Pagi tadi, saat sedang mengendarai mobil, tiba-tiba terdengar bunyi di perangkat Blackberry saya. Ada pesan masuk ....
"Mbak, do'a apa yaa supaya anak menjadi sholeh? Anakku yang gede kan aku pindahin sekolahnya dari Highscope ke Mentari. Sekarang anaknya ngomel gak mau dan pengen dipindahin lagi ke Highscope. Doa apa yaa supaya anakku jadi sholeh dan mau terus di Mentari? Mungkin punya pengalaman sama? Nuhun({})", begitu isi lengkap pesan yang masuk.
"Nanti, tiba di kantor aku ☎ ya, sekarang lagi setir!"
Duh ....., masih pagi begini kok sudah dapat pertanyaan berat. Walau sudah punya dua anak, dengan beda 15 tahun dimana satu sudah bekerja dan yang kecil duduk di bangku SMA kelas XI, tapi memberikan jawaban yang mudah diterima secara nalar dan emosi seorang ibu, pasti bukan soal mudah. Apalagi kalau ditambah dengan kiat mendoakan anak, atau menanyakan doa khusus. Waduh ... berat banget deh... saya bukan ustazah. Cuma ibu dari sepasang anak, seperti yang lain. Bedanya, kedua anak saya lahir dalam rentang waktu yang sangat jauh. Lagi pula ... apa yang saya didoakan buat anak adalah doa standar saja. Pasti doa-doa yang baik buat anak ... untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Teman saya itu memang dari kalangan the haves. Ini istilah "kuno" yang banyak digunakan pada era tahun 1970an untuk menunjukkan golongan orang berada, yaitu golongan menengah atas dan golongan atas, ditinjau dari sudut kekayaan. Suaminya kalau tidak salah bekerja di perusahaan minyak. Dia sendiri executive di salah satu perusahaan pengembang alias developer yang proyek-proyeknya lebih banyak membangun apartemen selain memiliki usaha bakery. Jadi secara materi mereka hidup sangat berkecukupan.
Itu sebabnya pula, maka pilihannya dalam menyekolahkan anak adalah sekolah national plus yang menyandang embel-embel IB alias International Baccalaureate. Entah dengan pertimbangan bahwa si anak kelak akan meneruskan sekolah di luar negeri atau hanya karena snobisme. Apapun alasannya ... memang begitulah gaya hidup sebagian golongan berpunya di kota-kota besar Indonesia saat memilih sekolah anak-anaknya.
Tiba di kantor, usai menyelesaikan beberapa dokumen di atas meja, sebelum tenggelam dan larut dalam pekerjaan, saya sempatkan menelpon teman tersebut. Dia pasti sudah menunggu-nunggu.
"Jadi ........, apa doa-doanya...? Lieur euy urang....!", begitu sergapnya menyambut telpon.
Duh, saya juga bingung mau jawab apa....? Ya... itu tadi, saya bukan ustazah. Modal dalam doa untuk anak-anak juga standar aja kok ...., sangat tidak fasih apalagi hafal doa-doa dalam bahasa Arab. Toh Allah Maha Tahu akan doa yang dipanjatkan seorang ibu bagi anak-anaknya. Yang penting tulus dan ikhlas bagi kebaikan dan kebahagiaan anak lahir batin, dunia akhirat.
"Doaku standar aja kok .... gak ada yang aneh-aneh....! Tapi ..... yang lebih penting, menurutku adalah sinkronisasi antara doa yang kita minta pada Allah SWT dengan perilaku kita sebagai orangtua. Bagaimana mungkin kita meminta pada Allah SWT berbagai hal yang baik-baik, sementara kita sebagai orangtua tidak memberi contoh yang sama dengan apa yang kita panjatkan?", tanpa sadar saya kok jadi nyerocos panjang lebar.
"Maksudna teh kumaha...?, tanyanya lagi, dalam bahasa campuran Sunda, daerah asalnya.
Ibu cantik ini memang berasal dari Bandung dan konon pada masa mudanya sempat main film jadi figuran di beberapa filmnya warkop.
"Ya .... begitu...! Doa yang kita panjatkan itu, in sha Allah akan dikabulkan Allah SWT, tapi bagaimana bentuk dan kapan waktunya, tidak ada yang tahu. Selama itu, si anak tumbuh dan berkembang mengikuti dan mencontoh apa yang ada disekitarnya. Dari orangtuanya, dari lingkungannya baik di rumah maupun di sekolah. Mereka cenderung "mengambil" apa yang mudah dan menyenangkan hati tanpa pikir panjang. Kalau orangtua tidak konsisten antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan, mana mungkin anak mau patuh? Tapi .... sebetulnya ada apa sih?", tanyaku, ingin tahu juga apa yang sebenarnya terjadi sebelum larut dalam perbincangan.
"Ieu tah .... yang pernah aku cerita tea. Anakku akhirnya aku masukkan ke Mentari, di salah satu kawasan perumahan elite lah! Asupna ge, geus 60 jutaan .... terus bulanan-nana ge, opat jutaan. Belum lagi buat kegiatan ini itu. Sakolana teh siga supermarket ... Saban kegiatan aya hargana. Jadi nggak murah juga....!!!", celotehnya seperti biasa, dalam bahasa campuran.
"Lalu ...?"
"Tah .... kamari teh, manehan-nana ketemu jeung teman2 sakolana ti SD jeung SMP ... Terus, biasalah... ngobrol ngalor ngidul, kesana-kemari, sampe pada kesimpulan, bahwa sekolah SMPnya itu the best lah .... moal aya duana!"
Hm ....., memang nggak ada salahnya. Sekolah dimana anaknya menjalani pendidikan SMP nya memang salah satu sekolah elite di bilangan Jakarta Selatan dengan gedung mewah dan pastinya biaya pendidikan yang luar biasa mahalnya bagi orang kebanyakan. Dan ... pasti dengan embel-embel IB yang sangat digandrungi kalangan berduit.
"Memang apa pembeda antara Mentari dan Highscope itu?"
"Sebetulnya sih nggak terlalu banyak beda. Guru-guruna sama aja. Kebanyakan Filipino dan ni anak ku urang malah diikutkeun program IB. Soalna, barudak yang ikut program nasional ngan saeutik. Kebanyakan ikut IB. Memang sih, bayaran sekolahnya lebih murah dibanding sekolah yang lama, tapi sebetulnya kan, bukan itu alasan pindahannya."
Teman saya ini, jauh sebelum tahun ajaran 2013, yaitu sekitar bulan Nopember 2012 yang lalu sudah pernah menanyakan rekomendasi saya untuk sekolah anaknya yang akan menempuh ujian SMP. Sempat terbersit keinginannya untuk masuk boarding school dan menjajaki kemungkinan si anak untuk masuk ke sekolah dimana anak saya sekarang bersekolah. Alasan utamanya adalah karena dia ingin si anak mendapat pengajaran dan pendidikan agama yang baik. SMPnya saat itu adalah sekolah sekuler yang sangat liberal dan dia sangat khawatir melihat dan mengamati perkembangan pergaulan si anak dengan teman-temannya. Teman-teman sekolah anaknya sudah tentu datang dari golongan menengah atas lengkap dengan gaya hidup borjuis, materialistis dan hedonistis. Namun kemudian, sepertinya keinginan tersebut tidak pernah diteruskan entah karena pertimbangan apa.
"Sebetulnya, si anak memang ingin meneruskan SMA di sekolah yang sama, tapi .... urang khawatir euy. Coba bayangin ... bebekelan itu teman2na teh, bukan cuma urusan ratusan rebu ...! Itungannya geus jut-jutan atawa kartu kredit! Ngeri kan ....? Gimana gua bisa menerapkan gaya hidup sederhana? Pernah suatu kali, anak gue menta duit keur nongton band .... teuinglah band naon, poho urang .... Pokona, harga karcisna teh 750 rebu! Ku urang teu dibere .... eh .... ditraktir...! dipangmayarkeun...! Coba... gelo, teu...?", panjang lebar dia cerita ....
"Mangkana ....ku urang dibujukan, supaya mau pindah dari situ. Dibujuk, dibawa libur ke Jepang, supaya dia maulah pindah sekolah....! Padahal, tadina mah nggak ada rencana sama sekali jalan-jalan ka Jepang...".
"Sekolah kan baru 1 minggu, kok sudah ribut mau keluar? Terlalu jauh kali ya ? dan ortunya atau supir ngrasa cape antar jemput?"
"Gak juga ah .... kan ada school bus. Jadi, antar jemputnya sampe citos doang"
"Lalu ....?"
"Ya itu tadi, gara-gara ketemu temen2nya tea .... udah gitu suami juga ngedukung lagi"
"Memang waktu mindahin anak sekolah, nggak berunding dan sepaham sama suami?"
"Sudah .......!!! Dia mendukung kok..."
"Nah..., lalu kenapa suami berubah pikiran?
"Beberapa hari yang lalu, suami teh nganter .... trus ngeluh. Yang jalan masuk ke sekolahnya kecillah ... yang jeleklah. Memang bangunan sekolahnya juga nggak semegah sekolah lamanya... Lebih sederhana. Nah, pulang dari situ, ada aja masalah. Jadi, sejak itu, dia mendukung banget kemauan si anak buat balik ke sekolah lama".
"Pasti perdebatan tentang sekolah itu dilakukan di depan si anak ya...?", terka saya.
"Bukan debat lagi ....! Perang dunia...! Si anak ngrasa didukung bapaknya, dia bilang ...mamah mindahin aku supaya bayarannya murah ya... ngrasa rugi nyekolahin anak di sekolah yang bagus! Bayangin ... apa nggak sebel...?"
***
Bingung juga mesti menanggapi apa. Hampir 2 tahun lalu, saya juga berdebat cukup panjang dengan anak saat dia duduk di kelas 3 SMP semester 1. Saat itu, kami mulai berbincang mengenai rencana sekolah lanjutannya. Kriteria si anak adalah sekolahnya harus masuk jam 07.30 karena dia nggak mau berangkat terlalu pagi, ngantuk, katanya. Tidak mau sekolah negeri, karena dia banyak dengar cerita tentang bullying di sekolah negeri.
Atas dasar kriteria utama itu, kami mengusulkan beberapa SMA swasta yang kami pikir punya reputasi baik dalam segi akademis maupun pendidikan budi pekerti, moral dan agama. Hal yang penting dipertimbangkan juga adalah keterjangkauan transportasi. Namun semua usulan kami ditolaknya untuk alasan yang .... alhamdulillah, tidak pernah kami pikirkan sejauh itu. Tapi alasannya juga merupakan salah satu hal penting untuk menjaga kehormatan diri, terutama bagi anak perempuan. Anak saya memilih sekolah yang sama dengan SMPnya namun untuk tingkat SMAnya berlokasi di Sawangan. Berbagai upaya untuk memintanya bersekolah di Jakarta selalu ditolak.
Setelah bernegosiasi panjang, akhirnya dicapai solusi tengah, si anak boleh bersekolah di SMA pilihannya namun harus masuk asrama. Bukan karena kami membuangnya, namun lebih pada alasan agar dia tidak terlalu lelah menempuh perjalanan setiap hari, karena jadwal sekolahnya baru selesai sekitar jam 17.00. Walau si bapak berkantor di Depok, namun saat si bapak berhalangan menjemput usai jam sekolah, maka kami akan sangat kesulitan menjemputnya ke Sawangan.
***
"Tya ...., jujur aku bingung mesti jawab apa....! Tapi menurutku, samakan dulu persepsi orangtua mengenai sekolah dan pendidikan anak. Berikan juga contoh bahwa kedua orangtua konsisten dengan pilihan cara mendidik dengan perilaku kita. Nggak mungkinlah kita mendidik anak harus begini-begitu sementara ortu tidak memberikan contoh seperti apa yang dia harapkan dari si anak.... Anak kan cenderung meniru dan cermin dari apa yang diperbuat orangtua. Mereka hanya akan mengambil hal-hal yang enak dan menyenangkan saja",celoteh sok menggurui hehe....
"Memang maneh tara pasea jeung salaki soal sakola barudak...?, tanyanya
"Seringlah ..... tapi, elo lupa ya kalo suamiku dosen? Percuma debat soal pendidikan sama dia... Yang ada juga, gue dapet kuliah pedagogi gratis panjang lebar di meja makan. Kedua anakku tumbuh dalam rentang waktu yang panjang. Pasti ada perbedaan besar dalam mendidik mereka. Alhamdulillah mereka baik-baik saja walau jujur... gue harus mengakui, gue mungkin bukan ibu yang baik buat mereka", sahutku...
***
Ya ....., saya memang bukan ibu yang baik bagi kedua anak saya. Justru merekalah menjadi anak-anak yang sangat baik bagi kedua orangtuanya. Punya karakter yang kuat dan sebagai ibu, sekarang terasa bahwa saya seringkali mengecewakan mereka. Bukan karena tidak sayang kepada mereka, tapi bisa jadi karena saya tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara untuk mengekspresikan kasih sayang dengan cara yang baik dan benar....
"Iya juga kali ya .... urang jeung salaki teh agak kurang sepaham dalam pendidikan anak, jadi pasea terus...."
"Nah kalo gitu... coba ngomong sama suami... dengan kepala dingin... karena perempuan cenderung emosional kalo lagi ngomong sama suami. Jangan juga di depan anak ... nanti jadi bumerang. Kalau sudah sepaham, apa yang kita harapkan dari anak, harus diterapkan juga dalam perilaku orangtua supaya si anak juga bisa melihat bahwa orangtuanya konsisten omongan dan tindakan. Kalau sudah begitu, kan konsisten tuh antara doa ortu dengan contoh kehidupan yang dilihat anak .... In shaa Allah semua bakal beres"
"Iya deh .... gue coba ngomong sama suami ....!, semoga lancar...."
"Amiiinn ....."
upf .... obrolan telpon yang cukup lama akhirnya berakhir ....
***
Memilik anak di abad ke 21 ini sungguh-sungguh berat. Kemajuan teknologi menyebabkan sebaran informasi mengalir tak terbendung. Apa yang terjadi di belahan dunia manapun, dalam hitungan detik tersebar ke seluruh penjuru dunia. Apa yang diterbitkan, diedarkan dan dipasarkan di suatu tempatpun begitu pula.
Sebagai negeri berkembang, penduduk Indonesia berkiblat habis-habisan ke negara-negara yang dianggapnya lebih maju dalam segala hal. Segala macam ditiru... dari mulai pakaian hingga perilaku dan gaya hidup. Padahal kesemuanya belum tentu semua cocok bagi kita.
Gadget sudah menguasai dunia dan mengganti pola komunikasi interpersonal dan apakah karenanya penduduk Indonesia mengalami gegar budaya yang luar biasa? Wallahu alam
"Mbak, do'a apa yaa supaya anak menjadi sholeh? Anakku yang gede kan aku pindahin sekolahnya dari Highscope ke Mentari. Sekarang anaknya ngomel gak mau dan pengen dipindahin lagi ke Highscope. Doa apa yaa supaya anakku jadi sholeh dan mau terus di Mentari? Mungkin punya pengalaman sama? Nuhun({})", begitu isi lengkap pesan yang masuk.
"Nanti, tiba di kantor aku ☎ ya, sekarang lagi setir!"
Duh ....., masih pagi begini kok sudah dapat pertanyaan berat. Walau sudah punya dua anak, dengan beda 15 tahun dimana satu sudah bekerja dan yang kecil duduk di bangku SMA kelas XI, tapi memberikan jawaban yang mudah diterima secara nalar dan emosi seorang ibu, pasti bukan soal mudah. Apalagi kalau ditambah dengan kiat mendoakan anak, atau menanyakan doa khusus. Waduh ... berat banget deh... saya bukan ustazah. Cuma ibu dari sepasang anak, seperti yang lain. Bedanya, kedua anak saya lahir dalam rentang waktu yang sangat jauh. Lagi pula ... apa yang saya didoakan buat anak adalah doa standar saja. Pasti doa-doa yang baik buat anak ... untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Teman saya itu memang dari kalangan the haves. Ini istilah "kuno" yang banyak digunakan pada era tahun 1970an untuk menunjukkan golongan orang berada, yaitu golongan menengah atas dan golongan atas, ditinjau dari sudut kekayaan. Suaminya kalau tidak salah bekerja di perusahaan minyak. Dia sendiri executive di salah satu perusahaan pengembang alias developer yang proyek-proyeknya lebih banyak membangun apartemen selain memiliki usaha bakery. Jadi secara materi mereka hidup sangat berkecukupan.
Itu sebabnya pula, maka pilihannya dalam menyekolahkan anak adalah sekolah national plus yang menyandang embel-embel IB alias International Baccalaureate. Entah dengan pertimbangan bahwa si anak kelak akan meneruskan sekolah di luar negeri atau hanya karena snobisme. Apapun alasannya ... memang begitulah gaya hidup sebagian golongan berpunya di kota-kota besar Indonesia saat memilih sekolah anak-anaknya.
Tiba di kantor, usai menyelesaikan beberapa dokumen di atas meja, sebelum tenggelam dan larut dalam pekerjaan, saya sempatkan menelpon teman tersebut. Dia pasti sudah menunggu-nunggu.
"Jadi ........, apa doa-doanya...? Lieur euy urang....!", begitu sergapnya menyambut telpon.
Duh, saya juga bingung mau jawab apa....? Ya... itu tadi, saya bukan ustazah. Modal dalam doa untuk anak-anak juga standar aja kok ...., sangat tidak fasih apalagi hafal doa-doa dalam bahasa Arab. Toh Allah Maha Tahu akan doa yang dipanjatkan seorang ibu bagi anak-anaknya. Yang penting tulus dan ikhlas bagi kebaikan dan kebahagiaan anak lahir batin, dunia akhirat.
"Doaku standar aja kok .... gak ada yang aneh-aneh....! Tapi ..... yang lebih penting, menurutku adalah sinkronisasi antara doa yang kita minta pada Allah SWT dengan perilaku kita sebagai orangtua. Bagaimana mungkin kita meminta pada Allah SWT berbagai hal yang baik-baik, sementara kita sebagai orangtua tidak memberi contoh yang sama dengan apa yang kita panjatkan?", tanpa sadar saya kok jadi nyerocos panjang lebar.
"Maksudna teh kumaha...?, tanyanya lagi, dalam bahasa campuran Sunda, daerah asalnya.
Ibu cantik ini memang berasal dari Bandung dan konon pada masa mudanya sempat main film jadi figuran di beberapa filmnya warkop.
"Ya .... begitu...! Doa yang kita panjatkan itu, in sha Allah akan dikabulkan Allah SWT, tapi bagaimana bentuk dan kapan waktunya, tidak ada yang tahu. Selama itu, si anak tumbuh dan berkembang mengikuti dan mencontoh apa yang ada disekitarnya. Dari orangtuanya, dari lingkungannya baik di rumah maupun di sekolah. Mereka cenderung "mengambil" apa yang mudah dan menyenangkan hati tanpa pikir panjang. Kalau orangtua tidak konsisten antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan, mana mungkin anak mau patuh? Tapi .... sebetulnya ada apa sih?", tanyaku, ingin tahu juga apa yang sebenarnya terjadi sebelum larut dalam perbincangan.
"Ieu tah .... yang pernah aku cerita tea. Anakku akhirnya aku masukkan ke Mentari, di salah satu kawasan perumahan elite lah! Asupna ge, geus 60 jutaan .... terus bulanan-nana ge, opat jutaan. Belum lagi buat kegiatan ini itu. Sakolana teh siga supermarket ... Saban kegiatan aya hargana. Jadi nggak murah juga....!!!", celotehnya seperti biasa, dalam bahasa campuran.
"Lalu ...?"
"Tah .... kamari teh, manehan-nana ketemu jeung teman2 sakolana ti SD jeung SMP ... Terus, biasalah... ngobrol ngalor ngidul, kesana-kemari, sampe pada kesimpulan, bahwa sekolah SMPnya itu the best lah .... moal aya duana!"
Hm ....., memang nggak ada salahnya. Sekolah dimana anaknya menjalani pendidikan SMP nya memang salah satu sekolah elite di bilangan Jakarta Selatan dengan gedung mewah dan pastinya biaya pendidikan yang luar biasa mahalnya bagi orang kebanyakan. Dan ... pasti dengan embel-embel IB yang sangat digandrungi kalangan berduit.
"Memang apa pembeda antara Mentari dan Highscope itu?"
"Sebetulnya sih nggak terlalu banyak beda. Guru-guruna sama aja. Kebanyakan Filipino dan ni anak ku urang malah diikutkeun program IB. Soalna, barudak yang ikut program nasional ngan saeutik. Kebanyakan ikut IB. Memang sih, bayaran sekolahnya lebih murah dibanding sekolah yang lama, tapi sebetulnya kan, bukan itu alasan pindahannya."
Teman saya ini, jauh sebelum tahun ajaran 2013, yaitu sekitar bulan Nopember 2012 yang lalu sudah pernah menanyakan rekomendasi saya untuk sekolah anaknya yang akan menempuh ujian SMP. Sempat terbersit keinginannya untuk masuk boarding school dan menjajaki kemungkinan si anak untuk masuk ke sekolah dimana anak saya sekarang bersekolah. Alasan utamanya adalah karena dia ingin si anak mendapat pengajaran dan pendidikan agama yang baik. SMPnya saat itu adalah sekolah sekuler yang sangat liberal dan dia sangat khawatir melihat dan mengamati perkembangan pergaulan si anak dengan teman-temannya. Teman-teman sekolah anaknya sudah tentu datang dari golongan menengah atas lengkap dengan gaya hidup borjuis, materialistis dan hedonistis. Namun kemudian, sepertinya keinginan tersebut tidak pernah diteruskan entah karena pertimbangan apa.
"Sebetulnya, si anak memang ingin meneruskan SMA di sekolah yang sama, tapi .... urang khawatir euy. Coba bayangin ... bebekelan itu teman2na teh, bukan cuma urusan ratusan rebu ...! Itungannya geus jut-jutan atawa kartu kredit! Ngeri kan ....? Gimana gua bisa menerapkan gaya hidup sederhana? Pernah suatu kali, anak gue menta duit keur nongton band .... teuinglah band naon, poho urang .... Pokona, harga karcisna teh 750 rebu! Ku urang teu dibere .... eh .... ditraktir...! dipangmayarkeun...! Coba... gelo, teu...?", panjang lebar dia cerita ....
"Mangkana ....ku urang dibujukan, supaya mau pindah dari situ. Dibujuk, dibawa libur ke Jepang, supaya dia maulah pindah sekolah....! Padahal, tadina mah nggak ada rencana sama sekali jalan-jalan ka Jepang...".
"Sekolah kan baru 1 minggu, kok sudah ribut mau keluar? Terlalu jauh kali ya ? dan ortunya atau supir ngrasa cape antar jemput?"
"Gak juga ah .... kan ada school bus. Jadi, antar jemputnya sampe citos doang"
"Lalu ....?"
"Ya itu tadi, gara-gara ketemu temen2nya tea .... udah gitu suami juga ngedukung lagi"
"Memang waktu mindahin anak sekolah, nggak berunding dan sepaham sama suami?"
"Sudah .......!!! Dia mendukung kok..."
"Nah..., lalu kenapa suami berubah pikiran?
"Beberapa hari yang lalu, suami teh nganter .... trus ngeluh. Yang jalan masuk ke sekolahnya kecillah ... yang jeleklah. Memang bangunan sekolahnya juga nggak semegah sekolah lamanya... Lebih sederhana. Nah, pulang dari situ, ada aja masalah. Jadi, sejak itu, dia mendukung banget kemauan si anak buat balik ke sekolah lama".
"Pasti perdebatan tentang sekolah itu dilakukan di depan si anak ya...?", terka saya.
"Bukan debat lagi ....! Perang dunia...! Si anak ngrasa didukung bapaknya, dia bilang ...mamah mindahin aku supaya bayarannya murah ya... ngrasa rugi nyekolahin anak di sekolah yang bagus! Bayangin ... apa nggak sebel...?"
***
Bingung juga mesti menanggapi apa. Hampir 2 tahun lalu, saya juga berdebat cukup panjang dengan anak saat dia duduk di kelas 3 SMP semester 1. Saat itu, kami mulai berbincang mengenai rencana sekolah lanjutannya. Kriteria si anak adalah sekolahnya harus masuk jam 07.30 karena dia nggak mau berangkat terlalu pagi, ngantuk, katanya. Tidak mau sekolah negeri, karena dia banyak dengar cerita tentang bullying di sekolah negeri.
Atas dasar kriteria utama itu, kami mengusulkan beberapa SMA swasta yang kami pikir punya reputasi baik dalam segi akademis maupun pendidikan budi pekerti, moral dan agama. Hal yang penting dipertimbangkan juga adalah keterjangkauan transportasi. Namun semua usulan kami ditolaknya untuk alasan yang .... alhamdulillah, tidak pernah kami pikirkan sejauh itu. Tapi alasannya juga merupakan salah satu hal penting untuk menjaga kehormatan diri, terutama bagi anak perempuan. Anak saya memilih sekolah yang sama dengan SMPnya namun untuk tingkat SMAnya berlokasi di Sawangan. Berbagai upaya untuk memintanya bersekolah di Jakarta selalu ditolak.
Setelah bernegosiasi panjang, akhirnya dicapai solusi tengah, si anak boleh bersekolah di SMA pilihannya namun harus masuk asrama. Bukan karena kami membuangnya, namun lebih pada alasan agar dia tidak terlalu lelah menempuh perjalanan setiap hari, karena jadwal sekolahnya baru selesai sekitar jam 17.00. Walau si bapak berkantor di Depok, namun saat si bapak berhalangan menjemput usai jam sekolah, maka kami akan sangat kesulitan menjemputnya ke Sawangan.
***
"Tya ...., jujur aku bingung mesti jawab apa....! Tapi menurutku, samakan dulu persepsi orangtua mengenai sekolah dan pendidikan anak. Berikan juga contoh bahwa kedua orangtua konsisten dengan pilihan cara mendidik dengan perilaku kita. Nggak mungkinlah kita mendidik anak harus begini-begitu sementara ortu tidak memberikan contoh seperti apa yang dia harapkan dari si anak.... Anak kan cenderung meniru dan cermin dari apa yang diperbuat orangtua. Mereka hanya akan mengambil hal-hal yang enak dan menyenangkan saja",celoteh sok menggurui hehe....
"Memang maneh tara pasea jeung salaki soal sakola barudak...?, tanyanya
"Seringlah ..... tapi, elo lupa ya kalo suamiku dosen? Percuma debat soal pendidikan sama dia... Yang ada juga, gue dapet kuliah pedagogi gratis panjang lebar di meja makan. Kedua anakku tumbuh dalam rentang waktu yang panjang. Pasti ada perbedaan besar dalam mendidik mereka. Alhamdulillah mereka baik-baik saja walau jujur... gue harus mengakui, gue mungkin bukan ibu yang baik buat mereka", sahutku...
***
Ya ....., saya memang bukan ibu yang baik bagi kedua anak saya. Justru merekalah menjadi anak-anak yang sangat baik bagi kedua orangtuanya. Punya karakter yang kuat dan sebagai ibu, sekarang terasa bahwa saya seringkali mengecewakan mereka. Bukan karena tidak sayang kepada mereka, tapi bisa jadi karena saya tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara untuk mengekspresikan kasih sayang dengan cara yang baik dan benar....
"Iya juga kali ya .... urang jeung salaki teh agak kurang sepaham dalam pendidikan anak, jadi pasea terus...."
"Nah kalo gitu... coba ngomong sama suami... dengan kepala dingin... karena perempuan cenderung emosional kalo lagi ngomong sama suami. Jangan juga di depan anak ... nanti jadi bumerang. Kalau sudah sepaham, apa yang kita harapkan dari anak, harus diterapkan juga dalam perilaku orangtua supaya si anak juga bisa melihat bahwa orangtuanya konsisten omongan dan tindakan. Kalau sudah begitu, kan konsisten tuh antara doa ortu dengan contoh kehidupan yang dilihat anak .... In shaa Allah semua bakal beres"
"Iya deh .... gue coba ngomong sama suami ....!, semoga lancar...."
"Amiiinn ....."
upf .... obrolan telpon yang cukup lama akhirnya berakhir ....
***
Memilik anak di abad ke 21 ini sungguh-sungguh berat. Kemajuan teknologi menyebabkan sebaran informasi mengalir tak terbendung. Apa yang terjadi di belahan dunia manapun, dalam hitungan detik tersebar ke seluruh penjuru dunia. Apa yang diterbitkan, diedarkan dan dipasarkan di suatu tempatpun begitu pula.
Sebagai negeri berkembang, penduduk Indonesia berkiblat habis-habisan ke negara-negara yang dianggapnya lebih maju dalam segala hal. Segala macam ditiru... dari mulai pakaian hingga perilaku dan gaya hidup. Padahal kesemuanya belum tentu semua cocok bagi kita.
Gadget sudah menguasai dunia dan mengganti pola komunikasi interpersonal dan apakah karenanya penduduk Indonesia mengalami gegar budaya yang luar biasa? Wallahu alam