Saya memiliki
sepasang anak; lelaki dan perempuan. Namun saya lebih sering mengatakan bahwa
saya memiliki 2 (dua) orang anak tunggal. Tentu banyak yang bertanya, mengapa
demikian.
usia 1 tahun |
Anak saya yang
pertama, lahir pada jaman kami masih hidup dalam keprihatinan. Jauh dari sanak
saudara, terpencil dalam belantara lautan kosmopolitan. Saat itu, kami tinggal di
kota dan bahkan di apartemen berlantai 15 dimana berbagai bangsa, bahasa dengan
berbagai warna kulit bertempat tinggal. Parahnya …. kota kecil tempat tinggal kami
juga lebih dikenal sebagai kantung pemukiman immigrant berkulit hitam walaupun
penduduk lokal (warganegara setempat) juga tak kurang banyaknya. Kota kecil yang berjarak hanya beberapa kilometer di utara Paris ini sebetulnya jauh lebih bersih daripada kawasan tempat tinggal kami sekarang.
Le Clos Saint Lazare …. itu nama lingkungan apartemen atau lebih tepat disebut HLM (habitation a loyer modere–setara dengan rusunawa alias rumah susun sewa sederhana di Indonesia), cukup bersih dan tertata baik, kecuali kalau kita sudah masuk ke dalam bangunannya. Kesenjangan sosial ekonomi dan gaya hidup antara penduduk asli dengan para imigran kelas bawah (buruh) pasti berdampak pada cara kita memandang dan menerapkan kebersihan. Suara musik yang menggelegar tidak pandang waktu dari unit penghuni berkulit hitam, membuang sampah rumah tangga tidak pada tempatnya membuat koridor yang menghubungkan lift lobby ke unit–unit apartemen berbau busuk. Tapi …. Itulah bangunan tempat tinggal kami kala itu. Tempat dimana apartemen yang disediakan organisasi yang mengurus para penerima beasiswa dari pemerintah negeri tersebut berada.
Le Clos Saint Lazare …. itu nama lingkungan apartemen atau lebih tepat disebut HLM (habitation a loyer modere–setara dengan rusunawa alias rumah susun sewa sederhana di Indonesia), cukup bersih dan tertata baik, kecuali kalau kita sudah masuk ke dalam bangunannya. Kesenjangan sosial ekonomi dan gaya hidup antara penduduk asli dengan para imigran kelas bawah (buruh) pasti berdampak pada cara kita memandang dan menerapkan kebersihan. Suara musik yang menggelegar tidak pandang waktu dari unit penghuni berkulit hitam, membuang sampah rumah tangga tidak pada tempatnya membuat koridor yang menghubungkan lift lobby ke unit–unit apartemen berbau busuk. Tapi …. Itulah bangunan tempat tinggal kami kala itu. Tempat dimana apartemen yang disediakan organisasi yang mengurus para penerima beasiswa dari pemerintah negeri tersebut berada.
Semula, kami pikir,
kekumuhan itu terjadi karena bangunan tempat kami tinggal adalah bangunan umum. Maksudnya, penduduk apartemen tidak semata-mata dari kalangan keluarga mahasiswa, tetapi juga dihuni dan disewa oleh masyarakat umum, golongan berpenghasilan rendah. Ternyata …. Kondisi unit apartemen yang khusus disediakan untuk mahasiswa dan
keluarganya yang sebagian besar adalah mahasiswa asingpun tidak jauh berbeda. Kesimpulannya … kesenjangan ekonomi dari negara asal mahasiswa para penghuninya menjadi salah satu sebab.
Kembali pada
kelahiran anak pertama saya itu, selain memang banyak kenangan baik suka maupun
duka yang menyertainya, namun sebetulnya banyak sekali hikmah dan berkah dibaliknya
yang sekarang menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan…. Yang
menyiratkan ketegaran perjuangan anak manusia.
Kelahiran itu juga terjadi
pada masa bom masih kerap meledak di ibukota Negara tempat kami tinggal. Hampir
setiap minggu …. Saat Libanon baru mulai bergejolak. Saat perjuangan suku Kurdi masih menghangat. Di sana ..... l’hopital Saint Denis, 8
April 1983 jam 23.45, jauh dari keluarga besar ......
***
Sementara anak kedua
lahir 15 tahun kemudian, saat kehidupan kami sudah sedikit lebih mapan. Sama–sama lahir
di kota kecil yang berada di pinggiran ibukota Negara. Hanya …. mungkin gengsinya
yang berbeda. Si kakak lahir di pinggiran ibukota Negara Perancis sementara si
adik lahir di kota pinggiran ibukota Negara Indonesia. Itu sebab si adik selalu
menggerutu atas perbedaan kota kelahirannya. Apa boleh buatlah …. Allah SWT mentakdirkan demikian bagi kelahiran
dua anak kami.
***
Nah ….. kali ini
saya ingin cerita tentang masa kecil si sulung. Pada saat umurnya menginjak
bulan ke 15, kami kembali ke Jakarta. Buat saya, itulah kali pertama
menginjakkan kaki kembali ke bumi Pertiwi setelah meninggalkannya 4 tahun
sebelumnya. Kalau dulu saya berangkat sendiri, maka kali ini kembali ke rumah,
boyongan bertiga.
Sebagai cucu pertama
di keluarga saya, si sulung tentu dimanja seisi rumah. Kala itu, di keluarga, baru saya saja
yang menikah Belum selesai kuliah pula ...... Praktis seluruh perhatian ke dua orangtua dan adik–adik saya tercurah
pada si mungil yang lucu itu. Wajah mungilnya memang menggemaskan dan sebagai
anak kecil yang biasanya selalu “gratilan” … alias tidak bisa melihat benda
tergeletak di atas meja, maka si sulung ini termasuk anak yang apik. Dia kurang
tertarik untuk “merusak” benda - benda di atas meja, tetapi lebih “terpelajar”. Lebih suka mengganggu
bapaknya yang sedang bekerja di depan monitor komputer. Jadilah dia akan selalu meminta duduk di
pangkuan si bapak untuk menekan-nekan key–pad. Tentu saja si bapak memperkenalkan
huruf–huruf dan angka yang tertera. Perkembangan nalarnya jauh lebih cepat
daripada umurnya.
Setiap kami keluar
rumah, sambil lalu, kami juga memperkenalkan setiap benda yang ada di sepanjang
perjalanan. Apakah itu jenis dan merek mobil, huruf – huruf pada baliho begitu
juga dengan patung penghias kota.
Jadi ... belum masuk sekolah, dia sudah mengenal huruf walaupun belum hafal seluruh abjad.
Suatu kali, saat berjalan-jalan, kami
lewat kawasan Kwitang ... Kami memperkenalkan Patung pak Tani yang ada di depan
hotel Aryaduta. Sebetulnya, patung itu bukanlah patung petani, tetapi patung
angkatan ke 5. Pada era pra 1965, ada wacana untuk mempersenjatai rakyat
sebagai bagian dari angkatan bersenjata, Karena pada waktu itu Indonesia sudah
memiliki 4 angkatan, yaitu Angkatan Darat–Laut–Udara dan Kepolisian, maka
rakyat yang dipersenjatai itu disebut angkatan ke 5. Rakyat diwujudkan dalam
bentuk lelaki dengan caping bambu yang menjadi cirri khas petani. Itu pula sebabnya
patung angkatan ke 5 tersebut lebih dikenal sebagai patung pak Tani.
saat usia 3 tahun |
Nah … kembali pada
topik ….
“Nah di depan itu…… patung
pak tani…!”
Si sulung mengangguk–anggukkan kepalanya… tanda mengerti. kami lalu mengambil jalan Cut Mutia dan jalan HOS Cokroaminoto.
Sambil pulang menuju
tempat kediaman kami saat itu, Rawamangun, kami melewati depan gedung
Bappenas dimana, saat itu masih ada patung seorang ibu dengan 4 orang anak–anaknya
di setiap sudut. Si sulung langsung berteriak senang....
"Mama ... mama
... itu ada bu Atung dan anak Atung ya....?"
Saya bingung
sebentar ...
“Oh ….. itu patung
ibu Kartini …. (eh apa betul itu nama patungnya ya?)” sahut saya membetulkan.
“Bukan mama …… itu
bu Atung dan anak Atung …….!!!”, sahutnya lagi …
“Iya ….. iya …. Bu
Atung dan anak Atung ….” Jawab saya sambil menahan tawa ...
Antara lucu, gemas
tapi sekaligus kagum dengan kejelian nalarnya
Rupanya si anak
mengasosiasikan patung (pak tani), patung dengan wujud lelaki tua menjadi pak
Atung ... sehingga patung perempuan dengan pakaian khas ibu Indonesia berkain
kebaya disebut bu Atung dan patung ke empat anak–anak yang mengelilingi patung
ibu menjadi anak–anak Atung...
Ganti si anak yang
bingung melihat ibunya tertawa, dan tetap tidak bisa menerima penjelasan bahwa
patung adalah nama benda. Bukan sebutan atau panggilan seorang bapak bernama
Atung sehingga layak dipanggil pak Atung.
***
Kejadian ini memang sudah
lama sekali .. Saya ceritakan kembali untuk menghormati dan mengingat kembali si
sulung yang kini tinggal jauh dan akan berulang tahun ke 31 tanggal 8 April
2014 yang akan datang.
You are always in my
heart, son …. I love you…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar