Sabtu, 07 Januari 2012

BRAND IMAGE ... seberapa pentingkah?

kepada praktisi pemasaran dan periklanan tentang Brand Image dari suatu produk. Saya yakin mereka serempak akan mengatakan ”sangat penting” dan sangat menentukan dalam keberhasilan suatu produk memasuki pasar hingga sampai ditangan konsumen.

Sudah dua minggu ini, saya dan suami ke Makro Ciputat. Maklum saja, ada berbagai keperluan yang harus disediakan dan tidak bisa diselesaikan hanya dalam sekali belanja. Maklum saja, disamping kuantitasnya, kami juga mesti menjaga cashflow rumah tangga agar jangan sampai maksud baik berbalik arah menjadi mudharat.

Tiba di Makro, kami berpisah arah, berbagi tugas mencari kebutuhan agar lebih effisien. Usai berbelanja, saat menunggu giliran di kasir, suami bercerita bahwa dia ingin sekali membeli ”peci” yang biasanya akan dia gunakan bersama sorban.
”Ambil aja”
”Enggak ah .... Mahal!”
”Kalau memang perlu, kenapa enggak? Apalagi yang ada di rumah sudah bulukan!”
”Mereknya .....”
”Ada apa dengan mereknya....?”
”Said Agil......!!!”
”Lho .... memang kenapa dengan nama itu...?” Saya teringat akan nama mantan menteri agama dijaman pemerintahan Megawati Sukarnoputri. Teringat akan wajahnya dan kasus penggalian situs Batutulis di Bogor. Apalagi kemudian dia didakwa oleh berbagai kasus korupsi DAU (dana abadi umat? di Departemen Agama.
”Justru karena itulah ..... perut saya jadi mules!, Hilang selera membeli peci itu. Padahal saya suka sekali. Ukuran model dan motifnya sudah cocok!!”

Itu cerita minggu lalu. Siang tadi, usai shalat dhuhur, kami kembali ke Makro, membeli segala bahan yang masih kurang. Peristiwa yang sama terulang lagi. Maklum, kami tidak punya waktu yang cukup leluasa untuk berbelanja. Suami melihat-lihat peci itu lagi ... Mungkin dia berharap si peci berubah merek... hehe.

Tidak jadi membeli suatu, atau tidak menjadi nasabah suatu bank/operator telpon dan lain-lain hanya karena image yang disandang merek dagang suatu barang/jasa kelihatannya kerap terjadi dalam kehidupan kita.

Ingatkah, bahwa pada tahun 70 – 80 an, Jakarta didominasi oleh taxi berwarna kuning dengan merek dagang President Taxi yang bersaing ketat dengan Blue Bird. Sayangnya warna kuning yang mencolok mata itu tidak dibarengi dengan kualitas pelayanan dan kejujuran pengemudinya. Akhirnya, President Taxi mendapat nama buruk di kalangan penumpang taxi, sementara Blue Bird melesat menjadi andalan para pengguna taxi. Sekarang .... president taxi sudah bersalin rupa dan menyandang nama Prestasi dengan warna dan logo yang dibuat agak mirip dengan Blue Bird. Mampukan dia bersaing kembali dengan Blue Bird? Kelihatannya tidak semudah itu. Image buruk President Taxi begitu melekat, apalagi kualitas pelayanan Prestasipun tidak kunjung membaik. Akhirnya rumor tetap ada di kalangan pengguna taksi .... Kalau mau selamat, jangan gunakan taksi Prestasi...!!! Begitulah ... bad image atas suatu merek sudah mencengkeram kesadaran kita.
***

Saat ingin membeli hp jenis cdma, semua teman maupun penjual telpon genggam menganjurkan saya untuk membeli Esia, karena pulsanya murah. Memang, saat itu iklan Esia sedang membombardir Jakarta. Namun dengan tegas, saya katakan:
”Tidak .....! Esia .... no way...!”
”Kenapa, sih ... kan murah lho!”
”Nggak, suka aja ....!”
”Alasannya....?”
”Saya nggak suka dengan bigbossnya.... Citra buruk atas perilaku bisnis yang pernah saya dengar begitu melekat kuat dan mempengaruhi persepsi saya terhadap semua line business nya. Jadi jangan berharap saya mau menggunakan produk mereka!!!”
Alasan ini kelihatannya berlebih, tetapi begitulah bila bad image sudah tertanam di benak konsumen.
***

Ibu saya, sejak lama menjadi nasabah setia dari suatu bank pelat merah. Maklum saja, bapak saya memang pensiunan bank pelat merah tersebut. Dua puluh tahun yang lalu, sayapun pernah menjadi nasabah bank yang sama. Namun pelayanan yang lambat dan prosedur yang berbeli-belit hanya untuk menarik tabungan membuat saya memutuskan ”hubungan” dengan bank pelat merah tersebut. Apalagi kemudian terbukti pengelolaan bank plat perahpun tidak lebih baik dari bank swasta. Lihat saja berbagai kasus penyelewengan dana dalam kasus Bank BNI, Bank BRI maupun Bank Mandiri.

Kalau ditanya, apakah saya masih berminat menjadi nasabah bank pelat merah yang sekarang sahamnya sudah tergadai ke tangan investor dari Malaysia/Singapore? Sejujurnya, tidak ....! Persepsi yang kuat tentang pelayanan yang lamban dan birokratis dari bank pelat merah masih mencengkam otak saya. Kalaupun sekarang saya memilik rekening di Bank Mandiri, itu karena suami saya memiliki rekening di bank tersebut dan meminta saya memiliki rekening di bank yang sama untuk mempermudah transaksi rumah tangga. Tapi ... ya cuma untuk numpang lewat. Saya sama sekali tidak berminat mempercayai dana yang saya miliki untuk dikelola di bank pelat merah. Sudahlah, dananya terbatas .... kepercayaan saya terhadap banknyapun sudah terlanjur anjlok ....!!

Begitulah Brand Image dari suatu produk menguasai benak konsumen. Beruntung bila hanya satu atau sepuluh konsumen saja yang memilik persepsi buruk. Bayangkan kalau banyak konsumen ..! Ya, seperti taksi Prestasi itulah nasibnya.... bersalin rupapun tak ada gunanya.....

Jadi, kembali kepada peci yang ingin dibeli suami , .... bisa sangat dimengerti bahwa dia membatalkan keinginannya untuk membeli peci itu walaupun design dan warnanya sangat disukainya. Saya juga agak ”geli” membayangkan wajah sang pemilik nama... (maaf ya pak....!!!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...