Hari ini, aku pulang cepat. Ada pertemuan orangtua dengan manajemen sekolah sekaligus pembagian raport tengah semester setelah anak-anak selesai mengikuti ujian tengah semester.
Konon kabarnya ... sekolah tidak pernah melakukan pertemuan dengan orangtua saat pengambilan raport tengah semester. Hal ini karena sebagian murid tinggal di asrama dan orangtua mereka ada yang tinggal di luar Jabodetabek. Bahkan ada yang tinggal di luar pulau Jawa. Tentu akan sangat merepotkan bila hanya untuk raport tengah semester saja mereka harus datang ke sekolah. Berat biayanya juga, terlebih bila mereka tidak memiliki rumah atau keluarga untuk ditumpangi.
Saya sendiri harus menyediakan waktu sekitar 2 jam untuk mencapai sekolah dan sudah diperkirakan tiba kembali di rumah menjelang maghrib.
Begitulah ... usai shalat dhuhur tanpa makan siang karena kebetulan sudah makan rujak nanas menjelang sahat, saya mulai berjalan menuju selatan Jakarta, menerobos kemacetan kota.
Tiba di sekolah sekitar jam 13.45, isi daftar hadir.... Alhamdulillah dapat nomor 2 untuk pengambilan raport. Mereka sudah mempersiapkan acar dengan sangat baik.
Seperti biasa ... tidak ada acara yang bisa dilaksanakan dengan tepat waktu di Indonesia, apalagi di Jabodetabek. Kemacetan yang tidak bisa diduga memang jadi satu alasan klasik.
Sekitar jam 14.30, Humas Sekolah mempersilakan Direktur Pendidikan sekolah membuka acara dan menjelaskan mengapa mereka perlu berdialog dengan orangtua siswa. Memang ada kejadian luar biasa yang terjadi di sekolah. Seluruh orangtua sebetulnya sudah mengetahi selintas peristiwa luar biasa yang terjadi di sekolah baik melalui anak-anak maupun dari sms yang dikirimkan humas sekolah. Namun demikian , sekolah merasa perlu menjelaskan lebih detail untuk menghindari kesimpangsiuran berita.
Kejadiannya bermula pada hari Selasa menjelang pemilikada DKI pada bulan September yang lalu. Seperti biasa, setiap hari Selasa, siswa diperkenankan keluar asrama selama maksimum 1 jam, yaitu saat usai shalat ashar dan harus kembali menjelang shalat maghrib.
Tersebutlah beberapa siswa yang belakangan diketahui sering "mangkal" di suatu tempat di Depok, rupanya mendapat kabar ada obat baru yang murah meriah. Karena siswa asrama bukan penduduk asli, maka mereka mencari siswa yang tinggal di wilayah sekitar untuk menjadi penunjuk jalan menuju toko obat. Siswa penunjuk jalan yang kebetulan bukan penghuni asrama, hanya tahu bahwa temannya membutuhkan obat.
Pada peristiwa hari Selasa itu tidak memiliki dampak luar biasa. Mungkin obat yang dikonsumsi memang bukan penenang jenis keras.
***
Pemilukada DKI, membuat sekolah mengijinkan siswa asrama yang sudah memiliki hak pilih untuk pulang pada hari sebelumnya dan mereka harus kembali ke asrama pada sore hari setelah pemungutan suara usai.
Keesokan harinya ... saat shalat Jum'at ... ada beberapa kejadian "aneh" ... Ada siswa yang mengulang-ulang khotbah dengan suara keras, ada yang linglung dan bahkan ada yang tertidur tanpa bisa dibangunkan.
Kejadian "aneh" tersebut terulang lagi saat mereka masuk kelas usai makan siang. Seorang siswa yang biasanya pendiam, hari itu begitu ceria ... bahkan tanpa sungkan, dia mendekati guru perempuannya sambil berkata :
"Miss ... anda hari ini cantik sekali..."
