Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kontroversial itu telah meninggal dunia beberapa hari yang lalu dalam usia 81 tahun setelah menderita sakit. Bagaimanapun latar belakang Pramoedya Ananta Toer yang biasa disebut Pram, rakyat Indonesia layak merasa berduka karena kehilangan Pram. Ia adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang seringkali disebut-sebut pantas menerima hadiah Nobel bidang Sastra.
Sebelum memimpikan Nobel, mungkin ada baiknya kita juga mempertanyakan, apakah Pram layak menerima anugerah tertinggi bidang sastra dari pemerintah Indonesia, apapun lembaga yang akan memberikannya. Rasanya sampai sekarang, pemerintah atau katakanlah Dewan Kesenian Jakarta, yang seringkali memberikan anugerah sastra kepada pengarang/sastrawan Indonesia, belum pernah mengemukakan wacana untuk itu. Pram belum layak menerimanya atau tidak ada yang berani memberinya?
Mungkin belum ada yang berani memberikannya. Maklum, latar belakang Pram adalah tokoh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang lekat dan beraffiliasi pada PKI (partai komunis Indonesia). Kemudian, ada fakta yang tak terbantahkan bahwa Pram pernah ditahan selama bertahun-tahun di pulau Buru walaupun tanpa alasan yang jelas. Kedua fakta ini sudah cukup membuat orang merasa jeri membicarakannya, khawatir memancing polemik tajam di kalangan masyarakat.
Sejak tahun 1950an, hasil karya Pram sudah sering mendapat pernghargaan sastra. Sebut saja, diantaranya penghargaan dari Balai Pustaka untuk novel Perburuan dan hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional 1952-1953 untuk buku Cerita dari Blora. Karena itulah Pram dapat disebut sebagai tokoh sastrawan Indonesia yang berpengaruh pada jaman orde lama. Pada Musyawarah Kebudayaan Rakyat di Solo tahun 1959, Pram secara terbuka mengumumkan bahwa dia bergabubg dengan Lekra. Masuknya Pram ke dalam Lekra mengakibatkannya “menjadi seteru” bagi sastrawan kelompok penandatangan Manisfesto Kebudayaan, antara lain Hans Begue Yasin (HB Yasin).
Perkenalan dengan buku-buku karangan Pram.
“Perkenalan” dengan Pram dimulai pada tahun 1965an. Saat itu, saya masih berumur 9 tahun, tinggal di Garut – Jawa Barat dan baru duduk di kelas 4 SD Daya Susila. Di kamar tidur, ada meja belajar di mana tersusun buku-buku cerita koleksi ibu. Cukup banyak jumlahnya. Yang saya ingat, karena saya membacanya saat itu, antara lain Salah Asuhan – Marah Rusli, Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Di bawah Lindungan Kabah - Hamka, Sengsara Membawa Nikmat, si Doel anak Betawi – Aman Dt Madjoindo. Di samping itu juga ada buku Tenggelamnya kapal Van der Wijk nya Hamka, Habis Gelap Terbitlah Terang dan masih banyak lagi buku-buku hasil karya sastrawan Indonesia dari berbagai angkatan (whuahaha… ketahuan nggak hafal nama para sastrawan Indonesia…) Tentu terselip juga beberapa buku karangan Pram antara lain Panggil Aku Kartini Saja, Belenggu dan Perburuan.
Sungguh, pada saat itu saya tidak mengerti bahwa buku-buku yang tersusun rapi di rak kamar tidur itu, memiliki nilai sastra yang tinggi, sehingga tidak memeliharanya dengan baik. Bahkan saat kami sekeluarga pindah ke Karawang pada tahun 1968, buku itu tidak pernah terlihat lagi di rumah. Entah disimpan dimana buku-buku tersebut. Mungkin juga sudah dijual untuk menambah biaya rumah tangga.
Lama kemudian, setelah duduk di SMA, saya baru sadar bahwa kumpulan buku tersebut adalah karya sastra Indonesia – yang menjadi buku wajib baca pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Baru sekarang terasa sesal, betapa sebagai anak bangsa, kurang mempedulikan buku-buku hasil karya sastrawan terkenal Indonesia yang mewakili jamannya. Koleksi buku yang lumayan banyak itu hilang tak berbekas dan yang paling menyesakkan, sebagian besar buku-buku tersebut tidak lagi dapat diperoleh di toko buku.
Buku-buku Pram yang ada di rak atas meja belajar tersebut memang tidak pernah disentuh, apalagi dibaca. Tanpa alasan, tentu saja. Mungkin karena front cover nya kurang menarik (jaman tahun 1960an, mana ada cover book yang menarik … hehe), atau mungkin karena isinya terlalu berat buat dicerna oleh anak kelas IV SD dibandingkan dengan novel percintaan seperti Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya dan lain-lain. Tentu bisa dimaklumi, bila anak SD kelas IV, belum tertarik membaca buku hasil karya para sastrawannya.
Perkenalan yang sedikit lebih serius dengan karya Pram terjadi pada tahun 1980an di Perancis. Saat itu, buku pertama tetralogi hasil karya Pram selama di pulau Buru, yaitu Bumi Manusia diterbitkan untuk kemudian diberangus oleh rezim Suharto. Berita tersebut menyebar di kalangan masyarakat Indonesia yang tinggal di Eropa. Jadi semua merasa penasaran dan ingin membacanya. Tidak mudah memperoleh buku tersebut. Jangankan di Eropa, di Indonesia saja sudah jelas-jelas dilarang dan diberangus. Maklum, semua orang takut dicap PKI. Jadi kami saling mencuri dengar, siapa di antara kenalan yang memilikinya dan secara diam-diam bergantian meminjam.
Jujur saja, saat itu, membaca Bumi Manusia untuk pertama kali, bukan karena menikmati hasil karya Pram. Tetapi lebih dari sekedar ingin tahu, apa sih hebatnya Pram sampai bukunya dilarang dan dianggap membahayakan kehidupan generasi muda. Usai membaca Bumi Manusia, ternyata karangan Pram yang menghebohkan itu, belum juga memikat hati. Tidak terlalu istimewa … malah cenderung bertanya-tanya … kok isi buku seperti itu saja, mengkhawatirkan rezim Suharto. Dimana letak istimewanya?
Mengguncang Jiwa.
Tahun 2000an, usai tumbangnya rezim Suharto, hasil karya Pram dan buku-buku yang semula terlarang, mulai bertebaran di Gramedia. Saya mulai membeli dan membaca tetralogi Pram lengkap, masih dengan motivasi “ingin tahu keistimewaan dan kelanjutan Bumi Manusia”. Usai membacanya, masih belum bisa menikmati dan “tersentuh” oleh keindahan hasil karya Pram. Hingga suatu saat, saya membeli dan membaca buku “Arok dan Dedes. Saya betul-betul kagum. Luar biasa.
Ternyata ada juga orang Indonesia yang luas pengetahuannya dan secara detail bisa mendeskripsikan kejadian yang berlangsung berabab-abad sebelumnya. Tiga kali saya membaca ulang buku tersebut … Kagum dengan keistimewaan dan kemampuan Pram mendeskripsikan suasana zaman kerajaan Singosari, intrik-intriknya. Sampai lupa bahwa era Ken Arok dan Ken Dedes itu sudah berabad-abad berlalu. Rasanya begitu dekat hingga lupa bahwa cerita itu mungkin hanya reka-rekaan Pram saja.
Sejak itu, saya mulai “tergila-gila” dengan karangan Pram. Setiap buku hasil karyanya yang terbit pasti dibeli dan dibaca. Memang tidak seluruhnya buku Pram bisa saya nikmati isinya. Hanya beberapa saja yang menarik hati, yaitu Arok dan Dedes, Gadis Pantai, Arus Balik, Tetralogi ( Bumi Manusia, Jejak Langkah, Rumah Kaca, … satunya apa ya …. lupa nih. Bukunya juga entah ada dimana, mungkin ada diruang atas, malas carinya. Oups ... akhirnya ketemu di internet .. Anak Semua Bangsa ). Ada juga buku Pram yang sampai sekarangpun, berbulan-bulan sesudah membeli, belum sempat tamat dibaca karena terasa kurang menarik … Menurut saya lho.
