4 bulan ini anak gadisku tinggal di asrama sekolah dan karenanya di hari kerja, kami hanya tinggal berdua di induk rumah, di temani dengan tukang kebun dan assisten dapur serta anaknya yang masih bersekolah di kelas 2 SMK Grafika.
Sebetulnya, tidak ada perubahan berarti dalam kehidupan kami kecuali "hilangnya" anak kami selama hari kerja. Selain itu, tidak ada yang berubah karena masing-masing sibuk dengan kegiatan favoritnya yang pada umumnya berhubungan dengan gadget apakah itu laptop, android atau blackberry. Bahkan suara manusia "asli"pun jarang terdengar kecuali yang sudah tersaring melalui pengeras suara di televisi. Suara kucuran air di kolam ikan terdengar jauh lebih keras dibandingkan dengan suara kami. Seringkali hal ini dijadikan alasan untuk tidak saling berbicara karena suara kami sudah kalah bersaing.
Sebetulnya, tidak ada alasan khusus membiarkan anak kami masuk asrama. Kemanjaan yang bisa dianggap berlebihan masih dapat ditolerir. Anak kedua kami, seperti juga kakaknya, masing-masing hidup sebagai "anak tunggal" pada waktunya masing-masing.
Kalau mau jujur ... kami tentu lebih suka si anak tetap tinggal di rumah. Paling tidak, dia akan selalu menjadi daya tarik dan pengikat yang menyebabkan kami orangtuanya selalu ingin pulang lebih cepat dari kantor. Apalagi setelah si kakak meninggalkan rumah hampir 11 tahun yang lalu. Anak - anak adalah pengikat kehidupan rumah tangga orangtua. Mereka ada karena kehendak orangtuanya.
Tapi ... pada akhirnya kami harus menyerah... Mungkin lebih tepat dikatakan berkompromi.
Bukan .... bukan hanya orangtuanya saja, tetapi orangtua dan anak akhirnya harus berkompromi mengambil jalan tengah untuk sebuah pilihan bernama sekolah.
***
Begitu anak kami duduk di bangku kelas 9 alias kelas 3 SMP, perundingan mengenai SMA mana yang akan dimasukinya sudah dimulai. Sejak masuk taman bermain hingga SMP (saat itu) anak kami memang selalu bersekolah di sekolah swasta. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah karena sekolah swasta memulai pelajaran pada jam 07.30, sementara sekolah negeri pada jam 06.30. Jadi ada perbedaan 1 jam alias 60 menit yang lumayan panjang bagi anak kecil.
Selain itu, pada umumnya, sekolah swasta hanya belajar selama 5 hari dengan jam belajar yang lebih panjang dibandingkan sekolah negeri. 6 hari belajar, namun hanya sampai jam 13.00 saja. Jadi masih banyak waktu luang yang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar bisa menimbulkan ekses yang buruk.
Perubahan hari dan jam kerja di Jakarta menjadi 5 hari kerja hingga jam 17.00 tentunya sangat cocok bila si anak juga bersekolah yang menerapkan 5 hari belajar. Jadi anak dan orangtua bisa memanfaatkan 2 hari di akhir pekan bersama.
Maka, pada saat kami menawarkannya untuk masuk SMA negeri sebagaimana pilihan beberapa temannya sebagai persiapan ikut ujian masuk PTN, anakku menolak dengan tegas. Rumor perilaku bullying dari senior kepada yunior di sekolah negeri rupanya sudah menjadi rahasia umum. Namun bukan berarti dia juga mau menerima usulan kami untuk masuk SMA swasta baik yang beraffiliasi keagamaan maupun yang sekuler yang lokasinya masih dalam jangkauan kendaraan umum dan mudah dicapai. Rupanya, pilihannya sudah mantap ... yaitu sekolah yang sekarang dimasukinya.
Yang jadi persoalan.... jarak SMA favoritnya lumayan jauh dari rumah kami. Jarak 16km di Jabodetabek akan relatif menyiksa dan melelahkan apalagi bila ditempuh pada peak hour pagi dan sore hari. Bayangkan saja ... kantorku yang hanya berjarak 8km saja dari rumah harus kutempuh dalam waktu 1 jam. Dengan demikian minimal 2 jam harus kuhabiskan di jalan setiap hari. Itupun kalau lalu lintas dianggap normal ... Kalau musim hujan, waktu tempuh akan lebih panjang lagi.
Terbayang, minimal 1,5 jam harus disediakan untuk sekali jalan atau 3 jam setiap hari untuk perjalanan mencapai sekolah dan ini pasti sangat melelahkan untuk si anak. Apalagi tidak ada angkutan/jemputan dari sekolah. Anak SMA dianggap sudah mampu berangkat dengan angkutan umum. Tetapi andaikan ada layanan tersebut, maka waktu yang harus disediakan tentu akan lebih panjang lagi.
