Setelah saya berikan alamat persisnya, beberapa hari kemudian saya menerima undangan tersebut. Alhamdulillah, dia masih ingat untuk mengundang teman-teman lamanya. Bisa jadi hal ini dilandasi untuk menfasilitasi teman-teman lamanya untuk melaksanakan reuni gratis heheheh .... Semangat menyambung tali silaturahim yang patut dihargai.
Saat membaca nama - nama pengundang, yaitu nama orang tua mempelai, saya agak tertegun... Bukan karena jumlahnya yang ternyata 3 pasang, yaitu 2 pasang berasal dari keluarga perempuan dan satu pasang dari keluarga lelaki, tetapi karena saya merasa nama salah satu istri pengundang agak familiar. Nama yang berasal dari "masa remaja" nun jauh di seberang... Apalagi dipadukan dengan nama suaminya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak dan alamat rumahnya.
Tidak salah lagi .... karena belasan tahun yang lalu, sekitar beberapa bulan setelah kelahiran anak saya yang ke dua, saya pernah bertemu di sebuah RS di bilangan Bekasi. Saat itu dia yang juga berprofesi dokter, sedang menunggu sang suami.
Segera saja kutelpon mantan teman kantorku itu untuk meminta nomor telpon genggam calon besan perempuannya yang menjadi ibu tiri calon menantunya itu.
Singkat kata, berbekal nomor telpon genggam pemberian temanku, beberapa hari kemudian, hari minggu pagi, sambil menunggu asisten rumah membeli ketupat sayur di pelataran parkir dekat pasar pondok labu, kukirim sms kepada temanku tersebut, memberitahukan bahwa aku mendapat undangan untuk hadir dalam pernikahan anak tirinya tersebut dan bermaksud menghadirinya.
Di luar dugaan, alih-alih menjawab sms ku, teman lamaku itu malah langsung menelpon ... hihihi... inilah kemudahan dan dampak kemajuan teknologi komunikasi - sedang berbelanja di pasarpun bisa tetap berkomunikasi. Cerita panjang lebar, bernostalgia mengenai teman-teman lama kami saat di bangku SMA dulu.
Sebetulnya... teman lama ini adalah kawan sekelas adik perempuanku, tapi karena kami tinggal bersebelahan rumah dan kebetulan dia tinggal dengan kakak iparnya yang saat itu menjabat sebagai wakil kepala cabang suatu bank, maka kami cukup saling mengenal seluruh isi keluarga masing-masing.
Dua hari kemudian, saat berada di kantor, secara tiba-tiba aku menerima sms berisi penjelasan mengenai keluarga dan status anak-anaknya. Kaget juga aku membacanya .... Entah apa yang ada di dalam benak temanku, hingga dia merasa harus menjelaskan bagaimana dia melaksanakan pernikahannya dulu serta status anak-anaknya. Sumpah mati ... sama sekali tak pernah terlontar pertanyaan tentang hal itu. Itu urusan pribadi mereka.
Aku memang pernah mendengar cerita tentang pernikahannya tersebut dari adikku yang memiliki profesi yang sama dengan suaminya. Tapi... untuk apa mengusili urusan rumah tangga orang lain? Itu sebab ... aku hanya menjawab singkat..."ya, sudah pernah dengar ..... !
Hari Minggu, saat dilangsungkan resepsi pernikahan tersebut, aku hadir sendiri. Anakku sedang bermalas-malasan, kalau diperintahkan mandi lebih pagi. Mengikuti kebiasaan bapaknya, hari Minggu adalah hari santai dimana semua orang merasa "bebas" untuk mandi sesuka hati. Kebiasaan jelek yang tak patut ditiru.
Suamiku, sudah sejak pagi keluar rumah. Hari Minggu adalah jadwalnya latihan senam pernafasan Sinar Putih. Pulang dari tempat latihan, usai sarapan pagi yang sudah sangat terlamabta, sekitar jam 10.30, biasanya acara memeluk guling tidak bisa diganggu gugat.
