Hari ke 2 Syawal 1430H ditandai dengan berita duka dari Balaikota DKI Jakarta. Ribuan orang yang mungkin dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah, tua dan muda telah antri untuk bertemu dan bersilaturahim dengan pemimpinnya. Apalagi ada iming-iming mendapat bingkisan dan uang Rp.40.000,-
Perayaan hari Raya Idul Fitri yang diawali dengan ibadah shaum alias puasa seringkali disebut hari kemenangan. Entah kemenangan dari atau atas apa, jarang orang bertanya. Kalau kemenangan itu patut dirayakan karena selama satu bulan lamanya kita HANYA telah berhasil menahan LAPAR dan HAUS, mungkin ya... karena itulah yang selalu ditakutkan oleh Rasul SAW. Umat Islam hanya meraih lapar dan haus selama satu bulan, tetapi tidak mendapat makna apa-apa dari ibadah shaum.
Hari ke 2 Syawal 1430 H, diawali dengan berita, begitu banyak perempuan yang tergencet dan pingsan berebut kesempatan mendapat bingkisan dan uang dari gubernur DKI dan wakilnya di Balaikota DKI Jakarta yang megah.... sementara selama satu bulan kita dianjurkan untuk memperbanyak sedekah. Mengeluarkan Infaq dan menunaikan zakat maal maupun zakat fitrah. Konon kekuatan zakat tersebut sangat luar biasa.... Konon pula katanya, zakat yang terhimpun selama 1 bulan itu bisa mencapai lebih dari 1 trilyun....
Entah kemana zakat dibagikan... tentu kita harus mempercayai amil zakat yang telah menerima amanah dari para muzakki. Rasanya para amil zakat tidak akan pernah berani menyelewengkan amanah menyalurkan zakat, infaq dan sodaqoh. Mereka tentu dari golongan yang sangat amanah karena berat konsekuensinya menjadi anggota amil zakat....
Kalau begitu, apa yang salah dari pengelolaan zakat? Kenapa bertahun-tahun zakat ditunaikan... mungkin telah puluhan trilyun dikucurkan tetapi jumlah kaum dhuafa di Indonesia tidak berkurang. Tentu ada yang salah di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Yang pertama mungkin karena zakat lebih banyak ditunaikan selama bulan Ramadhan dimana pada bulan ini pula terjadi peningkatan kebutuhan. Ironi memang.... bulan dimana kita menahan lapar dan haus di siang hari, ternyata tidak selaras dengan pengeluaran rutin rumah tangga. Konon ada tambahan makanan "yang wajib ada" selama ramadhan, yaitu kolak, kurma dan sirup untuk berbuka. Menjelang akhir Ramadhan pengeluaran bertambah banyak dengan belanja persiapan Hari Raya berupa makanan (ketupat+kelengkapannya, kue-kue) baik untuk disantap di rumah maupun kue-kue untuk bingkisan kerabat dan relasi ditambah dengan baju dan mukena baru. Belum lagi dana yang harus dipersiapkan untuk pengeluaran transportasi mudik dan "angpao" untuk anak-keponakan, orangtua dan mertua. Yang lebih mampu bahkan mendandani penampilan rumahnya dengan mengecat, mengganti gordijn, furniture dan lain-lainnya.
Itulah ritual Ramadhan dan Idul Fitri yang sudah melekat menjadi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia baik dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah hingga golongan berpunya. Maka tidak heran, bila menjelang Idul Fitri alias lebaran, banyak orang menjadi sakit jiwa dan stress. Malu karena, jangankan untuk pulang kampung. Baju baru untuk anakpun belum terbeli.... Bahkan, seorang teman yang berpunyapun "heboh" karena belum sempat membeli mukena baru, karena memakai mukena baru saat shalat Ied merupakan TRADISI keluarga, padahal patut diyakini andaipun dia tidak menggunakan mukena barupun, tidak akan ada satu orangpun yang tahu.