Indonesia memang pantas bangga dengan kemampuan Pram mengolah kata. Tidak banyak buku yang mampu membuat mata saya nyalang menelusuri kata-demi kata hingga larut malam. Seingat saya, selain Angels and Demons serta The Da Vinci Code dari Dan Brown, hasil karya Pram yaitu Gadis Pantai, Arok dan Deds serta Tetralogi, mampu menarik perhatian saya untuk membacanya hingga larut malam. Bahkan Cabaukan karya Remy Sylado, buku-buku karya NH Dini (pengalaman kehidupan pribadi bersama suami Perancisnya) walaupun cukup indah, tidak mampu mengalahkan keindahan rangkaian kata-kata yang disusun Pram.
Sungguh, sekarang saya mengerti, mengapa buku-buku Pram dilarang selama masa pemerintahan rezim Suharto.
Humanisme yang kental dalam diri Pram begitu kuat terekam dalam karangannya. Pemberontakan Pram dalam melihat kebobrokan suatu rezim, ketidak adilan dan penindasan penguasa kepada rakyat kecil dilukiskan dengan sangat tepat, terekam secara detil, halus dan indah dalam setiap tutur bahasanya.
Makna yang terkandung dalam buku Pram, terutama dalam Arok dan Dedes, Tetralogi - Buru maupun Gadis Pantai sangat dalam. Sungguh ... apa yang diungkap Pram dalam buku-bukunya masih sangat relevan hingga saat ini. Bisa dimaklumi bila rezim diktator akan merasa sangat khawatir bila rasa keadilan masyarakat, tersentuh dan terbangkitkan setelah membaca buku-buku Pram.
Selamat Jalan Pram …, saya yakin anda tidak membutuhkan penghargaan apapun di dunia ini atas karya-karya anda. Biarlah waktu berbicara dan memberikan sendiri penghargaannya secara alamiah kepada karya-karya anda. Kita tidak bisa selamanya mengingkari kenyataan.
Lebak bulus 4 mei 2006
Sebelum memimpikan Nobel, mungkin ada baiknya kita juga mempertanyakan, apakah Pram layak menerima anugerah tertinggi bidang sastra dari pemerintah Indonesia, apapun lembaga yang akan memberikannya. Rasanya sampai sekarang, pemerintah atau katakanlah Dewan Kesenian Jakarta, yang seringkali memberikan anugerah sastra kepada pengarang/sastrawan Indonesia, belum pernah mengemukakan wacana untuk itu. Pram belum layak menerimanya atau tidak ada yang berani memberinya?
Mungkin belum ada yang berani memberikannya. Maklum, latar belakang Pram adalah tokoh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang lekat dan beraffiliasi pada PKI (partai komunis Indonesia). Kemudian, ada fakta yang tak terbantahkan bahwa Pram pernah ditahan selama bertahun-tahun di pulau Buru walaupun tanpa alasan yang jelas. Kedua fakta ini sudah cukup membuat orang merasa jeri membicarakannya, khawatir memancing polemik tajam di kalangan masyarakat.
Sejak tahun 1950an, hasil karya Pram sudah sering mendapat pernghargaan sastra. Sebut saja, diantaranya penghargaan dari Balai Pustaka untuk novel Perburuan dan hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional 1952-1953 untuk buku Cerita dari Blora. Karena itulah Pram dapat disebut sebagai tokoh sastrawan Indonesia yang berpengaruh pada jaman orde lama. Pada Musyawarah Kebudayaan Rakyat di Solo tahun 1959, Pram secara terbuka mengumumkan bahwa dia bergabubg dengan Lekra. Masuknya Pram ke dalam Lekra mengakibatkannya “menjadi seteru” bagi sastrawan kelompok penandatangan Manisfesto Kebudayaan, antara lain Hans Begue Yasin (HB Yasin).
Perkenalan dengan buku-buku karangan Pram.
“Perkenalan” dengan Pram dimulai pada tahun 1965an. Saat itu, saya masih berumur 9 tahun, tinggal di Garut – Jawa Barat dan baru duduk di kelas 4 SD Daya Susila. Di kamar tidur, ada meja belajar di mana tersusun buku-buku cerita koleksi ibu. Cukup banyak jumlahnya. Yang saya ingat, karena saya membacanya saat itu, antara lain Salah Asuhan – Marah Rusli, Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Di bawah Lindungan Kabah - Hamka, Sengsara Membawa Nikmat, si Doel anak Betawi – Aman Dt Madjoindo. Di samping itu juga ada buku Tenggelamnya kapal Van der Wijk nya Hamka, Habis Gelap Terbitlah Terang dan masih banyak lagi buku-buku hasil karya sastrawan Indonesia dari berbagai angkatan (whuahaha… ketahuan nggak hafal nama para sastrawan Indonesia…) Tentu terselip juga beberapa buku karangan Pram antara lain Panggil Aku Kartini Saja, Belenggu dan Perburuan.
Sungguh, pada saat itu saya tidak mengerti bahwa buku-buku yang tersusun rapi di rak kamar tidur itu, memiliki nilai sastra yang tinggi, sehingga tidak memeliharanya dengan baik. Bahkan saat kami sekeluarga pindah ke Karawang pada tahun 1968, buku itu tidak pernah terlihat lagi di rumah. Entah disimpan dimana buku-buku tersebut. Mungkin juga sudah dijual untuk menambah biaya rumah tangga.
Lama kemudian, setelah duduk di SMA, saya baru sadar bahwa kumpulan buku tersebut adalah karya sastra Indonesia – yang menjadi buku wajib baca pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Baru sekarang terasa sesal, betapa sebagai anak bangsa, kurang mempedulikan buku-buku hasil karya sastrawan terkenal Indonesia yang mewakili jamannya. Koleksi buku yang lumayan banyak itu hilang tak berbekas dan yang paling menyesakkan, sebagian besar buku-buku tersebut tidak lagi dapat diperoleh di toko buku.
Buku-buku Pram yang ada di rak atas meja belajar tersebut memang tidak pernah disentuh, apalagi dibaca. Tanpa alasan, tentu saja. Mungkin karena front cover nya kurang menarik (jaman tahun 1960an, mana ada cover book yang menarik … hehe), atau mungkin karena isinya terlalu berat buat dicerna oleh anak kelas IV SD dibandingkan dengan novel percintaan seperti Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya dan lain-lain. Tentu bisa dimaklumi, bila anak SD kelas IV, belum tertarik membaca buku hasil karya para sastrawannya.
Perkenalan yang sedikit lebih serius dengan karya Pram terjadi pada tahun 1980an di Perancis. Saat itu, buku pertama tetralogi hasil karya Pram selama di pulau Buru, yaitu Bumi Manusia diterbitkan untuk kemudian diberangus oleh rezim Suharto. Berita tersebut menyebar di kalangan masyarakat Indonesia yang tinggal di Eropa. Jadi semua merasa penasaran dan ingin membacanya. Tidak mudah memperoleh buku tersebut. Jangankan di Eropa, di Indonesia saja sudah jelas-jelas dilarang dan diberangus. Maklum, semua orang takut dicap PKI. Jadi kami saling mencuri dengar, siapa di antara kenalan yang memilikinya dan secara diam-diam bergantian meminjam.
Jujur saja, saat itu, membaca Bumi Manusia untuk pertama kali, bukan karena menikmati hasil karya Pram. Tetapi lebih dari sekedar ingin tahu, apa sih hebatnya Pram sampai bukunya dilarang dan dianggap membahayakan kehidupan generasi muda. Usai membaca Bumi Manusia, ternyata karangan Pram yang menghebohkan itu, belum juga memikat hati. Tidak terlalu istimewa … malah cenderung bertanya-tanya … kok isi buku seperti itu saja, mengkhawatirkan rezim Suharto. Dimana letak istimewanya?
Mengguncang Jiwa.
Tahun 2000an, usai tumbangnya rezim Suharto, hasil karya Pram dan buku-buku yang semula terlarang, mulai bertebaran di Gramedia. Saya mulai membeli dan membaca tetralogi Pram lengkap, masih dengan motivasi “ingin tahu keistimewaan dan kelanjutan Bumi Manusia”. Usai membacanya, masih belum bisa menikmati dan “tersentuh” oleh keindahan hasil karya Pram. Hingga suatu saat, saya membeli dan membaca buku “Arok dan Dedes. Saya betul-betul kagum. Luar biasa.
Ternyata ada juga orang Indonesia yang luas pengetahuannya dan secara detail bisa mendeskripsikan kejadian yang berlangsung berabab-abad sebelumnya. Tiga kali saya membaca ulang buku tersebut … Kagum dengan keistimewaan dan kemampuan Pram mendeskripsikan suasana zaman kerajaan Singosari, intrik-intriknya. Sampai lupa bahwa era Ken Arok dan Ken Dedes itu sudah berabad-abad berlalu. Rasanya begitu dekat hingga lupa bahwa cerita itu mungkin hanya reka-rekaan Pram saja.
Sejak itu, saya mulai “tergila-gila” dengan karangan Pram. Setiap buku hasil karyanya yang terbit pasti dibeli dan dibaca. Memang tidak seluruhnya buku Pram bisa saya nikmati isinya. Hanya beberapa saja yang menarik hati, yaitu Arok dan Dedes, Gadis Pantai, Arus Balik, Tetralogi ( Bumi Manusia, Jejak Langkah, Rumah Kaca, … satunya apa ya …. lupa nih. Bukunya juga entah ada dimana, mungkin ada diruang atas, malas carinya. Oups ... akhirnya ketemu di internet .. Anak Semua Bangsa ). Ada juga buku Pram yang sampai sekarangpun, berbulan-bulan sesudah membeli, belum sempat tamat dibaca karena terasa kurang menarik … Menurut saya lho.
Indonesia memang pantas bangga dengan kemampuan Pram mengolah kata. Tidak banyak buku yang mampu membuat mata saya nyalang menelusuri kata-demi kata hingga larut malam. Seingat saya, selain Angels and Demons serta The Da Vinci Code dari Dan Brown, hasil karya Pram yaitu Gadis Pantai, Arok dan Deds serta Tetralogi, mampu menarik perhatian saya untuk membacanya hingga larut malam. Bahkan Cabaukan karya Remy Sylado, buku-buku karya NH Dini (pengalaman kehidupan pribadi bersama suami Perancisnya) walaupun cukup indah, tidak mampu mengalahkan keindahan rangkaian kata-kata yang disusun Pram.
Sungguh, sekarang saya mengerti, mengapa buku-buku Pram dilarang selama masa pemerintahan rezim Suharto.
Humanisme yang kental dalam diri Pram begitu kuat terekam dalam karangannya. Pemberontakan Pram dalam melihat kebobrokan suatu rezim, ketidak adilan dan penindasan penguasa kepada rakyat kecil dilukiskan dengan sangat tepat, terekam secara detil, halus dan indah dalam setiap tutur bahasanya.
Makna yang terkandung dalam buku Pram, terutama dalam Arok dan Dedes, Tetralogi - Buru maupun Gadis Pantai sangat dalam. Sungguh ... apa yang diungkap Pram dalam buku-bukunya masih sangat relevan hingga saat ini. Bisa dimaklumi bila rezim diktator akan merasa sangat khawatir bila rasa keadilan masyarakat, tersentuh dan terbangkitkan setelah membaca buku-buku Pram.
Selamat Jalan Pram …, saya yakin anda tidak membutuhkan penghargaan apapun di dunia ini atas karya-karya anda. Biarlah waktu berbicara dan memberikan sendiri penghargaannya secara alamiah kepada karya-karya anda. Kita tidak bisa selamanya mengingkari kenyataan.
Lebak bulus 4 mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar