Jumat, 27 Januari 2012

PENDIDIKAN para PENDIDIK

Bosen ngomongin politik dan kejahatan ya?! Bayangkan ... belakangan, yang diomongin kejahatan, korupsi dan politik terus. DAri mulai tertangkapnya petinggi eh sekarang sudah mantan petinggi/anggota DPR ya, nyonya sosialita, lalu perang argumen para tersangka korupsi wisma atlet di Palembang.... Padahal pesta oleh raga SEA Games nya sudah selesai dengan gegap gempita. Lalu minggu terakhir ini, ramai diberitakan "pembantaian" 9 nyawa di salah satu trotoir jalan di wilayah Jakarta Pusat. Di kantor, di jalan, di tempat kursus, koran, majalah, tabloid, berita di tv, talkshow, infotainment apalagi. Pro dan kontra, nggak ada yang mau kalah. Masing-masing dengan argumentasinya. Apapun dalihnya ... semuanya bermuara pada hilangnya "rasa dan nurani" kita sebagai manusia yang beradab. Kondisi ini tentu tidak terjadi seketika, tetapi telah berlangsung sedemikian lama. Apa yang terjadi saat ini adalah akumulasi dari berbagai masalah di masyarakat yang selama ini terperangkap dalam "tiran" rezim otoriter. Saat terjadi "reformasi" yang sepertinya sekarang menjadi salah kaprah, semua yang selama ini terperangkap meledak tak terkendali dalam berbagai bentuk. Seperti "amarah" yang tersekap bagai api dalam sekam ... Menjalar kemana-mana hingga ke pelosok daerah terpencil sekalipun. Akan tetap seperti itukah masa depan anak-anak kita? Mungkin salah satu caranya adalah "kembali lagi ke rumah" atau lingkungan kecil di sekitar kita. Bagaimana mendidik anak-anak, laki-laki ataupun perempuan, agar mereka kelak memperoleh persepsi yang benar atas ajaran agamanya, norma dan etika hidup serta tradisi atau sekarang lebih dikenal sebagai "kearifan lokal". Nah yang berkaitan dengan pendidikan ini, saya punya sedikit cerita...; begini nih.... Sabtu beberapa waktu yang lalu, Budi nggak masuk untuk ngajar bahasa perancis. Katanya ada tugas keluar negeri … Jadi Mr. NY yang nggantiin dia. (sayang Budi nggak pernah bawa oleh-oleh buat murid-muridnya yang ditinggal pergi hehehe.... Mungkin lelaki biasa begitu ya? Nggak care dengan sekitarnya..., kecuali sama perempuan cantik). Dulu, kelas saya pernah diajar Mr. NY ini, selama satu semester. Duh ... bosen banget deh ... kelasnya nggak ”hidup”, jadi terasa membosankan. Makanya, waktu saya melihat NY duduk di meja depan, sempat terpikir untuk masuk dan bergabung ke kelas yang satunya lagi ... kelasnya Elisabeth. Tapi ... otak saya yang sebelah lagi, yang masih ”bersih” melarang saya untuk melakukan kekonyolan itu dan mengingatkan.. kok jahat banget ya, gue. Kan kita nggak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain. Nggak ada salahnya untuk masuk kelas seperti biasanya. Siapa tahu ada hal baru ... Nah berbekal dengan pikiran bersih, saya akhirnya masuk kelas seperti biasa. Topik yang diangkatnya pagi itu, tentang sistem pendidikan di Perancis, yang konon disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di negara-negara Union Europeene, yaitu LMD alias license (3 tahun) – Master (2 tahun) – Doctor (3 tahun). Mr NY memang sebagaimana seluruh pengajar di CCF, pernah mengenyam pendidikan atau minimal short course di Perancis. Topik ini cukup menarik. Maklum saja, ada banyak ibu-ibu dalam kelas yang anaknya sudah atau sedang sekolah di SMA. Tentu, mereka tertarik dengan sistem pendidikan di Perancis. Siapa tahu ada rejeki yang cukup dan anaknya ingin sekolah di negaranya Nicholas Sarkozy dengan istrinya yang mantan model itu. Jadi sudah ada bekal pengetahuan tentang sistem pendidikan di negara tersebut. Mr. NY menerangkan bahwa di negara-negara maju, terutama di Perancis, sekolah/universitas yang menghasilkan guru (semacam IKIP – jaman dulu) termasuk sekolah-sekolah yang ”high quality” sehingga mahasiswa yang kuliah di situpun termasuk top ranking. Hasilnya bisa dipastikan; guru-guru sekolah di Perancis termasuk orang-orang berkualitas. Terlebih lagi, tentu, bila dibandingkan dengan di Indonesia. Sepengetahuan saya, sejak dulu, yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan – IKIP[1] bukan menjadi pilihan utama dari para lulusan SMA. Sedikit sekali mahasiswa IKIP yang dengan sadar diri mendaftarkan ke IKIP dengan niat tulus ingin mengabdikan dirinya kelak dengan menjadi guru. Sebagian besar dikarenakan IKIP atau Universitas Negeri di bidang pendidikan dipilih karena statusnya negeri sehingga biaya kuliahnya lebih murah dibandingkan dengan masuk universitas swasta yang "berkelas". Hal ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kata lain ... Mr NY mengakui bahwa sebagian mahasiswa IKIP[2] (beliau pengajar di tempat itu) adalah mahasiswa dengan kualitas nomor 2, yaitu sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus dalam saringan ujian masuk lima universitas incaran utama anak-anak SMA seperti UI – ITB – UGM – Airlangga – IPB. Bahkan juga universitas lapis ke dua di pulau Jawa seperti Brawijaya dan Pajajaran atau bisa jadi lebih buruk dari itu; mahasiswa yang terdaftar di IKIP belum tentu sejak awal berniat menjadi guru. Daripada tidak menjadi mahasiswa, apalagi mahasiswa universitas negeri, masuk IKIP masih lebih baik. Tak ada rotan, akarpun jadi. ”Ini menjawab sebagian pertanyaan, mengapa kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menjadi sangat amburadul. Bagaimana mungkin kita mendapatkan kualitas murid yang baik bila murid-murid tersebut diajar oleh sebagian besar lulusan dari universitas yang mahasiswanya merupakan mahasiswa kelas dua, sisa-sisa dari Universitas umum” "Pemerintah, mungkin harus mengevaluasi lagi kebijakannya mengenai pendidikan anak-anak. Kalau memang pendidikan dasar/menengah dianggap penting, maka kualitas instansi pendidikan untuk para pendidik harusnya merupakan pendidikan yang mampu menjaring orang-orang dengan kualitas prima. Orang-orang yang memang sejak awal berniat menjadi guru. Lalu, kenapa IKIP harus diganti menjadi UNJ, instistusi pendidikan tinggi umum. Akibatnya, tidak ada lagi institusi yang mengkhususkan diri sebagai tempat pendidikan bagi para pendidik. Padahal bukankah pendidikan untuk para pendidik tidak bisa disamakan dengan pendidikan universitas umum? Atau mungkin pemerintah tidak mengganggap pendidikan anak-anak kita, suatu hal yang maha penting bagi bangsa ini?" ”Konon perubahan itu disebabkan karena adanya protes dari mahasiswa dan lulusan IKIP yang merasa dianaktirikan. Pada setiap lowongan kerja di berbagai instansi selalu dicantumkan persyaratan lulusan dari universitas. Jarang ada lowongan yang mau menerima lulusan IKIP. Padahal .. banyak lulusan IKIP yang berharap bekerja misalnya di DEPLU, mais croyez moi, quoi que ce soi ... pendidikan di UNJ masih tetap pendidkan untuk para pendidik. Tidak ada yang berubah” ”Kalau memang isinya/kurikulumnya tidak berubah, kenapa ”packaging”nya diganti? Itu kan sama saja dengan mengaburkan sesuatu ... bahasa terangnya menipu masyarakat. Mestinya ... alumni IKIP itu, ya menjadi pendidik.... Bukan jadi diplomat atau pegawai di departemen lainnya” ”Idealnya begitu ... tapi pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa IKIP ingin menjadi guru. Alasannya sederhana sekali ... profesi guru sangat tidak bergengsi, apalagi, guru sekolah negeri. Tugasnya yang berat, mendidik anak, tidak diimabngi dengan ”gengsi dan imbalan” yang memadai untuk hidup dengan layak”. ”Kalau begitu, kenapa harus mengubah nama? Demi gengsi semata? IKIP adalah institusi pendidikan untuk para pendidik bukan untuk para diplomat atau berbagai jabatan mentereng lainnya. Mahasiswa yang masuk ke IKIP harus tahu bahwa profesinya kelak adalah guru, bukan yang lainnya. Kalau masalahnya berkaitan dengan gengsi atau penghasilan, maka bukan institusinya yang diganti menjadi universitas umum, tetapi gengsi dari profesi sebagai guru itu yang harus ditingkatkan agar orang mau secara sukarela menjadi guru sebagaimana profesi lainnya yang dikejar dan dipilih masyarakat.”. ”Tidak semudah itu ...” ”Memang tidak mudah ... tapi tidak ada suatu hal hal tidak mungkin kalau ada kemauan untuk melakukannya. Sebut saja ... apa yang menjadikan profesi guru tidak menarik? Karena gaji dan fasilitasnya tidak memadai? Kenapa tidak ditingkatkan gajinya, fasilitasnya dan lain sebagainya. Kalau pemerintah mampu memberikan gaji yang relatif tinggi bagi pns yang bekerja di departemen keuangan (direktorat jenderal Pajak, Bea dan Cukai dll), tentu hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pns di departemen lainnya khususnya untuk guru. Kan anggaran bidang pendidikan sudah disetujui secara bertahap menjadi 20%. Jadi secara teoritis, kalau pemerintah mau dan tahu betapa pentingnya pendidikan anak-anak, maka semuanya bisa dilakukan secara bertahap. Malu deh sama Malaysia! Tahun 60 – 70 an, guru dan dosen dari Indonesia diundang mengajar di sana. Mahasiswa dari Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Sekarang keadaan terbalik 1800, kita yang belajar ke Malaysia . ” Semoga semakin banyak orang yang berpikir seperti itu.... Pendidikan di Indonesia memang masih terus-terusan mencari bentuk, sampai akhirnya semakin terpuruk dan tidak jelas arah tujuannya” Begitulah isi sebagian obrolan kami saat itu. Tentu dengan bahasa Perancis yang terbata-bata, karena banyak kosa kata yang seringkali tiba-tiba hilang dari kepala saat dibutuhkan. Obrolan itu terputus begitu saja, tidak ada kesimpulan ... Ini kelas ”Conversation” bahasa Perancis, Pesertanya tentu tidak diharuskan untuk berdebat mengenai sistem pendidikan di Indonesia, tetapi diharapkan untuk berbicara dalam bahasa Perancis sekaligus memberikan opini. Kalau mau...... Tapi, sungguh deh, sejak lama, saya merasa prihatin dengan masalah ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya punya teman kantor yang istrinya lulusan IKIP – Pendidikan Teknik Sipil. Alih-alih menjadi guru di sekolah kejuruan (STM), dia malah bekerja di kantor konsultan struktur. Alasannya tentu saja mudah diduga .... gaji yang kecil dan menjadi guru tidak memberikan prospek masa depan yang cerah. Sedih ya......Memang, nggak semua mahasiswa IKIP mempunyai motivasi seperti itu. Saya percaya masih banyak mahasiswa IKIP, terutama untuk IKIP yang di daerah (terutama dari Jogya) yang betul-betul memiliki niat tulus menjadi guru. Seperti hampir seluruh guru SMA saya dulu di Xaverius Jambi. Mereka, sebagian besar lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, adalah guru-guru yang sederhana dan penuh dedikasi. Mungkin mahasiswa IKIP yang materialistis adalah mereka yang kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Maklumlah.... penduduk metropolitan ini memang sangat materialistis. Semoga pemerintah mau mengerti masalah ini agar gengsi dan penghasilan dari orang-orang yang berprofesi sebagai GURU bisa setara dengan profesi-profesi lainnya. Sehingga profesi ini menjadi pilihan sepenuh hati dari anak-anak pintar Indonesia yang sama gengsinya dengan pilihan menjadi sarjana teknik atau kedokteran atau fakultas lainnya. Reedit on saturday, 16th december 2006, at 05.45 pm and 27th January 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...