Salah satu siswa lainnya lalu maju meraih bahu si teman dan menenangkannya. Si guru yang terheran-heran dengan kejadian itu, lelau memperhatikan dengan seksama satu persatu siswa di kelasnya dan mendapati beberapa siswa berperilaku tidak semestinya. Dia langsung melaporkan kejadian tersebut kepada kepala sekolah dan Direktur Pendidikan. Ke empat siswa lalu "ditarik" keluar kelas untuk dilakukan test urine. Kebetulan mereka masih memiliki sedkit aparat test, sisa pelaksanaan test urine siswa kelas X, usai hari raya Idul Fitri yang lalu.
Ternyata urine ke 4 siswa tersebut positif mengandung zat psikotropika. Dalam keadaan setengah teler, mereka dikorek keterangan lebih lanjut. Dari mulut mereka keluar 4 nama lagi yang kemudian juga diketahui positif menggunakan zat terlarang. Secara total ada 12 siswa yang terjaring, namun pada 4 orang terakhir, hasil testnya negatif.
Maka Sekolah kemudian memanggil orangtua siswa untuk menjemput si anak dan mereka ber 8 dikenakan sanksi skors selama 2 minggu. Waktu yang dianggap cukup oleh manajemen sekolah untuk mengevaluasi kejadian luar biasa tersebut sekaligus melakukan investigasi lebih dalam atas latar belakang anak dan keluarganya.
Reaksi orangtua saat diminta datangpun sangat beragam. Ada yang pasrah tetapi ada juga yang marah seraya menuding sekolah tidak mampu mendidik siswa-siswanya serta menggugat rekam jejak sekolah. Demikianlah ke 8 anak "dirumahkan" sementara. 5 di antaranya kemudian kembali ke sekolah dan mengikuti ujian tengah semester.
3 siswa lainnya terpaksa dikembalikan kepada orangtuanya karena diketahui memang pemakai kambuhan.Mereka memang siswa pindahan dari sekolah lain. Salah satunya bahkan "alumni" pesantren Abah Anom yang memang diketahui dan sering dirujuk sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Orangtuapun seringkali kurang kooperatif. Bahkan satu di antaranya datang ke sekolah didampingi pengacara untuk memprotes keputusan sekolah. Si ibu yang tidak terima atas keputusan sekolah, membagikan hasil test anak yang dilaksanakan 11 hari sejak "tertangkapnya" si anak, yang tentu saja hasil test urinenya negatif, kepada siswa lainnya. Beruntung si pengacara bisa menerima alasan sekolah, apalagi setelah pengacara melihat validitas 2 kali hasil test urine yang dilakukan sekolah.
Apa yang mendasari sekolah mengembalikan anak ke tangan orangtua, sementara anak mempunyai hak untuk mendapat pendidikan. Yang pertama tentunya prinsip bahwa pendidikan yang utama adalah tanggungjawab orangtua. Sebagaimana ajaran agama, bahwa orangtualah yang menjadikan anaknya menjadi seorang muslim yang baik, penganut majusi atau nasrani. Sekolah hanyalah pelengkap pendidikan melalui jalur formal akademis.
Yang kedua adalah pilihan antara "memelihara" pecandu dengan resiko mempengaruhi teman-teman yang lainnya dan berakibat akan semakin meluasnya penggunaan narkotika di lingkungan sekolah. Ke 3 anak tersebut telah terbukti sebagai pengedar (sementara gratis) kepada ke 5 teman lainnya yang pemula dan membujuk mereka menggunakan. Keutamaan untuk melindungi siswa lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari jeratan penggunaan narkotika itulah yang mendasari keputusan memberhentikan siswa.
Sungguh memang suatu keputusan dilematis, tapi juga harus diterima dengan lapang dada oleh orangtua siswa-siswa tersebut. Semoga mereka, orangtua dan siswa mau mengintrospeksi diri. Terutama tentunya orangtuanya. Pendidikan anak pengguna narkotika memang harus kembali kepada kehangatan keluarga. Pengingkaran orangtua atas kondisi anak, baik karena rasa malu atau alasan lainnya hanya akan memperparah kondisi anak.
Narkotika sudah mengancam kehidupan anak-anak kita dimanapun mereka berada...
Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua, Amin...
Konon kabarnya ... sekolah tidak pernah melakukan pertemuan dengan orangtua saat pengambilan raport tengah semester. Hal ini karena sebagian murid tinggal di asrama dan orangtua mereka ada yang tinggal di luar Jabodetabek. Bahkan ada yang tinggal di luar pulau Jawa. Tentu akan sangat merepotkan bila hanya untuk raport tengah semester saja mereka harus datang ke sekolah. Berat biayanya juga, terlebih bila mereka tidak memiliki rumah atau keluarga untuk ditumpangi.
Saya sendiri harus menyediakan waktu sekitar 2 jam untuk mencapai sekolah dan sudah diperkirakan tiba kembali di rumah menjelang maghrib.
Begitulah ... usai shalat dhuhur tanpa makan siang karena kebetulan sudah makan rujak nanas menjelang sahat, saya mulai berjalan menuju selatan Jakarta, menerobos kemacetan kota.
Tiba di sekolah sekitar jam 13.45, isi daftar hadir.... Alhamdulillah dapat nomor 2 untuk pengambilan raport. Mereka sudah mempersiapkan acar dengan sangat baik.
Seperti biasa ... tidak ada acara yang bisa dilaksanakan dengan tepat waktu di Indonesia, apalagi di Jabodetabek. Kemacetan yang tidak bisa diduga memang jadi satu alasan klasik.
Sekitar jam 14.30, Humas Sekolah mempersilakan Direktur Pendidikan sekolah membuka acara dan menjelaskan mengapa mereka perlu berdialog dengan orangtua siswa. Memang ada kejadian luar biasa yang terjadi di sekolah. Seluruh orangtua sebetulnya sudah mengetahi selintas peristiwa luar biasa yang terjadi di sekolah baik melalui anak-anak maupun dari sms yang dikirimkan humas sekolah. Namun demikian , sekolah merasa perlu menjelaskan lebih detail untuk menghindari kesimpangsiuran berita.
Kejadiannya bermula pada hari Selasa menjelang pemilikada DKI pada bulan September yang lalu. Seperti biasa, setiap hari Selasa, siswa diperkenankan keluar asrama selama maksimum 1 jam, yaitu saat usai shalat ashar dan harus kembali menjelang shalat maghrib.
Tersebutlah beberapa siswa yang belakangan diketahui sering "mangkal" di suatu tempat di Depok, rupanya mendapat kabar ada obat baru yang murah meriah. Karena siswa asrama bukan penduduk asli, maka mereka mencari siswa yang tinggal di wilayah sekitar untuk menjadi penunjuk jalan menuju toko obat. Siswa penunjuk jalan yang kebetulan bukan penghuni asrama, hanya tahu bahwa temannya membutuhkan obat.
Pada peristiwa hari Selasa itu tidak memiliki dampak luar biasa. Mungkin obat yang dikonsumsi memang bukan penenang jenis keras.
***
Pemilukada DKI, membuat sekolah mengijinkan siswa asrama yang sudah memiliki hak pilih untuk pulang pada hari sebelumnya dan mereka harus kembali ke asrama pada sore hari setelah pemungutan suara usai.
Keesokan harinya ... saat shalat Jum'at ... ada beberapa kejadian "aneh" ... Ada siswa yang mengulang-ulang khotbah dengan suara keras, ada yang linglung dan bahkan ada yang tertidur tanpa bisa dibangunkan.
Kejadian "aneh" tersebut terulang lagi saat mereka masuk kelas usai makan siang. Seorang siswa yang biasanya pendiam, hari itu begitu ceria ... bahkan tanpa sungkan, dia mendekati guru perempuannya sambil berkata :
"Miss ... anda hari ini cantik sekali..."
Salah satu siswa lainnya lalu maju meraih bahu si teman dan menenangkannya. Si guru yang terheran-heran dengan kejadian itu, lelau memperhatikan dengan seksama satu persatu siswa di kelasnya dan mendapati beberapa siswa berperilaku tidak semestinya. Dia langsung melaporkan kejadian tersebut kepada kepala sekolah dan Direktur Pendidikan. Ke empat siswa lalu "ditarik" keluar kelas untuk dilakukan test urine. Kebetulan mereka masih memiliki sedkit aparat test, sisa pelaksanaan test urine siswa kelas X, usai hari raya Idul Fitri yang lalu.
Ternyata urine ke 4 siswa tersebut positif mengandung zat psikotropika. Dalam keadaan setengah teler, mereka dikorek keterangan lebih lanjut. Dari mulut mereka keluar 4 nama lagi yang kemudian juga diketahui positif menggunakan zat terlarang. Secara total ada 12 siswa yang terjaring, namun pada 4 orang terakhir, hasil testnya negatif.
Maka Sekolah kemudian memanggil orangtua siswa untuk menjemput si anak dan mereka ber 8 dikenakan sanksi skors selama 2 minggu. Waktu yang dianggap cukup oleh manajemen sekolah untuk mengevaluasi kejadian luar biasa tersebut sekaligus melakukan investigasi lebih dalam atas latar belakang anak dan keluarganya.
Reaksi orangtua saat diminta datangpun sangat beragam. Ada yang pasrah tetapi ada juga yang marah seraya menuding sekolah tidak mampu mendidik siswa-siswanya serta menggugat rekam jejak sekolah. Demikianlah ke 8 anak "dirumahkan" sementara. 5 di antaranya kemudian kembali ke sekolah dan mengikuti ujian tengah semester.
3 siswa lainnya terpaksa dikembalikan kepada orangtuanya karena diketahui memang pemakai kambuhan.Mereka memang siswa pindahan dari sekolah lain. Salah satunya bahkan "alumni" pesantren Abah Anom yang memang diketahui dan sering dirujuk sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Orangtuapun seringkali kurang kooperatif. Bahkan satu di antaranya datang ke sekolah didampingi pengacara untuk memprotes keputusan sekolah. Si ibu yang tidak terima atas keputusan sekolah, membagikan hasil test anak yang dilaksanakan 11 hari sejak "tertangkapnya" si anak, yang tentu saja hasil test urinenya negatif, kepada siswa lainnya. Beruntung si pengacara bisa menerima alasan sekolah, apalagi setelah pengacara melihat validitas 2 kali hasil test urine yang dilakukan sekolah.
Apa yang mendasari sekolah mengembalikan anak ke tangan orangtua, sementara anak mempunyai hak untuk mendapat pendidikan. Yang pertama tentunya prinsip bahwa pendidikan yang utama adalah tanggungjawab orangtua. Sebagaimana ajaran agama, bahwa orangtualah yang menjadikan anaknya menjadi seorang muslim yang baik, penganut majusi atau nasrani. Sekolah hanyalah pelengkap pendidikan melalui jalur formal akademis.
Yang kedua adalah pilihan antara "memelihara" pecandu dengan resiko mempengaruhi teman-teman yang lainnya dan berakibat akan semakin meluasnya penggunaan narkotika di lingkungan sekolah. Ke 3 anak tersebut telah terbukti sebagai pengedar (sementara gratis) kepada ke 5 teman lainnya yang pemula dan membujuk mereka menggunakan. Keutamaan untuk melindungi siswa lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari jeratan penggunaan narkotika itulah yang mendasari keputusan memberhentikan siswa.
Sungguh memang suatu keputusan dilematis, tapi juga harus diterima dengan lapang dada oleh orangtua siswa-siswa tersebut. Semoga mereka, orangtua dan siswa mau mengintrospeksi diri. Terutama tentunya orangtuanya. Pendidikan anak pengguna narkotika memang harus kembali kepada kehangatan keluarga. Pengingkaran orangtua atas kondisi anak, baik karena rasa malu atau alasan lainnya hanya akan memperparah kondisi anak.
Narkotika sudah mengancam kehidupan anak-anak kita dimanapun mereka berada...
Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua, Amin...