Sejak ibu saya menderita komplikasi dari diabetes mellitus yang dideritanya sejak 19 tahun yang lalu, saya menjadi pelanggan pasar tradisional di Pondok Labu – Jakarta Selatan. Hal ini sudah berlangsung hampir enam tahun terakhir.
Sebelumnya, ibu saya selalu rajin berbelanja di pasar yang sama. Selain karena harganya lebih murah (katanya), berbelanja ke pasar tradisional menjadi salah satu kegiatannya sehari-hari selain mengaji. Anggaplah sebagai bagian dari kegiatan olahraga pengganti setelah beliau berhenti total dari kegiatannya main golf.
Saya sendiri agak malas belanja ke pasar tradisional. Sejak kembali ke Indonesia di tahun 1985, saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke pasar tradisional. Alasannya klasik. Tidak punya cukup waktu untuk dihabiskan bersama keluarga sehingga berbelanja harus merupakan aktifitas keluarga. Dan tempat yang memenuhi syarat untuk berbelanja sambil beraktifitas bersama keluarga adalah berbelanja di supermarket. Apalagi sekarang supermarket bertaburan dimana-mana.
*****
Pasar tradisional di Indonesia, khususnya di Jakarta, walau sudah dibangun bertingkat dan dikelola “secara professional” oleh PD Pasar Jaya, ternyata belum beranjak jauh dari ciri-cirinya sejak jaman dulu. Kotor, kumuh, sumpek dan berbau busuk. Fasilitas umum berupa toilet dan mushola sangat tidak memadai. Air tidak mengalir sehingga akibatnya menebarkan aroma tidak sedap.
Area perparkirannyapun tidak jauh berbeda. Selalu dipenuhi oleh pedagang yang menggelar dagangannya di pelataran parkir sehingga area tersebut beralih fungsi, tidak sebagaimana maksudnya. Pedagang di area parkir kemudian menjadi pesaing bagi pedagang resmi yang berada di dalam bangunan pasar. Sukar untuk menyebut mereka yang berjualan di pelataran parkir sebagai pedagang liar. Nyatanya, mereka berdagang dengan aman di tempat itu dan konon membayar sewa "lapak".
Tidak itu saja, di sekelililing bangunan pasar tradisional dimana saja di Indonesia, akan selalu ada “pasar kumuh” Orang sering menamakannya sebagai pasar bawah untuk membedakan dengan pasar atas yang berlokasi di dalam bangunan.
Pasar bawah ini semakin membuat kesemrawutan lingkungan. Menyumbang bebauan sampah dan becek. Sungguh sangat jauh dari kebersihan dan kesehatan lingkungan. Padahal yang dijual adalah produk makanan, baik bahan makanan mentah dan juga makanan matang seperti kue2an, dan warung makan. Tetapi nyatanya orang tetap berbelanja dengan tenang.
*****
Awal tahun 1970an, Jakarta masih sepi dari supermarket. Kalaupun ada, hanya satu atau dua gerai yaitu Hero dan Gelael. Merekalah pionir pasar modern di Indonesia. Saat itu, jarang orang berbelanja di sana karena harga barang yang dijual relatif lebih mahal dari harga barang di pasar tradisional. Dengan demikian, konsumennyapun terbatas pada kalangan menengah ke atas saja.
Tahun 1980an mulai muncul Golden Trully dan Grasera. Keduanya menggelar komoditi sehari-hari di dalam gedung dengan area yang jauh lebih luas dan ragam jenis dagangan. Era one stop shopping di super store sudah dimulai. Masyarakat Jakarta mulai dididik untuk berbelanja di pertokoan modern. Persaingan antara pasar modern berupa super store dan pasar tradisional dimulai.
Seiring dengan perkembangan keberadaan supermarket dan hypermarket, perlindungan terhadap keberadaan pasar tradisional mulai terabaikan. Di atas kertas, keberadaan super store yang kemudian berkembang pesat menjadi hypermarket dibatasi. Harus berada pada radius sekian kilometer dari pasar tradisional dan tidak boleh menjual jenis komoditi tertentu yang menjadi jajaan di pasar tradisional. Namun kehadiran “pemain asing” yang dimulai dengan kehadiran “Continent” yang kemudian diakuisisi oleh Carrefour mengubah peta perpasaran modern di Indonesia terutama Jakarta .
Bayangkan …. Carrefour diijinkan beroperasi selama 365 atau 366 hari per tahun. 7 hari per minggu dari jam 10.00 hingga 22.00. Tidak ada hari libur. Kalaupun tutup, itu hanya untuk kepentingan stock opname - recheck. Bayangkan … di hari Raya apapun juga mereka tetap beroperasi walaupun jam bukanya digeser menjadi agak siang.
Carrefour juga merambah masuk pertokoan di tengah kota . Tetap dengan konsep hypermarket dan one stop shopping. Dengan sangat piawai mereka “mengeduk” isi dompet semua kalangan dimana mereka berada dengan berbagai marketing’s gimmick. Tak ada Carrefour yang sepi pengunjung dan berbelanja di Carrefour saat week end menjadi sangat tidak nyaman lagi.
Tanyalah pada orang Perancis yang mungkin anda kenal, bagaimana komentar mereka tentang keberadaan Carrefour di Indonesia. Mereka tentu akan geleng-geleng kepala. Entah karena kagum akan keberhasilan Carrefour menggaet pengunjung atau karena tidak habis pikir akan “isi kepala” para pembuat keputusan di Indonesia sehingga Carrefour bisa semena-mena dan hampir-hampir tanpa batas untuk menentukan lokasi hypermarket serta jam dan hari beroperasinya. Hal yang hampir mustahil mereka peroleh di negara asalnya. Benar-benar liberalisasi tanpa batas dan tanpa adanya perlindungan terhadap pemain kecil dan tradisional.
Jumlah Carrefour di Jakarta, ternyata lebih banyak daripada jumlahnya di Paris. Bahkan anda tidak akan pernah menemukan satupun hypermarket, apakah itu bernama Carrefour, Mammouth, Euromarche atau apapun namanya di pusat Paris ataupun pusat kota-kota lainnya di Perancis, kecuali mereka di luar outer ring road yang berarti di pinggiran kota.
Kebijakan ini dimaksudkan agar toko-toko makanan tradisional yang menjual sayur-mayur dan buah-buahan, daging-dagingan (bouchery), toko roti (boulangery) tetap hidup dan menghidupi dinamika masyarakat. Bahkan pada hari-hari tertentu, terutama week end, di berbagai lapangan parkir (place–plaza) atau di sebagian/potongan jalan di pusat kota digelar pasar tradisional yang hanya beroperasi hingga tengah hari saja.
Di negara asalnya, Carrefour dan seluruh “pasar modern” apakah itu supermarket atau hypermarket tidak akan pernah diijinkan untuk buka 7 hari seminggu atau 365 atau 366 hari setahun. Jaringan perpasaran modern itu akan bergantian menutup tokonya. Satu hari dalam seminggu.
Dengan posisi sebagai “penguasa” jaringan retailer di Indonesia, bukan tidak mungkin kalau Carrefour menangguk keuntungan terbesarnya bukan di negara asalnya tetapi dari Indonesia . Di negara dunia ketiga yang lokasinya sangat jauh. Negara yang konon masih merangkak-rangkak mengemis pinjaman kepada pemerintahnya dan bahkan mungkin sama sekali tidak dikenal atau dilirik oleh rakyat Perancis. Kecuali mungkin sekarang, kalau rakyat Perancis sadar akan kehadiran Anggun sebagai penyanyi asal Indonesia. Ironis sekali!!!!
Sungguh memprihatinkan kondisi perpasaran di Indonesia . Para pedagang lemah “dipaksa” bersaing dan berperang dengan pemodal raksasa tingkat dunia. Kalau pada awal keberadaan pasar modern bernama supermarket, hanya masyarakat golongan menengah atas yang mampu berbelanja, maka pada era Carrefour, seluruh golongan masyarakat memadatinya.
Harga yang ditawarkan tidak jauh berbeda dan bahkan terkadang lebih murah dari pasar tradisional. Kualitas barang-barangnya terjamin. Kesegaran buah-buahan dan sayur-mayur tidak perlu diragukan lagi. Dan yang terpenting, belanja di Carrefour bisa dimanfaatkan sebagai aktifitas keluarga.
Sungguh terasa sangat tidak adil menghadapkan para pedagang kecil pasar tradisional dengan segala kekumuhannya dengan pasar modern. Entah apa yang ada di dalam benak para pengambil keputusan di negeri ini tertutama mereka yang memberikan ijin operasi hypermarket. Lihat saja saat ini. Jangankan pasar tradisional, jaringan retailer lokal seperti Gelael dan Hero sudah menampakkan wajah yang semakin redup dan diakuisisi oleh pihak asing
*****
Sejujurnya, kalau saya kembali berbelanja ke pasar tradisional, tentu bukan karena alasan-alasan yang sok humanitarian. Kalau boleh diakui, awalnya hanya untuk “menyenangkan” hati ibu saya yang selalu “membanggakan” pedagang sayur langganannya. Ada rasa penasaran, untuk mengetahui siapakah sosok pedagang sayur itu. Kesempatan itu datang saat ibu saya harus “mengungsi” ke Bandung dan kemudian dirawat di rumah sakit hampir selama satu bulan karena DMnya kambuh.
Kekumuhan, kemacetan, kesemrawutan dan bebauan busuk yang langsung menyergap hidung di sekitar pasar hampir menyurutkan langkah saya untuk berbelanja. Namun waktu terus berjalan. Di tengah segala kesemrawutan itu ada nuansa dan suasana yang berbeda dengan “dingin”nya hypermarket. Ada interaksi antara penjual dan pembeli, ada kehangatan hubungan kemanusiaan. Tukar menukar info atau berbagi pengalaman dalam menangani “sisa sayuran” yang tidak laku mewarnai suasana berbelanja dan kadangkala info yang diperoleh di pasar bermanfaat untuk dijadikan resep olahan jenis hidangan baru.
Secara umum, tanpa melihat kualitas dan kesegarannya terutama bila berbelanja terlalu siang, harga hampir sebagian besar komoditi kebutuhan rumah tangga di pasar tradisional lebih murah dari supermarket. Namun, terkadang harga yang ditawarkan lebih mahal. Jadi, jangan terlalu berharap bahwa belanja di pasar tradisional akan lebih murah terutama bila kita termasuk jenis manusia yang tidak terlalu suka melakukan tawar menawar harga.
Mungkin ada baiknya bila kita mau mengubah paradigma yang ada di kepala, kala berbelanja di pasar tradisional. Jangan melakukan tawar menawar dengan pedagang kecil itu. Karena itulah yang kita lakukan saat kita berbelanja di hypermarket. Kasihan para pedagang kecil itu!!
Niatkan saja bahwa aktifitas belanja di pasar tradisional adalah bagian dari “berbagi” rejeki dengan sesama, yaitu kepada para pedagang kecil. Nggak ada ruginya kok. Daripada uang kita terus menerus mengisi pundi-pundi para pemodal Perancis itu? Ayo … pilih yang mana?
tulisan yg manis.
BalasHapussalam kenal, mbak lina.
Terima kasih perhatiannya... Salam kenal juga ya
Hapusmakasih mbak,
BalasHapusseneng rasanya masih ada yang cinta sama pasar tradisional.
mungkin mbak lina berkenan jalan2 ke web kami http://sekolahpasar.com/
makasih sekali lg :)
Mas Anto yth
BalasHapussaya sudah masuk web Sekolah pasar, begitu juga sdh klik LIKE di facebook
Semoga perjuangan anda dan rekan2 di UGM untuk memberdayakan Pasar Tradisional berjalan dengan lancar
Meski telat komen, saya merasa perlu mengapresiasi tulisan ini. Saya suka, tulisan ini ringan tapi pesannya tak terlewatkan, dan peting: mendukung keberadaan dan kesuksesan pasar tradisional..bijaksana dan penting. Salam kenal mbak Lina Alwi.
BalasHapusterima kasih mbak Neli ... salam kenal juga...
BalasHapusSaya masih suka dan tidak akan meninggalkan pasar tradisional