Bisa jadi, pola pemanfaatan zakat untuk hal-hal yang bersifat konsumtif membuat besaran dana yang terkumpul dan tersalurkan menjadi bagai setetes air ditengah kegersangan udara. Mirip dengan suasana gersang yang melingkupi langit Jakarta selama dua hari ini. Memang tidak mudah mengubah paradigma perayaan Idul Fitri yang konsumtif ini.
Yang Kedua, bisa jadi memang jumlah orang miskin di Indonesia termasuk di Jakarta bertambah banyak. Bukan sekedar miskin fisik ... yaitu secara kasat mata memang terlihat miskin yang ditandai dengan buruknya fasilitas tempat tinggal, penghasilan rendah dan tidak tetap dan lain-lain. Tetapi yang lebih parah adalah "miskin hati nurani". Walaupun secara fisik sudah melewati fase miskin fisik, tetapi hati nuraninya tetap miskin sehingga dia akan selalu membanding-bandingkan keadaanya dengan para tetangga atau keluarga lainnya. Akibatnya dia akan selalu merasa kekurangan. Sehingga, bila ada orang lain memperoleh "sedikit keberuntungan" maka golongan yang miskin hati nuranipun "merasa punya hak yang sama" untuk mendapat bingkisan tersebut.
Jadi... apa hikmah yang kita peroleh selama bulan Ramadhan selain lapar dan haus? Sudah mampukan kita menahan diri dari nafsu "mendandani diri sendiri" dengan segala kemewahan sementara di luar sana masih banyak masyarakat yang berebut "kemurahan hati para muzakki", bahkan dengan mengorbankan kehormatan dan keselamatan jiwanya.
Sudah mampukah kita menahan diri dari nafsu "memakan segala yang ada di depan mata", dari ketupat+sayur godog yang sederhana hingga kue-kue lezat ala hidangan hotel berbintang lima seolah tiada hari esok.
Atau... memang taraf kita untuk memaknai ibadah Shaum dan meraih kemenangan memang masih dalam taraf pesta pora. Wallahu'alam
Selamat Idul Fitri 1430 H
Minal Aidin wal faidzin
Taqobballahu minna wa minkum
Perayaan hari Raya Idul Fitri yang diawali dengan ibadah shaum alias puasa seringkali disebut hari kemenangan. Entah kemenangan dari atau atas apa, jarang orang bertanya. Kalau kemenangan itu patut dirayakan karena selama satu bulan lamanya kita HANYA telah berhasil menahan LAPAR dan HAUS, mungkin ya... karena itulah yang selalu ditakutkan oleh Rasul SAW. Umat Islam hanya meraih lapar dan haus selama satu bulan, tetapi tidak mendapat makna apa-apa dari ibadah shaum.
Hari ke 2 Syawal 1430 H, diawali dengan berita, begitu banyak perempuan yang tergencet dan pingsan berebut kesempatan mendapat bingkisan dan uang dari gubernur DKI dan wakilnya di Balaikota DKI Jakarta yang megah.... sementara selama satu bulan kita dianjurkan untuk memperbanyak sedekah. Mengeluarkan Infaq dan menunaikan zakat maal maupun zakat fitrah. Konon kekuatan zakat tersebut sangat luar biasa.... Konon pula katanya, zakat yang terhimpun selama 1 bulan itu bisa mencapai lebih dari 1 trilyun....
Entah kemana zakat dibagikan... tentu kita harus mempercayai amil zakat yang telah menerima amanah dari para muzakki. Rasanya para amil zakat tidak akan pernah berani menyelewengkan amanah menyalurkan zakat, infaq dan sodaqoh. Mereka tentu dari golongan yang sangat amanah karena berat konsekuensinya menjadi anggota amil zakat....
Kalau begitu, apa yang salah dari pengelolaan zakat? Kenapa bertahun-tahun zakat ditunaikan... mungkin telah puluhan trilyun dikucurkan tetapi jumlah kaum dhuafa di Indonesia tidak berkurang. Tentu ada yang salah di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Yang pertama mungkin karena zakat lebih banyak ditunaikan selama bulan Ramadhan dimana pada bulan ini pula terjadi peningkatan kebutuhan. Ironi memang.... bulan dimana kita menahan lapar dan haus di siang hari, ternyata tidak selaras dengan pengeluaran rutin rumah tangga. Konon ada tambahan makanan "yang wajib ada" selama ramadhan, yaitu kolak, kurma dan sirup untuk berbuka. Menjelang akhir Ramadhan pengeluaran bertambah banyak dengan belanja persiapan Hari Raya berupa makanan (ketupat+kelengkapannya, kue-kue) baik untuk disantap di rumah maupun kue-kue untuk bingkisan kerabat dan relasi ditambah dengan baju dan mukena baru. Belum lagi dana yang harus dipersiapkan untuk pengeluaran transportasi mudik dan "angpao" untuk anak-keponakan, orangtua dan mertua. Yang lebih mampu bahkan mendandani penampilan rumahnya dengan mengecat, mengganti gordijn, furniture dan lain-lainnya.
Itulah ritual Ramadhan dan Idul Fitri yang sudah melekat menjadi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia baik dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah hingga golongan berpunya. Maka tidak heran, bila menjelang Idul Fitri alias lebaran, banyak orang menjadi sakit jiwa dan stress. Malu karena, jangankan untuk pulang kampung. Baju baru untuk anakpun belum terbeli.... Bahkan, seorang teman yang berpunyapun "heboh" karena belum sempat membeli mukena baru, karena memakai mukena baru saat shalat Ied merupakan TRADISI keluarga, padahal patut diyakini andaipun dia tidak menggunakan mukena barupun, tidak akan ada satu orangpun yang tahu.
Bisa jadi, pola pemanfaatan zakat untuk hal-hal yang bersifat konsumtif membuat besaran dana yang terkumpul dan tersalurkan menjadi bagai setetes air ditengah kegersangan udara. Mirip dengan suasana gersang yang melingkupi langit Jakarta selama dua hari ini. Memang tidak mudah mengubah paradigma perayaan Idul Fitri yang konsumtif ini.
Yang Kedua, bisa jadi memang jumlah orang miskin di Indonesia termasuk di Jakarta bertambah banyak. Bukan sekedar miskin fisik ... yaitu secara kasat mata memang terlihat miskin yang ditandai dengan buruknya fasilitas tempat tinggal, penghasilan rendah dan tidak tetap dan lain-lain. Tetapi yang lebih parah adalah "miskin hati nurani". Walaupun secara fisik sudah melewati fase miskin fisik, tetapi hati nuraninya tetap miskin sehingga dia akan selalu membanding-bandingkan keadaanya dengan para tetangga atau keluarga lainnya. Akibatnya dia akan selalu merasa kekurangan. Sehingga, bila ada orang lain memperoleh "sedikit keberuntungan" maka golongan yang miskin hati nuranipun "merasa punya hak yang sama" untuk mendapat bingkisan tersebut.
Jadi... apa hikmah yang kita peroleh selama bulan Ramadhan selain lapar dan haus? Sudah mampukan kita menahan diri dari nafsu "mendandani diri sendiri" dengan segala kemewahan sementara di luar sana masih banyak masyarakat yang berebut "kemurahan hati para muzakki", bahkan dengan mengorbankan kehormatan dan keselamatan jiwanya.
Sudah mampukah kita menahan diri dari nafsu "memakan segala yang ada di depan mata", dari ketupat+sayur godog yang sederhana hingga kue-kue lezat ala hidangan hotel berbintang lima seolah tiada hari esok.
Atau... memang taraf kita untuk memaknai ibadah Shaum dan meraih kemenangan memang masih dalam taraf pesta pora. Wallahu'alam
Selamat Idul Fitri 1430 H
Minal Aidin wal faidzin
Taqobballahu minna wa minkum