Jadi.... kalau aku punya undangan dan dia sedang berbaik hati untuk ikut hadir, biasanya dia akan mengorbankan waktu latihannya. Namun kali itu, dia "berkeras" latihan karena minggu sebelumnya, kami pergi ke Bandung menjenguk ibuku yang baru usai melakukan operasi penggantian sendi pangkal paha kanannya.
Aku berangkat sendiri dari rumah sekitar jam 10.45, langsung mengambil jalan bebas hambatan menuju lokasi. Kebetulan bertemu beberapa teman lama dari kantor yang sama dengan orangtua mempelai lelaki. Kami ngobrol kesana-kemari. Memang begitulah motivasi kami hadir di acara pernikahan tersebut. REUNI.....
Rupanya, mereka juga agak "curious" dengan adanya 3 keluarga pengundang. Itu sebab kami memilih tempat berdiri agak dekat dengan pelaminan, dengan harapan agar kami bisa "melihat" dari dekat serta mendapat kesempatan awal memberi selamat kepada keluarga yang berbahagia tersebut.
Tiba saat pengantin dan keluarga berjalan menuju pelaminan, mataku menangkap sosok seorang perempuan yang sedang duduk di kursi roda dan seorang lelaki ganteng. Si perempuan, setelah kuperhatikan, ternyata menggunakan warna kebaya yang sama dengan orang tua pengantin yang sedang berjalan mengiringi pengantin menuju pelaminan, sedangkan sang pria juga memakai pakaian Jawa berblangkon. Tidak salah lagi ... ini tentu ibu pengantin perempuan disertai suami barunya.
Menjelang rombongan pengantin tiba di pelaminan, ibu kandung pengantin perempuan bangkit dari kursi rodanya. Berjalan perlahan tertatih-tatih sambil dipapah suaminya... dia berjalan dan duduk berdampingan dengan mantan suami dan istri "baru"nya. Memang agak terlihat tidak biasa ... apalagi saat itu sama sekali tidak terlihat adanya saling sapa di antara ke dua pasangan suami istri itu. Unik .....
Salah satu temanku sempat nyeletuk usil .... " lihat deh ... suaminya (bapak dari pengantin perempuan) mendapat istri yang lebih cantik, langsing dan lebih muda - begitu juga dengan ibunya. Usai diceraikan suami, dia yang terlihat sakit, mendapat suami yang juga lebih muda dan ganteng"
Kulihat seksama mereka yang ada di pelaminan.... Betul ... Sang suami Jawa yang wajahnya lebih pantas disebut wajah Minang - duduk berdampingan dengan istrinya (ini teman lamaku) yang jauh lebih segar dan cantik dibandingkan dengan mantan istrinya yang terlihat jauh lebih tua dan "sakit". Demikian juga mantan istri. Dia duduk tenang didampingi oleh suami yang terlihat gagah dan ganteng khas lelaki Jawa dengan kumisnya dan ..... terlihat jauh lebih muda dari wajah istrinya.
Entah apa yang berkecamuk di benak para undangan... Yang pasti, ke dua orangtua itu, walaupun sudah bercerai ... mereka punya hak dan kewajiban untuk "menyelesaikan" tugas, mengantar anak-anaknya ke gerbang pernikahan. Jadi memang.... mengapa harus malu dengan kondisi ini?
mmhh kog jadi inget sepupusepupuku juga nih mbak.. ada budeku kaya gitu, cerai dengan pakdhe, begitu anak2nya nikah, bersanding dengan suami dan istri baru masingmasing.. jadi ada 3 pasang orangtua tuh.. melihatnya gimana gitu.. tapi ya jalani saja.. ortu boleh cerai, anak2 tetep kompak..
BalasHapusBetul Tin.... dan ternyata untuk melakukannya perlu kebesaran hati dari seluruh pihak yang terkait...
BalasHapusYa dan tu nyatukan mreka kini.
BalasHapus