Begitulah ... ketika si anak tidak mau berpaling dari sekolah tujuannya itu, maka solusinya adalah dia harus mau tinggal di asrama agar jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sekolah setiap hari yang sangat melelahkan tidak lagi menjadi beban. Dengan demikian dia punya waktu yang cukup untuk istirahat .... walau ternyata kemudian kami ketahui, kehidupan asrama yang ketat dan "heboh"pun membuat si anak kelelahan. Tapi biarlah.... sejauh kegiatannya positif .... kenapa enggak? Toh di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk chatting atau browsing.
Walau aktifitas chat & browse tidak pula bisa dibilang "berbahaya", tetapi aktifitas itu menyebabkan anak tidak lagi memiliki kontak fisik dengan sesama manusia. Kalau kegiatan chatting menjadi gaya hidup dan kebiasaan manusia, jangan-jangan dalam 10 - 20 tahun lagi bahasa lisan menjadi hilang karena manusia tidak lagi bercakap dengan mengeluarkan suara. Bahkan bahasa tulisanpun menjadi rusak karena begitu banyaknya singkatan dan emoticon yang kita gunakan selama chatting.
Maka kehidupan asrama yang heboh akan menjadi ajang bersosialisasi bagi anak-anak kota yang biasanya terbelenggu oleh jeratan gadget. Tinggal bagaimana proses sosialisasi tersebut diarahkan untuk kegiatan yang positif. Dengan demikian fitrah manusia sebagai mahluk sosial tetap terpelihara. Terbina pula kemandirian, rasa tanggungjawab, tenggang rasa, empati dan lainnya. Toh sekolah tetap mewajibkan anak yang tinggal di Jabodetabek untuk pulang ke rumah setiap Jum'at sore untuk kembali ke asrama Minggu sore.
Ternyata perpisahanpun menjadi ajang belajar "mandiri" kembali buat orangtua, yaitu tidak mengandalkan bantuan si anak, dalam mengerjakan atau melaksanakan kegiatan di rumah. Juga menjadi ajang untuk tidak selalu "nggendoli" si anak, mengatur kehidupan si anak dengan dalih demi kebahagiaan anak. Orangtua ternyata juga perlu belajar "melepaskan" si anak ke dalam kehidupan riel di masyarakat.
Bukankah kewajiban orangtua hanya mengantarkan si anak agar dia bisa hidup secara mandiri kelak...? Bukan mengungkung si anak .... demi sebuah alasan... karena kasih sayang orangtua yang selalu ingin si anak berbahagia
Sebetulnya, tidak ada perubahan berarti dalam kehidupan kami kecuali "hilangnya" anak kami selama hari kerja. Selain itu, tidak ada yang berubah karena masing-masing sibuk dengan kegiatan favoritnya yang pada umumnya berhubungan dengan gadget apakah itu laptop, android atau blackberry. Bahkan suara manusia "asli"pun jarang terdengar kecuali yang sudah tersaring melalui pengeras suara di televisi. Suara kucuran air di kolam ikan terdengar jauh lebih keras dibandingkan dengan suara kami. Seringkali hal ini dijadikan alasan untuk tidak saling berbicara karena suara kami sudah kalah bersaing.
Sebetulnya, tidak ada alasan khusus membiarkan anak kami masuk asrama. Kemanjaan yang bisa dianggap berlebihan masih dapat ditolerir. Anak kedua kami, seperti juga kakaknya, masing-masing hidup sebagai "anak tunggal" pada waktunya masing-masing.
Kalau mau jujur ... kami tentu lebih suka si anak tetap tinggal di rumah. Paling tidak, dia akan selalu menjadi daya tarik dan pengikat yang menyebabkan kami orangtuanya selalu ingin pulang lebih cepat dari kantor. Apalagi setelah si kakak meninggalkan rumah hampir 11 tahun yang lalu. Anak - anak adalah pengikat kehidupan rumah tangga orangtua. Mereka ada karena kehendak orangtuanya.
Tapi ... pada akhirnya kami harus menyerah... Mungkin lebih tepat dikatakan berkompromi.
Bukan .... bukan hanya orangtuanya saja, tetapi orangtua dan anak akhirnya harus berkompromi mengambil jalan tengah untuk sebuah pilihan bernama sekolah.
***
Begitu anak kami duduk di bangku kelas 9 alias kelas 3 SMP, perundingan mengenai SMA mana yang akan dimasukinya sudah dimulai. Sejak masuk taman bermain hingga SMP (saat itu) anak kami memang selalu bersekolah di sekolah swasta. Ada berbagai pertimbangan, salah satunya adalah karena sekolah swasta memulai pelajaran pada jam 07.30, sementara sekolah negeri pada jam 06.30. Jadi ada perbedaan 1 jam alias 60 menit yang lumayan panjang bagi anak kecil.
