Sabtu, 31 Desember 2011

Tanggapan di mailing list

Assalamualaiku wr, wr,

Mbak-mbak dan mas-mas di Mailing list wanita-muslimah yang saya hormati,
Senang sekali saya mendapat tanggapan yang bertubi-tubi, baik tanggapan yang bersifat positif maupun negative atas posting berjudul "mengawal anak remaja menyusuri gemerlap kehidupan kota besar". Ini menandakan bahwa kita masih sangat peduli dengan masalah remaja. Memang begitulah maksud dari tulisan saya tersebut.

Ingin saya sampaikan, seluruh cerita yang saya tuangkan, (baca juga posting saya tentang "Menyiapkan Pernikahan anak" dan 2/2 Mengawal remaja ...")., didasarkan atas keinginan berbagi pengalaman memiliki anak remaja. Saya tidak ingin membagi teori, karena bidang saya memang bukan pendidikan/psikologi. Saya juga bukan ahli agama, tapi hanya seorang ibu yang sedang dan selalu berusaha membimbing dan menjaga anak-anaknya agar hidup sesuai dengan ahlak Islami.

Berkaitan dengan apa yang saya tulis sebagai "pernikahan dini", yang dimaksud adalah pernikahan di usia relatif muda, yang normal, bukan karena MBA (married by accident). Sebagaimana kita ketahui, usia pernikahan (bagi kaum "terdidik") saat ini sudah bergeser dari rata-rata usia antara 25 – 30 tahun menjadi di atas 30 tahun. Jadi, penikahan di usia 22 tahun (seperti pernikahan anak lelaki saya) dapatlah dianggap sebagai pernikahan di luar kebiasaan umum. Kalimat "mau pernikahan dini atau perzinaan dini" juga tidak dimaksudkan untuk mencari jalan keluar bagi kehidupan seks pranikah remaja yang sudah meluas sampai pada taraf PSK. Ini sudah masuk wilayah masalah sosial kemasyarakatan yang sama sekali tidak saya kuasai.

Sebagai orang tua (ibu), segala teori yang dikemukakan oleh mbak/mas sekalian tentulah sudah menjadi perhatian kami sejak awal dan kami terapkan sejak anak kami masuk TK. Tanpa bermaksud sombong, dapat kami katakan bahwa dalam lingkungan kecil, anak kami bisa dijadikan contoh "sukses" bimbingan orang tua. Dalam bidang akademis, dia lulus SD dengan predikat terbaik sekaligus menyandang Pelajar teladan DKI, juara Matematika DKI dan 4 besar Matematika Nasional. DI SLP/SMU prestasi akademis masih tetap baik, terpilih masuk kelas akselerasi serta sering mewakili sekolah untuk lomba akademik maupun olah raga. Selama kuliahpun prestasinya cukup baik, paling tidak bila dilihat dari IPKnya.

Kegiatan olah raga juga diikuti; basket, rock climbing, sepak bola, bela diri termasuk juga kegiatan musik, dan kegiatan olah raga ini tetap berlangsung hingga saat ini. Ibadah? Alhamdulillah, sejak SD, sudah shalat 5 waktu dengan tertib dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Rasanya, ibadah kami, orangtuanya, saat remaja tidak dapat dibandingkan karena betul-betul tidak sebaik apa yang dijalankannya.

Hubungan saya dengan anak juga cukup dekat, seperti teman. Berdiskusi, berdebat tentang berbagai hal, termasuk juga mendiskusikan konsep rumah tangga/pernikahan secara terbuka. Tentunya dia juga tahu persis, bahwa ibunya menikah sebelum selesai kuliah dan dia lahir saat bapaknya masih berkutat dengan thesisnya. Jadi, dia mendapat contoh langsung bahwa pernikahan sambil sekolahpun tidak menjadi hambatan bagi masa depan manusia.

Walau dengan latar belakang seperti itu, saya memang cukup kaget, saat masih di SMU, dia mengatakan ingin menikah di usia 22 tahun. Saat itu saya berpikir ... "ah pikiran anak SMU". Nanti juga akan berubah ... Sungguh, seperti layaknya orang tua lain, saya membayangkan bahwa anak saya akan menikah pada usia 30 tahun, setelah mapan, punya rumah dan lain-lain sebagaimana umumnya bayangan orang tua. Apalagi setiap saat, setiap waktu kami selalu berbicara banyak mengenai konsep-konsep kehidupan/pernikahan yang umum dianut orang.

Rupanya saya lupa, anak, bagaimanapun juga, dia, manusia yang punya akal, otak, pikiran dan jamannya sendiri. Referensi yang kita (sebagai orang tua) gunakan, adalah "masa lalu" yang minimal dari masa 25 tahun yang lalu (saat kita remaja), dan kadang tidak relevan dengan apa yang anak-anak kita hadapi saat ini. Bisa dibilang "kuno". Anak-anak kita memang menyimak ucapan orang tua... tetapi, belum tentu mereka mengadopsi pemikiran kita. Mereka punya persepsi sendiri.

Mungkin kita lupa, jaman kita muda dulu, kita juga sering mengabaikan nasehat orang tua. Merasa lebih tahu, dan orang tua dianggap punya pikiran yang sudah kuno/ketinggalan jaman. Berapa besar "nasehat" orang tua yang masuk ke hati kita? Kalau mau jujur, sementara dinasehati, kebanyakan dari kita malah "nggrundel" dalam hati. Dan tetap saja kita lakukan apa yang menurut kita (saat itu) "lebih sesuai" dengan keinginan hati.

Kalau "firman Allah yang termaktub dalam Al Qur'an" saja masih sering kita perdebatkan tanpa habis, sementara kita mengakui bahwa Allah Maha Mengetahui, Allah Maha Benar, Maha Pengasih dan lain-lain. Tentu, wajar pula bila "perkataan seorang ibu (orang tua)" yang sama sekali tidak "maha tahu" dan tidak "maha benar" hanya dianggap angin lalu oleh anak.

Kalau "ayat-ayat Al Qur'an" yang katanya rahmatan lil alamin ini hanya diadopsi oleh manusia sesuai dengan "apa yang enak dan mudah" untuk dijalankan saja, sementara yang "kurang berkenan di hati" tidak jarang kita tinggalkan. Maka tentu wajar juga bila si anak, cuma mengatakan "ya" di depan orang tua, kala mendengar nasihat kita dan serta merta berbalik arah pikirannya, kala si orang tua hilang dari pandangan mata.

Maaf mbak/mas yang terhormat, kalau bisa saya katakan ...ketika anda berteori macam-macam dalam memperdebatkan posting tersebut, Saya sudah menjalankan seluruh teori-teori yang dikemukakan itu terlebih dahulu, mempertimbangkan segala segi sampai kemudian saya mengambil keputusan untuk mengijinkan anak saya menikah di usia yang relatif muda. Saya sungguh menyadari bahwa solusi itu belum tentu cocok bagi orang lain ... Tapi, sekali lagi itu hanya contoh kasus yang saya alami, dan saya ingin berbagi dengan orang lain tentang rumitnya menyelami dunia remaja..

Kehidupan anak saya memang "terlalu berwarna" Itu realitas hidup yang harus saya alami, dan saya sama sekali tidak akan pernah menyesalinya. Dalam setiap masalah, saya hanya berpedoman pada prinsip "tidak mempersulit hal yang sebenarnya mudah, tetapi juga, tidak mempermudah segalanya seperti membalik tangan", ketika harus mengambil keputusan dalam bingkai kaidah Islam. Kesetimbangan prinsip ini tentu sangat relatif, bergantung pada situasi dan kondisi.

Saya tidak mungkin mengatakan kepada anak saya untuk menggunakan kondom saja, karena anak saya belum boleh menikah karena belum bekerja. Sementara saya tahu bahwa Islam dengan tegas melarang hubungan seks pranikah. Atau saya bilang ... kamu berpuasa saja atau mencari aktifitas fisik, supaya libido bisa tertekan, sementara saya tahu anak saya rajin puasa sunnah dan selalu berolah raga (sepak bola, gym, rock climbing, scuba diving dll), Kok sepertinya lupa bahwa dulu saat remaja, kita juga mengalami masalah yang sama. Hanya jamannya saja yang berbeda, dulu masih ada rasa takut, malu dan lain-lain. Sekarang jaman serba permissive. Alat kontrasepsi dijual bebas, dokter untuk aborsipun banyak dan mudah ditemui. Remaja memiliki akses yang lebih luas pada perangkat yang berbau seks.

Sungguh, saya hanya ingin mengajak anda semua, mempersiapkan diri; bila suatu saat anak anda yang masih kuliah (katakanlah di semester akhir), meminta ijin menikah. Esensi dari permintaan si anak adalah, dia sudah menemukan perempuan yang cocok untuk diajak menikah, hubungan dua manusia berlainan jenis ini, dia tahu, pasti berpotensi untuk berlanjut sampai kepada hubungan seks. Untuk itu, daripada ditunda, si anak berpikir untuk segera menikah ... supaya tidak berdosa dan mereka berjanji untuk bertanggung jawab atas konsekuensi dari pernikahannya. Apakah kita sebagai orang tua menolak, karena hal-hal yang lebih bersifat "materi –logical reason"? Jawabannya tentu berpulang kepada kasusnya sendiri dan pertimbangan masing-masing orang tua. Tidak ada suatu yang mutlak disini.

Yang membedakannya mungkin hanyalah dasar pertimbangan kita. Apakah kita akan berpegang kepada hukum-hukum Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an atau kita berpegang kepada teori manusia yang bersandarkan pada akal. Tidak ada yang bisa menyalahkan kita atas pilihan yang kita ambil. Semua ada konsekuensinya sendiri, di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu 'alam

Btw, terima kasih atas tanggapan anda semua. Saya menyimak tulisan anda dan itu semua semakin memperkaya pengetahuan saya.
Salam.
Lebak bulus 3juli2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...