Hari ini 1 Februari 2014. Hari ke 2 di tahun kuda menurut penanggalan Cina. Kemarin malam, pas tahun baru, kami sempat keluar rumah. Tepatnya ke PIM untuk memanfaatkan waktu kebersamaan keluarga. Mumpung anak gadis kami ada di rumah, yaitu setiap akhir minggu. Jadi kami memanfaatkannya untuk makan malam di luar rumah dalam suasana yang sedikit berbeda. Bukan saja suasana ruang tetapi juga menu makanannya.
Tulisan ini tentu bukan untuk menulis apa yan kami makan, yang kebetulan juga menu masakan Cina di salah satu resto Cina halal. Minimal menurut tulisan di dindingnya ... no pork & no lard. Atau juga bukan untuk mengulas hiasan yang tergantung di PIM terutama di PIM2 yang semuanya bernuansa merah. Saya hanya ingin menulis tentang lafal atau pengucapan kata dalam suatu bahasa.
***
Sudah beberapa waktu ini saya baru menyadari bahwa di radio atau televisi, kata CINA ternyata tidak diucapkan dengan suara "cina" dengan ucapan bahasa Indonesia tetapi diucapkan "caina" (China) dalam lafal bahasa Inggris. Semula, hanya satu atau beberapa penyiar televisi saja, yaitu di salah satu stasiun tv berita. Tetapi ..... lama kelamaan, ternyata semua penyiar televisi dan bahkan penyiar radio tidak lagi menyebut Cina dengan lafal bahasa Indonesia, tetapi China dengan lafal bahasa Inggris, yaitu "caina".
Andai saja lafal menurut bahasa Inggris itu diucapkan ketika membawakan berita berbahasa Inggris, saya masih bisa memakluminya. Tetapi .... tampaknya, saat ini ucapan kata Cina dengan lafal Inggris sudah menjadi lafal standar pemberitaan. Saya tidak tahu apakah di stasiun televisi itu ada orang/editor yang bertugas melatih dan mengkoreksi pelafalan setiap kata dalam berbagai bahasa agar pengucapannya sesuai dengan bahasa yang dibawakan penyiar tersebut. Kalau ada .... bagaimana dia bisa meloloskan pengucapan kata yang bertentangan dengan kaidah pengucapan dalam bahasa Indonesia.
Jelasnya ....... kalau penyiar sedang membawakan acara berbahasa Indonesia, maka seluruh ucapan bahasanya harus sesuai dengan kaidah ucapan/lafal bahasa Indonesia. Begitu pula kalau sedang berbahasa Inggris, Cina, Arab, Perancis atau bahasa lainnya. Tentu pengucapannyapun harus sesuai dengan kaidah pengucapan bahasa terkait. Karena, apabila kita salah mengucapkannya maka para penutur bahasa tersebut tidak akan mengerti apa yang diucapkan/diberitakan.
Berkenaan dengan kata Cina, saya ingat sekali bahwa saat saya kecil dulu, saya selalu dilarang oleh orangtua menyebut kata Cina kepada tetangga, kenalan atau siapapun yang berasal dari etnis Cina. Saya selalu dianjurkan untuk membahasakannya dengan kata Tionghoa. Saya memang tidak terlalu mengerti dan tidak juga mempertanyakan sebabnya. Cukup dipatuhi saja, namun saya menduga bahwa penyebutan kata Cina itu selalu dilakukan orang saat marah atau dengan nada menghina, terutama pada awal tahun pemerintahan era Suharto. Mungkin itu sebabnya, orangtua saya melarang penggunaan kata Cina untuk penyebutan teman, tetangga, kenalanan atau siapapun yang berasal dari etnis/suku bangsa Cina.
Saya sendiri merasakan suka duka, dampak dari kata Cina tersebut.
Konon .... nenek dari kakek saya, jadi saya adalah keturunan ke 5nya; adalah perempuan Cina totok yang masih memiliki kaki pendek yang terbelenggu oleh sepatu besi (?), sebagai bentuk tradisi Cina jaman dahulu kala. Perempuan yang konon kabarnya anak dari penguasa klenteng (sekarang) di kawasan Ancol ini menikah dengan lelaki keturunan Jerman yang memiliki nama keluarga Muller. Dari pernikahan 2 orang berbeda bangsa itu, beranak pinak, dimana anak-anaknya, yang berjumlah 3 orang, kebetulan berjenis kelamin perempuan semua, keseluruhannya menikah dengan lelaki Indonesia asli. Mereka konon menyebar di 3 wilayah pulau Jawa. Jawa bagian barat yaitu di Jakarta berbaur dengan masyarakat Betawi sehingga keturunannya merasa dan tentunya mengaku sebagai etnis Betawi..... Lalu yang di Jawa Tengah beranak-pinak di kawasan Rembang serta di Jawa Timur, menyebar dari Malang. Mereka yang beranak pinak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu lekat dengan budaya Jawa.
Akibat dari leluhur Cina tersebut atau mungkin sayangnya .... ternyata ada gen kuat dari perempuan Cina tersebut yang menurun pada saya dan bahkan kepada anak perempuan saya ........, walau anak perempuan saya memiliki kulit sawo matang, yaitu .... saya dan anak perempuan saya bermata sipit. Padahal .... adik saya lainnya ada yang berkulit sawo matang. Kalaupun ada yang berkulit "putih", maka matanya tidaklah sipit, sehingga mereka "lolos" dari olok-olok sebagai orang Cina.
Bayangkan .... kalau anak saya saja, pada abad ke 21 ini, era dimana diskriminasi terhadap etnis Cina sudah dihapuskan oleh Gus Dur saat menjabat presiden, sering diledek teman2nya sebagai Cino Ireng ... apalagi saya yang memiliki kulit agak kuning ... Orang bilang kulit saya "putih" dan bermata sipit. Kloplah kalau disangka sebagai perempuan Cina.
***
Ibu saya cerita, saat saya kecil dulu, kalau saya dibawa ke pasar untuk belanja, maka encik penjual telur selalu menghadiahkan saya sebutir telur. Untuk si amoy .... begitu katanya untuk menyebut nama saya.
Sebetulnya, saya sama sekali tidak menyadari bahwa mata sipit saya itu bermasalah. Masa sekolah saya yang selalu berpindah-pindah mulai TK-SD ibu Su, Muhamadiyah Jakarta, lalu ke Daya Susila - Garut dan seterusnya hingga akhirnya lulus dari SMA Fons Vitae Jakarta saya lalui tanpa sekalipun merasa adanya perbedaan etnis dengan teman sekolah lainnya karena bentuk mata sipit. Masalah tersebut justru baru timbul saat saya masuk kuliah.
Ketika itu, saat posma alias pekan orientasi mahasiswa, saya ingat betul ... sempat diinterogasi oleh salah seorang kakak senior. Dia menanyakan asal-usul saya. Untuk meyakinkan bahwa saya ... mahasiswa baru bermata sipit ini bukan berasal dari etnis Cina, tetapi betul-betul lahir dari pasangan bapak beretnis Betawi-Sunda dan ibu dari Sumatera Barat seperti pengakuannya.
Mungkin saya beruntung, ada salah satu senior yang sudah kenal keluarga saya. Tapi .... sebagai akibatnya, selama posma tersebut saya "disuruh" menempelkan celotape pada kelopak mata agar mata saya menjadi sedikit lebih bulat. Tidak terlihat sipit. Lama setelah itu suami saya yang saat itu berstatus pacar, sempat bercerita bahwa dia juga ditanyai beberapa temannya...
"Kok pacaran sama perempuan Cina sih ....?"
Lho .... apakah salah....?
Ketidaknyamanan menjadi orang yang dianggap mengaku Indonesia tetapi memiliki wajah seperti perempuan Cina, tidak berhenti sampai disitu. Terus berlanjut ketika akhirnya saya masuk ke dunia kerja. Memang ada enaknya, karena saya menjadi mudah diterima di kalangan etnis Cina tetapi .... saya sungguh merasa sangat lelah justru tatkala masuk ke lingkungan masyarakat berkulit sawo matang karena seringkali harus menjawab berbagai ragam pertanyaan untuk mengkonfirmasi asal usul keluarga. Rasanya sungguh sangat menyakitkan..... Adakah yang salah dengan saya?
Baru setelah saya memakai jilbab, maka pertanyaan tersebut, hilang. Atau bahkan sangat mungkin, sekarang ini ada yang menganggap saya sebagai muallaf... dan kalau benar, alangkah ironinya hidup saya....
Eits.... kembali ke topik awal ....
***
Kini ...., entah sejak kapan, pengucapan Tionghoa malah sudah sangat jarang terdengar. Kita sudah terbiasa mendengar kata Cina di mana saja. Konon, menurut mas Saptono, senior saya di masa kuliah dulu, penyebutan Cina atau China merupakan imbauan pemerintah Cina kepada pers di seluruh dunia untuk menggantikan kata Tiongkok
Sebagai orang yang mengalami sendiri berbagai suka duka berkenaan dengan etnis Cina. Pernah mendapat berbagai penolakan dan perlakuan rasisme di negara yang memiliki semboyan liberte, egalite & fraternite, sesungguhnya saya berusaha untuk tidak melihat dan memperlakukan siapapun berdasarkan warna kulit atau asal muasalnya. Saya merasakan betul sakitnya menerima perlakuan rasis.
Jadi kalau saya menyoal tentang Cina atau China (dengan lafal Inggris), bukan karena unsur rasisme tetapi hanya sekedar lontaran pertanyaan .... Mengapa kita harus melafalkan Cina dengan lafal bahasa Inggris dalam pemberitaan bahasa Indonesia.
Para pakar bahasa Indonesia ... editor/korektor bahasa di stasiun televisi dan radio ... ayo dong, koreksi pengucapan para penyiarnya. Kalau sedang berbahasa Indonesia ..., ucapkanlah segala sesuatunya dalam lafal dan kaidah bahasa Indonesia.
Kita perlu bangga dengan bahasa persatuan ini... Kalau buka kita yang merawatnya dengan menggunakannya dengan baik dan benar ... siapa lagi dong?
Tulisan ini tentu bukan untuk menulis apa yan kami makan, yang kebetulan juga menu masakan Cina di salah satu resto Cina halal. Minimal menurut tulisan di dindingnya ... no pork & no lard. Atau juga bukan untuk mengulas hiasan yang tergantung di PIM terutama di PIM2 yang semuanya bernuansa merah. Saya hanya ingin menulis tentang lafal atau pengucapan kata dalam suatu bahasa.
***
Sudah beberapa waktu ini saya baru menyadari bahwa di radio atau televisi, kata CINA ternyata tidak diucapkan dengan suara "cina" dengan ucapan bahasa Indonesia tetapi diucapkan "caina" (China) dalam lafal bahasa Inggris. Semula, hanya satu atau beberapa penyiar televisi saja, yaitu di salah satu stasiun tv berita. Tetapi ..... lama kelamaan, ternyata semua penyiar televisi dan bahkan penyiar radio tidak lagi menyebut Cina dengan lafal bahasa Indonesia, tetapi China dengan lafal bahasa Inggris, yaitu "caina".
Andai saja lafal menurut bahasa Inggris itu diucapkan ketika membawakan berita berbahasa Inggris, saya masih bisa memakluminya. Tetapi .... tampaknya, saat ini ucapan kata Cina dengan lafal Inggris sudah menjadi lafal standar pemberitaan. Saya tidak tahu apakah di stasiun televisi itu ada orang/editor yang bertugas melatih dan mengkoreksi pelafalan setiap kata dalam berbagai bahasa agar pengucapannya sesuai dengan bahasa yang dibawakan penyiar tersebut. Kalau ada .... bagaimana dia bisa meloloskan pengucapan kata yang bertentangan dengan kaidah pengucapan dalam bahasa Indonesia.
Jelasnya ....... kalau penyiar sedang membawakan acara berbahasa Indonesia, maka seluruh ucapan bahasanya harus sesuai dengan kaidah ucapan/lafal bahasa Indonesia. Begitu pula kalau sedang berbahasa Inggris, Cina, Arab, Perancis atau bahasa lainnya. Tentu pengucapannyapun harus sesuai dengan kaidah pengucapan bahasa terkait. Karena, apabila kita salah mengucapkannya maka para penutur bahasa tersebut tidak akan mengerti apa yang diucapkan/diberitakan.
Berkenaan dengan kata Cina, saya ingat sekali bahwa saat saya kecil dulu, saya selalu dilarang oleh orangtua menyebut kata Cina kepada tetangga, kenalan atau siapapun yang berasal dari etnis Cina. Saya selalu dianjurkan untuk membahasakannya dengan kata Tionghoa. Saya memang tidak terlalu mengerti dan tidak juga mempertanyakan sebabnya. Cukup dipatuhi saja, namun saya menduga bahwa penyebutan kata Cina itu selalu dilakukan orang saat marah atau dengan nada menghina, terutama pada awal tahun pemerintahan era Suharto. Mungkin itu sebabnya, orangtua saya melarang penggunaan kata Cina untuk penyebutan teman, tetangga, kenalanan atau siapapun yang berasal dari etnis/suku bangsa Cina.
Saya sendiri merasakan suka duka, dampak dari kata Cina tersebut.
Konon .... nenek dari kakek saya, jadi saya adalah keturunan ke 5nya; adalah perempuan Cina totok yang masih memiliki kaki pendek yang terbelenggu oleh sepatu besi (?), sebagai bentuk tradisi Cina jaman dahulu kala. Perempuan yang konon kabarnya anak dari penguasa klenteng (sekarang) di kawasan Ancol ini menikah dengan lelaki keturunan Jerman yang memiliki nama keluarga Muller. Dari pernikahan 2 orang berbeda bangsa itu, beranak pinak, dimana anak-anaknya, yang berjumlah 3 orang, kebetulan berjenis kelamin perempuan semua, keseluruhannya menikah dengan lelaki Indonesia asli. Mereka konon menyebar di 3 wilayah pulau Jawa. Jawa bagian barat yaitu di Jakarta berbaur dengan masyarakat Betawi sehingga keturunannya merasa dan tentunya mengaku sebagai etnis Betawi..... Lalu yang di Jawa Tengah beranak-pinak di kawasan Rembang serta di Jawa Timur, menyebar dari Malang. Mereka yang beranak pinak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu lekat dengan budaya Jawa.
Akibat dari leluhur Cina tersebut atau mungkin sayangnya .... ternyata ada gen kuat dari perempuan Cina tersebut yang menurun pada saya dan bahkan kepada anak perempuan saya ........, walau anak perempuan saya memiliki kulit sawo matang, yaitu .... saya dan anak perempuan saya bermata sipit. Padahal .... adik saya lainnya ada yang berkulit sawo matang. Kalaupun ada yang berkulit "putih", maka matanya tidaklah sipit, sehingga mereka "lolos" dari olok-olok sebagai orang Cina.
Bayangkan .... kalau anak saya saja, pada abad ke 21 ini, era dimana diskriminasi terhadap etnis Cina sudah dihapuskan oleh Gus Dur saat menjabat presiden, sering diledek teman2nya sebagai Cino Ireng ... apalagi saya yang memiliki kulit agak kuning ... Orang bilang kulit saya "putih" dan bermata sipit. Kloplah kalau disangka sebagai perempuan Cina.
***
Ibu saya cerita, saat saya kecil dulu, kalau saya dibawa ke pasar untuk belanja, maka encik penjual telur selalu menghadiahkan saya sebutir telur. Untuk si amoy .... begitu katanya untuk menyebut nama saya.
Sebetulnya, saya sama sekali tidak menyadari bahwa mata sipit saya itu bermasalah. Masa sekolah saya yang selalu berpindah-pindah mulai TK-SD ibu Su, Muhamadiyah Jakarta, lalu ke Daya Susila - Garut dan seterusnya hingga akhirnya lulus dari SMA Fons Vitae Jakarta saya lalui tanpa sekalipun merasa adanya perbedaan etnis dengan teman sekolah lainnya karena bentuk mata sipit. Masalah tersebut justru baru timbul saat saya masuk kuliah.
Ketika itu, saat posma alias pekan orientasi mahasiswa, saya ingat betul ... sempat diinterogasi oleh salah seorang kakak senior. Dia menanyakan asal-usul saya. Untuk meyakinkan bahwa saya ... mahasiswa baru bermata sipit ini bukan berasal dari etnis Cina, tetapi betul-betul lahir dari pasangan bapak beretnis Betawi-Sunda dan ibu dari Sumatera Barat seperti pengakuannya.
Mungkin saya beruntung, ada salah satu senior yang sudah kenal keluarga saya. Tapi .... sebagai akibatnya, selama posma tersebut saya "disuruh" menempelkan celotape pada kelopak mata agar mata saya menjadi sedikit lebih bulat. Tidak terlihat sipit. Lama setelah itu suami saya yang saat itu berstatus pacar, sempat bercerita bahwa dia juga ditanyai beberapa temannya...
"Kok pacaran sama perempuan Cina sih ....?"
Lho .... apakah salah....?
Ketidaknyamanan menjadi orang yang dianggap mengaku Indonesia tetapi memiliki wajah seperti perempuan Cina, tidak berhenti sampai disitu. Terus berlanjut ketika akhirnya saya masuk ke dunia kerja. Memang ada enaknya, karena saya menjadi mudah diterima di kalangan etnis Cina tetapi .... saya sungguh merasa sangat lelah justru tatkala masuk ke lingkungan masyarakat berkulit sawo matang karena seringkali harus menjawab berbagai ragam pertanyaan untuk mengkonfirmasi asal usul keluarga. Rasanya sungguh sangat menyakitkan..... Adakah yang salah dengan saya?
Baru setelah saya memakai jilbab, maka pertanyaan tersebut, hilang. Atau bahkan sangat mungkin, sekarang ini ada yang menganggap saya sebagai muallaf... dan kalau benar, alangkah ironinya hidup saya....
Eits.... kembali ke topik awal ....
***
Kini ...., entah sejak kapan, pengucapan Tionghoa malah sudah sangat jarang terdengar. Kita sudah terbiasa mendengar kata Cina di mana saja. Konon, menurut mas Saptono, senior saya di masa kuliah dulu, penyebutan Cina atau China merupakan imbauan pemerintah Cina kepada pers di seluruh dunia untuk menggantikan kata Tiongkok
Sebagai orang yang mengalami sendiri berbagai suka duka berkenaan dengan etnis Cina. Pernah mendapat berbagai penolakan dan perlakuan rasisme di negara yang memiliki semboyan liberte, egalite & fraternite, sesungguhnya saya berusaha untuk tidak melihat dan memperlakukan siapapun berdasarkan warna kulit atau asal muasalnya. Saya merasakan betul sakitnya menerima perlakuan rasis.
Jadi kalau saya menyoal tentang Cina atau China (dengan lafal Inggris), bukan karena unsur rasisme tetapi hanya sekedar lontaran pertanyaan .... Mengapa kita harus melafalkan Cina dengan lafal bahasa Inggris dalam pemberitaan bahasa Indonesia.
Para pakar bahasa Indonesia ... editor/korektor bahasa di stasiun televisi dan radio ... ayo dong, koreksi pengucapan para penyiarnya. Kalau sedang berbahasa Indonesia ..., ucapkanlah segala sesuatunya dalam lafal dan kaidah bahasa Indonesia.
Kita perlu bangga dengan bahasa persatuan ini... Kalau buka kita yang merawatnya dengan menggunakannya dengan baik dan benar ... siapa lagi dong?
Bu Lina, kalau mau diukur persentasenya, darah saya lebih Indonesia daripada Ibu. Saya adalah generasi ke8 dari leluhur yang datang ke Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia. Waktu remaja, saya berenang tiap Rabu siang dan akibatnya kulit saya gelap. Sampai sebelum menikah, tidak ada yang menyebut saya "Ci" termasuk adik2 saya karena memang kami tidak memegang tradisi itu. Setelah saya menikah dengan laki-laki yang "persentase darah Cina"nya seperti Ibu (dan kebetulan mewarisi kulit kuning dan bermata sipit), saya jadi sering dipanggil "Ci" kalau berjalan bersama atau saat berada dalam komunitasnya. .Makin sering lagi setelah snak saya lahir dan mewarisi wajah suami saya. Sampai sekarang. Dan itu sebetulnya menyakitkan saya. Menyakitkan, karena luka yang dibuat oleh Suharto pada keturunan Cina. Luka yang mungkin terobati pada Gus Dur bagi sebagian keturunan Cina. Tapi tidak pada saya dan banyak keturunan Cina lain. Saya tetap lebih suka menyebut Cina daripada China atau Tionghoa karena memang itulah bahasa Indonesianya. Sebutan "Ci" dan "China" bagi saya sampai sekarang masih terdengar rasis dan diskriminatif.
BalasHapusTulisan yang menarik, Bu Lina! Dan menyuarakan isi kepala saya.
Melinda
Hai Melinda
BalasHapusTerima kasih tanggapannya .... Memang nggak enak ya diperlakukan seperti itu.
Sebel banget. Sering terpikir bhw Tuhan sebetulnya tidak membedakan manusia karena bentuk fisiknya. Manusialah yang melakukannya