Selain itu, pada umumnya, sekolah swasta hanya belajar selama 5 hari dengan jam belajar yang lebih panjang dibandingkan sekolah negeri. 6 hari belajar, namun hanya sampai jam 13.00 saja. Jadi masih banyak waktu luang yang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar bisa menimbulkan ekses yang buruk.
Perubahan hari dan jam kerja di Jakarta menjadi 5 hari kerja hingga jam 17.00 tentunya sangat cocok bila si anak juga bersekolah yang menerapkan 5 hari belajar. Jadi anak dan orangtua bisa memanfaatkan 2 hari di akhir pekan bersama.
Maka, pada saat kami menawarkannya untuk masuk SMA negeri sebagaimana pilihan beberapa temannya sebagai persiapan ikut ujian masuk PTN, anakku menolak dengan tegas. Rumor perilaku bullying dari senior kepada yunior di sekolah negeri rupanya sudah menjadi rahasia umum. Namun bukan berarti dia juga mau menerima usulan kami untuk masuk SMA swasta baik yang beraffiliasi keagamaan maupun yang sekuler yang lokasinya masih dalam jangkauan kendaraan umum dan mudah dicapai. Rupanya, pilihannya sudah mantap ... yaitu sekolah yang sekarang dimasukinya.
Yang jadi persoalan.... jarak SMA favoritnya lumayan jauh dari rumah kami. Jarak 16km di Jabodetabek akan relatif menyiksa dan melelahkan apalagi bila ditempuh pada peak hour pagi dan sore hari. Bayangkan saja ... kantorku yang hanya berjarak 8km saja dari rumah harus kutempuh dalam waktu 1 jam. Dengan demikian minimal 2 jam harus kuhabiskan di jalan setiap hari. Itupun kalau lalu lintas dianggap normal ... Kalau musim hujan, waktu tempuh akan lebih panjang lagi.
Terbayang, minimal 1,5 jam harus disediakan untuk sekali jalan atau 3 jam setiap hari untuk perjalanan mencapai sekolah dan ini pasti sangat melelahkan untuk si anak. Apalagi tidak ada angkutan/jemputan dari sekolah. Anak SMA dianggap sudah mampu berangkat dengan angkutan umum. Tetapi andaikan ada layanan tersebut, maka waktu yang harus disediakan tentu akan lebih panjang lagi.
Begitulah ... ketika si anak tidak mau berpaling dari sekolah tujuannya itu, maka solusinya adalah dia harus mau tinggal di asrama agar jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sekolah setiap hari yang sangat melelahkan tidak lagi menjadi beban. Dengan demikian dia punya waktu yang cukup untuk istirahat .... walau ternyata kemudian kami ketahui, kehidupan asrama yang ketat dan "heboh"pun membuat si anak kelelahan. Tapi biarlah.... sejauh kegiatannya positif .... kenapa enggak? Toh di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk chatting atau browsing.
Walau aktifitas chat & browse tidak pula bisa dibilang "berbahaya", tetapi aktifitas itu menyebabkan anak tidak lagi memiliki kontak fisik dengan sesama manusia. Kalau kegiatan chatting menjadi gaya hidup dan kebiasaan manusia, jangan-jangan dalam 10 - 20 tahun lagi bahasa lisan menjadi hilang karena manusia tidak lagi bercakap dengan mengeluarkan suara. Bahkan bahasa tulisanpun menjadi rusak karena begitu banyaknya singkatan dan emoticon yang kita gunakan selama chatting.
Maka kehidupan asrama yang heboh akan menjadi ajang bersosialisasi bagi anak-anak kota yang biasanya terbelenggu oleh jeratan gadget. Tinggal bagaimana proses sosialisasi tersebut diarahkan untuk kegiatan yang positif. Dengan demikian fitrah manusia sebagai mahluk sosial tetap terpelihara. Terbina pula kemandirian, rasa tanggungjawab, tenggang rasa, empati dan lainnya. Toh sekolah tetap mewajibkan anak yang tinggal di Jabodetabek untuk pulang ke rumah setiap Jum'at sore untuk kembali ke asrama Minggu sore.
Ternyata perpisahanpun menjadi ajang belajar "mandiri" kembali buat orangtua, yaitu tidak mengandalkan bantuan si anak, dalam mengerjakan atau melaksanakan kegiatan di rumah. Juga menjadi ajang untuk tidak selalu "nggendoli" si anak, mengatur kehidupan si anak dengan dalih demi kebahagiaan anak. Orangtua ternyata juga perlu belajar "melepaskan" si anak ke dalam kehidupan riel di masyarakat.
Bukankah kewajiban orangtua hanya mengantarkan si anak agar dia bisa hidup secara mandiri kelak...? Bukan mengungkung si anak .... demi sebuah alasan... karena kasih sayang orangtua yang selalu ingin si anak berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar