Buxerolles adalah wilayah kecil, sebesar kecamatan, kalau di Indonesia, yang letaknya bersebelahan dengan Poitiers, ibukota department du Poitou Charente. Mungkin, ibaratnya kira-kira, seperti Pondok Gede dengan Jakarta.
Wilayah ini kami kenal secara tidak sengaja dari tabloid iklan gratis saat kami mencari studio untuk tempat tinggal selama satu tahun. Masa yang diperkirakan suami untuk menyelesaikan kuliah dan meraih gelar DEA (diplome d’etudes approfondie). Sebetulnya kami sudah hampir putus asa mencari tempat tinggal. Beberapa pemilik tempat kos, yang dihubungi melalui telpon, menolak menerima kami saat mengetahui bahwa kami orang asing, Nama Indonesia terdengar begitu asing di telinga mereka. Mereka sama sekali tidak kenal Indonesia. Jadi mungkin dikiranya kami berasal dari salah satu negara terkebelakang di Afrika. Itu berarti masih barbar... tidak beradab, suka membuat onar. Jadi mereka segera menolak kami menyewa studio yang ditawarkan. Memang, begitulah persepsi orang Perancis yang tua-tua, terhadap mereka yang berasal dari negara bekas jajahannya di Afrika.
Berbekal dari pengalaman ditolak melalui telpon, kali itu kami memutuskan datang langsung ke alamat studio yang ditawarkan. Kami berjalan kaki dari asrama l’Ensma ke Buxerolles, sambil menikmati pemandangan baru, pohon berdaun kuning yang mulai melayang berguguran memasuki musim gugur. Strategi ini ternyata berhasil juga. Mereka agak terkejut bahwa ternyata kami berkulit kuning yang sering disebut, eksotis (kata mereka lho...!!!). Dengan demikian, tanpa banyak bicara, mereka segera memutuskan untuk menerima kami sebagai penyewa studio yang ditawarkan. Bahkan karena studio yang rencananya kami sewa, masih dihuni orang, kami diberikan kamar sementara.
Les Blanchet ... atau keluarga Blanchet beralamatkan di 65, rue du planty – Buxerolles. Sayang saya lupa kode posnya. Rumah mereka cukup luas untuk ukuran Perancis terdiri dari dua lantai. Lantai bawah, mereka menyebutnya rez de chausse terdiri dari gudang penyimpanan makanan kering, 2 buah studio ukuran masing-masing sekitar 36 m2 dan satu buah kamar ukuran 15m2. di atasnya, tempat tinggal mereka berdua. Di belakang rumah ada kebun yang ditanami dengan pohon apel, poire, fraise, prune serta sayur-sayuran seluas sekitar 1.000 m2. Di tengah kebun, juga ada 2 buah kamar yang disewakan. Umumnya penyewa studio adalah mahasiswa.
Mr et Mme Blanchet baru saja pensiun dari pekerjaan sebagai agen asuransi MAAF. Berumur masing-masing 65 dan 60 tahun tetapi masih segar dan sigap. Masih mampu melakukan seluruh pekerjaan tanpa pembantu seperti umumnya keluarga menengah di Perancis. Pagi-pagi madame sudah mengeluarkan mobil renault 5nya untuk berangkat belanja ke pasar. Sedangkan monsieur bergegas ke kebun, membersihkan rumput dan gulma. Jarak Buxerolles ke kampus Universite de Poitiers, tempat saya belajar bahasa perancis lumayan jauh. Harus 2 kali bus. Yang pertama dari Buxerolles ke l’Hotel de Ville (balai kota) lalu disambung bus lain menuju ke kampus yang terletak di avenue du recteur Pineau.
Bus dari Buxerolles ke kota sangat terjadwal. Pagi, dimulai dari jam 6 sampai dengan jam 8, melintas setiap a5 menit. Lalu berangsur setiap 1 jam sampai jam 16 . Kemudian 15 menit lagi sampai jam 18.15. Setelah itu tidak ada lagi. Sepi. ... Jadwal bus ditempel di setiap pemberhentian. Bus selalu datang tepat seperti jadwal yang tercantum Jadi jangan sampai terlambat, kalau tidak mau menunggu. Atau kita berjalan agak jauh lagi, kira-kira satu kilometer, ke les couronneries mencari bus dari rute yang lain.
Poitiers memang kota kecil yang kuno dan Buxerolles adalah salah satu kantung-kantung perumahan modern baru yang dikembangkan untuk menampung pertumbuhan jumlah penduduk. Kelihatannya Poitiers termasuk kota pelajar. Universitas de Poitiers konon kabarnya sudah berusia 500 (baca : lima ratus) tahun.
Tidak menunggu lama, kami segera berkemas dan pindah ke kamar yang disediakan. Biarlah bersempit-sempit dulu, yang penting sudah ada tempat tinggal. Tinggal di asrama, di lingkungan mahasiswa perancis, ternyata membuat kami agak stress. Dengan kemampuan bahasa yang ternyata masih sangat minim, kami selalu berusaha untuk tidak bertemu orang. Takut ditanya dan kami merasa tidak mampu menjawab. Ini sangat melelahkan.
Kami pindah awal bulan Nopember. Sudah memasuki musim gugur. Cuaca sudah mulai dingin, terutama bagi kami yang berasal dari negeri tropis. Namun pemanas ruang belum dinyalakan sehingga kami merasa agak kedinginan. Mau meminta untuk dinyalakan. Orang Indonesia memang ”nrimo” ... tapi yang jawaban yang jujur adalah karena kami tidak berani bicara.
Les Blanchet sangat ramah. Mungkin karena mereka hanya tinggal berdua dan kami yang berasal dari Asia dianggap sebagai ”manusia langka” Jadi perlu ditanya-tanya! Saking senangnya mendapat locataire (penyewa) yang datang dari negara antah berantah, mereka mengundang kami untuk ”gouter”. Icip-icip, undangan informal mengobrol sambil minum teh/kopi/anggur dan kue-kue kecil, pada hari kedua Natal. Ini betul-betul kesempatan langka, karena keluarga Perancis umumnya lebih individual dibandingkan dengan orang Indonesia.
Undangan yang sangat ”berharga” itu sesungguhnya menjadi beban berat bagi kami. Ini adalah ujian kemampuan kami untuk berbicara dalam bahasa perancis langsung dengan penutur aslinya. Menjelang hari H dan jam J itu, kami sibuk memikirkan dan menduga-duga apa yang sebaiknya dibicarakan.
Tiba saatnya, Les Blanchet sudah siap menunggu dan menyambut kami. Kamipun tidak lupa membawa souvenir dari Indonesia yang memang sudah dipersiapkan. Di luar dugaan ternyata bukan hanya Mr et mme Blanchet tua yang hadir. Ini rupanya betul-betul sisipan acara keluarga untuk ”menginterogasi mahluk asing” di rumah kakek nenek. Seluruh keluarga Blanchet hadir, anak-anak mereka, para menantu dan cucu-cucunya. Siap dan sigap dengan pertanyaan yang bertubi-tubi terutama dari anak-anak. Pertanyaan-pertanyaan yang menyiratkan ”dangkalnya” pengetahuan mereka tentang Indonesia. Bahkan salah satu cucunya menanyakan apakah di Indonesia, ada kentang.... Selama dua jam, kami terkurung, menjawab pertanyaan seperti pesakitan menghadapi persidangan dan dalam bahasa yang minim dan ucapan yang terbata-bata.
Menjelang tengah malam akhirnya les Blanchet melepaskan mangsanya. Wah..., lega rasanya. Beban berat yang menggelayut di kepala terasa, sekonyong-konyong dilepaskan dengan menyisakan rasa sakit kepala yang luar biasa.
Salam
La maison de ma mere - 18 juni 2005
Yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri dan.. Yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri #BadiuzzamanSaidNursi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺
Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa Mensholatkan kita... Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...
-
3/5 Berusaha dan terus berusaha. Hari itu, adalah hari ke 14 menstruasi ... Masih sederas hari pertama dan tidak ada tanda-tanda mereda...
-
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ...
-
Hari ini, Sabtu 18 Agustus 2007, majelis rumpi dibuka kembali. Mestinya classe conversation dimulai Sabtu tanggal 11. tapi karena hari sa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar