Kata para ahlinya ... asal mulanya, rumah adalah tempat kita bernaung dari panas dan hujan, dari gangguan dan serangan binatang liar. Itu sebabnya, dulu kala, orang bisa bertempat tinggal di atas pohon. Pada jaman modern yang serba materialistis ini, fungsi rumah menjadi semakin berkembang. Rumah menjadi ”status symbol” bagi penghuninya, sebagai tempat untuk mengekspresikan segala daya dan kekuatannya, terutama secara materi. Bukan itu saja, lokasi/wilayah tempat tinggalpun menjadi bagian yang tidak kalah penting bagi sebagian orang. Rumah menjadi ajang untuk menonjolkan ke”aku”an.
Memilih dan menentukan kepemilikan rumah, dalam sebuah keluarga, memang selalu menjadi perhatian setiap pasangan. Sama seperti yang lain, itu juga menjadi bahan perdebatan ”sepanjang masa” dalam keluarga, apalagi dengan latar belakang pendidikan arsitektur yang saya miliki. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua, walaupun pilihan ini bukan yang terbaik.
Pada saat kami (saat itu memilik 1 anak lelaki) kembali ke Indonesia tahun 1984, saya masih belum merasakan kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Maklum, rumah orang tua masih cukup besar untuk ditambah dengan 3 orang saja. Anak kami juga merupakan cucu pertama di keluarga. Jadi tinggal di rumah orang tua setelah menetap di Stains selama hampir 5 tahun bukanlah suatu problem yang besar.
Perasaan gamang memikirkan tempat tinggal mulai terasa kala, kami mulai masuk dalam pergaulan masyarakat. Hampir seluruh teman kuliah kami telah memiliki rumah dari yang sederhana sekelas rumah melalui fasilitas KPR BTN (saat itu kavling KPR-BTN masih besar, dengan kisaran harga Rp.4,5 juta untuk type 45/100) sampai kelas perumahan real estate. Tahun ke dua setelah menetap di rumah ortu, kami mulai berburu rumah. Kelas sederhana saja, sesuai dengan kemampuan keuangan. Dengan sedikit tambahan dari orangtua, kami membeli rumah type 45/100 melalui KPR BTN, ditambah kavling di sebelahnya sehingga luas tanahnya menjadi 200m2.
Seperti biasanya, kami mulai merancang pengembangan rumah yang kelak akan dihuni. Hitung sana dan hitung sini, lengkap dengan segala designnya. Maklum, walau kemampuan uang yang terbatas, pengaruh kuliah di arsitektur sangat berbekas. Jadi banyak maunya ... ingin yang ”khas”. Walhasil, setelah enam bulan serah terima, kami sudah memiliki gambaran ”rumah masa depan” lengkap dengan rincian perkiraan biaya untuk merealisasikannya. Sebelum rencana direalisasikan, kami mulai agak sering mengunjungi komplek perumahan yang terletak di Depok itu.
Namun sayangnya, makin sering kami mengunjungi komplek tersebut, keinginan merenovasi rumah dan kemudian tinggal di sana, malah semakin menyurut. Jalan komplek semakin tidak terawat dan lingkungan sekitar rumah menjadi semakin kumuh. Terus terang, saya menjadi enggan tinggal di sana. Terbayang betapa tidak nyamannya kami, kelak. Kelelahan sehabis seharian kerja, yang semula diharapkan bisa sirna dengan beristirahat di rumah, mungkin tidak terakomodasi. Bayangan duduk santai di teras rumah sambil bermain dengan anak, menjadi sirna kembali. Saya mulai berpikir keras, uang yang dialokasikan untuk renovasi rumah, tentu cukup untuk membeli rumah di sebuah real esate, yang memiliki lingkungan yang lebih terawat. Apalagi kami mungkin termasuk golongan yang beruntung. Pada era tahun 1985 – 1990, pemerintah sedang giat-giatnya melakukan program percepatan pendidikan insinyur, sehingga sebagai dosen di PTN, suami kecipratan nasib baik. Mendapat insentif tambahan gaji resmi dari pemerintah yang nilainya lumayan besar dan sangat mencukupi untuk membayar cicilan selama 10 tahun di Papan Sejahtera (saat itu).
Alih-alih memulai renovasi, kami malah mulai berburu rumah kembali. Saat ini sasarannya adalah komplek real estate. Setelah keliling seantero Jakarta, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan, akhirnya kami memilih rumah type terkecil 56/162 di Bekasi. Sebetulnya, saat itu keuangan kami belum mencukupi untuk membayar uang muka yang besarnya kira-kira 30%, yaitu sekitar 10 juta rupiah. Semangatnya saja yang sudah mendahului kemampuan keuangan, dipicu oleh hitung-hitungan bahwa biaya renovasi sekitar 10 juta itu, sama dengan DP rumah di real estate. Tapi, tekad sudah bulat, dan alhamdulillah Allah SWT rupanya mendengar niat kami, sehingga atas kemurahanNya, suami mendapat ”obyekan” dari pak SBP yang saat itu menjadi konsultan di Summa Internasional sehingga kami bisa menggenapi uang muka yang 10 juta itu.
Maka pindahlah kami sekeluarga ke Kemang Pratama pertengahan tahun 1989. Rumah mungil yang interiornya dibuat kompak, hasil design sendiri dari kayu-kayu bekas. Tidak ada gordiyn, maka krei bambu jadilah sebagai gantinya. Sederhana, tapi itulah rumah pertama yang kami peroleh dengan susah payah. Dua tahun tinggal di rumah tersebut, kakak ipar yang juga membeli rumah di lokasi yang sama, menawarkan rumahnya yang besar untuk kami tinggali, karena saat itu mereka masih bertugas di Solo. Maka pada tahun 1991, kami pindah rumah di komplek yang sama. Sedangkan rumah kami dikosongkan, tanpa rencana yang jelas.
Baru satu tahun kami pindah, ternyata pemilik rumah memerlukannya. Entah itu suatu kebetulan, tetangga kami (single parents), yang memiliki rumah dengan type lebih besar bermaksud menikah kembali dan ingin menukar rumahnya dengan yang lebih kecil, untuk dihuni anaknya, karena setelah menikah, dia akan tinggal di rumah suaminya. Dia berminat untuk membeli rumah kami. Saya mengusulkan untuk saling tukar saja, dan kami membayar selisih harga. Saat saya tawarkan kemungkinan tersebut, dia tidak setuju. Mungkin berharap mendapat selisih yang lebih besar dibandingkan bila ditukar langsung dengan rumah kami. Enam bulan tanpa kabar berita, tiba-tiba dia menyetujui usulan saya.
Sayangnya, uang yang tadinya disediakan untuk membayar selisih harga, sebagian sudah digunakan untuk beribadah haji oleh suami. Namun, mungkin sudah jodoh, maka kami diberi kemudahan untuk mencicil selama 6 bulan. Maka, selama suami pergi beribadah haji, rumah baru (hasil tukar tambah) dicat dan dirapikan. Dengan bantuan supir (Trisno), setiap hari, kami mulai membereskan rumah, memindahkan barang-barang sedikit demi sedikit. Toh isi rumah kami memang tidak banyak. Selama 3 tahun punya rumah, kami memang hidup seadanya. Tidak ada barang mewah yang berlebihan, tidak ada lampu kristal atau pernak-pernik rumah tangga lainnya. Piringpun secukup jumlah penghuni saja.
Jadi dalam waktu 3 tahun saja, kami sudah mencicipi 3 rumah di Kemang Pratama. Pertama di Blok E2 lalu pindah ke rumah besar (milik kakak ipar) di AA28 lalu ke rumah sendiri di D45 yang luas tanahnya 216m2 dengan 3 kamar tidur. Jadi ada satu kamar yang multi fungsi, ruang kerja sekaligus ruang baca/kerja. Lumayan besar. Rumah BTN kami di Bukit Cengkeh sudah terjual juga. Rupanya kami berdua bukan termasuk orang yang suka berinvestasi dalam bentuk tanah.
Kami tinggal disini sekitar 5 tahun saja. Bukan karena bosan. Sebagaimana layaknya manusia biasa, selalu ada saja ketidakpuasan. Selalu saja ada kekurangan, maka, manakala anak semakin besar, kebutuhan ruang dirasa semakin bertambah. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan merenovasi rumah. Kamar dipindah dan dibesarkan. Tambah teras belakang tempat bersantai, merapikan taman belakang supaya nyaman dipandang. Kesemuanya dengan cara yang sederhana, dikerjakan tukang dengan diawasi sendiri. Bahkan selama renovasi itupun, kami masih tinggal di rumah tersebut. Beruntung juga pernah kuliah arsitektur, sehingga bisa mengatur tukang, Memberi petunjuk mana yang perlu dibongkar lebih dulu. Memindah-tukarkan kusen-kusen dilakukan pada hari yang sama agar, rumah tidak sempat bolong karena kusen pintu/jendela belum terpasang. Mereka-reka detail pergola di teras. Menyusun paduan warna lantai keramik untuk menyamarkan pertemuan keramik dari dua ruangan yang disatukan. Rasanya inilah satu-satunya keputusan merenovasi rumah yang pernah saya ambil.
Saya memang orang yang tidak suka merenovasi rumah (dalam arti memperluas rumah). Logikanya sederhana saja. Aset property itu, yang bertambah nilainya adalah tanah, sedangkan rumah setiap tahun mengalami depresiasi karena ketuaannya (life time). Jadi daripada menambah luas bangunan yang semakin hari semakin berkurang nilainya, maka lebih baik menambah luas tanah.
Atas dasar itulah, ketika kami mendapat warisan, yang terpikir adalah membeli rumah di atas tanah yang lebih luas. Semula kami berpikir untuk kembali masuk ke Jakarta, mendekati sekolah anak di Rawamangun. Jadi perburuan diarahkan ke wilayah Jakarta Timur. Tepatnya daerah Klender, Duren Sawit dan Pondok Kelapa. Sayangnya, kenyamanan lingkungan dan pergaulan yang sudah sangat menyatu dengan tetangga di Kemang Pratama, memupus segala rencana tersebut. Maka, jadilah kami membeli tanah dengan harga diskon dan kemudahan cara pembayaran (memanfaatkan status sebagai bagian dari proyek), lagi-lagi, masih di Kemang Pratama. Kali ini rumah dengan luas tanah 315m2 dengan bangunan yang sudah jauh lebih besar, yaitu 200m2. Khusus dibangun atas permintaan ... maksudnya di disain sendiri. Maklum... ini ”rekayasa” antar teman dan atas kebaikan hati direksi perusahaan yang kami kenal baik.
Kami masuk rumah baru pada bulan Juni 1997. Rumah ini rupanya rumah yang penuh berkah buat kami. Tidak sampai dua bulan tinggal di rumah ini, saya yang sudah lama mengharapkan lahirnya anak kedua, ternyata dinyatakan hamil. Padahal ini adalah kehamilan kedua setelah menunggu selama + 14 tahun. Dan ... Subhanallah ... tidak itu saja, perusahaan tempat kerja saya juga mendapat berkah. Selang satu bulan sesudah saya dipastikan hamil, asuransi mobil yang saya pakai juga mendapat undian berhadiah satu unit mobil Suzuki Sidekick. Jadi anak saya yang kedua hanya mengenal rumah di blok BE8 ini.
Sayang sekali ... kemacetan lalu lintas dari Jakarta ke Bekasi, semakin hari, semakin parah. Bila saat kami pindah pertama kali, tahun 1989, kami masih bisa ke Jakarta (Menteng), mengantar anak sekolah, jam 06.30, maka 10 tahun kemudian kami harus sudah berangkat dari rumah, paling lambat jam 05.45 pagi. Duh... mana sanggup lagi otot yang sudah mulai uzur ini menjalani kehidupan spartan?? Bayangkan saja ... perjalanan Bekasi – Jakarta dan sebaliknya, kalau lancar ditempuh dalam waktu minimal 90mn. Jadi, setiap hari, kami menghabiskan waktu selama minimal 3 jam di perjalanan. Minimal perjalanan 70km pulang pergi (straight forward). Padahal, kami sudah memakai jalan tol Bekasi-Jakarta dan tol dalam kota. Cape dan berat ongkosnya
Bisa dibayangkan ... kapan kami punya waktu yang relax untuk bercengkerama dengan anak? Yang besar, saat itu sudah duduk di bangku SMU, mungkin tidak menjadi masalah besar, karena dia bersekolah hampir sepanjang hari (5 hari sekolah). Tapi gadis kecilku ditinggal sepanjang hari di rumah ... Duh ... mana tega??? Maka.... mulailah kami berpikir-pikir, mau pindah kemana lagi?
Entah darimana asal muasalnya, dalam suatu kesempatan pertemuan keluarga, salah satu ipar saya menyinggung soal kesendirian ibu saya. Dia mengusulkan agar kami bersedia tinggal bersama ibu di lebak bulus – Jakarta Selatan. Ini usul gila ... Mana ada, keluarga, di usia yang sudah matang (dengan anggota 4 orang) kembali ke rumah orang tua? ... Yang tinggal di rumah orang tua itu, pasangan yang baru menikah. Bukan pasangan bangkotan seperti kami .... !!! Hi..hi..hi... ada-ada saja....!!! Lagi pula, mana cocok, saya tinggal dan menumpang di rumah orang, walaupun orang tua sendiri??
Ternyata, lain pikiran saya, lain lagi pikiran suami... Dia menyambut dengan sangat baik usulan itu. Pikirannya sih simple saja. Lokasi rumah ibu saya itu hampir tepat di tengah jarak antara Depok dan Blok M, tempat kantor kami berdua. Jadi, jarak tempuh bagi kami berdua, sangat ringan. Selain itu... dia selalu berprinsip .... Tidak perlu memiliki, tetapi cukup menikmati saja. Apalagi, dia selalu berpegang teguh pada pendapat bahwa tinggal dengan orang tua, sambil mengurusnya pada hari tua mereka (di saat uzur) itu, ibarat memperoleh kesempatan meraih surga. Kenapa kita (anak-anak) selalu menolak kesempatan yang sangat berharga itu...???? Dengan pertimbangan itu, hampir setiap hari, saya selalu ditanyai, kapan mau pindah ke lebak bulus. Sungguh mati, saya sebel ditanya-tanya terus. Bukan apa-apa, saya nggak bisa membayangkan tinggal di rumah ibu... Ada orang lain (di luar keluarga inti), pasti akan ada konflik ... pasti akan hilang kebebasan ... Nanti gimana suami ditengah hiruk pikuk, lalu lalang adik-adik saya (walau mereka sudah memiliki rumah sendiri, tapi pasti sering ”beredar dirumah ibu saya). Apalagi sudah hampir 13 tahun berumah tangga sendiri. Duh... nggak bisa dibayang deh repotnya...
Berulangkali suami mendesak saya untuk pindah ... sampai suatu hari, saya tanyakan kesungguhannya untuk masuk kembali ke rumah orang tua (mertua) dengan segala resikonya. Ternyata ... lagi-lagi dengan entengnya, dia bilang ”gak masalah”!! Ya... mau diapakan lagi?? Jadilah si keluarga bangkotan ini boyongan kembali ke rumah orang tua... di usia perkawinan ke 20 tahun, bertepatan saat anak saya lulus dari SMU .... Hi..hi...hi... lucu..., bukan keluar dari rumah orang tua, malah balik lagi masuk ke rumah orang tua...
Begitulah.... Juni 2005 kemarin, tepat 5 tahun sudah, kami kembali ke rumah orang tua, dengan segala suka dukanya. Rumah lama kami, keduanya, sudah dijual untuk biaya sekolah anak kami di QUT. Betul, jarak tempuh ke kantor tidak seberat dulu lagi. Hanya 15 menit ... kalau berangkat jam 06.30, he..he.. Kalau saat peak hour kira-kira 45 menit untuk jarak hanya 8km. Separuh dari waktu tempuh Jakarta - Bekasi dulu. Jadi, kami masih punya waktu mengantar gadis kecil ke sekolah dan ngobrol di malam hari.
Memang kadang terpikir juga, bila suatu saat ibu saya meninggal dunia. Mau tinggal dimana kami? Rumah ini pasti harus diselesaikan kepada seluruh ahli warisnya. Tapi, seperti biasanya suami dengan enteng bicara ... (yang ini gak boleh dibantah...)... ”tenang aja... Allah SWT pasti tahu apa yang terbaik buat kita ...., Nanti, pasti ada jalan keluarnya”
Ya sudah.... jalani saja hidup seperti ini... Bukankah rumah kita yang pasti, nantinya, hanya berukuran 1 x 2 meter saja? Yang megah-megah sekarang, kan hanya atribut sesaat saja. Jadi untuk apa dipikirkan>
Salam
Lebak bulus 5juli2005
Yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri dan.. Yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri #BadiuzzamanSaidNursi
Sabtu, 31 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺
Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa Mensholatkan kita... Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...
-
3/5 Berusaha dan terus berusaha. Hari itu, adalah hari ke 14 menstruasi ... Masih sederas hari pertama dan tidak ada tanda-tanda mereda...
-
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ...
-
Hari ini, Sabtu 18 Agustus 2007, majelis rumpi dibuka kembali. Mestinya classe conversation dimulai Sabtu tanggal 11. tapi karena hari sa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar