di Indonesia, kalau seorang karyawan “dibawa” oleh seseorang dan kebetulan seseorang itu punya jabatan, maka bisa dipastikan tidak ada yang berani menegurnya bila yang bersangkutan melakukan kesalahan.
Sebetulnya saya enggan menegurnya. Bukan karena dia adalah “bawaan” saya, tetapi karena masalahyang dihadapinya adalah masalah keluarga. Perselingkuhan suami yang mengakibatkan semua rekan kerjanya berkeberatan atas perilakunya. Sering bolos untuk sekedar “menguntit” sang suami. Kalaupun masuk kerja, dia lebih sering melalaikan tugasnya, Menggunakan telpon hampir sepanjang hari, melamun atau “curhat” tak kenal waktu kepada semua orang sehingga akhirnya bukan lagi simpati yang diperolehnya, tetapi berbalik menjadi antipati.
“Jangan menyalahkan orang lain. Jangan melihat perempuan lain itu dari profesinya sebagai hostess. Kalau suamimu lelaki baik-baik, tentu dia akan mampu menjaga diri dari godaan duniawi”
“Tapi suami saya bilang, dia khilaf …..”
“Oh…? Ini perselingkuhan yang pertama kali? Lalu, dia minta maaf dan kemudian berjanji untuk kembali kepada keluarga dan menceraikan perempuan itu?”
“Nggak sih bu …. Dari dulu dia memang begitu….! Kan kerjaannya sering keluar kota….!”
“Nah…, kalau kamu tahu, suamimu memang sering main perempuan, kan cuma ada dua pilihan; telan atau minta cerai. Nggak perlu rebut-ribut kesana-kemari”
“Tapi bu, saya masih cinta! Lagipula kasihan anak-anak…!”
“Suamimu bagaimana? Kalau dia memang merasa khilaf dan kamu mampu memaafkan, ya ajak dia ngomong baik-baik agar mau kembali kepada keluarga dan melupakan perempuan itu”
“Dia nggak mau bu.. dia bilang, kalau putus sama perempuan itu, masih banyak yang ngantri!”
“Ya kalau begitu, pilihannya cuma dua; terima aja kalo kamu punya madu atau cerai! Kalau saya sih, mending cerai aja. Buat apa dipertahankan…? Biaya rumahtangga sudah nggak dikasih lagi, nggak pernah pulang dan dia juga nggak mau lepas kebiasaan main perempuan. Alasan apa lagi untuk mempertahankan.”
“Kasihan anak-anak bu…!”
“Anak-anak itu gimana ibunya. Sakit memang, tapi membesarkan anak dalam kemarahan bukan solusi yang baik. Lagipula, siapa tahu ini adalah jalan terbaik yang diperlihatkan Allah SWT. Kalau kamu bercerai, siapa tahu nanti dapat jodoh yang lebih baik.”
“Saya masih ingin kasih kesempatan buat dia…”
“Aduh… kamu ini gimana sih? Gini deh, ini urusan pribadi kamu. Saya cuma mau bilang bahwa semua orang complain atas kinerja kamu selama satu bulan ini. Sering bolos. Kalau di kantor lebih banyak telpon sana-telpon sini ngurusin perselingkuhan suami, curhat sehingga mengganggu teman kerja atau bengong membiarkan pekerjaan tertumpuk di atas meja. Saya menawarkan … ambil cuti di luar tanggungan perusahaan.”
“Maaf bu, saya janji nggak bolos-bolos lagi”
“OK, Buat saya juga enggak enak! Bulan puasa begini mesti ngomong keras sama kamu. Kita lihat ya… hari kerja menjelang libur Idul Fitri tinggal satu minggu lagi. Kalau ternyata tidak ada perbaikan, maka hari pertama masuk kerja nanti akan turun SP1 buatmu.”
Kepada managernya, saya sampaikan rencana itu untuk dijalankan.
*****
Ini nggak enaknya ngurusin personalia. Urusan rumahtangga orang jadi bagian dari pekerjaan. Tapi di luar hal tersebut, ternyata pernikahan menyebabkan ketergantungan perempuan kepada lelaki. Dan repotnya si perempuan menyembunyikan ketergantungan itu dengan berlindung di balik kepentingan anak-anaknya. Eh, benar nggak kesimpulan saya ini?